Posts

Kataku vs Kata Tuhan

Apa yang kita pikirkan dan tanamkan dalam hati, lalu kita “luapkan”, dapat menggambarkan siapa kita bagi sesama, terlebih bagi Tuhan.

Yuk, sebelum bertutur kata maupun bertindak, selaraskan lebih dulu hati dan pikiran kita dengan firman Tuhan 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tak Seharusnya Nyawa Melayang, Bagaimana Kita Bisa Belajar dari Petaka Kanjuruhan

Oleh Agustinus Ryanto

Indonesia berduka.

Seratusan lebih nyawa melayang dalam sebuah pertandingan yang berubah menjadi kacau di stadion Kanjuruhan, Malang. Kita yang tidak hadir secara langsung di tempat kejadian perkara hanya bisa menerka-nerka seperti apa keadaan saat itu dari berbagai postingan di media sosial. Terlepas dari apa pun teori maupun kesaksian yang menyorot siapa yang salah, ada satu poin krusial yang bisa kita sepakati bersama, yakni suasana chaos alias kacau yang mengakibatkan situasi tidak bisa lagi dikendalikan.

Kronologis umum yang beredar di masyarakat adalah para suporter tak terima tim kesayangannya kalah merangsek masuk ke lapangan, lalu berujung ricuh. Aparat berwajib menanggapinya dengan melepaskan tembakan gas air mata yang bukannya membuat suasana kondusif, tetapi menjadi semakin kacau. Puluhan ribu orang berlari tunggang-langgang menyelamatkan diri, saling berhimpitan, hingga akhirnya satu per satu nyawa berjatuhan.

Mengendalikan amarah sebelum itu menciptakan angkara

Aristoteles seorang filsuf Yunani pernah berkata, “Siapa pun bisa marah—marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik—bukanlah hal mudah.”

Tragedi Kanjuruhan bisa kita katakan bermula dari suatu kemarahan. Ketika para suporter tak terima tim kesayangannya kalah, mereka meluapkan kemarahannya dengan turun ke lapangan. Tetapi, ini bukanlah faktor tunggal dan utama. Sebuah chaos atau kekacauan terjadi karena faktor-faktor lain yang bertumpang tindih dan tidak ditanggapi dengan cara yang tepat. Kemarahan suporter yang beringas ditanggapi aparat dengan penembakan gas air mata. Amarah bertemu amarah, maka terjadilah angkara. Kericuhan pun tak terelakkan.

Kondisi diperparah dengan banyaknya jumlah massa. Coba kita bayangkan, ketika kita sedang marah sampai naik ke ubun-ubun. Daniel Goleman dalam bukunya berjudul Emotional Intelligence mengatakan bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, yang diterima otak lalu diterjemahkan tubuh menjadi tindakan-tindakan seperti membentak, membanting pintu, menangis, atau yang mengerikannya (seperti yang kita lihat dalam berita kriminal), menyakiti hingga membunuh orang lain.

Jika kita membaca kembali Alkitab, kita akan menemukan ada beberapa kasus ketika amarah massa meluap-luap dan mereka melakukan tindakan brutal. Dalam Kisah Para Rasul kita mendapati kisah Stefanus yang dirajam batu oleh kerumunan orang yang marah kepadanya. Stefanus hidup pada masa imperium Romawi. Kita yang hidup di abad 21 mungkin merasa masa-masa Romawi itu masa yang sangat kuno dan jadul, tetapi sejarah mencatat Kekaisaran Romawi sebagai sebuah negara dengan sistem politik dan peradilan yang mapan pada zaman itu. Mereka memiliki mahkamah dan pengadilan. Tetapi, prosedur dan sistem itu tidak berlaku dalam kasus Stefanus. Kisah Para Rasul 7:54 mencatat, “Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi…” lanjutnya, “…sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya.”

Perajaman Stefanus diawali dari amarah yang disebabkan oleh ucapannya. Amarah mahkamah agama menjalar menjadi amarah massa yang pada akhirnya menjatuhi Stefanus hukuman tanpa peradilan. Amarah yang bertumpuk dan terjadi pada suatu kerumunan menimbulkan suatu efek luar biasa. Orang bisa bertindak sadis karena tahu mereka tidak sendirian melakukannya. Semakin tak terkendali tindakan kerumunan, semakin chaos-lah situasi yang terjadi. Bayangkanlah jika kita ada di antara kerumunan yang sedang marah dan chaos tersebut? Apa yang dapat kita lakukan? Kita mungkin akan melarikan diri, atau bisa jadi kita pun tersulut emosinya untuk ikut melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang.

Terhadap rasa marah yang dapat mengantar kita pada situasi kacau, Alkitab pada dasarnya menegaskan bahwa marah bukanlah tindakan berdosa. Tuhan Yesus pun pernah marah, dan di sinilah kita dapat belajar bagaimana mengelola marah dengan benar.

Kelemahan kita sebagai manusia adalah ketika kita marah, kita gagal menguasai diri. Oleh karenanya, Alkitab mengingatkan, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah, sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:19-20). Poin yang bisa digarisbawahi dari ayat ini adalah pada frasa “amarah manusia.” Emosi marah tanpa pengendalian diri yang didapat dari pertolongan Roh Kudus tidak menjadikan amarah kita sebagai cara untuk memecahkan masalah, yang ada malah menimbulkan masalah yang lebih besar.

Dukacita telah terjadi. Nyawa yang telah melayang tak dapat ditarik kembali kepada tubuh yang fana. Ini kabar kelam dan pilu bagi kita semua, entah kita seorang suporter sepak bola atau bukan. Jika ada di antara kita yang marah karena tragedi ini, bawalah kemarahan itu dalam doa pada Tuhan lebih dulu supaya kita dapat melihat pula ke dalam diri kita sendiri dan memandang tragedi ini dari perspektif yang lebih luas.

Rivalitas dan fanatisme antara sesama suporter yang tak terima tim kesayangannya kalah, mungkin juga adalah sifat kita yang tak suka melihat orang lain lebih berhasil dari kita, sehingga kita selalu menganggap hidup ini adalah persaingan tiada batas.

Kiranya tragedi ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Tak ada marah yang sebanding nilainya dengan jatuhnya nyawa manusia.

Duka mendalam untuk seluruh korban. Tuhan Yesus memberi penghiburan dan kekuatan bagi semua korban dan keluarga yang berduka.

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Oleh Rachel, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 为什么我喜欢“被爱”的感觉?(有声中文

Aku tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku tidak perlu berusaha apa-apa untuk mendapatkan kasih dari mereka.

Namun, aku mendapati diriku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Setiap kali mereka lebih perhatian kepada teman-teman yang lain, aku merasakan kekecewaan yang rasanya sulit untuk dijelaskan. Ketika mereka lupa mengajakku untuk bertemu, aku merasa sedih, diabaikan, dan berpikir bahwa mereka tidak mengasihiku.

Sebagai wanita single, aku juga merindukan hadirnya seorang pasangan yang mengasihiku. Dalam masa-masa sedihku, aku sering berharap memiliki seseorang yang mampu menguatkanku, menenangkanku, dan mendukungku. Meskipun aku tidak secara aktif mencari seseorang yang seperti itu, aku berharap dalam hatiku untuk memiliki seseorang yang spesial untuk menghabiskan waktu bersama.

Aku juga selalu menginginkan orang-orang untuk berempati terhadapku di masa-masa sulit. Ketika aku bergumul dengan studiku, aku ingin dikuatkan dan didukung oleh teman-temanku. Ketika aku menghadapi masalah dalam relasiku, aku ingin ada seorang teman yang bersedia menasihati dan menolongku.

Aku ingin menjadi seseorang yang diprioritaskan. Aku ingin dianggap berharga dan dikasihi. Namun, ketika aku memasang ekspektasi tertentu terhadap teman-temanku, pada akhirnya yang kudapatkan adalah kekecewaan. Mungkin kekecewaaan itu berasal dari ekspektasiku yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Hasilnya, aku malah merasa tidak bahagia dalam misiku mendapatkan kasih dan penerimaan dari teman-temanku.

Ketika aku menyadari bahwa berusaha merasa dikasihi membuatku semakin merasa tidak puas dan bersukacita, aku memutuskan untuk mengubah caraku menghadapi keinginanku. Meskipun aku ingin orang lain mengasihiku dan peduli akan perasaanku, aku belajar untuk melakukan hal yang serupa pada mereka. Keinginanku mendorongku untuk mengerti orang-orang di sekitarku—yang sama-sama memiliki keinginan untuk dikasihi. Sebagai ganti dari berusaha untuk dikasihi, aku perlu mengasihi dan berempati dengan orang-orang lain dalam kelemahan dan penderitaan mereka.

Jadi setiap kali keinginan itu muncul, aku akan menanyakan diriku pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah kasih Tuhan memuaskanku?

“Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:9-10).

Apakah aku melupakan kasih yang dilimpahkan kepadaku oleh Yesus Kristus, Imam Besar yang Agung? Aku dibenarkan karena kasih penebusan-Nya di kayu salib. Apakah kasih Tuhan tidak bisa mengisi hatiku sepenuhnya? Atau apakah aku belum benar-benar merefleksikan dan menerima kebenaran ini?

Kasih dari teman maupun pasangan tidak dapat mengisi kekosongan dalamku. Lagipula, mereka hanya manusia yang tidak “sempurna”, yang perlu dikasihi dan diperhatikan, sama sepertiku. Hanya kasih Allah yang mampu memuaskan kita. Aku sudah dikasihi oleh Kasih yang sempurna! Aku tidak perlu mengkhawatirkan apakah aku dikasihi. Justru aku harus mengasihi orang-orang di sekitarku—dengan kasih yang telah dicurahkan kepadaku. Ketika aku sampai pada kesimpulan ini, hatiku dipenuhi dengan rasa syukur yang telah dibaharui.

Sejak saat itu, aku belajar untuk berinisiatif memperhatikan orang-orang di sekitarku. Kita semua, tanpa terkecuali, suatu saat akan berhadapan dengan kesulitan dan keletihan dalam perjalanan hidup kita. Memberikan penguatan dan bantuan untuk teman-temanku pada masa-masa itu dapat memberikan dampak yang besar dalam hidup mereka.

2. Apakah aku sedang mengejar sesuatu yang tidak sesuai dengan identitasku?

Apakah momen ketika temanku melupakanku benar-benar hal penting? Apakah aku harus tersinggung ketika aku bukanlah prioritas utama teman-temanku? Aku mengambil waktu untuk merefleksikan pertanyaan-pertanyaan ini, dan diingatkan bahwa identitasku adalah seorang anak Tuhan, bukan hanya seorang teman yang populer.

Roma 8:16-17 berkata, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”

Apa yang sedang kukejar seharusnya selaras dengan identitasku. Sebagai ahli waris bersama Kristus, aku memiliki akses pada sebuah kasih yang bisa mengisi diriku dengan sukacita yang lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh siapapun. Ketika aku lebih tergoda untuk mengejar kasih teman-temanku dibandingkan mencari kenyamanan dari Tuhan, aku harus mengatakan pada diriku bahwa aku, yang pertama dan terutama, adalah seorang anak Tuhan.

3. Apakah aku membiarkan perasaan insecure menguasai diriku?

Mungkin salah satu alasan aku bergumul dengan pertanyaan ini adalah karena aku orang yang rendah diri sejak kecil. Aku selalu berpikir bahwa aku tidak cantik maupun pintar, dan aku merasa orang lain sepertinya tidak suka padaku. Karena itu, mendapatkan penerimaan dari teman-teman dan bahkan pasangan menjadi hal yang sangat penting bagiku.

Namun, kasih Tuhan telah menunjukkanku nilai diriku di dalam Kristus. Aku telah dibeli dengan harga yang mahal (1 Korintus 6:20). Yesus Kristus menderita di kayu salib agar aku dibenarkan oleh iman. Tuhan menciptakanku untuk memuliakan Dia, lalu bagaimana mungkin aku memandang rendah diriku sendiri?

Roma 8:38-39 berkata, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Perasaan rendah diri, insecure, dan ketakutan-ketakutanku tidak bisa memisahkan diriku dari kasih Tuhan! Kasih ini hanya datang dari Yesus Kristus, dan tidak dapat ditemukan dalam teman-teman, keluarga, maupun pasangan kita.

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum seiring aku merenungkan dalam hati jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, karena aku tahu aku tidak lagi perlu merindukan perasaan dikasihi ketika aku memiliki kasih yang terbesar. Dan karena aku adalah seorang anak Tuhan, aku memiliki hak istimewa untuk menolong orang lain mengisi kerinduannya untuk dikasihi dengan kasih Kristus.

Ada masa-masa di mana aku kembali pada pola pikir lamaku dan merasa diabaikan oleh teman-temanku. Namun, mengingat kebenaran Tuhan tentang siapa diriku membantuku mengarahkan kembali tindakanku untuk mengasihi orang lain dan menunjukkan kasih Kristus pada mereka.

1 Yohanes 4:12 berkata, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.”

Baca Juga:

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Lalu, apa yang membuat kami bertahan?

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Signs Your Emotions Are Ruling Your Life

Butuh perjuangan berat untukku tidak segera membalas chat yang dikirim kepadaku. Kumatikan ponselku. Aku tidak akan membiarkan emosiku mempengaruhi tindakanku. Aku tidak ingin jadi orang yang ceroboh karena melontarkan kata-kata yang tidak tepat saat emosiku sedang tidak stabil.

Aku tahu chat dari temanku itu sebenarnya tidak berarti apa-apa. Tapi sebagai orang dengan kepribadian INFJ, aku pun tahu bahwa aku mudah terbawa emosi dan perasaan. Oleh karenanya, aku menjaga diriku agar aku tidak mudah terbawa oleh emosi itu.

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita. Mungkin beberapa di antara kita adalah orang yang mudah “baper”, dan mengendalikan emosi adalah hal yang amat sulit. Tapi, inilah pelajaran berharga yang telah kupelajari selama beberapa tahun belakangan.

Belajar untuk mengendalikan emosi akan memberikan kepenuhan di setiap aspek kehidupan kita. Lagipula, hidup kita sesungguhnya tidak ditentukan dari perasaan kita sendiri. Jadi, bagaimana caranya kita tahu apabila hidup kita sudah dikendalikan oleh emosi kita sendiri?

1. Kita seketika bereaksi tanpa berpikir

Ketika emosiku telah mengendalikan diriku, aku sering mendapati diriku seketika bereaksi (kadang reaksi yang sebetulnya tidak perlu) ketika situasi sedang ‘panas’. Biasanya itu terjadi ketika aku mendapatkan balasan email yang tidak menyenangkan dari rekan kerjaku, atau mendapati piring-piring kotor menumpuk di dapur. Mudah rasanya untuk segera meluapkan emosiku dan mengatakan kata-kata pertama yang muncul di benakku.

Segera menghakimi orang lain kadang jauh lebih mudah daripada berusaha menunjukkan kasih dan memberi ruang untuk percaya kepada mereka. Tapi, aku menantang diriku untuk menghindari reaksi emosi yang buruk semacam itu. Aku belajar untuk bagaimana aku dapat merespons dengan positif alih-alih meremehkan.

Aku dan suamiku menciptakan beberapa “peraturan” yang harus kami pertahankan jika suatu saat kami bertengkar. Salah satu aturannya adalah “Jangan memantik kebakaran yang nanti akan sulit dipadamkan.” Dalam kata lain, kami tidak boleh ceplas-ceplos, bicara tanpa berpikir ketika emosi kami sedang meninggi. Bisa saja perkataan yang diucapkan itu nantinya malah menyakiti hati kami dan perlu upaya keras untuk dapat saling memaafkan.

Bereaksi secara spontan rasanya adalah respons alami, tetapi memahami bahwa perasaan kita tidak seharusnya mengatur hidup kita adalah langkah pertama untuk mencapai kehidupan emosional yang lebih sehat. Selagi menanti situasi yang panas menjadi dingin, aku memohon Roh Kudus untuk menunjukkan kepadaku akar dari reaksi emosionalku. Mengundang Tuhan untuk hadir dalam tiap reaksi yang kuberikan menolongku untuk dapat merespons dengan lebih baik lagi setiap kali aku mengalami gejolak emosi.

2. Kita begitu percaya akan perasaan kita seolah-olah itu adalah kenyataan

Satu hal yang konselorku ajarkan adalah perasaan itu sesungguhnya tidak benar atau salah, perasaan hanyalah perasaan. Temanku, ketika aku membagikan tulisan ini, aku juga ingin memberitahumu bahwa perasaan kita tidak selalu dapat dipercaya. Pada kenyataannya, perasaan kita seringkali berbohong pada kita. Kita menemukan kebenarannya di Yeremia 17:9 yang mengatakan bahwa hati adalah sumber kelicikan: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatnya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Masalah dapat terjadi ketika perasaan kita membuat kita tidak lagi mampu melihat kenyataan di depan kita. Dalam kata lain, kita telah menjadikan perasaan kita sebagai berhala kita, dan kita mulai mempercayai perasaan itu lebih daripada kita percaya akan apa kata Tuhan buat kita. Jika kita tiba dalam momen seperti itu, itulah saatnya buat kita melakukan proses soul-searching, atau pencarian jiwa. Tapi, alih-alih mengikuti apa yang hatiku katakan, aku perlu mengikuti teladan Yesus dan mengupayakan buah-buah roh—yang di dalamnya juga terkandung penguasaan diri—dihasilkan dalam hidupku (Galatia 5:22-23).

3. Kamu merasa tidak terkendali

Ketika emosi kita mempengaruhi kita, kadang kita bisa saja jadi berperilaku seperti anak-anak, atau kita menarik diri dari situasi yang sedang kita hadapi. Emosi kita dapat secara langsung mempengaruhi pikiran dan tindakan kita, dan kadang-kadang dengan cara yang tidak sehat.

Jika kamu membaca tulisan ini, aku yakin kamu memiliki tingkat kecerdasan emosi yang cukup untuk mengenali apakah emosimu sedang bergejolak atau tidak. Tapi, jika ada di antara kamu yang merasa kesulitan mengendalikan emosimu, kamu perlu mencari tahu apa yang kira-kira menjadi penyebabnya. Apakah itu gejala FOMO (Fear of Missing Out) yang sering membuatmu merasa putus asa ketika kamu menjelajahi Instagram, atau perasaan tertolak ketika lawan bicaramu di telepon hanya merespons dengan hening. Sangat penting untuk mencari tahu apa yang jadi penyebab gejolak emosi kita, karena ketika kita tahu apa yang jadi penyebabnya, kita dapat lebih cepat menyerahkannya pada Tuhan dan kita dapat segera mengendalikan emosi tersebut.

Di hari-hari ini, ketika budaya kita mendorong kita untuk semakin terbuka tentang perasaan kita—sesuatu yang dibutuhkan untuk membina suatu relasi-—dalah penting untuk kita belajar hidup melampaui apa yang kita rasakan.

Menyadari emosi diri kita sendiri itu penting untuk perkembangan diri kita. Namun, kita tidak dapat mengizinkan emosi kita menentukan jalan mana yang hendak kita ambil. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: Apakah aku membiarkan emosiku mengendalikanku? Apakah perasaanku membawaku ke jalan yang salah? Jika jawabannya adalah ya, kita mungkin perlu memikirkan kembali di mana kita meletakkan peran emosi dalam kehidupan kita.

Dan, jika kamu mendapati dirimu merasakan salah satu dari ketiga poin yang kutuliskan, jangan khawatir. Aku ada di sini bersamamu. Emosi adalah salah satu bagian yang menjadikan kita manusia. Kita tidak perlu berusaha menghilangkan perasaan itu dengan menguburnya dalam-dalam, tapi kita bisa membawa seluruh perasaan dan emosi kita kepada Bapa yang penuh kasih, yang mau menuntun dan menantang kita untuk menjalani hidup yang terbaik buat kita.

Tuhan ingin kita menyerahkan segala aspek kehidupan kita kepada-Nya, termasuk emosi kita. Semakin kita mencari tuntunan Tuhan dalam kehidupan emosional kita, semakin kita dapat bertumbuh dengan kepekaan untuk mengetahui perasaan mana yang dapat kita percayai dan perasaan mana yang harus kita pakukan di kayu salib.

Jadi, janganlah takut, kita semua sedang melalui perjalanan emosional yang kita sebut sebagai kehidupan. Dan yang paling utama adalah kita semua sedang menempuh perjalanan menuju pemulihan yang sejati bersama Yesus. Jadi, yuk katakan ini bersamaku: “Emosiku bukanlah raja atas hidupku. Tidak ada raja apapun dalam hidupku selain Yesus.”

* * *

Tentang penulis:

Rachel adalah warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia. Dia adalah penggemar digital media dan juga seorang penulis. Kamu bisa membaca lebih banyak karya-karyanya tentang iman dan kesehatan mental di blognya, With Love from Rachel. Ketika Rachel tidak sedang menulis, dia meluangkan harinya untuk mencari secangkir kopi terbaik di sebuah kafe yang nyaman, merencanakan tujuan perjalanan selanjutnya, dan menikmati hidupnya besama James, suaminya.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Aku pernah melayani dengan semangat, namun tanpa kusadari pelayanan ini membuat celah bagiku untuk memegahkan diri. Pelayanan tak lagi kulakukan buat Tuhan, tapi untuk diriku sendiri.

5 Ayat Alkitab yang Menguatkanmu Saat Kamu Merasa “Marah”

Kehidupan memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kita menghadapi tantangan dan badai hidup yang dapat menggoyahkan iman kita. Tetapi semua itu dapat menjadi sebuah jalan agar kita makin berakar dan bertumbuh di dalam Tuhan. Saat melewati hari-hari yang sulit itu, membaca firman Tuhan dapat menguatkan kita untuk terus berjuang di dalam Dia. Mari terus berharap pada kekuatan dan penghiburan dari-Nya.

6-5 Ayat Alkitab-marah-01

6-5 Ayat Alkitab-marah-02

6-5 Ayat Alkitab-marah-03

6-5 Ayat Alkitab-marah-04

6-5 Ayat Alkitab-marah-05

6-5 Ayat Alkitab-marah-06

Jadilah yang pertama menemukan artikel terbaru dari WarungSaTeKaMu.org. Add akun LINE kami dengan klik di sini atau cari melalui ID @warungsatekamu

Add Friend