Posts

Ketika Hidup Ditilik oleh Firman: Perenunganku tentang Reformasi Gereja

Oleh Jefferson

503 tahun yang lalu, seorang biarawan mengirimkan setumpuk dokumen tebal kepada kepala-kepala gereja di kota Wittenberg, Jerman. Isinya adalah 95 tesis yang ditulis si biarawan untuk mengkritisi penjualan surat penebusan dosa oleh gereja saat itu untuk membiayai pembangunan Basilika Santo Petrus dan Kapel Sistina di Vatikan. Dari peristiwa ini, berkembanglah legenda tentang si biarawan, Martin Luther, yang konon memakukan 95 tesisnya di pintu gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517. Tanggal ini lalu dicatat sejarah sebagai Hari Reformasi Protestan.

Sebagaimana peristiwa aslinya tidak sedramatis legenda yang berkembang di kemudian hari, dampak yang Luther harapkan lewat 95 tesisnya pun tidak seimpresif yang kemudian terjadi. Beliau hanya ingin ajaran-ajaran dan praktik-praktik dalam gereja kembali bersumber pada kebenaran Alkitab; tidak lebih, tidak kurang. Luther tidak pernah menyangka bahwa tindakannya akan dipakai oleh Tuhan sebagai kepingan domino yang memicu Reformasi dan mengembalikan sentralitas Injil dan Alkitab dalam kehidupan iman Kristen.

Di antara banyaknya warisan Reformasi yang mempengaruhi Kekristenan masa kini, aku ingin membagikan perenunganku tentang satu konsep yang menurutku merupakan inti dari Reformasi: Sola Scriptura, “hanya oleh Firman Tuhan”.

Firman Tuhan yang menerangkan tentang Firman Tuhan

Perikop yang menuntunku kepada kesimpulan di atas ditulis oleh Paulus dalam 2 Korintus 4, khususnya ayat 4–6. Pasal ini dibuka dengan pernyataan Paulus bahwa ia beserta dengan rekan-rekannya tidak tawar hati dalam pelayanan mereka memberitakan Injil ke berbagai kota (ay. 1b) meskipun menghadapi rintangan dari berbagai pihak, terutama jemaat Korintus sendiri (pasal 1–3). Mereka menolak Paulus dengan keras dalam kunjungan sebelumnya (2:1) karena menganggap ia kalah pamor dibandingkan dengan mereka “yang menjual firman Allah” (2:17 AYT). Jemaat Korintus bahkan meminta surat rekomendasi sebagai bukti kerasulan Paulus, sebagaimana sering dipamerkan oleh pengajar-pengajar palsu di sana (3:1). Menghadapi rintangan seperti ini, bagaimana Paulus dapat tidak berkecil hati?

Pertama-tama, Paulus dan rekan-rekannya melihat pelayanan mereka sebagai bentuk kasih karunia yang Allah limpahkan kepada mereka (ay. 1a). Oleh karena itulah mereka menolak melakukan berbagai tipu muslihat dan pemalsuan yang dilakukan oleh para penjual Firman. Sebaliknya, mereka menyatakan pesan Injil Kristus secara gamblang dan apa adanya di hadapan Allah (ay. 2), yaitu “Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri [mereka] sebagai hamba [jemaat Korintus] karena kehendak Yesus” (ay. 5). Jika masih ada yang tidak memahami Kabar Baik ini setelah mendengar pemberitaannya, lanjut Paulus, itu karena “ilah dunia ini telah membutakan pikiran mereka yang tidak percaya sehingga mereka tidak dapat melihat terang kemuliaan Injil Kristus, yang adalah gambaran Allah” (ay. 4 AYT). Paulus mengakhiri dengan tegas, “Karena Allah, yang berfirman, ‘Biarlah terang bercahaya dari kegelapan,’ telah bercahaya dalam hati kita untuk memberi terang pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang ada pada wajah Kristus Yesus” (ay. 6 AYT).

Aku pribadi tidak menemukan bagian lain di Alkitab yang menjelaskan Sola Scriptura sejelas perikop ini. Hanya lewat firman Tuhan sajalah kita dapat mengetahui dan mengenali Allah yang sejati yang menyatakan diri-Nya secara nyata dan utuh dalam pribadi Kristus Yesus. Meminjam istilah John Piper, inilah “a peculiar glory” (kemuliaan yang khas) yang dimiliki Injil sebagai inti dari keseluruhan Alkitab (bdk. Luk. 24:26–27): pribadi Allah yang kudus datang ke dalam dunia untuk memulihkan kemuliaan-Nya di dalam seluruh ciptaan yang telah rusak oleh karena dosa dan pemberontakan manusia.

Terang kemuliaan Firman yang menilik hati manusia

Teks-teks di Alkitab menjadi berharga karena Kabar Baik yang terkandung di dalamnya. Pikiran-pikiran yang selama ini dibutakan oleh ilah dunia (2 Kor. 4:4) tidak mampu dicelikkan hanya oleh sekedar untaian kata-kata manusia. Hanya Firman itu sendirilah yang berbicara kepada setiap pribadi di segala abad dan tempat lewat firman-Nya yang tertulis (2 Kor. 4:6; bdk. Yoh. 1:1–16) yang mampu membukakan mata manusia yang berdosa kepada terang kemuliaan Tuhan. Inilah mengapa Paulus tidak tawar hati dalam mengerjakan pelayanannya: ia sendiri telah mengalami perjumpaan dengan sang Firman secara pribadi dan melihat terang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus (Kis. 9:1–18). Paulus tidak lagi hidup di dalam kegelapan dosa, melainkan di bawah tilikan terang Kristus “yang mengasihi[nya] dan telah memberikan diri-Nya untuk[nya]” (Gal. 2:20; bdk. Mzm. 139:23–24).

“Terang kemuliaan Injil Kristus, yang adalah gambaran Allah” jugalah yang dilihat Luther sebagai solusi untuk pergumulan hebat yang dialaminya di bulan-bulan menjelang Oktober 1517. Dalam studinya tentang surat-surat rasul Paulus, Luther menemukan dua kebenaran yang begitu mengusik hatinya: bahwa pada dasarnya ia adalah orang berdosa, dan bahwa kekudusan Allah menuntut kebajikan darinya. Penemuan ini begitu mengusiknya hingga ada satu masa dalam hidup Luther di mana ia membenci Allah karena ketidakadilan-Nya dengan menuntut kebajikan yang mustahil dari manusia berdosa. Konflik internal dan kebenciannya berlangsung selama beberapa waktu sebelum akhirnya lenyap ketika ia membaca Roma 1:17. Setelah merenungkan ayat ini siang dan malam, Luther menulis:

Di [Roma 1:17] aku mulai memahami bahwa kebenaran Allah adalah sesuatu yang dihidupi orang benar oleh karunia Allah, yakni oleh iman. Dan inilah maksudnya: kebenaran Allah dinyatakan oleh Injil, yaitu kebajikan pasif dengan mana Allah yang penuh belas kasihan membenarkan kita oleh iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.” Sampai di sini aku merasa sungguh-sungguh dilahirkan dan masuk lewat gerbang yang terbuka lebar ke dalam surga itu sendiri. … Dan aku menaikkan puji syukur kepada Allah dengan kata-kata termanis dan dengan kasih sehebat kebencian yang kumiliki sebelumnya terhadap frasa “kebenaran Allah”.

Perhatikan bahwa Luther mendeskripsikan kebajikan yang Allah tuntut dari kita sebagai sesuatu yang pasif. Apa signifikansinya? Kita tidak menjadi benar di hadapan Allah melalui usaha atau kebaikan kita sendiri, melainkan oleh kasih karunia Allah (Sola Gratia) melalui iman (Sola Fide) semata (Ef. 2:8–9). Kebajikan ini telah Kristus dapatkan untuk kita melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Solus Christus; Kis. 4:12) sehingga hal sekecil apa pun kita lakukan hanya untuk kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria; 1 Kor. 10:31). Hanya dari Alkitablah (Sola Scriptura) kita mempelajari semuanya ini.

Kelima Sola memang baru dirumuskan secara konkrit bertahun-tahun setelah Luther dan rekan-rekan Reformator lainnya sudah tiada, namun tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran mereka mengandung kelima intisari ini. Bagi kita yang hidup di abad ke-21, pencapaian tokoh-tokoh Reformasi yang mengguncangkan dunia merupakan sesuatu yang hebat dan kelihatannya berada di luar jangkauan kita. “Mungkinkah Allah bekerja melalui diriku di masa sekarang?” Kita harus mengingat bahwa pada dasarnya Luther dan rekan-rekannya adalah manusia-manusia berdosa yang memberi diri mereka untuk ditilik oleh sang Firman melalui firman-Nya yang tertulis di Alkitab. Di akhir hidupnya, jauh dari keluarga dan dalam kondisi kesakitan, tepat sebelum kembali ke hadirat Allah, Luther mengucapkan kata-kata terakhirnya, “Kita semua adalah pengemis di hadapan Allah: itulah kebenarannya”

Sudahkah hidupmu ditilik oleh sang Firman?

Kita sudah melihat betapa dahsyat dan berdampak ketika hidup ditilik oleh sang Firman, dan betapa lebih hebat dan berkuasanya lagi sang Firman itu sendiri. Yang perlu kita renungkan setelah mengetahui semuanya ini adalah, “Apakah kita sendiri telah memberi diri untuk ditilik oleh sang Firman lewat firman-Nya yang tertulis?”

Apa itu Alkitab bagimu? Sebuah buku tebal kuno yang membosankan dan sulit dimengerti, yang jauh kalah menarik dibandingkan TikTok dan Netflix dan Mobile Legends, atau firman Allah yang hidup yang “memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim. 3:16)? Bagi Paulus, Alkitab berisi Injil yang menyatakan “terang pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang ada pada wajah Kristus Yesus” (2 Kor. 4:6 AYT). Bagi Luther, Alkitab menyatakan kebenaran Allah “yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman” (Rom. 1:17) dan kasih kemurahan-Nya bagi manusia berdosa. Bagiku, Alkitab memberitahukan siapa Yesus Kristus dan siapa diriku di hadapan-Nya, mengingatkanku akan kasih Tuhan di tengah masa COVID-19, dan menuntunku untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah. Bagaimana denganmu? Bagaimanakah hidupmu selama ini telah ditilik oleh sang Firman melalui firman-Nya?

Ketika Firman yang asali berbicara kepada hati manusia lewat firman-Nya yang tertulis dan mengerjakan karya kelahiran baru di dalam orang itu, ia tidak dapat berpaling lagi. Kita yang dulu buta sekarang melihat, dan di dalam terang kemuliaan Kristus kita melihat segala hal yang lain (Mzm. 36:9). Seberapa besar pun usaha kita untuk menyembunyikan aspek-aspek kehidupan kita dari hadapan Tuhan, semuanya itu akan terlihat, entah sekarang atau pada akhirnya di Hari Penghakiman (Luk. 8:17). Baik sekarang maupun nanti, itu adalah pilihan kita. Maukah kamu menyerahkan diri saat ini juga untuk ditilik oleh sang Firman, mati dan bangkit setiap harinya bersama Tuhan Yesus?

Aku berdoa supaya setiap kita benar-benar hidup ditilik oleh sang Firman dan tiada satu iota maupun titik pun yang tidak ditilik dan dikuasai oleh Tuhan Yesus Kristus.

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

5 Alasan Mengapa Reformasi Protestan Masih Berarti Hingga Hari Ini

Oleh Dorothy Norberg, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 5 Reasons Why the Reformation Matters Today

Ketika sedang berdiskusi tentang siapa tokoh sejarah favorit kami, aku bertanya kepada rekan kerjaku apakah dia tahu tentang Martin Luther. Dia menjawab, “Oh! Itu orang yang pernah memaku sesuatu di pintu itu ya?”

“Ya, itu dia!” Aku menanggapinya dengan tertawa.

Bagi banyak orang, Martin Luther dikenal sebagai seorang biarawan yang memaku 95 tesis di pintu sebuah gereja. Walaupun ada sejarawan yang meragukan kebenaran kisah ini, tapi kisah Martin Luther telah memberi dampak yang besar buatku sendiri.

Martin Luther adalah seorang berkebangsaan Jerman yang hidup pada tahun 1483-1546. Dia adalah tokoh kunci dari Reformasi Protestan—sebuah masa ketika orang-orang menentang dan kemudian memisahkan diri dari Gereja Katolik. Keterlibatan Luther dalam gerakan Protestan ini dipicu oleh kesaksian pribadinya menerima anugerah Allah dan pergumulannya ketika dia merasa ragu akan keselamatan jiwanya.

Tuhan menggunakan Luther untuk mengembalikan pengertian keselamatan yang sesuai dengan Alkitab. Aku sendiri pernah merasa bersalah dan merasa diriku tak layak, lalu kisah tentang Luther menginspirasiku bahwa Tuhan bisa menggunakan tantangan di hidup orang-orang untuk membawa mereka mendekat kepada-Nya dan melengkapi mereka untuk mengubah dunia.

Tahun ini, tepatnya tanggal 31 Oktober 2017, kita memperingati 500 tahun peristiwa Reformasi yang dilakukan oleh Luther. Inilah lima alasan mendasar mengapa kesaksian, kepercayaan, dan pendirian Luther mengenai teologi dan praktiknya masih berpengaruh hingga saat ini.

1. Reformasi mengingatkan kita untuk memahami Injil

Sekitar tahun 1500, Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh melalui iman, perbuatan, dan anugerah. Namun, meski seseorang sudah bertobat dari dosa-dosanya, sebelum mencapai surga mereka harus melalui sebuah tahapan bernama api penyucian.

Salah satu praktik yang paling kontroversial adalah jual beli surat-surat penghapusan dosa (indulgensia), yang dianggap bisa menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seseorang di api penyucian. Akibat dari praktik ini adalah korupsi yang menyebar.

Selama bertahun-tahun, Luther bergumul tentang apakah dirinya cukup layak untuk menerima perkenanan Tuhan atau tidak. Pergumulan ini terjawab ketika dia mengerti bahwa keselamatan hanyalah tentang Kristus, bukan dia. Pengalaman Luther dalam pergumulan rohaninya itu telah mengajarinya bahwa perilaku baik dan ritual gerejawi sesungguhnya tidak dapat menghilangkan dosa-dosanya (Perry, 2013).

Sebagai seorang profesor dan pengkhotbah, Luther mendorong orang-orang untuk berfokus kepada Kristus dan mempelajari Alkitab. Puncak dari pemikirannya terjadi pada tanggal 31 Oktober 1517. Melalui 95 tesis yang dia tempelkan di pintu gereja Wittenberg, Luther memprotes keras bahwa praktik penjualan surat indulgensia tidak membuat gereja memiliki otoritas untuk menyelamatkan. Tulisan Luther pun menyebar luas.

Luther mengajar kita bahwa Injil yang sejati melepaskan jiwa dari belenggu spiritual, dan juga memerdekakan orang-orang dari tradisi. Kita tidak seharusnya bergantung pada pendeta, pembicara, atau penulis untuk membuat pengajaran Kristen tersedia bagi kita. Penting untuk membaca Alkitab bagi diri sendiri, mengetahui kebenarannya, dan siap untuk menghadang pengajaran palsu.

2. Reformasi mengingatkan kita bahwa kita diselamatkan hanya oleh anugerah Allah

Sebagai seorang biarawan, Luther meluangkan banyak waktunya di ruang pengakuan dosa, mencoba mengingat dan menghitung dosa-dosanya. Dia juga mencoba mengejar kekudusan dengan melakukan perjalanan ziarah, berpuasa untuk waktu yang lama, dan juga berdoa. Namun, kemudian dia berkata, “Aku kehilangan kontak dengan Kristus yang adalah Juruselamat dan Penghibur, dan aku menjadikannya seolah seperti sipir penjara dan penghuni jiwaku yang malang.”

Aku tidak pernah melupakan bagaimana rasanya perjuangan Luther untuk merasa diampuni. Sebagai seorang anak yang tumbuh besar di gereja, aku memahami ketakutan Luther, bahwa sebagaimanapun dia berusaha untuk menjadi baik dengan mengikuti segala peraturan, dia tidak akan pernah bisa menghapus rasa bersalah dari jiwanya. Seperti Luther, aku ingin mengikut Kristus, tetapi aku takut akan penghukuman dan merasa keselamatanku kurang terjamin.

Yang mengubahkan hidup Luther dan juga hidupku adalah pengetahuan bahwa kami diselamatkan hanya oleh anugerah. Ketika Luther mempelajari Alkitab, dia dikejutkan oleh kebenaran-kebenaran yang didapatkan di kitab-kitab seperti Roma dan Galatia. Luther akhirnya memahami bahwa kita diselamatkan bukan karena kita berusaha melakukan hal-hal baik di depan Allah, tetapi hanya oleh karena Kristus saja.

3. Reformasi mengingatkan kita bahwa ada harga yang harus dibayar untuk mengikut Kristus

Luther dipanggil oleh otoritas gereja dan dia diminta untuk mengakui bahwa dirinya salah dan diancam akan dikucilkan. Tapi, Luther menjawab, “Aku tidak bisa dan tidak akan mengakui apapun, karena aku tidak dapat melawan hati nuraniku sendiri. Semoga Tuhan membantuku. Amin.”

Luther berani mengambil risiko karena dia tahu bahwa kuasa firman Allah jauh lebih besar dari apapun juga. Sekali lagi, Luther berkata, “Aku telah memegang segala sesuatu di tanganku, dan aku kehilangan segalanya; tetapi apapun yang kuletakkan di tangan Allah, aku tetap akan memilikinya.”

Bahkan dalam kehidupanku sebagai seorang biasa, mengikut Kristus membutuhkan pengorbanan. Ketika aku meletakkan segala sesuatunya di altar-Nya untuk mengikut Yesus (Matius 16:24), perlindunganku yang utama terletak di dalam Dia.

4. Reformasi mengingatkan kita bahwa Injil adalah untuk semua orang

Pada masa Luther, orang-orang Jerman tidak bisa mengakses Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Mereka amat bergantung pada Gereja Katolik untuk mengedukasi dan melatih mereka. Gereja mengajarkan bahwa hanya para pejabat gereja saja yang boleh membaca dan menginterpretasikan Alkitab. Tapi, Luther berpendapat bahwa setiap orang boleh menerima iman dan pemahaman dari Allah. Selama beberapa tahun, Luther berjuang untuk menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman, membuat firman Allah yang hidup dan mengubahkan jiwa bisa diterima oleh orang-orang biasa.

Di gereja-gereja saat ini, kita tidak seharusnya memberikan apresiasi yang berlebihan kepada orang-orang yang dianggap terpelajar, kaya raya, ataupun rupawan, karena mereka bukanlah wujud dari kesuksesan spiritual. Roh Kudus tinggal di hati setiap orang percaya, dan melalui-Nya, kita memiliki akses langsung kepada Allah. Karunia rohani akan diberikan kepada mereka yang meletakkan imannya pada Yesus.

5. Reformasi mengingatkan kita untuk berpegang pada Alkitab

Sepanjang generasi yang berbeda, tantangan terhadap otoritas Alkitab berbeda-beda. Akan tetapi, respons yang benar tetaplah sama. Orang Kristen harus berpegang kepada pewahyuan Allah yang tertuang dalam Alkitab, bukan kepada pemimpin gereja ataupun sistem politik.

Luther berkata, “Sejak dari permulaan Reformasi aku meminta pada Tuhan supaya Dia menujukkanku mimpi, visi, atau bahkan malaikat. Akan tetapi, Dia memberiku hak untuk mengerti firman-Nya yang kudus; selama aku memiliki firman Allah, aku tahu bahwa aku berjalan di jalan-Nya dan aku tidak akan jatuh kepada kesalahan ataupun khayalan.”

Peristiwa Reformasi dan sejarah Kekristenan lainnya menunjukkan bahwa Alkitab adalah sumber kebenaran yang tidak dapat tergantikan, yang memiliki kuasa untuk mengubah hati seseorang dan bahkan juga mengubah dunia.

Referensi:
“Western Civilization: Ideas, Politics, and Society.” Marvin Perry et al., 2013

Baca Juga:

Ketika Aku Menyadari Selama Ini Aku Telah Salah Berdoa

Aku berdoa, tetapi aku sendiri merasa ragu dengan doaku, aku tidak yakin dengan doa-doa yang kunaikkan pada Tuhan. Dengan dalih supaya Tuhan “makin berkenan”, aku sempat berjanji jika keinginanku terwujud maka aku akan menulis sebuah kesaksian. Tapi, pada akhirnya aku menyadari bahwa ini bukanlah sikap yang tepat untuk berdoa.