Posts

Berdoa dan Bekerja, Manakah yang Lebih Penting?

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Mana yang lebih penting: berdoa atau bekerja?

Pertanyaan ini seakan menunjukkan bahwa salah satu pilihan pasti lebih baik dari lainnya. Benarkah demikian? Apa yang Kitab Suci katakan tentang ini? Untuk menolong kita menemukan jawabannya, aku mengajakmu membaca kembali kisah yang Injil ceritakan dalam Lukas 10:38-42.

Dalam nats ini dikisahkan ada seorang wanita bernama Marta yang menerima Yesus di rumahnya. Marta memiliki seorang saudara perempuan bernama Maria. Jika nama Marta disebut lebih dulu, dalam konteks sejarah Israel mungkin karena dialah pemilik rumah. Ia menyambut Yesus sebagai peziarah sebagaimana biasanya peziarah diterima pada zaman itu. Narasi singkat ini menampilkan Marta sebagai figur yang sibuk dan cemas dalam mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melayani Yesus, sementara Maria mendengarkan kata-kata Yesus, bahkan tidak hanya mendengarkan pengajaran-Nya, tetapi ia duduk dekat kaki-Nya (Lukas 10:39).

Marta yang tampak kesal datang kepada Yesus dan meminta-Nya agar menyuruh Maria membantunya. Lukas mencatat bagi kita perkataan penting Tuhan Yesus, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu. Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (Lukas 10:41-42). Dalam sepanjang sejarah gereja, kisah ini sudah ditafsir oleh banyak Bapa Gereja dan orang-orang kudus. Marta sering dilihat sebagai simbol aktivitas dan pekerjaan di dunia ini, sedangkan Maria dilihat sebagai simbol kontemplasi atau saat teduh.

Penting dipahami, bahwa kisah ini bukan tentang dua sikap yang kontradiktif: mendengarkan firman Tuhan, saat teduh atau kontemplasi, dan pelayanan praktis kepada sesama kita. Bukan tentang mana lebih penting: bekerja atau berdoa? Sama sekali bukan tentang dua sikap yang bertentangan satu sama lain, tetapi sebaliknya, kisah ini menunjukkan bahwa bekerja dan berdoa merupakan dua aspek penting dalam kehidupan Kristen kita. Berdoa dan bekerja adalah dua aspek yang tidak pernah dapat dipisahkan, tetapi dihayati dalam kesatuan dan harmoni yang dalam.

Perhatikan dua perikop sebelum dan sesudah nats ini, yang mengapit kisah Marta dan Maria. Di situ ada perikop tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Lukas 10:25-37), yang menunjukkan karya atau tindakan nyata kepada sesama, dan perikop tentang Hal Berdoa (Lukas 11:1-12), yang menunjukkan aktivitas doa yang intim bersama Tuhan. Kedua perikop ini lantas menemukan integrasinya dalam kisah Maria dan Marta (Lukas 10:41-42), di mana karya nyata (bekerja) dan berdoa seharusnya menjadi satu nafas hidup tiap orang percaya. Baik berdoa maupun bekerja sama-sama penting.

Lalu mengapa Yesus berkata seakan Ia menegur Marta? Tampaknya karena Marta menganggap hanya apa yang dia lakukan (bekerja) yang paling penting. Sejatinya, karya pelayanan tidak pernah terlepas dari prinsip semua tindakan kita: Mendengarkan sabda Tuhan, menjadi seperti Maria, dan bekerja secara nyata, menjadi sama seperti Marta. Contoh: Yesus yang aktif melayani sekaligus tak pernah meninggalkan saat teduh-Nya secara pribadi (Matius 14:23, 26:36-46; Markus 1:35)

Bekerja, belajar, dan melayani adalah penting. Namun, persekutuan secara pribadi dengan Tuhan tak kalah pentingnya. Keduanya harus menjadi nafas hidup kita secara sebagai anak Tuhan. Dunia ini membutuhkan orang-orang muda yang memiliki kombinasi Marta dan Maria: giat bekerja dan rajin berdoa. Orang-orang muda yang murni hatinya, sopan ucapnya, dan elok lakunya. Itu adalah panggilan bagi kita.

Yuk, kita belajar dari Marta dan Maria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menantikan Pertolongan Allah

Respons alami ketika kita mendapat masalah adalah segera mencari pertolongan. Tetapi, Allah pernah menghukum Israel karena melakukan ini. Belajar dari peristiwa itu, bagaimana seharusnya kita merespons persoalan?

Belajar dari Marta: Yang Kita Anggap Terbaik, Kadang Bukanlah yang Terbaik

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Suatu ketika sahabat doaku mengabariku bahwa dia sedang berkunjung ke kota tempat tinggalku. Setelah pekerjaan dinas dari perusahaannya selesai, dia akan menghadiri ibadah Natal di kampusku. Dia ingin meluangkan waktu untuk berjumpa denganku sebelum ibadah dimulai.

Kabar itu membuatku bahagia dan antusias karena kami sudah lama tidak bertemu. Sepulang kerja, aku memutuskan bersiap-siap dulu, supaya bisa menyambut sahabatku. Aku pulang dulu ke rumah, kemudian membeli sesuatu untuk kuberikan padanya, dan mencari-cari tempat yang nyaman untuk mengobrol nanti. Kupikir kalau tidak sempat mengobrol sebelum ibadah, kami bisa melakukannya setelah ibadah usai. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk sahabatku.

Namun, karena persiapan yang kulakukan itu memakan waktu lama, aku jadi sangat terlambat datang ke kampus. Ibadah telah dimulai. Aku dan sahabatku duduk terpisah dan belum sempat bertegur sapa. Ketika ibadah selesai, ternyata sahabatku harus segera kembali ke tempatnya menginap. Hari sudah larut malam dan rencana awal kami untuk duduk santai sambil mengobrol pun hilang.

Aku menyesal. Seandainya saja tadi aku tidak pulang dulu dan repot-repot mencari sesuatu untuk kuberi padanya, pasti kami bisa meluangkan waktu untuk berbagi cerita. Semua persiapan yang kupikir akan menyenangkan sahabatku menjadi tidak berguna karena tujuan semula sahabatku tidak terwujud.

Dalam perjalanan pulangku, aku teringat akan kisah Marta yang menyambut Tuhan Yesus dan murid-muridnya. Kisah ini tercatat di Kitab Lukas 10:38-42. Ketika Yesus tiba di rumahnya, Marta sangat sibuk melayani. Mungkin sebagai tuan rumah, Marta ingin memberi pelayanan yang terbaik untuk Yesus. Tapi, keputusannya ini membuat dia menjadi sangat sibuk, apalagi kalau waktu itu kedatangan Yesus dan murid-murid-Nya bersifat mendadak.

Berbanding terbalik dengan Marta, Maria saudarinya justru memilih duduk dekat kaki Yesus dan terus mendengarkan perkataan-Nya (ayat 39). Melihat Maria yang tidak membantunya, Marta jadi kesal. Saking kesalnya, dia sampai berani menegur dan mengoreksi Yesus, katanya: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku” (ayat 40).

Mendengar keluhan Marta, Yesus tidak menanggapinya dengan membela Marta dan menyuruh Maria untuk ikutan sibuk. Yesus berkata: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (ayat 41-42).

Tuhan Yesus tidak menyalahkan Marta karena kesibukannya. Kata Yesus, Marta khawatir dan menyusahkan dirinya hingga dia kehilangan yang terbaik, yaitu waktu yang berkualitas bersama Tuhan. Marta kehilangan komunikasi dan keintiman relasi dengan Tuhan ketika dia menyusahkan dirinya dengan segala usaha yang dia pikir akan menyenangkan hati Tuhan.

Aku merasa tertegur. Seringkali aku bersikap seperti Marta. Aku suka menyibukkan diri supaya bisa memberikan yang terbaik, tapi kenyataannya, itu tidak selalu jadi sesuatu yang terbaik. Seperti aku yang kehilangan waktu berharga dengan sahabatku, aku pun kehilangan waktu yang berharga untuk berelasi dengan Tuhan.

Aku pernah sangat sibuk dengan pelayanan, pekerjaan, studi, atau kegiatan lainnya yang kupikir akan menyenangkan Tuhan. Tapi, lama-lama aku merasa lelah sendiri dan tidak lagi menikmati kegiatan-kegiatan itu. Aku menganggap waktu untuk berdiam diri dan berdoa itu tidak berguna dan tidak penting, hingga aku pun mengeluh dan kehilangan damai sejahtera. Sesuatu yang awalnya kulakukan sebagai wujud persembahan terbaikku untuk Tuhan malah jadi sesuatu yang membuatku merasa jauh dari-Nya.

Dari kisah Marta, aku mengerti bahwa Tuhan tidak ingin kita kehilangan yang terbaik dalam upaya kita untuk memberi-Nya yang terbaik. Aku memang perlu berupaya sepenuh hati untuk menyenangkan hati-Nya, namun aku pun perlu mengingat bahwa apa yang Tuhan inginkan dariku adalah relasi dan pengenalan akan Dia.

Seperti lirik sebuah lagu yang berkata “satu hal yang kurindu, berdiam di dalam rumah-Mu”, aku berkomitmen untuk meluangkan waktu di tengah kesibukanku untuk berelasi dengan-Nya.

Satu hal yang kurindu
Berdiam di dalam rumah-Mu
Satu hal yang kupinta
Menikmati bait-Mu Tuhan

Lebih baik satu hari di pelataran-Mu
Daripada s’ribu hari di tempat lain
Memuji-Mu, menyembah-Mu, Kau Allah yang hidup
Dan menikmati s’mua kemurahan-Mu

Baca Juga:

Seandainya Tuhan Membuat Parasku Cantik

Aku tidak puas dengan tubuhku yang pendek, gemuk, dan terlihat biasa-biasa saja. Dalam beberapa kesempatan, aku berusaha mengubah bentuk tubuhku supaya diterima dengan baik oleh orang lain. Hingga suatu ketika, Tuhan menegurku dan inilah yang menjadi titik balik hidupku.