Posts

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things To Focus On When You’re Single

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Mungkin kamu sudah berdoa cukup lama untuk kehadiran pasangan hidup, dan kamu pun merasa masa-masa single ini terasa berat dan menyakitkan. Mungkin juga kamu baru saja menjadi single, atau bahkan belum berkeinginan untuk berpacaran. Bagaimanapun keadaannya, inilah sejumlah hal yang sebaiknya kamu lakukan di masa single:

1. Fokuskan dirimu membangun relasi dengan Tuhan

Dari firman Tuhan, kita tahu bahwa hal terpenting yang bisa kita lakukan dengan waktu yang kita miliki adalah mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Tuhan Yesus memberi perintah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).

Ketika kita masih single, jadwal kegiatan kita tentunya lebih fleksibel. Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk fokus mengasihi Tuhan dengan cara-cara yang kreatif, yang mungkin tidak dapat kita lakukan dengan leluasa di fase kehidupan yang lain.

Tanyakan pada dirimu, apakah ada cara-cara unik yang dapat dilakukan untuk meluangkan waktu bersama Tuhan? Mungkin kamu bisa mengosongkan waktumu dari kesibukan minggu ini untuk mencari Tuhan di tempat yang tenang. Coba evaluasi kembali jadwalmu, lalu luangkan waktu di satu hari untuk menghabiskan waktu bersama Tuhan meskipun kamu harus menunda pekerjaanmu. Lebih menarik lagi, kamu bahkan bisa mengambil kelas Alkitab online yang disediakan banyak lembaga Kristen!

Lihat ke sekelilingmu dan cobalah melakukan hal yang tidak biasa untuk meluangkan waktu bersama Tuhan.

2. Fokuskan dirimu mengulurkan bantuan kepada orang lain

KIta semua adalah anggota dari keluarga Allah, baik orang Yahudi atau Yunani, hamba ataupun orang merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bahkan kita bisa menambahkan single maupun berpacaran! (Galatia 3:28). Apapun status kita saat ini, Tuhan sudah memanggil kita ke dalam keluarga-Nya.

Kebanyakan kita tidak kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Tetapi, anggota keluarga Allah juga meliputi para lansia, keluarga muda, orang tua yang baru saja berpisah dengan anak-anaknya yang merantau untuk berkuliah, dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita turut meluangkan waktu kita untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka (Galatia 6:10)?

Dapatkah kita membantu pasangan muda untuk menjaga anak mereka selama beberapa jam untuk memberi mereka waktu beristirahat? Atau mungkin membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang lansia sambil mendengarkan kesaksiannya tentang pekerjaan Tuhan yang luar biasa?

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajak sepasang suami istri yang merindukan anaknya untuk makan malam bersama, sambil berbincang tentang tantangan-tantangan yang tengah kita alami di dunia pekerjaan kita. Mungkin juga masa single ini menjadi periode waktu yang baik untuk belajar dari pasangan lain, bahkan mendorong mereka untuk bertumbuh dalam hubungan yang mengejar keserupaan dengan Kristus.

Memang, butuh sedikit keberanian untuk mendekatkan diri pada seseorang yang tidak begitu akrab dengan kita di gereja. Bisa jadi, kita baru mendapatkan respon yang kita harapkan setelah undangan kedua atau ketiga. Tetapi, Tuhan sudah memberkati kita dengan keluarga besar yang beragam untuk suatu tujuan! Yuk, mulai menjangkau mereka!

3. Fokuskan dirimu menikmati musim kehidupan ini

Menjadi single dapat terasa memberatkan jika kita amat mendambakan kehadiran pasangan, dan tentunya, pernikahan. Tetapi, daripada memfokuskan diri pada hal-hal yang belum kita peroleh, ada baiknya kita memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang membawa kebahagiaan di musim kehidupan yang tengah kita hadapi.

Kita dapat mengejar karier yang kita sukai. Mungkin ada kesempatan-kesempatan berhaga yang bisa kita lakukan sebagai persembahan di gereja. Mungkin kita terberkati dengan kehadiran sahabat-sahabat yang menemani kita menjalani kehidupan. Kita juga bisa mencoba melakukan hobi-hobi baru.

Penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Dapatkah kamu menemukan tiga hal yang kamu nikmati dari hidupmu saat ini? Bersyukurlah kepada Tuhan untuk berkat yang sudah disediakan-Nya bagi kita. Tuliskan, dan lihat kembali di minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun mendatang!

Kita tidak tahu berapa lama musim ini akan berlangsung dan apa yang menanti kita di masa depan. Namun, kita dapat mencari cara untuk menikmati musim ini. Rayakanlah kebaikan Tuhan yang sudah kita alami dari dahulu sampai sekarang!

Baca Juga:

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Kita mungkin tidak asing dengan istilah KKR yang biasanya menjadi acara besar suatu gereja. Tetapi, pernahkah kita berpikir, bagaimana caranya agar kita mengalami kebangkitan rohani setiap hari?

Mengevaluasi Kembali Masa Single

Oleh Shintya Tanggara, Surabaya

Usiaku 22 tahun. Aku masih single dan aku belum pernah berpacaran.

Menjadi wanita single ketika kamu berumur 17 tahun itu mudah. Kamu punya banyak teman single sepertimu dan yang kamu pedulikan mungkin hanya jurusan kuliah mana yang mau kamu pilih. Di usia awal-awal 20 tahun pun masih cukup mudah, namun rasanya sedikit lebih tidak nyaman dibandingkan saat usiamu 17 tahun, apalagi jika kamu belum pernah berpacaran sebelumnya. Aku hanya bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi seorang wanita single di usia 30 tahunan!

Orang-orang jadi lebih sering bertanya tentang status hubunganmu dan selalu kepo mencari tahu alasan mengapa kamu masih single. Keluarga dan saudaramu mulai memberimu nasihat secara langsung dan tidak langsung tentang bagaimana kamu bisa lebih bergaul dengan orang lain, atau bahkan supaya kamu menurunkan sedikit berat badanmu. Teman-temanmu mengatakan kalau standarmu terlalu tinggi dan kamu sebaiknya mempertimbangkan berpacaran dengan seseorang—siapapun—hanya untuk mendapatkan pengalaman. Adikmu cemas kalau-kalau kamu tidak akan pernah menikah dan hidup sendiri di sebuah apartemen kecil bersama seekor kucing dan anjing shitzu, dan pada akhirnya pindah ke panti jompo saat usiamu 72 tahun.

Satu nasihat yang seringkali muncul di setiap perbincangan tentang masa single adalah kamu tidak akan bahagia jika kamu tidak menikah. Aku tidak yakin bagaimana orang-orang bisa mendapatkan kesimpulan ini. Mungkin dari drama Korea atau dongeng-dongeng di mana “bahagia selamanya” hanya dapat terjadi ketika dua orang menikah, atau mungkin juga itu berasal dari nasihat bijak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak dipungkiri bahwa kita menyamakan pernikahan sebagai suatu hal yang selalu membawa kebahagiaan, bahwa kebahagiaan ditentukan dari kehadiran manusia lain yang bangun di sampingmu setiap pagi. Tidakkah kamu merasa hal ini tidak adil? Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa menikah? Apakah itu berarti mereka tidak akan pernah bisa bahagia?

Ravi Zacharias berkata momen di mana kamu merasa paling kesepian adalah ketika kamu baru saja mengalami suatu hal yang awalnya kamu pikir dapat memberikanmu yang terbaik, namun nyatanya itu malah mengecewakanmu.

Kurasa salah satu alasan mengapa pernikahan bisa menjadi dingin dan perceraian seolah-olah jadi jalan keluar adalah karena kita mengharapkan sesuatu dari pernikahan yang bahkan tidak pernah ditawarkan oleh pernikahan itu sendiri. Kita membuat ekspektasi yang ilahi pada manusia biasa dan mengingkari perjanjian yang kita buat di depan altar sebagai respons atas kekecewaaan. Kurasa kita harusnya hanya mengharap sesuatu yang ilahi dari yang ilahi, dan mengharapkan hal-hal biasa dari manusia biasa.

Seseorang pernah memberitahuku bahwa semakin banyak kamu mencari uang, uang itu akan semakin menjauh darimu. Namun, jika kamu menekuni apa yang jadi kegemaranmu, uanglah yang akan mengikutimu. Kupikir hal ini mirip dengan kebahagiaan. Semakin kamu berusaha mencari kebahagiaan atau kesenangan, hal-hal itu akan menjauh darimu. Tapi, ketika kamu memfokuskan dirimu pada hal yang benar, kebahagiaan itu akan datang padamu. Kebahagiaanmu tidak boleh menjadi fokus hidupmu. Kebahagiaan seharusnya menjadi sesuatu yang mengikutimu ketika kamu memfokuskan diri pada hal yang benar. Itu sebabnya hidup yang paling menginspirasi adalah hidup yang didorong oleh tujuan, bukan kesenangan.
Satu hal yang telah kusadari—dan yang awalnya kusangkal—adalah pemikiran bahwa untuk mencapai tujuan itu kamu harus menyadari satu hal yang kini seringkali terabaikan dalam kehidupan bergereja: hidupmu bukanlah tentangmu. Ketika kita berdoa pada Tuhan untuk memberkati pekerjaan dan pernikahan kita, atau untuk menyembuhkan penyakit kita, atau ketika kita memberi persembahan dengan harapan mendapatkan berkat++ sebagai imbalan, kita sedang bekerja dengan pola pikir “Tuhan ada di hidupku untuk membuat hidupku lebih baik bagi diriku sendiri.”

Seringkali kita memperlakukan Tuhan sebagai pemain dalam tim kita untuk membantu kita memenangkan pertandingan kehidupan dibandingkan kita yang memposisikan diri sebagai pelayan-Nya. Hidupku seharusnya bukan tentang diriku atau kebahagiaanku. Injil bukanlah tentangku. Isi Injil adalah tentang Tuhan.

Pendetaku pernah mengatakan ini pada kebaktian Minggu kami, “Yesus tidak datang untuk membuat hidupmu lebih baik. Yesus datang untuk menunjukkan padamu bahwa Ia lebih baik dari hidup itu sendiri.”

Bagaimana aku bisa menggunakan hidup yang telah ditebus-Nya ini agar menjadi hidup yang tidak lagi berfokus tentangku? Bagaimana caranya aku bisa menggunakan hidupku untuk mengarahkan orang-orang lain pada-Nya? Tindakan apa yang akan paling memuliakan-Nya?

Tentang masa single-ku, jujur aku pernah tergoda pada tawaran untuk “mencoba berpacaran dengan seseorang hanya untuk setidaknya mendapatkan pengalaman”. Hal apa yang bisa merugikanku jika aku mencobanya? Jika aku membuat komitmen murahan yang aku tahu akan kuingkari hanya demi mendapatkan pengalaman tanpa mempertimbangkan perasaan dan komitmen pihak lainnya, hanya supaya aku tidak merasa tertinggal, supaya orang-orang tidak meremehkanku atau berpikir aku terlalu arogan untuk berpacaran, jika aku mengejar hubungan yang didasari oleh keuntunganku dibandingkan dengan memiliki hubungan Alkitabiah yang didasari oleh tujuan yang jelas. Jika aku melakukan semua ini, maka semuanya hanya akan menjadi usaha berpura-pura yang gagal. Berpura-pura merasa hidupku adalah tentang memuliakan Tuhan ketika pada kenyataannya aku sedang menggunakan Tuhan untuk menyenangkan diriku. Lalu kehidupanku hanya akan menjadi tentang diriku sendiri. Injil hanya akan menjadi tentang diriku.

Aku tidak ditebus supaya aku bisa berpacaran tanpa tujuan. Aku tidak ditebus supaya aku mendapatkan sekadar penerimaan dari orang-orang di sekitarku. Kristus mati untukku supaya di dalamku Ia bisa dimuliakan. Kristus mati untukku supaya aku bisa melihat bahwa Ia lebih baik daripada hidup itu sendiri. Itu adalah satu-satunya cara yang ingin kugunakan dalam kehidupanku, meskipun aku memiliki keterbatasan dan kekurangan.

Itulah alasan mengapa orang-orang yang tidak menikah pun bisa bahagia. Mereka bisa hidup sendiri di sebuah apartemen dengan seekor kucing dan anjing shitzmu dan merasa bahagia. Mereka bisa ke panti jompo pada usia 72 tahun dan merasa bahagia. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada diri kita sendiri maupun orang lain. Kebahagiaan datang melalui pengetahuan bahwa kita telah menggunakan seluruh kehidupan kita, dengan segala keterbatasannya, untuk menunjukkan orang-orang pada kemuliaan Allah yang menyelamatkan kita.

Dan kita mengetahui bahwa suatu hari kita akan menerima penerimaan terbesar yang tidak dapat kita temukan di dunia. Kita akan menerimanya ketika waktu kita telah habis, dan kita kembali bertemu Pencipta kita muka dengan muka. Tuhan akan melihat kita dengan senyuman dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21).

On Christ the solid rock I stand,
All other ground is sinking sand.

Baca Juga:

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

“Kapan punya pacar? Masih jomblo aja nih?” Pertanyaan itu mungkin terdengar biasa, tapi bisa membuat kita risih jika terus menerus ditanyakan. Inilah 5 tips yang bisa kamu lakukan saat kamu mendapatkan pertanyaan seperti itu.

Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar. Usiaku saat ini memasuki 25 tahun, usia yang bagi beberapa orang dianggap sudah pantas untuk berkeluarga. Aku tidak marah atau kesal dengan hujaman pertanyaan itu, sebaliknya, aku justru benar-benar berpikir serius mengenai pertanyaan itu.

The idea of having boyfriend

Sesungguhnya, pertanyaan yang diajukan oleh saudara-saudaraku adalah pertanyaan yang juga sering aku ajukan kepada Tuhan. Dua puluh lima tahun menjomblo bukanlah waktu yang singkat. Mustahil jika tidak pernah ada masa di mana aku mulai merasa geram dan kesepian dengan kesendirianku. Ketika aku berumur 23 tahun, aku bahkan pernah berdoa sambil menangis ketika bertanya kepada Tuhan mengapa hingga saat itu Tuhan belum menunjukkan kepadaku pasangan hidupku. Waktu itu aku baru lulus kuliah dan masuk dunia kerja, dan aku mulai merasakan kesepian karena kehilangan sosok sahabat-sahabatku di masa kuliah yang sebelumnya sering melewatkan waktu bersamaku. Aku juga mulai iri melihat teman-temanku yang datang ke acara persekutuan bersama pacarnya atau menghabiskan waktu bersama. Rasa kesepian itu begitu menguasaiku hingga aku berpikir bahwa memiliki pasangan adalah jawaban yang tepat untuk mengatasinya.

Sebenarnya dari masa kuliah, aku sudah belajar mengenai “teori-teori dalam menantikan pasangan hidup” (yang banyak dipengaruhi oleh buku “Lady in Waiting” yang ditulis oleh Jackie Kendall dan Debby Jones). Aku tahu bahwa selama masa menanti si dia yang dari Tuhan, seharusnya aku berfokus kepada Dia, yang akan memberikanku si dia. Aku juga merasa sudah paham kalau aku harus merasa puas (content) dengan kehadiran Tuhan, dan merasa cukup dengan Allah. Aku juga sudah belajar kalau masa-masa sendiri atau single haruslah aku isi dengan menikmati relasiku dengan Tuhan sebaik-baiknya dan giat melayani Dia, karena dalam masa inilah aku memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya.

Namun, ketika rasa kesepian melandaku dengan hebat, aku seperti amnesia dengan “teori-teori” yang kurasa aku sudah kuasai. Rasa kesepian membuatku menjadi egois dan berpikir bagaimana caranya untuk memuaskan keinginan pribadiku, dan hal itu sangat self-centered. Rasa kesepian membuatku terjerembab dalam lubang self-centered-ness ketika seharusnya aku menjalani masa penantian pasangan hidup secara God-centered. Ketika aku berdiam dan merenung, aku menemukan kelemahanku dalam pergumulan pasangan hidup. Selama ini, yang aku idamkan bukanlah pasangan hidup yang memiliki citra Kristus, melainkan the idea of having a boyfriend. Yang aku idam-idamkan adalah bayangan kalau aku akan memiliki pasangan yang akan menemaniku datang ke acara persekutuan atau menungguiku pulang rapat atau sekadar teman jalan-jalan. Aku gagal melihat kedalaman alasan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, karena aku terlalu sibuk mencari perhatian untuk diriku sendiri. Memang tidak salah memiliki pasangan untuk datang ke acara persekutuan bersama, tapi Tuhan tidak memberikan kita pasangan hidup hanya untuk datang ke acara persekutuan bersama, kan?

Teman (berbagi) hidup

Dalam perenungan itu pula aku teringat cerita tentang Molly Kecil di bab 11 buku “Sacred Search” karya Gary Thomas. Gary menceritakan suatu keluarga yang sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka. Namun, ternyata terdapat kelainan dalam tubuh bayi kecil itu (yang mereka panggil sebagai Molly Kecil), yang membuat Molly Kecil tidak bisa bertahan hidup lebih lama. Tapi, sungguh bersyukur, Molly Kecil punya orang tua yang sangat mengasihi Tuhan. Lebih lagi, Molly Kecil punya kakek dan nenek yang juga sangat mengasihi Tuhan. Di waktu-waktu terakhir hidup Molly Kecil, mereka berkumpul, menyanyikan lagu pujian, berdoa, dan menyampaikan pesan terakhir bagi Molly Kecil. Keteguhan hati kakek, nenek, dan orang tua Molly Kecil dalam cerita itu membuatku terkagum. Sungguh cerita yang sangat kuat untuk menunjukkan betapa pentingnya memilih pasangan hidup yang tepat, karena pilihan itu akan berdampak langsung kepada anak-anak, cucu-cucu, dan generasi di bawah kita. Ketika ayahku meninggal, beliau tidak meninggalkan harta kekayaan yang berlimpah, tapi warisan iman dan kisah ketaatan yang sangat aku syukuri dan teladani. Pilihan yang salah akan mewariskan hal yang tidak baik, tetapi sebaliknya pilihan yang tepat akan mewariskan kekayaan iman yang luar biasa.

Mencari pasangan hidup bukan sekadar mencari orang yang akan hidup bersama kita, berbagi biaya kebutuhan hidup, atau bersih-bersih rumah bersama. Kita sedang mencari partner membangun Kerajaan Allah, teman menangis bersama melihat kondisi dunia yang sedang menuju kesudahannya, dan sahabat berdoa selamanya. Dan, mencari “teman hidup” ini tentu bukanlah proses asal-asalan. Pencarian yang bijaksana pasti akan menghasilkan temuan yang lebih berharga.

Bukan kutukan

Pelajaran berharga lainya yang aku peroleh dalam pergumulan itu adalah kesendirian, atau singleness bukanlah kutukan. Tidak salah jika kita ingin memiliki pasangan, tapi tidak seharusnya kita melihat pacaran atau pernikahan sebagai solusi akan rasa kesepian. Di luar sana, banyak orang yang memiliki pasangan tapi tetap merasa kesepian. Mengapa? Karena bukan pasangan yang akan membuat kita tidak merasa kesepian. Hanya satu Pribadi yang dapat mengisi rasa sepi dan kosong dalam hati setiap manusia: Yesus Kristus.

Bahkan, justru kesendirian atau singleness adalah pemberian (gift) dari Allah bagi kita yang saat ini masih sendiri.

If you are single today, the portion assigned to you for today is singleness. It is God’s gift. Singleness ought not to be viewed as a problem, nor marriage as a right. God in his wisdom and love grants either as a gift.

Terjemahan bebas: “Jika saat ini kamu masih sendiri, bagian yang Tuhan berikan kepadamu hari ini adalah kesendirian. Hal ini merupakan pemberian dari Allah. Kesendirian tidak seharusnya dilihat sebagai masalah, atau pernikahan sebagai hak. Allah dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya memberikan kedua-duanya sebagai pemberian.”

(dalam buku berjudul “Quest for Love” oleh Elisabeth Elliot sebagaimana dikutip oleh Stacy Reaoch dalam artikel berjudul “Singleness Is Not a Problem to Be Solved”).

Kebanyakan dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kita pasti akan menikah. Mungkin kita berpikir, “aku ingin memiliki pasangan, jadi Tuhan harus memberikannya kepadaku”. Kita menganggap bahwa memilki pasangan hidup adalah keharusan, dan menjadi kewajiban Tuhan untuk memberikannya kepada kita. Memang benar dalam Kejadian 2:18, Allah sendiri berfirman bahwa tidak baik bahwa manusia seorang diri saja. Namun hal ini tidak menjadi dasar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah keharusan dan Tuhan berkewajiban memberikan pasangan kepada kita semua. Bahkan dalam Matius 19:12, Tuhan Yesus sendiri berkata: “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Selain itu, Rasul Paulus sendiri tidak menikah (1 Korintus 7:8). Jadi jelas bahwa kesendirian/singleness (baik karena belum menikah maupun karena tidak menikah) bukanlah kutukan. Sebaliknya, kesendirian/singleness adalah pemberian yang baik dari Allah karena: “TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela” (Mazmur 84:12).

Mungkin hal ini sulit untuk diterima dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang menjadikan pernikahan dan keluarga sebagai bukti “keberhasilan”. Namun aku, dan kita semua, juga harus belajar menerima bahwa kondisi apapun yang Allah berikan bagi kita adalah pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Grace Rankin dalam artikel yang ditulisnya berjudul “Valentine’s Day for Single Christians”, menulis:

Think of this: even if we remain single for the rest of our lives here on earth, it is only a fraction of time compared to the eternity we will spend rejoicing in the presence of Christ, who we will know more fully through our pain and loneliness than we ever would have otherwise.

Terjemahan bebas: Coba bayangkan: bahkan jika kita tetap sendiri hingga akhir hidup kita di bumi, hal ini hanyalah bagian kecil dibandingkan dengan kekekalan yang akan kita lalui dengan bersukacita dalam hadirat Kristus, yang kita kenal lebih dalam melalui rasa sakit dan kesepian kita daripada yang pernah kita miliki sebelumnya.

Pada akhirnya, waktu kesendirian/singleness ini menjadi terasa terlalu kecil untuk kita permasalahkan dibandingkan dengan Cerita Besar Allah (God’s Great Story) yang sudah Dia persiapkan bagi setiap kita dengan begitu indahnya. Daripada kita menghabiskan masa kesendirian ini untuk meratapi kesepian, kita bisa menggunakannya untuk mengejar hadirat Sang Pencipta, menjalani hubungan pribadi dengan Tuhan yang lebih dalam, lebih memuaskan, dan lebih memuliakan Dia hari demi hari.

Kebahagiaan bukan diperoleh dengan menemukan pasangan hidup, melainkan menemukan kepuasan di dalam Juruselamat yang memanggil kita sebagai milik kepunyaan-Nya dan menjadikan kita anak Raja yang dikasihi.

“Ten thousand years from now, your marriage may be just a sweet, but short sticky notes in the massive filing cabinet of our happy marriage with Jesus. After centuries without any confusion or fear or sadness, how will you reflect on your days of heartache and loneliness here? The painful desires and waiting will still have been very real, but now small and insignificant compared with the perfect, seamless love and happiness we will enjoy forever.”

Terjemahan bebas: “Sepuluh ribu tahun dari sekarang, pernikahanmu mungkin terasa manis, namun hanyalah memo kecil dalam lemari arsip besar dari pernikahan bahagia kita dengan Yesus. Setelah berabad-abad tanpa kebingungan atau kekhawatiran atau kesedihan, bagaimana kita akan berkaca kembali pada masa-masa sakit hati dan kesepian kita saat ini? Rasa mengingini dan penantian yang menyakitkan akan tetap terasa begitu nyata, namun sekarang terasa begitu kecil dan tidak berarti dibandingkan dengan dengan cinta dan kebahagiaan yang sempurna dan tanpa batas yang akan kita nikmati selamanya.”

(Dalam Artikel “You Don’t Have to Get Married to Be Happy” oleh Marshall Segal)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Aku pernah tidak suka dengan rekan sepersekutuanku. Aku lalu membicarakannya ke temanku yang lain, hingga akhirnya aku sadar bahwa tindakan itu tidaklah sejalan dengan imanku.

Single? Be Max – Be You!

Oleh: Lauren Fransisca

Be Max Be U

Memasuki usia yang sudah “cukup”, sama seperti kebanyakan orang, aku juga ingin sekali memiliki pasangan. Aku adalah tipe orang yang punya banyak banget perencanaan. Sejak kecil aku bahkan telah merencanakan umur berapa aku ingin menikah dan dengan tipe pria seperti apa. Kebayang dong bagaimana galaunya aku ketika target waktu yang kutentukan sendiri hampir lewat dan aku masih saja berstatus jomblo. Apalagi, melihat orang-orang di sekitarku satu per satu memiliki pasangan. Bersyukur bahwa Tuhan menjaga hatiku untuk tetap memercayai waktu-Nya, sehingga kegalauanku gak sampai membuatku jadi asal “comot” pacar untuk menikah.

Pandangan populer memberitahu kita bahwa memiliki pasangan menjadikan hidup kita lebih lengkap. Benarkah demikian? Seorang teman bahkan pernah memberiku ide yang menurutku agak gila: “menikah saja dulu, toh kalo tidak cocok kan bisa cerai, daripada kamu ketuaan dan gak laku lagi…” Sepertinya pernikahan adalah segala-galanya, tujuan utama dari hidup ini. Aku balik bertanya: “kalau hanya untuk cerai, mengapa harus menikah?”

Apakah status kita yang single menjadikan diri kita lebih buruk dari orang lain? Tidak juga. Apakah kita yang single lebih tidak bahagia dibanding mereka yang sudah menikah? Tidak juga. Banyak orang yang pernikahannya bermasalah, karena memang punya pasangan itu tidak menjamin kita bahagia. Malah status single sebenarnya memberi kita banyak keleluasaan untuk bergaul, belajar hal-hal yang baru, mengenal banyak orang, melakukan berbagai hal yang kita sukai, bahkan mewujudkan impian-impian kita tanpa harus terbebani dengan urusan rumah tangga.

Aku suka membayangkan menjalani masa-masa sendiri itu seperti mendaki gunung. Adakalanya kita merasa lelah, capek, dan ingin menyerah, karena puncak gunung itu tak kunjung terlihat dan tidak ada orang yang memberi kita semangat. Adakalanya kita merasa kesepian dan iri dengan orang-orang lain yang hidup bersama di lembah-lembah. Namun, sebenarnya perjalanan itu membuat otot-otot kaki kita menjadi jauh lebih kuat, kita makin tegar dan tidak mudah menyerah. Lebih dari itu, kita dapat melihat pemandangan dari puncak yang tak dapat dilihat oleh orang-orang yang tinggal di lembah. Tuhan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktu-Nya. Jangan berusaha “mempercepat” waktu Tuhan dan sok mencoba “membantu”-Nya. Kita perlu bertanya, apa yang Tuhan ingin kita pelajari dan lakukan dalam masa-masa sendiri. Mungkin ada karakter yang perlu diperbaiki, ada ketrampilan baru yang perlu kita latih, ada pelayanan yang perlu kita kerjakan. Dan masa yang tepat untuk itu adalah ketika kita belum berumah tangga. Masa single bukanlah masa untuk mengasihani diri sendiri, tetapi masa untuk kita menjadi maksimal.

Seorang pendeta pernah berkata, “Jika kita tidak merasa utuh saat kita masih single, jangan pernah berpikir kita akan menjadi utuh saat kita berpasangan, karena hanya Kristus sendirilah yang dapat membuat kita menjadi utuh dan penuh.” Aku pikir itu benar sekali. Banyak pernikahan bermasalah karena orang berharap pasangannya dapat memenuhi semua kebutuhannya, membuatnya menjadi utuh dan penuh. Secara tidak langsung mereka berharap pasangannya menjadi “Kristus” bagi mereka. Lalu mereka kecewa, karena pasangannya ternyata hanya seorang manusia berdosa yang sama seperti dirinya. Pernikahan tidak pernah dimaksudkan Tuhan menjadi pusat hidup manusia. Ingat saja bahwa Adam pun tidak pernah meminta calon pasangan pada Tuhan, ia enjoy hidup dengan Tuhan. Tuhan sendirilah yang berinisiatif memberikan pasangan bagi Adam, untuk memenuhi tujuan-tujuan-Nya dalam dunia ini. Pernikahan dipakai Tuhan untuk menggambarkan hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya. Tuhan-lah yang seharusnya menjadi pusat segala sesuatu. Kita dapat menjadi pribadi yang utuh ketika kita menjalani hidup bersama Kristus.

Bila kamu juga adalah seorang yang masih single, daripada galau mikirin pasangan yang belum jelas, mending kita giat mengejar hidup yang maksimal di dalam Tuhan. Bertumbuh menjadi makin serupa Kristus. Kita bahkan bisa mendoakan juga “calon pasangan” kita, ──jika Tuhan mau kita menikah nanti──agar ia juga memiliki karakter yang sesuai dengan sifat-sifat Kristus.

Kadang aku pikir kita seperti anak kecil yang memegang kuat-kuat boneka kumal kesayangannya ketika diminta oleh sang ayah untuk diganti dengan yang baru. Kita suka memegang kuat-kuat rasa galau, takut, dan cemas, padahal Tuhan ingin kita menyerahkan semua itu di tangan-Nya untuk Dia gantikan dengan kedamaian, ketenteraman, dan sukacita. Bapa kita tahu kerinduan kita untuk memiliki pasangan, namun lebih dari itu, Dia juga tahu apa yang terbaik bagi kita.

So, still single? No problem. Kita bisa tetep happy selama kita hidup di dalam Kristus. Jadikanlah Tuhan sebagai pusat utama hidup kita, hal-hal yang lain akan menempati posisi yang semestinya. Jangan cemas dan galau hanya karena umur; bukankah lebih baik tidak menikah dibandingkan salah menikah? Bawalah semua perasaan galau kita kepada Tuhan dan biarkan Tuhan memulihkan hati kita. Bawalah kerinduan kita untuk memiliki pasangan kepada Bapa kita di surga. Dia mengerti dan senang ketika kita meminta kepada-Nya, karena kita adalah anak-anak-Nya. Namun, ingatlah bahwa Bapa juga tidak akan sembarangan memberikan apa yang kita minta, apalagi ketika kita belum siap, karena Dia yang lebih tahu apa yang terbaik bagi kita. Trust God, trust His time … Pakailah masa-masa single untuk bertumbuh maksimal di dalam Kristus, dibentuk menjadi pribadi yang memancarkan keindahan-Nya.