Posts

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Oleh Marlena V.Lee, Jakarta

Setiap kita tentu memiliki impian. Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Saat merenungkan pertanyaan itu, aku teringat akan suatu peristiwa. Pertengahan tahun 2017 lalu, aku diundang untuk membawakan training menulis di kota Solo untuk pelayanan renungan di gerejaku. Di hari keberangkatan, aku telah siap lama sebelum jam keberangkatan pesawat. Aku memesan taksi online dan seperti biasanya aku menginfokan alamat rumahku dan patokannya via chat.

Namun, sepuluh menit, lima belas menit berlalu tanpa respons. Saat aku menelepon pengemudinya, ia menjawabku dengan nada malas. Katanya ia masih makan dan ia memintaku cancel saja jika aku tidak mau menunggu. Aku mengiyakan. Lalu, kupesan kembali taksi online. Tapi, tidak ada satu pun pengemudi yang mau mengambil orderku. Kucoba gunakkan aplikasi lain, hasilnya pun sama. Barulah setengah jam kemudian akhirnya ada pengemudi yang bersedia menjemputku.

Tapi, baru saja aku merasa lega, di jalan raya kami dihadang oleh kemacetan. Padahal sebelumnya di Google Maps tidak terdeteksi ada kemacetan di situ. Dalam kepalaku langsung terbayang skenario terburuk: ketinggalan pesawat.

Sementara mobil terus melaju bagaikan siput, sisa waktuku semakin habis. Saat kami sampai di dekat jalan tol menuju bandara, mobil kami terhadang macet parah. Tiba-tiba pengemudi mengusulkan untuk mengambil jalan tikus, alias jalan lain saja.

Di jalur yang baru, mobil kami bisa melaju lebih lancar. Tapi, bukannya mendekati bandara, aku merasa mobil ini malah semakin menjauhinya. Aku cemas, tapi tidak berani berkomentar karena takut menyinggung pengemudi yang sudah berusaha mencari jalan lain.

Saat tiba di bandara, waktuku hanya tinggal 15 menit lagi. Di loket check-in, petugas yang melayaniku memintaku menunggu. Ia lalu memanggil pria yang berada di sampingnya. Tampaknya pria itu atasannya. Sambil menyebutkan tujuan dan nomor penerbanganku, petugas itu bertanya, “Bagaimana, Pak?”

Pertanyaan itu singkat, tetapi aku mengerti maksudnya. Apakah aku masih diizinkan masuk?

Puji Tuhan. Mereka mengizinkanku masuk ke pesawat. Petugas itu lalu memberiku boarding pass dan tersenyum sambil berkata, “Mbak harus lari ya. Pesawatnya sudah last-call.”

Aku berlari sekuat tenaga. Tapi, tas di pundakku tiba-tiba merosot. Aku berusaha memperbaiki posisinya, tapi aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Sakit? Iya. Malu? Sudah pasti. Namun, secepatnya aku kembali berdiri dan berlari.

Ketika tiba di gerbang tujuanku, aku melihat antrean penumpang sudah terbentuk. Aku segera bergabung dan berjalan masuk ke dalam pesawat. Saat itu aku baru sadar kalau di boarding pass tertera nomor 1A, itu adalah tempat duduk paling depan. Begitu masuk pesawat, aku langsung duduk dan memberi kabar kepada orang tuaku serta pengerja gereja yang nanti akan menjemputku di Solo. Aku masih sempat bertukar kabar, bahkan bercanda dengan beberapa temanku di chat. Hingga kemudian aku tersadar, meski aku sudah duduk lumayan lama, ternyata masih banyak orang yang mengantre untuk masuk ke dalam pesawat. Orang-orang yang duduk di belakang harus menunggu sampai orang-orang di depannya selesai memasukkan barang ke bagasi kabin di atas tempat duduk.

Aku pun menyadari bahwa di balik tempat dudukku yang kurasa spesial ini, ada penyertaan Tuhan yang menyertai perjalananku.

Aku hampir saja tertinggal pesawat hingga aku begitu cemas dan hampir putus asa. Tapi, Tuhan menyediakan tempat duduk yang istimewa buatku. Keistimewaan itu semakin terasa ketika ternyata tidak ada penumpang lain yang duduk di deretan kursi nomor 1.

Saat itu aku merasa Tuhan seperti berbicara ke dalam hatiku. Tuhan tahu semua usaha keras dan keputusasaanku. Dia tahu perjuangan yang sudah kulakukan. Dan, ketika ada hambatan-hambatan yang terjadi dalam perjalananku, Tuhan bukannya sedang tidak peduli kepadaku. Aku percaya, di balik semua hambatan tersebut, Tuhan sedang merenda kebaikan untukku.

Peristiwa nyaris ketinggalan pesawat tersebut membuatku memahami bahwa kehidupan ini tidak selalu berjalan seturut dengan rencanaku. Namun, itu bukanlah alasan untukku berputus asa. Aku harus terus berjuang hingga akhir. Meski aku harus berlari dan terjatuh, meski orang-orang mungkin mempertanyakan apa yang kulakukan, namun selama aku fokus pada tujuanku, selama aku tidak menyerah dan tetap percaya, Tuhan akan membukakan pintu-pintu yang seolah tertutup. Tuhan akan menyediakan tempat yang istimewa buatku.

Sahabatku, aku tidak tahu bagaimana dengan perjalanan hidup yang kamu sedang lalui. Namun, kiranya sekelumit pengalamanku ini boleh menolongmu untuk percaya dan menyerahkan hidupmu kepada Tuhan. Biarkan Tuhan yang mengarahkan langkah-langkah hidupmu. Meski kamu melalui jalan yang berbelok-belok, atau bahkan berbatu-batu, dan meski seringkali kamu menemukan dirimu tidak memahami maksud Tuhan dalam hidupmu, tetaplah percaya kepada-Nya. Bila Tuhan yang menyertaimu, Dia pasti akan memberikan pertolongan dan tuntunan-Nya dalam segala sesuatu yang kamu kerjakan.

“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37:5).

Baca Juga:

Belajar untuk Tidak Khawatir

Aku sering merasa takut dan bimbang akan masa depanku. Namun, melalui pertemuanku dengan Glen, aku diajar oleh Tuhan untuk tidak khawatir akan apa yang kelak kan terjadi di depanku.

Kamu Berharga di Mata Tuhan

Oleh Marlena V.Lee, Jakarta

Pernahkah kamu bertanya-tanya tentang apakah yang membuatmu begitu spesial buat Tuhan? Adakah waktu-waktu di mana kamu bertanya, “Apakah aku benar-benar berharga di mata Tuhan? Mengapa?”

Kalau aku, ketika aku merasa lemah dan hancur hati, kerap aku menemukan diriku menanyakan hal tersebut. Bukannya aku meragukan Tuhan, hanya saja aku meragukan apakah diriku sendiri ini layak untuk dicintai atau tidak. Apa yang Tuhan lihat dariku, sehingga Dia menyerahkan segalanya—bahkan nyawa-Nya sendiri—untuk seseorang yang penuh kesalahan dan kelemahan sepertiku?

Pertanyaan itu selalu timbul tenggelam di hatiku, sampai suatu hari Tuhan menyadarkanku lewat suatu peristiwa sederhana. Saat itu, aku baru saja keluar dari mal dan sedang berlari ke halte bus. Tapi, aku menyadari ada sesuatu yang kurang. Gelangku hilang. Segera saja perasaan sebal menyenggol hatiku, sebab gelang itu adalah gelang yang aku buat sendiri. Tapi, karena saat itu aku sedang terburu-buru, jadi aku tidak berniat untuk kembali ke mal dan mencari gelang itu. Lagipula, gelang itu juga punya banyak kekurangan dan dengan hilangnya gelang itu, kupikir aku bisa membuat lagi yang baru dan menyempurnakan desainnya. Aku pun melanjutkan perjalananku.

Namun, entah mengapa, aku tiba-tiba teringat pada proses ketika aku membuat gelang itu. Aku ingat saat merencanakan bagaimana desainnya. Aku juga ingat saat mempertimbangkan batu manik-manik mana dan bahan lainnya yang sebaiknya kugunakan. Bahkan, perasaan menyenangkan ketika melihat rancangan gelangku mulai terbentuk pun kurasakan kembali. Langkahku terhenti. Meski banyak kekurangan, tapi proses pembuatan gelang itu tidaklah mudah dan aku pun mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Mungkin seharusnya aku mencoba mencari gelang itu.

Kembalilah aku ke dalam mal. Aku mencari di supermarket, toko roti, dan terus menelusuri jalan-jalan yang sempat kulalui. Sementara itu, kepingan demi kepingan ingatan saat aku membuat gelang itu terus mendatangi benakku. Semakin lama, jantungku jadi berdebar semakin kencang. Keinginanku untuk menemukan gelang itu kian menguat. Saat tiba di toko buku—tempat terakhir yang kuingat kalau gelangku masih ada—aku hampir panik karena tidak menemukan gelang itu di sana. Aku pun bertanya pada karyawan di sana.

“Maaf, gelang itu mahal?” tanyanya dengan ekspresi khawatir. Mungkin karena suaraku yang sedikit bergetar.

Saat aku mengatakan kalau gelang itu hanya terbuat dari mote dan renda, ia terlihat heran. Namun ia tetap tersenyum dan memintaku menunggu sambil bertanya pada rekan-rekannya.

Detik demi detik berlalu. Hatiku semakin tidak karuan. Bagaimana kalau gelang itu hilang? Tidak sesaat pun pikiran bahwa aku dapat membuat gelang itu kembali terlintas di benakku. Aku harus mendapatkannya kembali. Harus!

Saat karyawan toko buku itu kembali dengan gelangku di tangannya, aku menerimanya dengan tangan gemetar. Impitan di hatiku pun terlepas. Aku langsung menggenggamnya dekat di dadaku dan bersyukur. Saat itulah kusadari betapa berharganya bagiku benda tidak sempurna yang kubuat itu.

Melalui kejadian ini, Tuhan membuatku sadar, kalau aku bisa menganggap benda mati yang kubuat sebegitu berharganya, terlebih lagi Dia menganggapku berharga di hati-Nya. Benar, bisa saja Tuhan menciptakan versi diriku yang lebih sempurna, tetapi Dia bukanlah manusia yang membuat kesalahan. Dialah Tuhan, yang telah menenun kita dengan hati-hati dalam kandungan ibu kita (Mazmur 139:13). Bahkan, sebelum kita terlahir ke dunia ini, Dia sudah mengenal dan melayakkan kita (Yeremia 1:5).

Sobat, tidak peduli apa yang kamu rasakan tentang dirimu sendiri, tidak peduli seberapa tidak sempurnanya kamu, kenyataan bahwa Tuhan menciptakanmu itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan dan bukti mengapa Dia begitu mengasihimu. Meski kamu merasa dirimu bukanlah apa-apa, hidupmu seolah dipenuhi kesalahan serta kegagalan, orang-orang di sekelilingmu menolakmu, atau bahkan kamu putus asa terhadap dirimu sendiri, ketahuilah satu hal ini: kamu teramat sangat berharga di mata Tuhan.

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau” (Yesaya 43:4a).

Kamu begitu berharga, sampai-sampai Pencipta alam semesta ini merelakan Anak-Nya yang tunggal untuk turun ke dunia demi mencarimu dan mati di kayu salib bagimu. Seperti gembala yang menemukan dombanya yang terhilang, atau wanita yang menemukan kembali dirhamnya dan kemudian memanggil sahabat-sahabat serta tetangganya untuk bersukacita bersama, demikianlah sukacita yang meliputi surga ketika Tuhan mendapatkanmu kembali dalam pelukan-Nya (Lukas 15:4-10). Percayalah dan ketahuilah, terlepas dari apa pun yang kamu rasakan tentang dirimu sendiri, kamu sungguh berharga.

Baca Juga:

Belajar dari Nehemia: Sudahkah Doa Menjadi Respons Pertamamu?

Ketika menerima suatu informasi yang entah baik atau buruk, respons pertamaku adalah segera menghubungi temanku. Namun, kisah Nehemia menegurku.