Posts

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Oleh Antonius Martono

Aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat sejak SMA. Sekarang sudah 10 tahun berlalu sejak kejadian itu. Aku merasa dalam waktu 10 tahun itu pribadiku telah diubahkan oleh Tuhan. Aku yakin akan hal itu. Sampai suatu hari, aku datang ke sebuah pertemuan dengan teman-teman SMA-ku dan mulai meragukannya.

Sebenarnya aku datang dengan sebuah antusiasme, berharap pribadiku yang telah diubahkan akan memberkati teman-temanku. Aku datang ke dalam pertemuan itu dan mulai berinteraksi dengan mereka. Aku senang, dan ternyata mereka masih teman-temanku yang lama. Gaya mereka berbicara, cara mereka bercanda, sikap serta karakter mereka, semua persis seperti yang terakhir kali kukenal.

Namun, melihat semua hal ini membuatku merenung. Jika teman-temanku sama seperti yang terakhir kali kukenal, apakah aku sendiri juga adalah orang yang sama dengan yang terakhir mereka kenal? Mungkin pengetahuan, pengalaman, kemampuan, pemikiranku telah berubah tapi, apakah aku adalah pribadi yang baru? Jangan-jangan aku hanya merasa telah berubah tapi, sebenarnya masih memiliki hati yang sama seperti yang terakhir kali aku SMA? Aku pulang dan pertanyaan ini membekas di dalam hatiku.

Selama beberapa hari aku menggumulkannya. Aku semakin meragukan perubahan hatiku ketika aku melihat kondisi hidupku. Ternyata banyak sekali yang belum berubah dalam diriku. Aku masih berjuang lepas dari beberapa dosa pribadi. Masih kesulitan membangun relasi dengan keluarga besar. Masih memiliki kebiasaan-kebiasaan lama yang merusak. Masih dalam status kehidupan yang sama juga. Meskipun telah berjuang masih jatuh lagi dan rasa sulitnya masih sama. Jadi apakah aku sebenarnya memiliki pribadi yang baru atau selama ini aku hanya memodifikasi kebiasaan saja? Jangan-jangan hatiku masih hati yang lama. Hanya saja bentuk dosa atau kebiasaan lamanya saja yang berubah.

Hal ini menggelisahkanku. Terlebih jika aku mengingat pesan Injil bahwa Tuhan telah memberikan hidup yang baru, hati yang baru, pribadi yang baru kepada anak-anak-Nya. Apakah pesan itu benar? Bagaimana aku bisa yakin bahwa aku telah lahir baru?

Akhirnya aku bercerita tentang kegelisahanku ini kepada seorang abang rohani. Dia mengatakan bahwa pertanyaan mengenai: apakah aku diselamatkan, apakah aku memiliki hati yang baru, bagaimana aku bisa hidup dengan benar sesuai yang Alkitab ajarkan adalah salah satu pertanyaan orang benar. Sebelum lahir baru, hati seseorang tidak gelisah saat melakukan dosa. Namun, berbeda ketika dia sudah lahir baru. Sedikit saja ketidaksesuaian antara realita hidup dengan kehidupan yang diajarkan Injil, maka hatinya akan gelisah. Peka akan dosa, gelisah karenanya, berkeinginan membuangnya adalah ciri hati yang baru.

Abang tersebut juga menambahkan, “Dalam sebuah peperangan pasti ada pertempuran-pertempuran kecil di dalamnya. Mungkin kamu tidak akan mampu memenangkan semua pertempuran melawan dosa dan kebiasaan lama. Namun, Kristus telah memenangkan peperangan dan memberikan kemenangan kepada kita. Kalah dalam satu pertempuran bukan berarti kalah perang. Bangkit lagi, tempur kembali, tidak menyerah, kita sudah menang perang!” Perkataan ini kemudian meredakan badai konflik batinku.

Dalam waktu-waktu diamku, aku juga diingatkan bagian khotbah dari seorang apologet. Dia berkata bahwa waktu adalah kuas bagi Allah, melukiskan mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia. Tuhan tidak bekerja seperti slot machine yang segera mengeluarkan solusi sesaat setelah koin dimasukan. Tuhan bekerja dalam waktu seperti seorang seniman yang melukis mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia.

Memang betul saat ini masih banyak pergumulan-pergumulanku yang sepertinya tidak memiliki kemajuan. Namun, jika aku mengingat ulang hidupku 10 tahun ke belakang dengan saksama, ternyata ada banyak sekali hal yang Tuhan ubahkan. Cara pandangku melihat beberapa hal dalam dunia ini sudah berubah. Aku yakin ini adalah pekerjaan Sang Seniman Agung. Melukis lewat kegiatan rutinku sehari-hari, bekerja diam-diam dalam waktu sekalipun aku tidak merasakannya.

Aku bersyukur dapat merenungkan perubahan hidupku di akhir tahun seperti ini. Mempersiapkanku untuk semakin mantap melangkahkan kaki memasuki tahun baru. Meyakinkanku bahwa Tuhan tetap bekerja dan peduli terhadapku. Sekalipun aku gagal bukan berarti aku kalah. Kegagalanku hari ini bukanlah akhir dari peperangan sebab kemenangan sudah diperoleh dalam nama Yesus Kristus.

Benarlah firman yang disampaikan nabi Yehezkiel, yang juga menjadi doaku selama ini:

“Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (Yehezkiel36:26-27)

Daripada aku, Tuhan jauh lebih merindukan perubahan terjadi di dalam hatiku.



Baca Juga:

Menemukan Kepuasan di Tengah Rutinitas Sehari-hari

Kita mendamba hidup yang menyenangkan, tapi kebanyakan dari kita malah hidup terjebak dalam rutinitas yang mungkin menjemukan. Bagaimana caranya agar kita bisa puas?

Berdamai dengan Diri Sendiri

Pernahkah kamu menolak dirimu sendiri?

Mungkin ketika nilai-nilaimu tak memenuhi keinginan orang tuamu? Karena teman-temanmu mengejek dan menertawakanmu? Atau, karena kondisi keluargamu tak sebaik keluarga orang lain? Dunia ini mengajari kita untuk selalu merasa tidak puas. Ibarat secarik kertas putih, kita dinodai oleh pandangan-pandangan buruk yang berkembang di sekeliling kita. Tanpa kita sadari, kita pun menolak diri kita.

Apa sih tandanya kalau kamu sedang menolak dirimu sendiri?

1. Kamu berjuang keras untuk membuktikan dirimu

Ada kutipan yang bilang: what doesn’t kill you, makes you stronger. Komentar-komentar buruk mungkin menjadi motivasi penggerakmu. Kata-kata itu melukaimu, tapi mendorongmu bangkit. Selembar kertas putih menyembunyikan wujudnya, mengenakan sehelai masker untuk menunjukkan senyum getirnya. Penolakan dari orang lain kamu jadikan pecut bagi dirimu sendiri, dan kamu paksa dirimu untuk selalu jadi orang yang lebih baik.

2.Takut melihat ke belakang

Menutup lembaran lama, sama sekali tak ingin menengoknya lagi. Ketika kenangan itu datang, ada narasi yang berbisik di hati: Kok aku bodoh banget sih? Kok aku jelek? Kok aku memalukan? Kamu melabeli dirimu dengan banyak hal negatif.

3. Tak bisa menilai diri dengan objektif

Semakin banyak informasi buruk diterima, semakin sulit kamu menilai dirimu dengan objektif. Kamu menganggap kamulah yang paling bodoh, paling jelek, paling suram di dunia ini

Namun, seiring kamu kelak mengalami proses pemulihan dari Tuhan, Dia membukakan pandanganmu untuk melihat betapa kamu telah menolak dirimu sendiri. Di hadapan tuntutan tinggi yang diterapkan oleh orang tua, sekolah, dan lingkunganmu, kamu mungkin tak mampu mencapainya. Akibatnya, kamu menolak dirimu, membandingkan dengan orang lain, dan merasa buruk. Perasaan-perasaan ini menekanmu sampai Tuhan akhirnya memberimu kelegaan.

4. Ketahuilah nilai dirimu yang sejati di hadapan Tuhan

1 Korintus 6:20 berkata, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Kita adalah ciptaan-Nya yang berharga. Tuhan mengerti dan menguatkan kita. Ingatlah siapa kita di dalam-Nya.

5. Serahkanlah segala kepedihanmu kepada Tuhan

Kuatkanlah hatimu, berdamailah dengan dirimu sendiri, dan serahkanlah segala luka masa lalumu pada Tuhan yang akan menolongmu keluar dari kegelapan.

Selamat Hari Ibu, Ayah!

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Timeline media sosialku hari ini penuh dengan foto ibu dan anak yang disertai kalimat-kalimat nan indah dan romantis. Wajar saja, karena hari ini adalah tanggal 22 Desember, hari ibu nasional di Indonesia. Aku menatap sekilas wajah-wajah yang tampak bahagia di foto mereka. Perasaanku pun jadi campur aduk.

Selama bertahun-tahun, aku selalu ingin menghindari tanggal 22 Desember. Rasa senang dan bahagia yang kurasakan hari itu bisa tiba-tiba menguap, berganti menjadi rasa hampa. Aku tidak pernah bisa memberi hadiah ataupun ucapan “selamat hari ibu” pada ibuku, karena sejak aku berusia 5 tahun, ibuku telah tiada. Aku pun akhirnya dibesarkan oleh ayahku, yang selama 17 tahun lebih selalu bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhanku secara material.

Tapi, mungkin karena dia terlalu sibuk, ayahku jadi lupa bahwa sebenarnya aku tidak hanya membutuhkan materi, tetapi juga kasih sayang dan perhatiannya. Setiap harinya, setelah mengantarkanku ke sekolah, dia mulai bekerja dari pagi hingga malam hari. Jika hari libur tiba, aku tidak bisa bertemu dengannya walaupun kami tinggal dalam rumah yang sama. Ayah sangat sibuk bekerja. Akhirnya, aku pun tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang penuh kepahitan karena kehilangan kasih sayang, kasih dari seorang ibu dan ayah.

Setiap kali ada orang yang dengan bangganya bercerita tentang ayah atau ibu mereka, aku merasa sedih sekaligus marah. Aku jadi bertanya-tanya: mengapa hidupku seperti ini? Mengapa aku tidak punya orang tua yang melimpahiku dengan kasih sayang? Mengapa Tuhan mengambil ibuku begitu cepat? Mengapa harus ibuku? Lalu, mengapa Ayah lebih memilih sangat sibuk bekerja? Kehausan akan kasih sayang tersebut membuatku mencari jalan sendiri untuk menemukannya di luar Tuhan, dan tentunya juga di luar rumah. Di usiaku yang beranjak remaja, aku pun terseret pada pergaulan yang salah dan pornografi.

Aku merahasiakan pergumulanku dalam-dalam. Tak ada seorang pun yang tahu. Akibatnya, aku menjadi orang yang berbeda antara di dalam rumah ataupun di luar. Sekilas, orang mengenalku sebagai anak perempuan yang baik, rajin ke gereja, dan cukup aktif melayani Tuhan. Mereka tidak tahu bahwa di balik aktivitas itu, imanku rapuh, semua aktivitas itu kumaknai sebagai sekadar rutinitas yang kulakukan semata-mata karena aku tinggal di tengah lingkungan orang Kristen.

Ketika mengikuti sekolah Minggu, guru sekolah Mingguku selalu berkata bahwa Allah adalah Bapa yang baik, Bapa yang mengasihi manusia, hingga melalui Yesus, Dia rela mati di kayu salib demi menebus dosa kita semua.

Namun, dengan semua pengalaman yang kualami, hal tersebut sangat tidak masuk akal buatku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa Bapa itu baik. Yang aku tahu itu memang Yesus adalah Tuhan, tapi sulit sekali untuk memanggil-Nya sebagai Bapa yang baik. Bagaimana mungkin Yesus bisa menjadi Bapa yang baik ketika Dia mengambil Ibu dari hidupku? Bagaimana mungkin Yesus menjadi Bapa yang baik ketika dia memberikanku ayah yang tak bisa memberi perhatian dan kasih sayang padaku. Bukankah katanya orang tua adalah wakil Allah di dunia?

Hingga aku beranjak dewasa, aku masih tetap ragu bahwa Tuhan adalah Bapa yang baik. Segala kepahitan yang tak terselesaikan di hatiku pun perlahan berubah menjadi dendam kepada ayahku. Aku membencinya karena dia tidak bisa memberikanku kasih sayang, juga tidak bisa menjadi pengganti ibu yang baik buatku.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku larut terus menerus dalam kepahitan ini. Melalui sebuah peristiwa di tahun pertama kuliahku, titik terang perubahan hidupku mulai terlihat. Dalam sebuah doa di acara KKR yang diselenggarakan oleh kampusku, aku mendengar suara-Nya berbisik lembut dalam hatiku. “Hai anakku, aku mengasihimu.” Aku coba menepis suara itu dan menganggapnya hanya halusinasiku saja. Tapi, suara itu terus memanggil dan memanggil, hingga di dalam pikiranku tiba-tiba terlintas sebuah ayat, “Hai anak-Ku yang Kukasihi, datanglah kepadaku, Aku akan memberikan kelegaan padamu.” Dengan gentar, aku berdoa dalam hati. Aku menangis dan dalam doaku aku memohon ampun karena selama ini, di balik aktivitas rohani yang kulakukan, aku enggan menerima Tuhan dalam hatiku. Kemudian, aku pun berkomitmen untuk sungguh-sungguh mengikut-Nya. Saat itu juga, aku merasakan ada kedamaian di dalam hatiku.

Sejak peristiwa itu, perlahan-lahan hidupku mulai berubah. Aku ditolong oleh kakak seniorku sebagai bagian dari pembinaan pasca KKR. Dia rutin menanyai keadaanku, juga mengajakku untuk berdoa bersama. Perlahan-lahan, aku jadi semakin tertarik dan haus akan firman Tuhan. Setiap hari aku menyirami jiwaku dengan firman-Nya melalui doa dan saat teduh. Saat imanku menjadi teguh di dalam Tuhan, aku pun dipulihkan dari pergaulanku yang salah dan juga dosa pornografi. Tapi, aku sadar bahwa iman dan semangatku pada Tuhan juga harus kuwujudkan dalam tindakan. Aku belajar untuk menerima kenyataan dan mengampuni masa laluku. Aku sadar bahwa kepergian ibuku saat aku masih kecil adalah bagian dari rencana Tuhan yang baik. Dan, tugasku adalah mengimani dan mengamini bahwa ada rancangan indah yang Tuhan sediakan untukku di masa depan (Yeremia 29:11).

Relasiku dengan ayahku yang retak selama bertahun-tahun pun mulai kuobati walaupun rasanya sangat sulit. Aku butuh waktu hampir satu tahun untuk benar-benar bisa memaafkan ayahku. Selama masa itu, minimal satu minggu sekali, aku coba untuk menelponnya dan mengobrol minimal satu menit. Awalnya sulit, tapi lama-lama aku jadi terbiasa. Lambat laun, obrolan singkat tersebut menjadi lebih panjang dan akrab, hingga akhirnya aku sadar bahwa selama ini cara pandangku terhadap ayah telah salah. Ayah punya cara tersendiri untuk menyayangiku. Mungkin Ayah adalah ayah jarang menyapaku, ataupun membelai rambutku. Tapi, dalam kerja kerasnya yang menyita waktu, dia bahkan selalu mengingatku dalam doa-doanya. Ayah tidak benar-benar meninggalkanku. Ayah mengutarakan bahasa kasihnya melalui peluh keringat dan perjuangan untuk memenuhi kebutuhanku. Ayah adalah ayah yang baik dan setia.

Ketika aku sadar akan peranan Ayah dalam hidupku, aku juga mulai belajar untuk menyebut Tuhan sebagai “Bapa yang baik” dalam doa-doaku. Tuhan adalah Bapa yang selalu membuka tangan-Nya lebar-lebar untuk memelukku yang dulu adalah anak terhilang. Bapa begitu menyayangiku, bahkan ketika aku memberontak terhadap-Nya.

Sekarang, ketika perayaan hari ibu nasional, aku tidak lagi berkecil hati. Tanggal 22 Desember tidak lagi menjadi hari yang ingin kuhindari. Di hari ibu ini, aku bukan saja ingin mengucapkan selamat kepada ibuku yang telah berada di surga, tetapi juga kepada ayahku.

“Selamat hari ibu, ayah terhebat! Ayah yang tidak malu untuk menjalankan peran seorang Ibu bagi anaknya. Ayah yang bekerja keras, berpeluh keringat, demi melihat anakmu berbahagia. Ayah yang terkadang harus pulang larut malam karena mencari pekerjaan tambahan. Anakmu ini pernah membencimu karena berpikir kalau Ayah terlalu menyayangi pekerjaan. Tapi, aku tidak sadar kalau Ayah selalu menyebut namaku dalam doamu. Aku mengasihimu Ayah. Terima kasih untuk kasihmu bagiku.”

Jika hari ini kamu masih bisa berkata “I love you” kepada ayah dan ibumu, lakukanlah itu sekarang, karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa terus hadir dan bersama-sama dengan mereka. Lakukanlah apa yang baik, yang berkenan kepada Tuhan dan yang menyenangkan hati mereka sebelum kesempatan itu hilang.

“Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:7-8).

Baca Juga:

Aku, Ambisiku, dan Rencana Tuhan

Aku adalah seseorang dengan ambisi selangit. Sejak SMA aku sudah menyusun setiap rencana kehidupanku di masa depan dengan detail. Namun, ketika ambisiku untuk meraih kesuksesan dijawab Tuhan dengan banyak kegagalan, di sinilah aku belajar bahwa ada satu hal yang kulupakan ketika aku begitu terobsesi untuk mengejar ambisi.