Posts

Banyak Cara untuk Mengembangkan Diri, tapi Perlu Hikmat untuk Menguji

Oleh Mary, Surabaya

Seiring dengan berkembangnya informasi di media sosial, isu soal self-care dan self-help menjadi bahasan yang cukup umum. Aku sebagai generasi milenial paham bahwa dua hal ini memang kubutuhkan, sebab di tengah tingkat stres dan tekanan hidup yang meningkat, aku harus tetap survive, terbuka pada hal-hal baru, sembari tetap mengusahakan untuk mencapai versi terbaik dari diriku. Namun, siapa sangka, aku hampir saja terkena bumerang oleh niat yang terkesan baik ini.

Self-help sendiri adalah sebuah konsep tentang tindakan individu untuk menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain, sedangkan self-care bicara tentang kegiatan untuk menjaga kesehatan fisik, emosional, dan mental.

Ketertarikanku untuk mempelajari kedua hal ini bermula dari suatu buku tentang self-help yang ditulis oleh Marie Kondo, seorang wanita yang terkenal karena aktivitasnya beberes rumah. Tapi, Marie sebenarnya bukan sekadar bicara teknik beres-beres supaya rumah jadi nyaman. Lebih dari itu, dia mengajak pembacanya untuk mencapai kebahagiaan yang bisa diraih dengan beres-beres. Dibalut dengan desain sampul yang menarik, gaya penulisan yang enak dibaca, dan saran praktis yang berguna untuk diikuti, sungguh aku dibuat kagum oleh penulis hanya dalam beberapa lembar.

Melalui beberesnya, Marie mengajarkan hal-hal yang sebenarnya baik dan menarik. Contohnya, kita terbiasa dengan konsep “lebih banyak lebih baik”, tapi Marie malah menunjukkan cara hidup yang sebaliknya. Lalu, aktivitas decluttering menolong kita untuk menyederhanakan cara hidup yang akan bermanfaat baik buat kita. Membaca semua kisah dan tips dari Marie, rasanya baik-baik saja buatku. Beberapa idenya juga sempat kupraktikkan dalam hidupku. Namun, sampai pada suatu titik aku tidak merasa damai sejahtera untuk melanjutkan membaca buku ini.

Semakin kuteliti, buku dan konsep yang ditawarkan oleh Marie agaknya tidak selaras dengan iman Kristen yang kupegang. Becca Elhrich dalam blog Christian Minimalism memaparkan beberapa hal yang menyimpang dari minimalisme ala Marie. Ajakan dan seni beberes rumah yang ditunjukkannya adalah baik, dan tidak ada salahnya untuk mempraktikkan beres-beres. Tetapi, jika kita teliti lebih dalam, Marie melakukannya dilandasi kepercayaan Shinto. Dalam caranya beberes, Marie menyapa ruangan, benda-benda, dan berterima kasih pada benda-benda mati, juga mengetuk buku untuk “membangunkannya”. Salah satu metode lain yang ditunjukkan Marie adalah dia menyentuh sebuah benda untuk mengetahui apakah benda itu memunculkan kegembiraan atau tidak. Marie mengajak para pembaca dan penontonnya untuk ikut mengikuti metode-metode ini.

Konsep decluttering untuk memudahkan hidup pada dasarnya baik, tetapi cara-cara yang Marie tunjukkan jika kita tiru tidaklah selaras dengan Alkitab. Kita diajar untuk takut dan tunduk hanya pada Allah (Keluaran 20:3), bukan pada ilah-ilah lain. Dan, dalam mengambil keputusan pun kita tidak diajar untuk mengambilnya berdasarkan perasaan kita, tetapi dengan kebijaksanaan, hikmat, yang Tuhan karuniakan pada kita, juga melalui pertolongan Roh Kudus (Amsal 1:7; Yohanes 14:26). Dan yang lebih penting lagi, segala permasalahan hidup kita tidak akan hilang dengan sekejap hanya dengan melakukan decluttering, membuang lalu merapikan barang dan simsalabim kita mengalami perubahan besar. Sukacita kita terletak bukan pada benda-benda yang kita miliki dan pakai. Sukacita kita terletak pada Yesus (Filipi 4:4), sebuah sukacita yang teguh yang tak ditentukan oleh keadaan.

Aku yakin Roh Kudus saat itu menegurku untuk tidak menelan mentah-mentah semua saran informasi. 1 Tesalonika 5 : 21 itu muncul di benakku, ”Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”. Untuk menguji, adalah untuk selalu peka dan memiliki batasan terhadap hal-hal yang tidak sejalan dengan firman Tuhan, walau awalnya nampak tidak berbahaya dan netral. Kita perlu menyaring setiap input yang masuk, baik itu pemahaman, saran, motivasi, walau bersumber dari sosok terpercaya dan orang terdekat sekalipun, serta mengujinya apakah bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan, yakni Alkitab sendiri sebagai pedoman hidup. Di sinilah aku mensyukuri peranan Roh Kudus yang selalu membimbing kita setiap orang percaya dalam tiap pertimbangan.

Hal lain yang kutemukan saat dibentuk Tuhan dalam perjalananku mengembangkan diri adalah melalui tren afirmasi dan manifestasi positif yang sering dituang oleh seorang teman di Instagram story-nya sehari-hari. Aku ikut senang mengetahui temanku itu berusaha untuk lebih percaya diri sehabis melalui masa sulit, tapi satu hal yang mengganjal pikiranku adalah pernyataannya yang kerap berpusat pada ke“AKU”an: “Aku bisa…; Aku pasti…; Aku akan…” pada setiap niatan yang ingin dicapainya. Dan ketika hal tersebut tidak/belum tercapai, yang terjadi malah membuatnya menyalahkan dan membenci diri sendiri karena tidak cukup kompeten. Padahal, sebagai manusia, kita adalah sosok rapuh yang tidak bisa bersandar pada kekuatan sendiri dan tanpa Tuhan, ataupun berhak menggeser posisi Tuhan yang berdaulat mutlak atas jalan hidup kita. Firman Tuhan dalam Yeremia 17:5-8 dengan tegas mengatakan “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN…”

Kawan, sejatinya tak ada salah untuk terus mengembangkan diri menjadi pribadi lebih baik dari kemarin. Tetapi, hendaknya kita minta pertolongan Tuhan untuk memberikan kita hikmat dan mawas diri selalu dalam berjalan sesuai kebenaran yang Alkitab ajarkan, dan mempercayakan perjalanan ini hanya kepada Tuhan untuk membentuk pribadi setiap kita menjadi suatu bejana yang indah bagi kemuliaan-Nya.

“Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu” (Yesaya 64:8).

Melalui Pelayanan di Gereja, Tuhan Mengubahkanku

Oleh Mary, Surabaya

Sudah cukup lama aku berdoa pada Tuhan mengenai kerinduanku untuk melayani di gerejaku. Sebelumnya aku hanyalah jemaat biasa yang mengikuti ibadah umum setiap hari Minggu. Meski aku rindu untuk melayani, tapi aku adalah orang yang cenderung pemalu dan introver, jadi aku bingung kepada siapa aku harus bicara soal kerinduanku melayani ini. Sampai suatu hari, Tuhan menuntunku untuk aku memberanikan diri ikut komunitas Bible study. Lewat satu langkah kecil inilah kemudian Tuhan menjawab doaku. Aku diizinkan-Nya melayani di ladang pelayanan dan bertemu dengan teman-teman yang baru pula.

Pada awalnya aku merasa bersyukur. Kerinduanku untuk melayani di bagian dokumentasi dan desain kupikir sangat sesuai dengan talenta dan doaku. Namun, seiring waktu berjalan, aku mulai menetapkan standarku sendiri dalam pelayanan. Sifat perfeksionisku muncul, aku ingin setiap pelayanan yang kulakukan itu sempurna. Aku kadang merasa tidak puas, atau bahkan marah apabila melihat ada rekan pelayananku yang pekerjaannya lebih ringan dariku, atau tidak sesuai dengan ekspektasiku. Lalu, perbedaan pendapat dan konflik karena ketidaksepakatan pembagian tugas dan waktu pun mulai mewarnai pelayananku.

Ketika konflik yang terjadi adalah dengan sesama anak-anak muda, aku merasa cukup mudah untuk mengatasinya. Tapi, apabila konflik itu adalah dengan para diaken yang secara usia lebih tua dariku, aku jadi bingung bagaimana harus bersikap mengatasi masalah tersebut. Pernah suatu ketika proyek yang sudah kami kerjakan dengan susah payah dibatalkan begitu saja oleh rekan kami yang lebih tua. Seharusnya aku dan teman-teman sepantaranku bisa saja menyampaikan protes kepadanya. Tapi, kami sungkan karena kami pikir mereka lebih senior daripada kami.

Hingga di suatu titik, aku merasa tidak tahan lagi. Aku berteriak pada Tuhan bahwa aku capek. Pelayanan yang dulu kurindukan sekarang terasa jadi beban yang berat buatku. “Mengapa ladang pelayanan yang dulunya kuinginkan malah jadi suatu jerat bagi diriku sendiri?” Aku bertanya pada Tuhan.

Namun, syukur kepada Tuhan, Dia mendengarkan seruan isi hatiku. Lewat sebuah renungan dalam saat teduhku, aku merasa ditegur. Ayat itu terambil dari Kolose 3:12-15 yang isinya berkata:

Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.”

Setelah membaca ayat itu, aku mampu melihat pergumulanku secara lebih jelas. Aku jadi merasa malu karena telah membiarkan kekecewaanku tumbuh kepada rekan-rekan sepelayananku. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kita semua telah dikuduskan dan dikasihi Tuhan sehingga kita dilayakkan untuk melayani-Nya. Aku dan rekan-rekan pelayananku adalah bagian dari tubuh Kristus, yang memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing untuk melayani Sang Tuan untuk berkarya.

Aku sadar, sebenarnya tidaklah salah apabila aku ingin mengusahakan yang terbaik dalam pelayanan yang kulakukan. Tapi, kalau aku malah jadi membanding-bandingkan pelayananku dengan orang lain, sikap itu tidaklah bijak. Aku pun berdoa pada Tuhan, memohon agar aku bisa mengampuni dan mengasihi rekan-rekan sepelayananku. Aku ingin memiliki hati seorang hamba, juga hikmat dari Tuhan untuk menuntunku bagaimana harus bersikap.

Sejak hari itu, Tuhan menolongku untuk menikmati pelayanan yang kulakukan. Aku merasa bebanku seperti terangkat dan ada damai sejahtera yang melingkupiku setiap kali aku mengerjakan proyek pelayanan. Aku tidak lagi jadi terbeban seperti sebelumnya, dan bahkan hubunganku dengan sesama rekan pelayanan menjadi lebih baik. Kami belajar untuk saling memahami satu dan lainnya, baik dengan sesama rekan sepantar, maupun yang lebih tua.

Melalui peristiwa ini, aku bersyukur karena melalui kesempatan pelayanan yang Dia karuniakan untukku, Dia memprosesku untuk mengubah karakterku selangkah demi selangkah agar sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan mengubah karakterku menjadi seorang yang bisa bersyukur. Kini aku tahu bahwa pelayanan ini adalah untuk Tuhan, bukan untuk manusia. Ketika hasil pelayanan yang kulakukan tidak sesuai standarku, sikap hatiku bukanlah menyalahkan orang lain. Aku dapat menyerahkan hasil pelayananku kepada Tuhan, sebab Tuhan melihat apa yang tidak dilihat manusia. Kala manusia melihat apa yang ada di depan mata, Tuhan melihat hati (1 Samuel 16:17).

Konflik dan perbedaan pendapat mungkin masih akan terjadi dan tak terhindarkan di masa depan nanti, tapi aku tidak perlu takut menghadapinya. Yang harus kulakukan adalah tetap setia melakukan bagianku, yaitu dengan mengupayakan yang terbaik dan tetap mengasihi sesamaku.

Baca Juga:

2 Kontribusi Sederhana untuk Menolong Korban Bencana

Memulihkan suatu kota yang hancur karena bencana bisa jadi sebuah proses yang rumit. Namun langkah sederhana yang kita lakukan bisa memberikan kontribusi untuk memulihkan keadaan di sana.