Posts

Apa yang Tuhan Lakukan Saat Aku Menantang-Nya?

Oleh Gabrielle Meiscova

“Ya Bapa, tolong.. Jika kau mengizinkan aku untuk menjadi seorang copywriter di sana, aku akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Mu dalam hidupku.”

Itulah permintaanku pada Tuhan, alias aku menantang-Nya dengan sebuah jaminan. Menulis untuk Tuhan. Itulah intinya. Sesuatu yang sekarang ini menjadi tujuan hidupku.

Sudah hampir setahun aku berusaha keras mencari pekerjaan. Ratusan CV yang kutebarkan via email atau website tak kunjung mendapatkan jawaban. Segala harapan yang tertulis di dalam CV tersebut biasanya hanya diakhiri dengan balasan rejection letter. Seketika aku menyetujui ungkapan dunia yang mengatakan bahwa hidup itu keras. Boleh dibilang, aku berada di posisi terendah dalam hidup, alias depresi.

Saat itu, aku berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan permintaanku agar dapat diterima kerja di salah satu perusahaan digital agency. Mengapa aku memohon pada Bapaku seperti itu? Karena aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku menyerahkan tubuh, jiwa, raga, dan impianku ke dalam tangan-Nya. Aku tidak sanggup mengerjakan semua ini seorang diri. Saat aku berserah pada-Nya, Ia mendengar keluh kesahku. Sang Bapa berbisik lewat pikiranku, dan tiba-tiba aku mengingat ayat emas dari Alkitab, yang menjadi pedomanku saat katekisasi.

“Karena itu Aku berkata kepadamu: Apa saja yang kau minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Markus 11 : 24).

Iman! Itulah yang menjadi permasalahanku selama ini. Sebelum Markus 11:24 menegurku, jujur saja, aku ragu akan karya Bapa yang akan digenapkan dalam hidupku. Aku sering mengatur Tuhan agar Ia memberikan pekerjaan sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa mempercayai dan mengimani kalau Tuhan akan memberikannya padaku di saat yang tepat, di waktu yang tepat. Saat itu, aku tidak ingat kalau keimananku pupus ditelan kebisingan dunia, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di sosial media. Aku dibutakan oleh Iblis lewat quotes di media sosial, kalau hidup ini adalah milikku sendiri dan akulah yang harus mengatur hidupku akan berjalan ke arah mana. Aku tidak sadar kalau Tuhan yang rela mati di kayu salib untuk menebus dosaku adalah pemilik kehidupanku selama ini. Ia pun tidak akan meninggalkan anak-Nya berjalan sendirian.

Ada sebuah gambar yang kutemukan di explore Instagram, di mana ada seorang anak kecil yang sedang melukis sebuah tulisan PLAN bersama dengan Tuhan di sampingnya. Gambar itu memberikan kesadaran dalam diriku, kalau selama ini Tuhan bekerja dalam hidupku, dan aku sendiri memiliki tugas untuk membangun masa depanku bersama dengan-Nya. Selama ini, aku tidak melibatkan Tuhan dalam setiap rencana yang kubuat untukku dan masa depanku. Aku sungguh egois dan berpikiran sempit kala itu. Saat aku sadar akan kesalahanku selama ini, aku meminta pengampunan dari Tuhan, lalu Ia menjawabnya lewat sebuah ingatan dari kalimat yang pernah kubaca dalam sebuah buku, sebagai berikut. “Saat pertama kali main sepeda, kita pasti pernah terjatuh sehingga pengalaman saat terjatuh itulah yang membuat kita ingin terus mencoba mengayuh sepeda sampai berhasil mengendarainya.”

Tuhan mengampuni aku yang tidak beriman pada-Nya, dengan memberikan pemahaman bahwa tak apa jika kita terjatuh, sebab Ia sendiri yang akan menolong. Saat jatuh pun, Tuhan akan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk kita. Kadang manusia memang harus terjatuh, agar ia bisa menyadari kalau tangan Tuhan senantiasa terulur untuk orang yang meminta pertolongan-Nya.

Dalam Matius 14:22-33, diceritakan bahwa Petrus yang adalah salah satu dari ke-12 murid Yesus, pernah menantang-Nya agar ia bisa berjalan di atas air, saat para murid mengira bahwa Ia adalah hantu. Pada ayat 28 tertulis, “Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia : Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Tak disangka-sangka, Tuhan Yesus malah menyuruh Petrus untuk berjalan di atas air, walaupun pada akhirnya sang murid menjadi takut dan mulai tenggelam, hingga akhirnya Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya untuk menolong Petrus. Kisah ini mengingatkan aku pada diriku sendiri, saat aku menantang Tuhan untuk memberikan pekerjaan sebagai copywriter itu padaku.

Saat aku mengerti apa yang diinginkan Tuhan dalam hidupku, segalanya terasa lebih mudah. Aku jadi banyak mengucap syukur atas berkat yang Ia berikan, dan saat aku mempertaruhkan masa depan pekerjaanku kepada-Nya dengan jaminan akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Nya, Ia memberikan pekerjaan itu padaku. Tuhan mengizinkan aku untuk melayani-Nya lewat tulisanku.

Aku masih harus banyak belajar, khususnya dalam menulis, tapi aku sudah sadar kalau pekerjaan yang kulakukan bersama dengan Tuhan akan berjalan secara maksimal, saat aku melibatkan-Nya dalam tiap tulisanku.

“Allah sanggup melakukan segala perkara. Dulu, sekarang, dan selamanya kuasa-Nya tidak berubah.”

Ya Tuhan, ajar aku memiliki kepekaan untuk mengerti apa yang Kau kehendaki dalam hidupku. Tetaplah bimbing anak-Mu ini untuk terus menjalani hidup ini sampai menuju kekekalan bersama dengan Engkau, ya Bapa.

Drama Skripsi dan Wajah-wajah yang Menopang

Oleh Alvianus Gama

“Alex!”, sahut mamaku dari arah kamarnya saat aku sedang bergegas menaiki tangga ke kamarku di lantai atas.

“Ya Ma, kenapa?”, jawabku pendek.

“Mama mau ngobrol dulu bentar”, jawab mama dengan muka yang terlihat serius.

Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa gerangan?

“Mama sama papa udah sebulan ini berdoa tiap malem buat kuliah kamu. Tapi setiap kali berdoa kok rasanya nggak damai ya, jadi mama mau nanya langsung aja ke kamu, sebenarnya kuliah kamu tuh gimana? Coba cerita dong…”, kata mamaku penuh harap.

Aku tertunduk diam. Ini adalah pertanyaan yang paling aku takutkan selama ini. Takut akan konsekuensi yang akan aku hadapi nanti.

Mamaku adalah seorang ahli hukum yang sukses dalam pekerjaannya. Ia seorang yang antusias dan penuh semangat, selalu memotivasi aku dan kakakku untuk maju dalam segala hal. Dalam kesibukannya bertemu dengan klien setiap hari, ia selalu bisa menyisihkan waktu untuk memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan papaku adalah seorang yang berpendirian keras dan berkemauan kuat, yang mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri. Papa adalah sosok ayah yang selalu menemukan berbagai macam cara untuk memperbaiki peralatan rumah yang rusak, mulai dari meja yang patah kakinya, keran air yang bocor, hingga mobil yang mogok, atau motor yang rusak. Agaknya inilah yang membuatku lebih mudah untuk bercerita kepada mama untuk segala urusan, termasuk kuliahku. Cerita ke papa? Hmmm nanti dulu.

“Gimana Lex? Ayo cerita dong…”, ujar mamaku menantikan jawaban.

Aku menghela nafas panjang. Susah rasanya untuk membuka mulutku dan mulai cerita. Saat itu, aku seolah tak punya alasan lain untuk menghindar dari pertanyaannya selain menarik tangan mamaku dan mengajaknya ngobrol di kamarku. Di dalam kamar pun, aku tetap sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku dalam kata-kata. Di momen-momen sunyi yang menyiksa itu, tanpa aku bisa kuasai, air mata mengalir begitu saja. Aku lihat mama menatapku heran, menyaksikan anak laki-lakinya terisak sambil menunggu penjelasan.

”Kenapa kamu nak? Coba jujur aja, cerita ke mama, gimana sebenarnya?” ujarnya lembut sambil memegang tanganku erat.

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha menenangkan hati dan emosiku. Dengan nafas yang tak beraturan, aku mulai menceritakan pada mamaku bahwa sebenarnya sudah 2 tahun ini aku menelantarkan kuliahku. Selama ini aku berbohong pada mamaku terkait kuliahku.

Aku tertunduk malu dan berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan langsung mamaku. Perlahan aku bisa mendengar mamaku juga ikutan menangis. Ia tampak begitu terpukul dan nggak percaya kalau anak yang selama ini dia banggakan, yang punya IPK bagus dan di atas rata-rata teman kuliahnya, anak yang nyaris nggak pernah punya masalah, tiba-tiba membawa kabar yang tak pernah ia sangka-sangka, seperti mendengar suara geledek di siang bolong.

Sejak 2 tahun yang lalu, aku sebetulnya sudah masuk dalam semester akhir dari kuliahku dan menurut hitungan waktu, aku seharusnya sudah menyelesaikan skripsiku di paruh kedua tahun 2020. Tapi pada kenyataannya, alih-alih membereskan skripsi, untuk sekadar memilih topik dan menentukan judul pun belum aku lakukan. Sudah hampir 4 semester ini aku nggak bayar uang kuliahku. Parahnya lagi, kalau ditanya terkait uang kuliah, aku selalu menemukan cara untuk berbohong bahwa aku sudah membayarnya, padahal belum aku bayar dan ngga ada satu pun terkait skripsiku yang aku kerjakan. Entah kenapa, untuk urusan skripsi ini, aku ngerasa nggak bisa, aku frustasi. Aku merasa stuck di program studi yang aku pilih ini. Semua ini terasa mudah aku lakoni karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa semua perkuliahan dan tugas akhir dilakukan secara daring, sehingga tidak ada kecurigaan sedikitpun dari mamaku karena aku tidak perlu lagi pergi ke kampus, hanya diam di kamar seolah-olah sedang mengikuti perkuliahan secara daring.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku terdalam, aku sangat menyukai pelajaran bahasa lebih daripada program studi Akuntansi yang aku ambil sekarang. Bahkan dalam masa-masa awal perkuliahan, aku sudah membayangkan untuk menjadi ahli bahasa, bertemu, bernegosiasi dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Dalam hati, aku pun bertekad untuk pindah jurusan ke program studi bahasa dan memulai dari awal. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku untuk aku lakukan ke depan.

Dan kalau aku ingat lagi, beberapa bulan sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi, aku pernah mengikuti tes minat dan bakat untuk mengetahui program studi mana yang cocok buatku dan menurut hasil tes, aku cocok untuk masuk program studi Akuntansi karena aku terbukti jago dengan angka-angka. Entah kenapa, setelah 4 tahun aku jalani perkuliahan ini, aku benar-benar merasa telah salah memilih program studi. Bukan ini yang aku sukai. Bukan ini Tuhan.

“Selama ini mama pikir kalau kamu sedang nyelesain skripsi, karena kamu yang bilang gitu kan ke mama!” ujar mamaku melanjutkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku terdiam membisu. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Mama yang selama ini tegar dan bersemangat, saat itu kulihat menutupi mukanya dan berulang kali menyatakan ketidakpercayaannya akan berita yang ia terima. Ia mencoba membujukku untuk tetap meneruskan studiku karena sudah kepalang tanggung, tinggal menyelesaikan skripsi saja, tapi aku bersikukuh dengan keinginanku untuk pindah jurusan. Kami pun bersitegang mengenai masalah ini dan sore itu berlalu tanpa ada jalan keluar. Kami menyudahi pembicaraan tanpa ada keputusan apa-apa. Sore yang dingin.

Tanpa kusangka, keesokan sorenya, aku dikejutkan dengan berita yang aku terima. Tanpa sepengetahuanku, setelah berdiskusi dan meminta saran dari beberapa anggota keluarga, mamaku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berkonsultasi dengan ketua program studi. Ia mencoba untuk mengajukan permohonan agar skripsiku dapat diberi perpanjangan waktu. Mengetahui hal ini, tentu saja membuatku mengamuk. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Aku merasa seolah-olah mamaku tidak mendengar sama sekali keluhanku selama 2 tahun ini. Aku sudah bilang aku nggak sanggup, tapi kenapa tetap memaksakan keinginan ini?

Mama mencoba meyakinkan aku kalau Tuhan yang kasih jalan untuk aku mendapat perpanjangan waktu, artinya Tuhan akan membantuku untuk menyelesaikannya. Di sisi yang lain, aku jadi bertanya-tanya, bukankah itu artinya Tuhan tidak mendengar doaku buat pindah program studi? Apa Tuhan pun nggak melihat kalau aku nggak sanggup? Aku speechless.

Keesokan harinya, mama kembali mendatangi kamarku untuk menanyakan keadaanku. Ia khawatir dengan reaksiku kemarin setelah aku meluapkan kekesalan dan amarah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya agar aku dapat menyelesaikan kuliahku saat ini. Ia mengingatkanku akan semua perjuangan yang sudah aku lakukan, mulai dari awal perkuliahan hingga kerja praktek. Ia memintaku untuk belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.

Ada satu kalimat yang hingga saat ini aku ingat, yang berkata bahwa kalau Tuhan sudah menolongku hingga sejauh ini, Tuhan juga akan menolong menyelesaikan perjalanan ini. Agaknya Tuhan mulai melembutkan hatiku saat itu. Amarahku mereda dan aku mulai mencoba untuk melihat masalah yang kuhadapi dari sisi lain. Aku sadar aku begitu egois dan ingin menang sendiri. Aku pun tahu mama bukan orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Ia orang yang fair, berani mengakui kesalahannya dan selalu berterus terang kepada anak-anaknya.

Yang lebih membuatku semakin menyadari bahwa Tuhan mendengar doa dan usaha mamaku adalah ketika aku diberitahu bahwa pihak Fakultas akan berusaha sebisa mungkin agar aku bisa kembali mendapat kesempatan menyelesaikan skripsi yang sudah tertunda selama 2 tahun. Yang membuat terheran-heran, semua urusan itu bisa diselesaikan hanya dalam satu hari saja, padahal selama 2 tahun statusku tanpa kabar itu aku yakin akan berakhir dengan keputusan DO dari kampus.

Saat ini aku merasa senang dan bersemangat. Walaupun papa dan kakakku tidak mengutarakan perasaan mereka, tapi mereka menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampaknya ingin berbuat sesuatu untuk menyemangatiku, dengan cara mereka sendiri. Aku merasa didukung dan ini semakin membesarkan hatiku. Setiap babak baru dalam perjalanan hidup kita berisi tanda tanya dan ketidakpastian. Kita jadi ragu-ragu dan takut. Pada saat seperti ini aku ingat pemazmur yang berbisik meminta topangan dari Tuhan,”Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu…” (Mazmur 119:16).

Saat tulisan ini dibuat, pihak fakultas memberiku 3 bulan waktu perpanjangan agar aku bisa menyelesaikan skripsiku. Berita baiknya lagi, aku bisa mendapat pembimbing skripsi yang aku idolakan selama ini, dosen yang sangat menolong dan memotivasi aku untuk menyelesaikan skripsiku. Aku merasa seperti seorang pendosa yang mendapat anugerah pengampunan yang besar dari Tuhan. Aku tahu ini memang saat-saat yang berat dan penuh perjuangan, tapi aku siap memulai kembali dan aku tahu Tuhan akan menyanggupkan aku. Mungkin perjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini hanya 3 bulan saja, tapi perjalanan hidupku masih puluhan tahun ke depan. Akan jadi apa aku nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidupku?

Saat aku bingung, bimbang, dan takut, aku teringat wajah-wajah yang menopang aku. Wajah mama, wajah papa, wajah kakakku dan orang-orang yang mengasihiku. Aku semakin mantap. Terima kasih Tuhan untuk mereka. Terima kasih Tuhan untuk kasihmu.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya” –Mazmur 37:23-24.

Manisnya Kisah Hidup Maudy Ayunda: Jangan Lupa Kalau Hidupmu Juga Manis

Oleh Agustinus Ryanto

Warganet gempar. Bukan karena ada bencana atau peristiwa politik akbar, melainkan karena sosok selebriti tanah air, Maudy Ayunda, tahu-tahu menikah. Maudy secara tersirat sering dianggap sebagai role model kehidupan yang diidam-idamkan oleh banyak orang: berpenampilan menarik, wajah rupawan, seorang intelek, berbakat seni, dan yang teranyar dia menikahi seorang oppa.

Maudy yang lahir pada tahun 1994 memulai karier awalnya di dunia hiburan lewat film Untuk Rena pada tahun 2005. Setelahnya, Maudy tetap aktif membintangi sejumlah film sembari meneruskan studinya sampai lulus S-2 dari Universitas Stanford pada 2021. Di tahun yang sama, Maudy juga masuk ke dalam nominasi 30 orang di Asia yang berpengaruh di bawah usia 30 versi Forbes Asia.

Berita pernikahan Maudy yang bermula dari unggahan fotonya di Instagram dengan cepat menyulut skill investigasi netizen, terkhusus di Twitter. Maudy Ayunda segera menjadi trending topic dengan perhatian utama pada sosok siapa sebenarnya suami Maudy, bagaimana sepak terjangnya, agamanya, dan hal-hal personal lainnya. Tapi, tak sedikit pula yang mengungkapkan perbandingan: “Duh, enak banget ya jadi Maudy…”

Imaji kita akan sosok idaman nan ideal

Membanding-bandingkan diri adalah respons alamiah dari manusia. Setiap kita, secara sadar ataupun tidak, sering membanding-bandingkan diri. Meski komparasi pada level tertentu bisa mengubah cara pandang kita menjadi toxic, tetapi pada sisi lain perbandingan bisa mendorong kita berkompetisi atau meniru seseorang dengan tujuan meningkatkan kualitas diri.

Namun, kadang kita tak tahu atau tak sadar akan di titik mana perbandingan itu harus berhenti kita lakukan. Ketika membandingkan diri dengan seseorang, ada banyak sekali faktor yang menjadikan perbandingan kita tidak sepadan atau apple-to-apple. Sebagai contoh, jika kamu adalah seorang mahasiswa dengan uang saku kurang dari 1,5 juta setiap bulan, kuliah di kampus swasta biasa, menurut data dari Asian Development Bank mungkin kamu termasuk ke dalam kelompok penduduk kelas menengah yang secara posisi ada di tengah-tengah: tidak sekaya para pemilik modal, tetapi berkecukupan walau mungkin juga terasa banyak kurangnya. Imaji untuk membeli barang-barang mewah, studi di kampus beken luar negeri, sukses gemilang, dan hidup nyaman seperti para influencer, mungkin bisa juga terwujud dalam hidupmu, tetapi perlu effort yang besar (terlepas faktor hoki) yang belum tentu hasilnya akan sama dengan apa yang diidamkan.

Kita cenderung mengidolakan sosok yang menurut kita lebih daripada kita. Entah dalam hal karier, status sosial-ekonomi, atau bahkan kerohanian. Kecenderungan itu lantas membuat kita samar terhadap kelemahan yang juga dimiliki oleh sang idaman, yang jika kita tidak bijak bukannya membuat kita jadi terpacu semangatnya, malah jadi minder.

Membandingkan diri kita akan sosok lain yang menurut kita lebih ideal dan manis hidupnya bukanlah sebuah kesalahan, tetapi kita perlu selalu mengingat bahwa sosok yang kita bandingkan pun adalah manusia berdosa, sama seperti kita. Setiap manusia di bawah kolong langit diciptakan serupa dengan gambar Allah (Kejadian 1:26-27), namun kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan setiap orang kehilangan kemuliaan Allah dan menanggung banyak kelemahan. Hidup kita yang sekilas tidak seberuntung orang lain bukan berarti hidup kita penuh kepahitan. Kebenaran ini dapat menolong kita untuk melihat sosok idaman kita dari perspektif yang benar dan tidak mengagungkan mereka secara berlebihan.

Sukses kita adalah menggenapi panggilan-Nya

Lantas, jika hidup kita saat ini terasa biasa-biasa saja, apakah bisa menggapai yang namanya sukses?

Jawabannya: tergantung sukses seperti apa yang kita idamkan. Jika kita adalah seorang karyawan swasta dengan jabatan biasa tapi berambisi ingin jadi seperti influencer yang suka membikin es krim aneka rasa, yang kekayaannya sepertinya tak berseri, maka jawabannya: bisa-bisa saja! Tergantung usaha kita. Namun, ada pertanyaan yang lebih krusial daripada siapa dan seperti apa sukses yang ingin kita raih, yaitu: untuk apa segala kesuksesan itu nantinya jika berhasil kita raih?

Dalam Alkitab, kita mengenal kisah Musa yang diutus Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Ketika panggilan mulia ini datang, Musa menolak. “Ah, Tuhan. Aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Keluaran 4:10). Allah menjawab Musa dengan memberi pengertian bahwa Dialah yang berkuasa dalam melakukan perubahan. “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN?” (ayat 11).

Musa merespons Allah dengan berkelit lagi, “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus” (ayat 12). Allah murka terhadapnya dan memberikan penegasan bahwa Dia “akan menyertai lidahmu [Musa] dan lidahnya dan mengajarkan kepada kamu apa yang harus kamu lakukan…” (ayat 13). Yang menarik dari kisah Musa adalah meskipun dia memang memiliki kekurangan dan minder, itu tidak menghalangi Allah dalam mengutusnya. Segala keterbatasan Musa bukanlah kesalahan Allah, tetapi dalam kelemahan Musa kuasa Allah pun dinyatakan. Kelemahan seseorang tidak menjadi penghalang bagi tergenapinya pekerjaan Tuhan. Nama Musa tetap dikenal sampai sekarang sebagai tokoh besar yang memimpin Israel keluar dari tanah Mesir.

Sebagai orang Kristen, panggilan kita adalah menerangi dunia dan memberi rasa di dalamnya, sebab kita adalah garam dan terang (Matius 5:16). Panggilan ini bisa kita wujudkan tanpa perlu menunggu saldo di rekening menjadi sekian digit, mendapatkan pasangan hidup yang rupawan dan hartawan, atau menunggu pengikut kita di Instagram jadi sekian ribu. Allah mungkin tidak berbicara secara langsung seperti Dia berkomunikasi dengan Musa, tetapi melalui Alkitab yang adalah firman-Nya, setiap kita dipanggil untuk menggenapi rencana-Nya dari aspek yang paling sederhana dalam hidup (Kolose 3:23). Dalam upaya dan panggilan tersebut, ada janji yang Tuhan pasti nyatakan bahwa kita dipelihara-Nya (Mazmur 23:1, Matius 6:34).

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku (Bagian 2)

Oleh Cana

“Wah, setelah 3 tahun tidak bekerja akhirnya aku dapat pekerjaan! Aku senang kegirangan karena namaku muncul di pengumuman final CPNS 2021.”

Sekitar tahun 2019, tepat tiga tahun yang lalu aku menulis artikel pertamaku di WarungSaTeKaMu dengan judul “Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku”. Jika menengok di masa itu, sungguh sulit untuk menerima semua hal yang tak sesuai harapan. Aku yang saat itu bekerja di sebuah universitas swasta ternama terpaksa tidak bisa mengajar hingga akhirnya bekerja dengan posisi staf administrasi. Aku sungguh merasa tertolak dan sempat berpikir mengakhiri hidup. Setahun kemudian, kontrak kerjaku pun tak dilanjutkan oleh pihak kampus. Aku pengangguran dan tak terasa tiga tahun sudah aku tidak bekerja pada suatu instansi atau lembaga (meskipun sekarang aku telah jadi ibu rumah tangga). Selama itu juga aku terus bergumul dan merenungkan apakah Tuhan akan memberikan kesempatan lagi untuk dapat bekerja? Dan apakah aku memang dipanggil bekerja sebagai dosen?

Melalui pengalaman sebelumnya yang sungguh sangat tidak mudah dilewati, Tuhan mengajariku tentang nilai diri yang sejati dan sebuah sikap rendah hati. Dengan latar belakang pendidikanku dan segala pencapaian yang telah aku peroleh, aku merasa sangat bernilai dan berharga. Bahkan saat diterima di universitas ternama ini aku merasa sangat bangga dengan diriku… namun Tuhan sungguh baik karena Dia memproses dan mengajariku bahwa nilai diriku tidaklah ditentukan dari pekerjaanku.

Perjalanan karierku mengharuskanku mengalami jatuh bangun dan penuh dengan air mata. Namun, dari sinilah aku belajar bahwa nilai diri yang sejati tidak seharusnya dilekatkan pada sebuah prestasi atau posisi. Sebelumnya, pekerjaan bagiku adalah sebuah prestasi dan pencapaian. Jika aku memiliki posisi di pekerjaan yang bagus maka aku merasa berharga, bernilai dan berguna. Akan tetapi, jika tidak maka sebaliknya—aku akan merasa tertolak. Melalui proses itu, aku belajar bahwa pekerjaan seharusnya dipandang sebagai sebuah “kendaraan” untuk membantu kita sampai ke tujuan yaitu melakukan visi atau panggilan-Nya bagi kita.

Aku pun akhirnya mengerti bahwa pekerjaan seharusnya bisa dipandang sebagai sebuah anugerah (pemberian dari Tuhan) sehingga aku tak perlu merasa minder atau super. Minder karena merasa tidak mampu dan tak layak mendapatkan pekerjaan ini atau super karena merasa sangat mampu dan arogan. Status pekerjaan nyatanya adalah sebuah kondisi yang bisa sangat mudah berubah dan dinamis. Mungkin karena pergantian atasan atau kondisi pandemi seperti sekarang ini. Jadi sudah selayaknya kita tidak melekatkan nilai diri kita padanya.

Setelah lama tidak bekerja, aku memberanikan diri untuk melamar sebagai dosen CPNS 2021. Tahapan dan seleksi demi seleksi kulalui. Tentu masih diwarnai dengan perasaan yang pesimis dan tak berani berharap banyak. Namun aku mencoba untuk berusaha semaksimal mungkin menggunakan waktu yang ada untuk belajar dan berserah pada-Nya. Pengumuman final pun keluar dan namaku adalah salah satu yang muncul.

Sungguh aku merasa terkejut, tak percaya, bingung, bersyukur dan senang. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa menjadi salah satu peserta yang diterima di seleksi CPNS kali ini. Mengingat sudah tiga kali aku mencoba tes CPNS, namun berakhir gagal. Namun, kali ini aku diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk memiliki “kendaraan” agar bisa berjalan menuju panggilan-Nya bagiku—untuk mengajar orang lain, menanamkan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan firman-Nya bagi peserta didik. Dengan pekerjaan di tempat baru ini pun, aku ingin terus belajar pada-Nya tentang nilai diri yang sejati dan rendah hati. Dan seperti yang dikatakan dalam firman-Nya “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).

4 Mitos Tentang Jadi Orang Pilihan Tuhan

Oleh Philip Roa, Filipina
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Myths About Being Chosen By God

Ketika aku pertama kali jadi pengikut Kristus, hidupku berubah total. Sebelumnya, aku kecanduan pornografi selama 7 tahun, namun oleh anugerah Tuhan sajalah aku bisa bertobat dan beriman pada Tuhan Yesus.

Dalam satu tahun hidup baruku, aku pindah ke gereja baru di mana aku melayani sebagai pemain drum, dimuridkan dalam kelompok sel, dan tak berselang lama jadi ketua komsel. Saat itu semangatku berapi-api. Aku merasa inilah jalan yang Tuhan telah tetapkan, bahwa Dia memilihku dan menolongku bertumbuh secara rohani.

Namun, tahun-tahun setelahnya kondisi kerohanianku mulai menurun. Kontrak kerjaku tidak diperpanjang, aku pun menganggur. Aku sempat salah mengelola perasaanku dengan seorang perempuan dari persekutuan pemuda. Waktu itu aku tidak paham betul apa yang jadi niatku. Dua kejadian ini menjatuhkanku dalam depresi yang akhirnya menarikku keluar dari pelayanan.

Saat itu yang kupikirkan hanyalah: Aku menyerahkan hidupku dan membiarkan Tuhan bekerja. Aku ikut tuntunan-Nya! Tapi, kenapa sekarang hidupku hancur?

Aku berharap aku tahu lebih banyak saat aku masih muda, tapi tidak ada kata terlambat. Inilah empat mitos tentang menjadi orang yang dipilih Tuhan. Mitos ini tentu harus kita buang.

Mitos 1: Saat ikut Tuhan, kamu pasti segera mencapai tujuanmu

Cerita bagaimana aku bisa bertobat adalah kisah yang indah dan emosional. Aku diajar untuk berserah pada Tuhan dan Dia akan membimbing kita pada “jalan terbaik”. Dari pengalamanku bergereja di awal, topik tentang penderitaan dan pencobaan tidak banyak dibahas (tentunya topik khotbah selalu berubah-ubah tiap tahunnya). Tapi, ketika kesaksian dari orang Kristen yang lebih senior hanya berfokus tentang kemenangan dan berkat-berkat dari Tuhan, rasanya seperti mereka sedang menanamkan pemahaman begini: Bertobat dan berikan semuanya buat Tuhan, dan Dia akan membuat semua jalanmu gampang! Gak bakalan stres, atau kekacauan!

Mitos ini perlahan pudar ketika aku membaca kisah Yusuf.

Yusuf berubah nasib, dari anak kesayangan menjadi budak yang dijual oleh kakak-kakaknya. Tapi dari situlah kisahnya dimulai. Yusuf jadi orang kepercayaan Potifar, lalu masuk penjara karena dituduh oleh istri tuannya. Kelak dia jadi kepala penjara dan akhirnya menjadi seorang pemimpin di Mesir sebagai orang kepercayaan Firaun.

Semua proses itu memakan waktu 13 tahun tanpa sedikit pun Yusuf tahu akhir dari penderitaannya. Ketika ayahnya meninggal dan saudara-saudaranya mengira Yusuf akan balas dendam, Yusuf malah berkata bahwa meskipun mereka melakukan yang jahat, Tuhan mengubahkan untuk kebaikan (Kejadian 50:18-21).

Kisah Musa adalah contoh lain. Ketika Musa dipanggil Allah untuk membawa umat-Nya keluar dari Mesir (Keluaran 3:7-10), dia berada ribuan kilometer jauhnya, bersembunyi di tanah asing, karena dia membunuh seorang prajurit Mesir. Dia berubah dari seorang pangeran menjadi gembala.

Meskipun Musa memang bersalah hingga dia pun melarikan diri, Tuhan tetap memeliharanya, dan kelak memangilnya untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir.

Dipilih Tuhan tidak selalu berarti kamu segera meraih apa yang kamu cita-citakan. Kadang, seperti Yusuf dan Musa, penurunan pangkat atau status diizinkan terjadi agar kita belajar rendah hati dan memahami bahwa hanya oleh kuasa Allah sajalah kita bisa melangkah maju.

Mitos 2: Keterampilanmu akan menentukan tugas panggilanmu

Kita berpikir bahwa dipilih Tuhan berarti menggunakan talenta yang Dia berikan pada kita untuk kemuliaan dan tujuan-Nya. Jadi, sangatlah masuk akal kita ingin memaksimalkan bakat atau talenta yang sudah Dia berikan untuk melayani-Nya.

Tapi, ada waktu-waktu ketika Tuhan memanggil kita untuk melakukan lebih jauh daripada kemampuan kita, semata-mata agar kemuliaan-Nya dipancarkan, bukan kita.

Kisah Gideon adalah contoh yang baik (Hakim-hakim 6:11-40;7). Gideon sedang mengirik gandum di tempat pemerasan anggur—tugas yang dia lakukan selagi bersembunyi—ketika Tuhan memanggilnya untuk menjadi pemimpin Israel. Sebagai anak bungsu dari suku terkecil, Gideon tidak dilengkapi dengan skill kepemimpinan. Dia bahkan menguji Tuhan tiga kali untuk membuktikan itu perintah sungguhan. Namun, Gideon tetap taat dan Tuhan memberikan kemenangan pada Israel melalui Gideon.

Ketika Tuhan memanggil dengan jelas, percayalah Dia akan memberikan apa yang kamu butuhkan untuk melakukan pekerjaan-Nya.

Mitos 3: Kamu akan menyukai semua yang kamu lakukan

Menjadi orang yang dipilih Tuhan berarti kita akan menikmati semua yang kita lakukan, betul?

Ketika aku masih remaja, aku ingin kuliah di bidang seni, dan barulah di masa-masa kuliah aku tahu kalau yang aku inginkan itu keterampilan menulis. Kurasa itulah panggilanku karena aku merasa tertarik dan mendapat nilai bagus dari dosenku.

Namun, pengalaman di awal itu tidak banyak menolongku di karierku. Tempat kerjaku menyuguhkan realita pahit: gaji kecil, tidak banyak benefit, jam kerja yang berlebihan. Generasiku berkata, “Kejar apa yang jadi passionmu dan kamu tak perlu lagi bekerja satu hari pun di hidupmu.” Motto itu menyatu dengan gagasanku tentang bagaimana panggilan Tuhan bekerja. Kurasa, ya memang di sinilah aku dipanggil untuk mengejar impian dan panggilanku. Tapi, mengapa setiap hari terasa seperti siksaan?

Kisah Yunus, meskipun terjadi pada keadaan yang berbeda, mengajariku perspektif lain. Yunus ditugaskan untuk berkhotbah menyampaikan pertobatan pada Niniwe, yang mungkin bagi kita di masa kini terasa mudah untuk seorang nabi. Tapi, Yunus tahu betapa kejamnya Niniwe, jadi dia ingin mereka menderita dalam penghakiman Tuhan.

Bahkan setelah Yunus dengan enggan menuntaskan tugasnya, dia tetap saja tidak senang, dan kisahnya berakhir dengan sebuah pesan tegas dari Tuhan. Namun… hasil akhirnya adalah seisi kota Niniwe bertobat!

Kita mungkin salah jika kita percaya bahwa dipilih Tuhan berarti selera kita akan sejalan dengan rencana-Nya. Kebenarannya: Tuhan mengajar kita bahwa kehendak-Nya jauh di atas kehendak kita sendiri karena Dialah yang memilih kita, bukan sebaliknya.

Mitos 4: Kamu tidak akan mempunyai lawan

Salah paham keempat: kita tidak akan menghadapi penolakan dari orang lain jika kita adalah orang pilihan Tuhan.

Namun, Yesus sekalipun menghadapi penolakan. Pada masa awal pelayanan-Nya, bahkan para tetangganya menolak mendengarkan Dia, dan hendak melemparkan Yesus dari atas tebing! (Lukas 4:16-30).

Setelah Yesus mengutuk praktik korupsi orang Farisi, mereka terus berusaha melecehkan dan menjerat-Nya. Penolakan-penolakan inilah yang mengiringi langkah Yesus menuju penyaliban.

Secara pribadi aku juga mengalami penolakan ketika aku yakin akan panggilanku menulis. Yang membuat pedih adalah orang tuaku sendiri yang mendorongku untuk mencari karier lain yang lebih menjanjikan (jadi pengusaha seperti yang mereka lakukan). Aku berdiri mempertahankan pilihanku dengan keteguhan dan kasih, sampai akhirnya mereka mengerti bahwa panggilan Tuhan bagi anak-anak-Nya itu unik dan tidak selalu bergantung pada tradisi/kebiasaan.

***

Inilah mitos-mitos yang dulu kupercaya yang pelan-pelan memudar seiring aku menemukan kembali imanku yang sejati melalui firman Tuhan. Setelah aku absen lama dari pelayanan, aku menjadi seorang ketua komsel yang bertanggung jawab dan kesempatan pelayanan pun diberikan lagi buatku. Prosesnya lambat dan sakit untuk belajar dan melepas mitos-mitos yang kita percayai tentang kekristenan.
Tuhan telah mencelikkan mataku bahwa menjadi orang yang dipilih-Nya adalah tentang menyerahkan segalanya kepada Dia, percaya di mana pun dan bagaimana pun Dia memanggil kita, kebaikan dan kasih-Nya selalu ada.

Sebagai orang pilihan-Nya, kita harus membaharui pikiran kita tentang panggilan dengan melihat dari perspektif-Nya. Dalam anugerah dan belas kasih-Nya, Dia memanggil kita untuk memenuhi tujuan-Nya, bukan tujuan kita. Hanya ketika kita mengizinkan Dia menanamkan kebenaran dalam pikiran dan hati kita, kita bisa menjadi hamba-Nya yang setia.

3 Masalah Ketika Identitas Kita Ditentukan dari Pekerjaan yang Kita Lakukan

Oleh Andrew Laird
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Problems When We Tie Our Identity To Our Work

Pertanyaan apa yang biasanya kamu tanyakan ketika bertemu dengan seseorang pertama kali? Kutebak sih, biasanya setelah bertanya nama, satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah, “Kamu kerja apa?” 

Tapi, pernahkah kamu cermati bagaimana respons dari orang-orang? Biasanya, jawabannya bukan “Aku kerja sebagai pengacara,” tapi “Aku pengacara”. Kita hidup di dunia yang berpikir, “Aku adalah apa yang aku lakukan”, di mana identitas kita terikat pada apa yang kita kerjakan. 

Pemikiran ini mungkin rasanya cuma hal kecil, tapi setidaknya ada tiga masalah yang muncul dari pemikiran ini yang bisa berdampak hebat buat kita. 

Apa saja masalahnya? Dan yang lebih penting, apa solusinya?

  1. Itu membawa konsekuensi negatif dari individualisme

Titik awal dari pemikiran kalau “Aku adalah apa yang aku lakukan” adalah ciri khas dari budaya yang dibentuk oleh individualisme yang berkembang di Barat. 

Salah satu cara untuk mendefinisikan individualisme adalah dengan memikirkan diri sendiri, “diri sendiri adalah tujuannya.”[1]. Siapakah aku itu dimulai dan diakhiri olehku. Aku membentuk takdirku. Aku membentuk diriku. Generasi di atas kita mendefinisikan diri mereka dalam hubungan dengan komunitas mereka. Tapi, dalam konsep individualisme Barat, akulah yang membentuk identitasku sendiri. Nilai-nilai diriku ditentukan dari apa yang mampu aku raih dan selesaikan.

Apa artinya ini bagi pekerjaan kita? Itu menjadi identitas kita. Kalau pekerjaan kita bagus, tentu ini tidak jadi masalah. Tapi, ketika pekerjaan kita mengalami kemunduran, melekatkan nilai diri kita pada apa yang kita kerjakan menjadi beban yang menghancurkan diri kita. 

  1. Itu adalah cara hidup yang menghancurkan 

James Suzman dalam bukunya, Work: A History of How We Spend Our Time [2], menuliskan kisah pilu dari Prof. Vere Gordon Childe, seorang arkeolog yang mengakhiri hidupnya sendiri ketika dia menyimpulkan bahwa dia tidak memiliki “kontribusi lebih yang berguna” di pekerjaannya.

Tapi, bukan cuma Profesor Childe yang berpikir begitu. Ada kaitan yang tragis antara kekecewaan, kegagalan dalam kerja, pensiun, dan bunuh diri. Ketika pekerjaan menjadi nilai diri kita, itu akan menghancurkan kita ketika pekerjaan itu mengecewakan. 

Beban yang kita tempatkan pada diri sendiri ini dapat kita lihat dalam berbagai situasi. Aku ingat pernah menerima email dari seorang wanita yang sakit selama beberapa waktu. Isi emailnya terdapat kalimat, “Aku tidak berguna”, karena dia tidak bisa melakukan apa yang diminta, lantas dia menganggap dirinya tak berguna. 

Namun, jika seandainya yang terjadi sebaliknya—pekerjaan kita berjalan baik, yang ada malah membuat kita menjadi berbangga diri. Jika aku adalah tujuan dari hidupku sendiri, maka setiap sukses yang kuraih adalah suksesku sendiri. Kebanggaan yang berlebih akan membawa masalah sendiri. 

Timothy Keller merangkum dua bahaya yang bercabang dari meletakkan nilai diri kita pada pekerjaan: “Ketika pekerjaan adalah identitas kita, kesuksesan akan masuk ke kepalamu dan kegagalan akan masuk ke hatimu.” [3]. “Aku adalah apa yang kulakukan” adalah cara hidup yang menghancurkan.

  1. Meletakkan nilai diri kita pada komunitas, ini juga bukan solusi

Kita mungkin berpikir konsep individualisme ini begitu destruktif, jadi sepertinya melihat diri kita dengan cara pandang yang lebih komunal (kita meletakkan identitas kita pada keluarga atau komunitas yang jadi bagian kita) adalah solusinya. 

Dalam bukunya yang berjudul Selfie, Will Storr menelusuri akar individualisme Barat dan budaya komunal atau kebersamaan yang biasanya hadir dalam budaya Asia. Dia merangkum, “Diri orang-orang Asia itu meleleh [membaur] ke dalam diri orang-orang lain yang mengelilinginya.” Jadi, ketika bicara soal pekerjaan, tidaklah asing untuk mendefinisikan diri dalam kaitan dengan perusahaan atau tempat bekerja.” Contohnya, Will bertemu dengan seorang pria di Jepang yang mengenalkan dirinya bukan sebagai “David”, tapi “David yang kerja di Sony.” 

Identitas yang diletakkan pada korporat bukan pula jadi solusi. Angka bunuh diri di Asia Timur itu tinggi. Kenapa? Karena di budaya Asia, jika kamu gagal, maka kelompokmu juga gagal. Storr kembali menjelaskan, “Ketika satu individu mengakhiri hidupnya sendiri, kehormatan akan dikembalikan ke kelompoknya… seorang CEO yang bunuh diri terdengar masuk akal bagi orang-orang Jepang” [4]. 

Hanya Yesus jawabannya

Jadi, ketika individualisme Barat atau konsep komunalisme tidak bisa jadi solusi, ke mana kita harus berpaling? Hanya Injil yang membebaskan kita dari beban “aku adalah apa yang kulakukan”. Kebebasan itu tidak dimulai dari identitas kita, tapi dari identitas Yesus. 

Satu hal yang luar biasa, kebenaran mendasar dari iman Kristen adalah siapa yang “di dalam Kristus” mendapatkan identitas-Nya. Identitas Kristus adalah identitas kita. Kebenaran-Nya adalah kebenaran kita. Memahami identitas kita dimulai dengan memahami identitas Kristus. 

Seperti apakah identitas-Nya itu? Allah Bapa berkata ketika Kristus dibaptis, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17). Ketika Bapa melihat Anak, keputusan-Nya adalah kasih dan sukacita. Dan, itulah ketetapan yang Allah berikan untukmu, bagi setiap orang yang ada di dalam Kristus. Prestasi dan pencapaian kita bukanlah sumber identitas kita. Status dan identitas kita dianugerahkan dari Seseorang di luar kita [5]. 

Apakah kamu melihat perubahan revolusioner yang dibawa dari konsep ini kepada caramu memandang pekerjaan dan dirimu sendiri? Dengan percaya diri yang teguh dalam Kristus, pekerjaan kita tidak lagi menjadi sumber identitas, tapi menjadi ekspresi dari identitas kita. Menghidupi kepercayaan dari kasih dan anugerah Allah, alih-alih berupaya keras melakukan pembuktian kepada orang lain, kamu menjadikan pekerjaanmu sebagai ladang untuk menunjukkan identitasmu dalam Kristus. Inilah perubahan radikal yang dibawa oleh Injil dalam kehidupan dan pekerjaan kita. 

Apa salah satu cara praktis agar kita dapat mengubah cara pandang yang salah dan menerima identitas yang kita miliki dalam Kristus?

Kita bisa memulai dengan bertanya, “Bagaimana aku merespons ketika pekerjaanku dikritisi?” 

Tidak ada kritik yang menyenangkan, tapi dari kritik ini kita bisa melihat bagaimana cara pandang kita. Jika kritik itu membuat kita merasa gagal dan kalah, atau kritik itu membangkitkan amarah dan kita mencari cara untuk membela diri, bisa jadi itu petunjuk kalau kita mengaitkan identitas kita pada apa yang kita kerjakan (kadang kritik itu tidak cuma mengkritik pekerjaannya, tapi orangnya juga). Mengetahui bagaimana kita merespons dapat menolong kita untuk berhenti dan memikirkan ulang di mana kita meletakkan identtias kita. Jika kita meletakkannya pada tempat yang salah, perbaikilah itu dengan meletakkannya pada Kristus. 

 

Catatan kaki:

[1] LucFerry, A Brief History of Thoughts, 122

[2] James Suzman, A Work History on How We Spend Our Time, 177

[3] twitter.com/timkellernyc/status/510539614818680832

[4] Will Store, How the West Become Self-Obsessed, 81

[5] Dikutip dari course bertema “I Am What I Do? A Theology of Work and Personal Identity”.

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Baru saja Ianuel pulang memimpin sebuah kelompok pendalaman Alkitab, Benu sudah menunggunya di taman tempat mereka biasa mengobrol. Benu bilang penting, ingin bicara. Segera Ian beranjak dari kamarnya menuju teras. Setelah berpamitan dengan Ibu, Ian menyalakan motornya.

“Baru pulang sudah pergi lagi. Mau ke mana kamu?”

“Hmm… pelayanan, Pah. Tadi sudah pamit Ibu,” kata Ian ragu.

“Pelayanan mulu. Waktu buat keluarga kapan? Ini, kan, weekend.”

“Sebentar, kok, Pah. Ke taman biasa,” Ianuel berusaha menenangkan ayahnya.

“Sebentar tapi, sampai malam. Pulang cepet. Kalau sudah pada tidur, tidak ada yang akan bukain pintu,” ayah Ian memunggunginya menuju ruang TV.

Telah satu tahun Ian tidak mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Terakhir kali, pada hari Ian terkunci di luar rumah karena pulang hampir tengah malam. Sejak saat itu Ian mulai mengatur waktu kegiatannya dengan teliti. Dia tahu, jika ayahnya mengucapkannya lagi, berarti sang ayah benar-benar memaksudkannya. Mengganjal. Namun, Ian harus pergi.

Bagi Ian bertemu Benu adalah sebuah bagian dari panggilannya. Panggilan yang dimulai dari keputusan Ian satu setengah tahun lalu untuk bekerja di suatu lembaga Kristen yang melayani kaum muda. Lembaga ini baru saja membuka pos rintisan di kota kecil tempat Ian tinggal. Sedangkan pusat lembaganya berada 2 jam jauhnya dari kota ini. Capek, kehabisan ide, tertekan, sedih adalah teman pelayanan Ianuel, sebab belum ada orang yang bersedia menemani pelayanannya. Ian melayani seorang diri di pos kecil tersebut. Meskipun begitu, dia mengerti bahwa lewat pos pelayanan inilah dia mengabdi kepada Tuhan.

Ayahnya sendiri sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Ian. Dia tidak bisa memahami pekerjaan Ian dan pertimbangannya. Ayahnya hanya tahu kalau anaknya suka kerja sebar-sebar ajaran Alkitab. Namun, menurut hemat ayahnya, pekerjaan tersebut sulit untuk membeli sebuah rumah untuk anak istri Ian kelak. Terang-terangan atau sindiran halus sudah dilakukannya tapi, Ian tetap tidak mengubah pilihan pekerjaanya.

Sesampainnya di taman, Ianuel menemui Benu di bangku taman. Dari bangku itulah Benu bercerita bahwa ia baru saja berkonflik hebat dengan ayahnya yang dominan lantaran ia kelupaan mematikan lampu kamar. Keduanya terlibat adu mulut dan saling merendahkan satu sama lain. Ketika konflik semakin menegang, Benu mengakhirinya dengan keluar rumah. Sambil menghisap rokoknya, Benu mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi pulang ke rumah.

Hari itu malam Minggu dan matahari sudah semakin gelap. Taman semakin dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan mulai membuka lapaknya.

“Makan, yuk. Gue traktir,” ajak Ian.

Ian sudah biasa melakukan hal ini kepada para pemuda tanggung yang dilayaninya. Hanya ingin berbagi dan meringankan beban mereka yang dia layani. Mereka melipir ke tenda pecel ayam tak jauh dari taman itu. Percakapan terus mengalir tanpa ujung bersamaan dengan perut mereka yang semakin penuh. Waktu berlalu hingga pukul delapan lewat. Dalam hatinya Ian bertekad untuk pulang sebelum jam sembilan malam, sebab ia teringat pesan ayahnya. Percakapan masih berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Ian memberikan saran-saran praktis untuk masalah Benu dengan ayahnya.

“Memang sih, Ben, disalah mengerti oleh orang yang kita harapkan sebagai yang pertama kali memahami kita itu menyakitkan. Tapi, lari dari tanggung jawab untuk saling mencari pengertian justru akan melahirkan kesalahpahaman lainnya. Usahakan tidak mengoleksi luka sebab semua luka sudah ditanggung Yesus di atas kayu salib, Ben,” kata Ian.

“Jadi, kalau menurut Abang. Sebaiknya kamu pulang dan meminta maaf. Siapa tau dengan begitu terjadi rekonsiliasi. Abang yakin Tuhan akan bekerja. Soalnya Dia yang paling mau relasi kalian membaik. Jadi segera balik, yak, tidak perlu kelayapan lagi,” bujuk Ian sambil menepuk pundak Benu.

Benu merasa pita suaranya kusut. Dia tidak menjawab bujukan Ian yang telah pulang dengan motornya. Di taman itu Benu masih mempertimbangkan saran dari Ian sebelum akhirnya dia memutuskan pulang pada dini hari.

Di tengah perjalanan Ian terus bertanya mengapa ia perlu mengurusi anak orang lain jika relasinya sendiri dengan orang tuanya masih berjarak. Ian merasa jago bicara tapi, gagal dalam praktiknya. Dia juga ingin agar Tuhan memperbaiki relasinya dengan sang ayah. Itulah mengapa Ian memacu motornya secepat mungkin supaya sampai tepat sebelum jam 9. Dia berharap agar tidak terjadi lagi konflik pada hari ini. Namun, di jalan motornya malah menabrak sebuah roda truk.

Truk tersebut sedang menepi mengganti salah satu roda kanannya. Badan truk menghalangi lampu penerangan jalan sehingga Ian tak dapat melihat sebuah roda besar di sisi kanan truk. Ianl tak sempat lagi mengelak dan hantaman itu terjadi.

“Brakk!”

Setang motornya bengkok dan sebagian lampu depannya pecah. Ian sendiri terlempar dari motornya. Tulang tangan kirinya patah dan dahinya berdarah. Banyak orang langsung berkerumun dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Tiga hari lamanya Ian berada di rumah sakit sebelum ia pulang diantarkan sang ibu. Keningnya dijahit dua kali dan tangannya telah dirawat dengan tepat. Untuk beberapa hari Ian perlu beristirahat menunggu luka-lukanya untuk pulih. Ayahnya tidak menyalahkan Ian atas kecelakaan tersebut. Dia hanya masih belum mengerti masa depan seperti apa yang sedang dibangun oleh anaknya. Dari ambang pintu kamar Ian sang ayah memperhatikan keadaan anaknya.

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.”

Di tempat tidur Ianuel hanya mendengarkan tegang.

“Nanti kalau sudah sembuh kamu kerja aja sama anak teman papa. Bilang ke bos kamu mau keluar. Mau cari pengalaman baru.”

Ian diam saja. Ian tahu komitmennya sedang diuji kembali. Hanya saja kali ini Ian tidak bisa menjawab. Kejadian ini membuat Ian merasa seperti kalah perang. Berkorban nyawa untuk sebuah negara yang kalah.

“Kamu keluar biaya berapa? Ditanggung sama tempat kerjamu?”

“Sekitar enam jutaan, Pah.”

Ian berhenti sampai situ dan tidak berniat menjawab pertanyaan kedua.

“Itu diganti semua?”

“Tidak tahu, Pah. Kantor juga masih kurang bulan ini.”

Ayah Ian menghela napas, semakin prihatin dengan masa depan anaknya.

“Ya, sudah kamu pikirin deh, nanti kalau kamu mau papa telepon temen papa, biar kamu kerja di tempat anaknya. Papa keluar dulu ketemu mama.”

Selonjoran di dipan, Ian masih memproses kata-kata ayahnya. Ada benarnya maksud sang ayah. Memang bujukan itu belum pernah berhasil membuat Ian mencari pekerjaan lain, tapi bukan berarti tidak pernah membuat dia ragu. Dari celah pintu, Ian dapat mengintip kedua orang tuanya sedang berdiskusi.

Tak lama kemudian ibunya melangkah menuju kamar. Nampaknya ayah Ianuel masih mencoba membujuknya kali ini lewat sang ibu. Ia lelah untuk berdiskusi tapi, sekali lagi dia harus berusaha menguatkan tekadnya kembali.

“Ian ini ada parsel. Tadi ada ojek online yang kirim.”

Ianuel tak menduga sama sekali ibunya datang hanya untuk mengantarkan parsel buah segar. Di atas keranjang anyaman bambu buah-buah tersebut disusun. Ian menerimanya. Wajahnya masih kaget tapi, hatinya tersenyum.

“Itu dari siapa ?”

“Gak tau, Mah. Tapi ini kayaknya ada suratnya deh.”

“Coba dibaca dulu.”

Ianuel membaca surat itu dan tahulah ia bahwa parsel itu berasal dari adik-adik pemuda yang selama ini dilayaninya.

“Semoga Tuhan memulihkan kondisi kak Ian seperti kami yang dipulihkan Tuhan lewat kak Ian. Kak, kami sudah urunan dan transfer. Tidak seberapa tapi semoga dapat meringankan beban Kak Ian.”

Kemudian dalam surat itu mereka mengutip penggalan ayat dari Mazmur 23. Ianuel tak tahu dari mana anak-anak itu mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk mengganti biaya perawatannya dan perbaikan motornya, tapi ini menghibur hatinya. Memang perjalanan pelayanan Ian cukup terjal. Namun, dia semakin yakin bahwa dia tidak pernah ditinggal sendiri. Kekuatan dan penghiburan diberikan di saat perlu. Mengimbangi duka dengan suka. Di dalam pengabdian untuk nama Tuhan.

Baca Juga:

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Kita tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala.

Dilema Memutuskan Keluar Kerja di Tengah Pandemi

Oleh Leah Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Quit My Job In The Midst Of The Pandemic

Di akhir tahun kemarin aku meninggalkan pekerjaanku sebagai guru yang sudah kutekuni selama 15 tahun—sebuah pekerjaan yang memberiku keseimbangan di tengah tuntutan antara kerja dan keluarga.

Dua tahun ke belakang, aku putus asa dan kelelahan karena kelas-kelas yang kuampu tidak berjalan dengan baik. Meskipun aku sering berdoa agar dikuatkan dan aku merasakan sukacita membangun relasi dengan murid-muridku dan menolong mereka belajar dan bertumbuh setiap hari, bekerja dengan bos yang suka mengkritik dan minim empati sungguh menghancurkan semangatku. Ditambah lagi lingkungan kerjaku yang toksik. Aku sangat takut jika membuat kesalahan, hingga kala malam aku pun susah tidur dan sesak nafas.

Ketika akhirnya pandemi datang dan lockdown diberlakukan, aku merasa lebih lega bisa bekerja di rumah, jauh dari lingkungan yang toksik. Namun, ketika sekolah kembali dibuka, aku takut. Aku tidak tahu apakah aku bisa memenuhi semua tuntutan kerjaku.

Suatu hari, ketika aku sedang sendiri di kamar mandi, kutanya Tuhan apakah aku sebaiknya keluar dari pekerjaan ini. Hatiku berbeban berat dan aku sangat ingin keluar, tapi aku tak mau jika alasanku keluar adalah karena ketakutanku dan rasa putus asaku.

Tuhan menjawab doaku. Dari Juli sampai September, aku mengalami gejolak emosi, mulai dari dibentak-bentak bosku hanya karena hal sepele, yang kemudian merembet ke hal lain. Ini saatnya, kubilang pada diriku sendiri; ini tandanya. Ini waktu untuk keluar. Jadi, dengan nasihat dari teman gerejaku dulu yang menjadi direktur HR, aku mendapat keberanian untuk mengakhiri relasiku dengan bosku di bulan September.

Menghadapi masa depan yang tak pasti

Namun, keluar kerja tidak sebebas apa yang kupikirkan dulu. Kekhawatiran mulai masuk. Aku tidak punya rencana cadangan dan tak tahu berapa lama uangku akan cukup. Masa depanku terasa suram.

Tuhan mengingatkanku dengan firman-Nya, “Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu” (Mazmur 32:8). “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara” (Yesaya 43:18-19).

Setelah keluar kerja, aku membuat diriku sibuk dengan melakukan riset online dan membaca banyak buku, berharap mendapatkan pekerjaan di bidang pengembangan belajar tapi dalam lingkup korporat. Passion-ku adalah desain dan mengajar, jadi kupikir aku bisa mencari pekerjaan di dua bidang ini.

Tapi, berpindah bidang kerja terkhusus di masa pandemi ini susah. Aku kewalahan bagaimana belajar membuat cover-letter dan memperbaiki resume-ku, merapikan profil LinkedIn, belajar bagaimana lolos wawancara, dan lain sebagainya. Aku baru bisa tidur larut malam karena selalu khawatir akan masa depan.

Janji Allah yang memberi penghiburan

Suatu malam aku bermimpi. Aku sedang menyetir dan tersesat. Aku sangat takut hingga aku berseru pada Tuhan, memohon agar dia menolongku. Tak disangka, Tuhan hadir! Tapi, dia tidak menggantikan posisiku mengemudi. Dia hanya duduk di sampingku dan mulai mengajakku mengobrol. Anehnya rasa takutku hilang dan aku bisa mengemudi dengan tenang. Meskipun aku masih tersesat, aku tidak lagi takut karena Tuhan di sampingku. Aku tidak sendiri. Dia ada bersamaku dan aku tahu aku akan kembali ke jalan yang benar.

Meskipun itu cuma mimpi, aku merasa kembali hidup dan bersemangat saat kuceritakan kembali mimpiku ke suami dan anakku. Melalui mimpi, Allah berjanji tidak akan meninggalkanku.

Aku mulai membaca lebih banyak buku-buku Kristen dan mendengarkan khotbah untuk mengingatkanku akan siapa diriku di dalam Kristus–bahwa aku adalah anak yang disayang-Nya. Tuhan menampakkan kehadiran-Nya dalam cara yang berbeda. Dia memberiku teman-teman yang menguatkanku. Dia memberiku ketekunan untuk tetap mencari kerja, meskipun aku tidak menerima respons apa pun dari email-email yang kukirim. Aku tahu Tuhan berkarya sekalipun aku tidak melihat apa yang sedang terjadi.

Mengalami pemeliharaan Allah

Sebelum aku keluar di bulan November, aku mendaftar ke Design Education Summit yang diselenggarakan pada Februari. Di acara ini, aku menemukan sebuah organisasi yang membuatku tertarik untuk bergabung sebagai relawan fasilitator. Direktur dari organisasi itu malah menanyaiku apakah aku tertarik untuk bergabung di bidang manajerial di mana tugasku adalah mendesain program untuk anak-anak. Aku tertarik lalu mendaftar.

Prosedur setelahnya adalah aku melalui dua wawancara yang berjalan sangat lancar. Namun, di malam setelah wawancara keduaku, direktur memberi tahu bahwa organisasi itu tidak bisa mendapatkan dana hibah dari pemerintah sebelum Februari. Tanpa dana hibah itu, aku tidak bisa mendapatkan gaji yang sesuai dengan keinginanku. Tapi, tidak ada jalan lain bagiku jika aku harus menunggu sampai Februari karena di November adalah bulan terakhirku bekerja.

Aku merasa hancur. Aku pikir inilah pintu yang Tuhan telah bukakan buatku. Teman gerejaku menasihatiku untuk berdoa agar dana hibah itu bisa turun lebih cepat. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan saat itu selain menunggu dan berdoa. Lewat khotbah yang kutonton online, Tuhan menegaskan kembali janji penyertaan-Nya. Yang kuperlukan adalah meletakkan kepercayaanku pada-Nya dan memuliakan-Nya di dalam segala hal yang kulakukan.

Sekitar seminggu setelahnya, sang direktur menjadwalkan sesi Zoom denganku. Pekerjaan yang dia tawarkan tidak sesuai harapanku karena aku akan mendapatkan potongan gaji yang lumayan besar. Aku dilema antara menerima tawaran kerja dengan gaji kecil atau berusaha lagi bernegosiasi hingga menemukan titik sepakat.

Esoknya aku bertemu kembali dengan direktur. Aku teringat kisah tentang bangsa Israel ketika mereka di padang gurun–bagaimana Allah mengubah arah angin yang menyebabkan burung-burung puyuh terbang di atas kemah-kemah (Keluaran 16:12-13; Mazmur 105:40). Tuhan tentu menyediakan apa pun yang orang-orang butuhkan, sekalipun itu di tengah padang gurun, dan Dia pun tentu dapat melakukan yang sama untukku.

Temanku juga menyemangatiku untuk memilih jalan setapak yang membutuhkan iman untuk melangkah di atasnya. Dua jam sebelum pertemuanku, aku membaca kisah Daud dan Goliat. Meskipun Daud berperawakan kecil dan cuma bersenjata umban batu, dia meletakkan imannya pada Allah.

Momen-momen ini mengingatkanku akan kesetiaan-Nya dan bagaimana Dia telah menyertaiku di sepanjang perjalanan yang kulalui. ‘

Dengan berani aku pun mengikuti meeting final dengan direktur itu. Tawaran yang dia berikan sesuai dengan harapanku. Aku bahkan tidak perlu meminta! Dia berkata kalau pemerintah telah melonggarkan dana hibah tersebut selama enam bulan, sehingga itu memungkinkan bagi mereka untuk merekrutku. Aku menerima tawaran itu dengan damai di hati, meyakini bahwa Tuhanlah yang telah membawaku tiba sampai ke titik ini.

Tuhan telah mengajariku banyak hal dalam perjalanan ini. Dia menunjukkanku bahwa Dia hadir secara nyata dan mengasihiku dengan sungguh. Dia memberikan anugerah-Nya di dalam kelemahanku.

Aku harap kisahku bisa menguatkan orang-orang yang mengalami pergumulan yang sama sepertiku. Seperti Amsal 3:5-6 berkata, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Kisahmu mungkin akan berbeda dari kisahku, tapi satu jaminan yang selalu dapat kita pegang: ketika kita bersandar pada Allah, kita bisa percaya bahwa Dia setia dan Dia selalu menyediakan. Dialah Bapa kita, dan kitalah anak-anak-Nya.

Baca Juga:

Menikmati Bumi Pemberian Allah Bersama Makhluk Lain

Kita perlu menyadari kembali bahwa penduduk yang hidup di bumi bukan hanya manusia, pun pemilik bumi juga bukan manusia. Tetapi kenyataannya, sebagian manusia suka “mendadak lupa” atau justru sengaja mengabaikan keberadaan penduduk bumi lainnya.

3 Janji akan Harapan di Tengah Ketidakpastian

Oleh Ruth Lawrence
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Verses That Give Me Hope Amidst Uncertainty

Rasanya tidaklah berlebihan jika kita berkata tahun 2020 itu mengerikan. Jutaan orang di seluruh dunia merasakan dampak dari pandemi, entah mereka terinfeksi atau mengalami efek domino lainnya yang diakibatkan kebijakan-kebijakan untuk meredam laju penyebaran virus.

Kita semua pun mungkin sepakat bahwa tahun 2020 sangat tidak biasa—tahun yang dipenuhi dengan banyak kesulitan! Namun, jika seandainya pandemi Covid-19 tidak terjadi pun, kita tetap akan mengalami hari-hari yang buruk—rencana yang gagal, kehilangan, sakit, juga kesedihan.

Terlepas dari kesulitan yang mendera kita, satu hal lain yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Tidak ada yang tahu akan apa yang terjadi besok, sebagaimana kita pun tak tahu di Januari 2020 akan seperti apa pandemi ini merebak.

Ketidakpastian bukanlah keadaan yang nyaman. Aku tak suka mengalami kejutan. Aku ingin bisa mengendalikan sesuatu dan memprediksi keadaan. Tapi faktanya, aku tidak piawai dalam mengendalikan situasi yang tak terduga. Aku malah berpura-pura seolah itu tak pernah terjadi, seolah hidupku baik-baik saja. Tapi, aku mendapati bahwa itu bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi ketidakpastian.

Seiring aku merefleksikan bagaimana caraku menanggapi dunia yang penuh ketidakpastian, aku menemukan tiga ayat yang mengandung janji Allah, yang menolong kita menemukan kedamaian dari-Nya:

1. Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Tahun lalu, ketika aku sedang mempelajari Injil Yohanes, aku tersentak oleh diskusi antara Yesus dengan murid-murid-Nya menjelang waktu penyaliban. Yesus akan segera mengalami penderitaan yang tak terkatakan, tapi Dia masih meluangkan waktu untuk meyakinkan para murid dengan kata-kata-Nya yang penuh belas kasih.

Yesus tidak berkata kalau hidup para murid akan mudah. Faktanya, Yesus berkata bahwa mereka (juga kita) akan menghadapi kesengsaraan. Hal-hal buruk terjadi sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, dan sebagai orang Kristen, kita telah diberi tahu bahwa kita akan mengalaminya. Namun, kita punya alasan untuk berharap karena Yesus berkata, “kuatkanlah hatimu”. Ketika hati kita menjadi kelu karena kita merasa tak mampu menghadapi penderitaan—entah itu kesepian, kesakitan, atau kehilangan—Yesus berkata, “Jangan patah arang, kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.

Dengan Yesus di sisi kita, kita dapat berdiri teguh meskipun gelombang besar mendera kita. Yesus adalah kawan yang tidak sekadar berjalan di samping kita, Dia turut merasakan apa yang kita rasakan. Dia bukanlah Allah yang jauh, yang tak mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang sahabat atau dikhianati. Dia turun ke dunia dan menghidupi kehidupan yang dipenuhi sukacita sekaligus juga kesakitan. Yesus mengerti keadaan kita karena Dia sendiri telah melaluinya sebelum kita.

Kadang, ketika kita menghadapi masa-masa yang tidak pasti, emosi kita—takut, khawatir, bingung—bisa menenggelamkan kita dan membuat kita sulit berdoa. Ketika aku kehilangan kata-kata untuk berdoa pada Allah, aku bisa memulainya dengan mengakui keadaan yang tengah kulalui. Jujur di hadapan Allah menolongku untuk melihat keadaanku dalam terang yang baru—aku bisa mengarungi lautan yang bergelora karena Bapa Surgawi menyertaiku.

2. Jangan kamu menjadi lemah dan putus asa

“Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya kamu jangan menjadi lemah dan putus asa” (Ibrani 12:3).

Ketika Yesus mendekati momen-momen penyaliban-Nya, Dia tidak menganggap remeh apa yang akan dilalui-Nya. Dia berkata jujur akan betapa hati-Nya pedih. Tapi, lebih dari itu, Dia juga berbicara akan hal-hal baik yang akan terjadi setelah kematian-Nya. Dia memberitahu para murid bahwa Dia akan pergi tetapi datang kembali agar mereka mendapatkan sukacita yang kekal. Kepergian-Nya berarti Roh Kudus akan datang dan menolong, dan terutama, dari kematian-Nya kita dapat didamaikan dengan Allah.

Aku mendapati Ibrani 12 itu menarik dan menguatkan karena pasal tersebut menceritakan alasan mengapa Yesus menderita bagi kita. Kita diundang untuk melihat kehidupan Yesus dan bagaimana Dia membawa kita pada Allah Bapa, agar kita tidak tawar hati.

Sebagai manusia kita cenderung berfokus pada hal-hal negatif yang tampak di depan kita. Ketakutanku akan virus Covid-19 dan aturan pembatasan sosial adalah nyata. Tapi, kita bisa memilih agar ketakutan itu tidak jadi fokus pikiran kita. Kita bisa melihat hal-hal baik lainnya yang mendorong kita mengucap syukur.

Satu aktivitas yang memberi dampak positif bagiku adalah sebelum hari berakhir, aku akan mengingat kembali setidaknya tiga kebaikan yang terjadi sepanjang hari itu. Aku lalu mengucap syukur kepada Allah. Ketika aku melakukan ini, aku mendapati ternyata aku punya lebih dari tiga hal untuk kusyukuri. Tujuanku adalah agar fokusku bergeser, dari pikiran tentang “seandainya Tuhan berbuat ini dan itu”, menjadi kepada berkat-berkat apa saja yang Dia telah berikan dan janjikan bagiku.

3. Bedakan antara mana yang baik dan buruk

“Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan’. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Korintus 10:23).

Ayat terakhir yang kutemukan ini lebih dari sekadar pengingat. Di suratnya, Paulus menulis kepada jemaat Korintus tentang sikap mereka terhadap satu sama lain. Paulus mengingatkan, meskipun mereka tidak lagi terpisah oleh sekat aturan makan orang Yahudi, bertindak semena-mena untuk melakukan apa pun mereka yang inginkan bukanlah hal yang terbaik untuk dilakukan bagi saudara seiman.

Ayat ini membuatku berpikir bagaimana aku menyikapi orang lain ketika aku sedang bertemu teman-temanku. Saat ini, ketika pembatasan sosial gencar dilakukan, mungkin banyak orang akan menerima perintah ini. Tetapi, ketika kebijakan ini dilonggarkan, aku perlu berpikir matang bagaimana tindakanku nanti dapat berdampak bagi orang-orang di sekitarku. Aku mungkin tidak masalah untuk menjumpai teman-temanku secara tatap muka, tapi bagaimana jika tindakanku itu membuat orang lain khawatir? Aku perlu memikirkannya dengan bijak. Atau, semisal ketika aku berbelanja di supermarket, aku perlu memberi jarak fisik antara aku dengan antrean di depanku. Meskipun aku bukan termasuk orang yang parno, tetapi tidak dengan orang lain. Aku perlu juga menghargai mereka.

Aku perlu mengerjakan apa yang baik bagiku dan menghindari apa yang membawa keburukan. Bukan hanya untuk kesehatan mentalku, tetapi juga bagi perjalanan imanku. Apakah menghabiskan waktu bermedia sosial selalu lebih baik daripada membaca firman-Nya? Bagaimana jika aku menyerahkan kekhawatiranku kepada Tuhan daripada terus-menerus melihat tayangan berita?

Seiring aku berusaha mengubah kebiasaanku, aku terdorong untuk menyadari hal-hal kecil yang patut disyukuri, dan aku pun merasa diriku lebih positif.

Kesulitan dan ketidakpastian adalah bagian dari hidup setiap orang. Menyadari bahwa hal buruk terjadi dan kita merasa sedih karenanya adalah sikap yang wajar, tetapi kita juga bisa melihat pada hal-hal baik yang Tuhan izinkan terjadi. Tidak selalu mudah untuk mengubah pikiran kita kepada kasih dan berkat dari Allah, tetapi ketika kita bisa melakukannya, kita menemukan penghiburan dan harapan yang kekal.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Memaafkan yang Tak Termaafkan

Memaafkan adalah sebuah tindakan yang melibatkan proses rumit, yang untuk mengucapkannya kita perlu mengorek kembali segala memori dan luka hati. Lantas, bagaimana bisa kita memaafkan orang yang rasanya tidak termaafkan?