Posts

Sekaranglah Kesempatan Kedua Itu!: Disiplin Rohani Menebus Waktu

Oleh Jefferson

“Apakah halangan terbesarmu untuk berdisiplin rohani?”

Aku tidak tahu apa jawabanmu untuk pertanyaan di atas, tetapi kebanyakan responden dari surveiku menjawab “keterbatasan waktu” sebagai halangan terbesar mereka untuk rutin mempraktikkan disiplin rohani. Sambil merenungkan realita ini, kata-kata Paulus terngiang dalam benakku:

“Jadi, perhatikan dengan saksama bagaimana kamu hidup, jangan seperti orang bebal,…” (Efesus 5:15).

Apa maksud di balik perkataan Paulus? Penggalian perikop besarnya menuntunku untuk melihat penatalayanan waktu sebagai salah satu disiplin rohani terpenting di zaman ini, “terlebih lagi karena kamu tahu bahwa Hari Tuhan sudah semakin dekat” (Ibr. 10:25; bdk. Mat. 24:42, 44).

Belajar Menebus Waktu dari Efesus 5:1–20

Latar belakang kitab Efesus sudah pernah kugali dalam satu tulisanku sebelumnya, jadi di sini kita langsung fokus pada perikopnya. Paulus memulai dengan satu perintah utama di ayat 1–2, di mana sekali lagi kita melihat sasaran daripada disiplin rohani, yaitu keserupaan dengan Yesus:

1) Sebab itu, jadilah peniru-peniru Allah sebagaimana anak-anak yang terkasih.
2) Hiduplah dalam kasih, sama seperti Kristus mengasihi kita dan memberikan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan kurban yang harum bagi Allah.

Tapi bagaimana cara kita dapat hidup serupa dengan Yesus? Paulus menjawab lewat 18 ayat berikutnya, yang ia kemas dalam tiga bagian (yang dibatasi oleh “Jadi” di ayat 7 dan 15) yang membandingkan antara kehidupan dalam kegelapan dunia dan dalam terang Kristus. Bagian pertama (ay. 3–6) mencatat berbagai larangan bagi jemaat Efesus (dan kita) agar tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Mengapa begitu? Alasannya ada di bagian kedua (ay. 7–14): karena kita adalah “anak-anak terang” (ay. 8) yang telah dibangkitkan oleh Allah dari kegelapan dosa dan maut (ay. 14) agar kita “mencari tahu apa yang menyenangkan Tuhan” (ay. 10). Paulus lalu menjelaskan hal-hal apa saja yang menyukakan Tuhan dalam bagian terakhir lewat empat pasang perintah–larangan (ay. 15–18), yang ia kemudian akhiri dengan beberapa perintah penutup (ay. 19–20):

Ayat Perintah (+) Larangan (–)
15 Jadi, perhatikan dengan saksama bagaimana kamu hidup, …, jadilah bijak. … jangan seperti orang bebal…
16 Pergunakanlah waktu yang ada dengan sebaik-baiknya …  … karena hari-hari ini adalah jahat. 
17 Karena itu, …, tetapi mengertilah apa itu kehendak Tuhan.  … janganlah menjadi bodoh… 
18 … sebaliknya penuhlah dengan Roh. Jangan mabuk oleh anggur karena hal itu tidak pantas,…  

Dari keempat ayat di atas, aku ingin menyorot dua kata yang makna aslinya dalam bahasa Yunani mungkin hilang dalam proses penerjemahan. 

Pertama-tama, frasa “Pergunakanlah […] dengan sebaik-baiknya” di ayat 16 aslinya hanya satu kata, exagorazō, yang bisa berarti “dibeli” atau “ditebus”. Lewat pilihan kata ini, Paulus sedang mendorong jemaat Efesus (dan kita) untuk menebus waktu yang biasanya dipakai untuk “perbuatan kegelapan” (ay. 11) dengan hal-hal yang “menyenangkan Tuhan” (ay. 10) dan membuat kita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Di akhir hayat, banyak orang mengharapkan kesempatan kehidupan kedua, tetapi bagi kita yang telah ditebus Kristus, sekaranglah kesempatan kedua itu (bdk. 2 Kor. 5:17; Gal. 2:20), apalagi kita tidak tahu kapan kedatangan-Nya yang kedua (Mat. 24:44).

Kata kedua yang ingin kusorot adalah “penuhlah” (plērousthe, ay. 18). Kata ini menurut tata bahasa Yunani mengambil bentuk tensa imperatif masa kini sehingga memiliki makna tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi terus-menerus. Pilihan gramatika ini menyatakan perintah Paulus dengan gamblang: janganlah hidup sembarangan menurut hawa nafsu kita layaknya orang mabuk, tetapi berikanlah hidup kita untuk terus-menerus dipenuhi oleh Roh (ay. 18) yang salah satu bentuk buah-Nya adalah penguasaan diri (Gal. 5:22–23; bdk. Mat 24:42). Lewat semuanya ini kita dimampukan untuk beribadah kepada Allah, baik secara pribadi maupun dengan sesama orang percaya (ay. 19), mengucapkan “syukur senantiasa atas segala sesuatu kepada Allah Bapa dalam nama Tuhan kita, Kristus Yesus” (ay. 20).

Dari penguraian di atas, jelaslah hubungan antara keserupaan dengan Kristus dan disiplin rohani menebus waktu: menjadi serupa dengan Yesus (ay. 1–2) berarti menjalani setiap detik kehidupan (ay. 8) yang telah ditebus oleh-Nya dari kegelapan dosa dan maut (ay. 14, 16) di dalam Roh Kudus (ay. 18) agar kita dapat memahami dan mengerjakan kehendak Allah dalam kehidupan kita (ay. 15, 17) demi kemuliaan-Nya dan sukacita kita (ay. 19–20).

7 Tindakan Menebus Waktu di Zaman Akhir

Ketika mengetahui berbagai tanggung jawabku di kantor maupun pelayanan, umumnya aku akan ditanya, “Bagaimana caranya kamu bisa mengerjakan semuanya itu?”

Setelah membaca dan merenungkan perikop di atas, tepatnya ayat 13–20, aku melihat paling tidak ada tujuh tindakanku yang lewatnya Tuhan memenuhiku dengan Roh-Nya (ay. 18) untuk menatalayani waktuku yang telah Ia tebus di zaman akhir ini.

#1. Mulailah hari dengan Firman Tuhan (ay. 13–14) 

Bisa kamu tebak dari artikel yang kukutip di awal bahwa aku adalah pendukung garis keras saat teduh di pagi hari. Walaupun wajar-wajar saja kalau kita bersaat teduh di malam hari, menurutku melakukannya tepat setelah bangun tidur adalah praktik terbaik. Seperti matahari pagi yang membangunkan dunia dari kegelapan malam, begitu juga Firman Allah lewat saat teduh pagi “membangkitkan” kita untuk hidup dalam terang-Nya (ay. 13–14). Menjadikan persekutuan pribadi dengan Tuhan sebagai hal pertama yang kita lakukan di pagi hari mengingatkan bahwa Ialah pusat kehidupan kita yang mendikte tempo kita menjalani hari, bukan relasi maupun kesibukan kita. Saat teduh pagi layaknya briefing dari Tuhan yang mengarahkan bagaimana kita akan menjalankan aktivitas-aktivitas pada hari itu. 

Tetapi bagaimana kalau jadwal kita mengharuskan kita untuk mulai beraktivitas sejak fajar? Usahakan untuk tidur dan bangun lebih awal. Sebagai seorang konsultan lingkungan hidup, tidak jarang aku sudah harus berada di lokasi survei supaya dapat mengamati satwa-satwa yang menjadi aktif bersamaan dengan terbitnya sang surya. Awalnya memang berat, tetapi lewat persekutuan dengan sang Firman sebelum masuk ke hutan, aku jadi lebih siap untuk menikmati kemuliaan-Nya lewat alam yang kujelajahi.

#2. Pastikan urutan prioritas-prioritas yang ada benar (ay. 15, 17)

Setelah menikmati hadirat Tuhan sebagai pusat kehidupan, kita perlu melakukan tindakan kedua ini. Mengapa begitu? Karena kita pasti selalu menyediakan waktu untuk hal-hal yang kita prioritaskan, sekecil apapun hal itu. Prioritas-prioritas inilah yang menyingkapkan siapa yang sebenarnya kita sembah dalam kehidupan. Oleh karena itu, mintalah hikmat dari Allah (Yak. 1:5) agar kita dapat mencari dahulu kerajaan dan kebenaran-Nya (Mat. 6:33) dalam segala hal yang kita prioritaskan sehingga kita tidak hidup “seperti orang bebal” (ay. 15, 17).

Sebagai seorang perantau di Singapura, aku bisa saja memilih untuk bersantai tiap malam setelah seharian bekerja tanpa memperdulikan keluargaku di Indonesia maupun tanggung jawabku yang lain. Lagipula aku berhak beristirahat, bukan? Kalau urutan prioritasku begitu, kamu tidak akan sedang membaca tulisan ini. Puji Tuhan, aku tahu urutan prioritasku yang semestinya untuk bisa menjadi serupa dengan Kristus, bahkan di waktu malam yang sangat mudah disia-siakan. Perhatikan bahwa aku tidak sedang berdalih untuk menyibukkan diri setiap malam; ada waktu-waktu khusus yang kuprioritaskan untuk beristirahat, menonton serial drama, dan, tentu saja, menelpon keluargaku dan bersekutu dengan teman.

#3. Kenali serta kelola batasan-batasan dan pengalih perhatian yang ada (ay. 16, 18)

Selain mengenali bagaimana kita sebaiknya mengurutkan prioritas-prioritas kita, kita perlu mengenali dan mengelola hal-hal yang dapat mengancam susunan prioritas itu. Kita semua memang dianugerahkan Tuhan dengan jumlah waktu yang sama (24 jam), tetapi setiap kita memiliki batasan dan pengalih perhatian yang berbeda-beda. Sekali lagi, butuh hikmat dari Allah (Yak. 1:5) untuk dapat mengenali dan mengelola jenis-jenis anggur yang bisa memabukkan serta mengalihkan kita dari mengerjakan kehendak-Nya (ay. 18).

Batasan utamaku adalah tendensi untuk memikul tanggung jawab lebih dari yang bisa aku pikul. Di tahun-tahun awalku di Singapura, aku kesulitan dalam mengenali dan mengelola batasanku ini, tapi sekarang aku lebih mengenali diriku sendiri dan lebih bisa berkata tidak terhadap berbagai tawaran pekerjaan dan pelayanan yang ada. Hampir semua orang di sekelilingku bilang kalau aku sibuk, tapi nyatanya aku selalu punya waktu untuk bersekutu dengan dan mendengarkan mereka. Di sisi lain, pengalih perhatian utamaku adalah game; kalau ada di gadget, aku pasti kecanduan dan bermain setiap saat. Solusinya hanya satu: menghapus game dari gawai supaya bisa fokus pada prioritas-prioritasku.

#4. Buatlah jadwal dengan “spasi” (ay. 16)

Di minggu terakhir tahun 2020, aku bertemu dengan beberapa kelompok teman yang sudah lama tidak kujumpai karena kesibukan kami masing-masing. Sebagai seorang ekstrovert, aku seharusnya tidak mudah kelelahan ketika berinteraksi dengan banyak orang selama beberapa hari berturut-turut, walaupun beberapa di antaranya memang terjadi dadakan. Kamu bisa bayangkan betapa anehnya perasaanku ketika memutuskan untuk beristirahat di rumah di akhir minggu pertama tahun ini. Ayat 16 menyadarkanku bahwa waktu itu aku tidak menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya karena tidak meluangkan “spasi” dalam jadwal lewat mana kasih karunia Tuhan dapat bekerja lewat rehat dan hal-hal dadakan

Pembelajaran di akhir 2020 ini lalu aku praktikkan pada Jumat terakhir di bulan Januari, di mana aku sengaja mengambil cuti untuk mengerjakan seri tulisan ini. Apa daya, aku gagal memenuhi target untuk menyelesaikan dua artikel tetapi memiliki cukup waktu luang untuk sisa hari itu. Melihat “spasi” ini sebagai anugerah dari Tuhan, aku menggunakannya untuk mempersiapkan bahan kelompok pemuridan yang baru bertemu dua minggu kemudian supaya ke depannya ada waktu lebih untuk mengerjakan sisa tulisan dan kalau-kalau ada kebutuhan mendadak. Benar saja, minggu depannya satu lembaga misi memintaku untuk berkontribusi untuk satu tulisan singkat, yang kemudian dapat kuselesaikan karena ada sejumlah “spasi” dalam jadwalku. Begitulah pentingnya “spasi” dalam jadwal kita sehari-hari.

#5. Libatkan sesama untuk akuntabilitas (ay. 19)

Elemen komunitas tidak bisa dipungkiri dan hampir pasti muncul dalam setiap pembahasan tentang pelaksanaan disiplin rohani, termasuk penatalayanan waktu. Adalah seorang teman kos yang mengingatkanku bahwa masih ada hari esok ketika aku “hanya” menyelesaikan satu tulisan dalam kesaksianku di tindakan #4. Tidak heran kalau Paulus mendorong jemaat Efesus untuk berbicara “satu sama lain dalam mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani” di ayat 19, karena lewat persekutuan dengan sesama anggota tubuh Kristuslah kita dapat memuji Tuhan “dengan segenap hati [kita]”. 

#6. Naikkan syukur setiap saat kepada Allah dalam nama Tuhan Yesus (ay. 20)

Kata “setiap saat” (“senantiasa” menurut ayat 20) mungkin membingungkanmu. “Maksudnya bahkan ketika kita sedang mandi pun kita mengucapkan syukur kepada Tuhan? dan bahkan ketika kita sedang menghadapi situasi yang buruk?” Ya, kalau kamu melakukannya dalam nama Tuhan Yesus.

John Piper dalam salah satu podcast-nya menjelaskan bahwa kata “Teruslah” (adialeiptōs) di 1 Tesalonika 5:17 (“Teruslah berdoa!”) memiliki arti berulang kali dan sering, bukan setiap detik. Walaupun frasa “setiap saat” di Efesus 5:20 bukanlah adialeiptōs melainkan pantote, keduanya memiliki kemiripan sehingga konotasi “berulang kali dan sering” bisa dibilang berlaku untuk tindakan keenam ini. Dan ya, kita melakukannya atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Mengapa begitu? Karena pengucapan syukur “senantiasa atas segala sesuatu” menyelaraskan kita dengan kehendak Allah (ay. 10) untuk melihat bahwa Allah bekerja di dalam setiap momen kehidupan, baik yang baik maupun yang buruk, untuk kebaikan kita dan rencana-Nya untuk menjadikan kita serupa Anak-Nya (Rom. 8:28–29).

Tindakan ini mungkin adalah yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan yang lain. Selain doa pagi, makan, dan malam, aku biasanya memakai waktu commuting dari dan menuju kantor, sewaktu rehat dalam pekerjaan, dan bahkan ketika mandi untuk mengingat dan mengucapkan syukur atas setiap hal yang Tuhan biarkan terjadi sepanjang hari itu.

#7. Ingat: yang lalu tidak bisa kembali, tapi yang akan datang telah Yesus tebus (ay. 15–20)

Di akhir hari, kita mungkin menyesali keputusan dan tindakan yang kita ambil hari itu. “Coba tadi aku makan lebih cepat, pasti tidak akan telat untuk rapat dengan klien!” “Kenapa aku bisa lupa lihat jam, jadi kelamaan bersantai nonton drama Korea!” Oleh karena itu, sambil memejamkan mata sebelum tidur, kita perlu berpegang pada satu kebenaran penting, yang herannya kutemukan dalam baris-baris puisi mini drama AADC yang kemudian kugubah:

Adalah [Allah yang adalah Kasih] yang mengubah jalannya waktu.

Karena [Kasih], waktu terbagi dua:

[tanpa-Nya dan rindu akan hadirat-Nya]

Detik tidak pernah melangkah mundur

tapi [rahmat-Nya] selalu ada;

waktu tidak pernah berjalan mundur

dan hari tidak pernah terulang,

tetapi pagi selalu menawarkan cerita yang baru

untuk semua pertanyaan yang belum sempat terjawab (Rat. 3:22–23).

Ya, pada akhirnya bukanlah kita yang “mengubah jalannya waktu”, tetapi Tuhan (ay. 17–18, bdk. Kej. 50:20). Dalam keberdosaan kita, segala prioritas dan jadwal yang telah kita rencanakan lewat tindakan #1–6 mungkin malah akan kita gunakan untuk melawan Tuhan, secara sadar maupun tidak sadar. Meskipun begitu, di penghujung hari-hari yang jahat (ay. 16), kita bisa berserah kepada Allah dan tidur dengan nyenyak, mengetahui bahwa “Yesus Kristus tetap sama kemarin, hari ini, dan sampai selama-lamanya” (Ibr. 13:8). Lebih lagi, kita bisa terlelap dengan harapan bahwa Kristus akan membangunkan kita besok pagi dan mengaruniakan satu lagi hari untuk ditebus di dalam-Nya (bdk. Rat. 3:22–23; Flp. 3:13–14) “menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibr. 10:25 TB).

Meneladani Sang Penebus dalam Menebus Waktu

Sebagai penutup, sambil mengembangkan satu gagasan dalam tindakan #7, aku ingin mengarahkan pandanganmu kepada Tuhan Yesus sendiri. Perhatikan bahwa dalam setiap momen kehidupan-Nya, Yesus tidak pernah terburu-buru sama sekali. Dia selalu tahu waktu yang paling tepat untuk bertindak (e.g. peristiwa kebangkitan Lazarus di Yohanes 11:1–44, panggilan-Nya kepada Zakheus di Lukas 19:1–10) karena Ia menyediakan waktu untuk bersekutu dengan Allah Bapa dan mencari kehendak-Nya walaupun Ia baru saja melayani seharian (Mrk. 1:35). Dan “[k]etika waktunya semakin dekat bagi Yesus untuk ditinggikan, Ia meneguhkan hati untuk pergi ke Yerusalem” (Luk. 9:51) untuk mati menebus umat-Nya.

Mengetahui bahwa Roh Kristus memenuhi diri kita (ay. 18), kita dapat berjuang untuk hidup dalam kasih karunia-Nya yang memampukan kita untuk “[menggunakan] waktu yang ada dengan sebaik-baiknya” (ay. 16), menatalayani setiap detik kesempatan kedua ini “dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7) sambil menyambut kedatangan Kristus yang kedua (Why. 22:20).

Seperti yang Anthony Hoekema katakan dalam The Bible and The Future, “Hiduplah seolah-olah Kristus baru mati kemarin, bangkit pagi ini, dan akan kembali lagi besok.

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Pertanyaan refleksi

  1. Bagaimanakah kamu selama ini memahami dan menggunakan waktu yang ada?
  2. Luangkan waktu ~10–15 menit untuk membaca Efesus 5:1–20. Apa saja yang kamu pelajari dari perikop ini, terutama tentang disiplin rohani menatalayani waktu?
  3. Di antara ketujuh tindakan menebus waktu yang sudah dijelaskan, mana saja yang sudah dan/atau akan kamu mulai praktikkan?
  4. Adakah peristiwa(-peristiwa) lain dalam kehidupan Tuhan Yesus yang dapat kamu teladani dalam menggunakan kesempatan kedua yang telah Ia anugerahkan dengan sebaik-baiknya?

Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Metode Bertemu Realita: Bagaimana Melakukan Disiplin Rohani

Tulisan ini akan menjelaskan tiga prinsip yang menolong kita untuk mempraktikkan disiplin rohani dalam kesalehan Kristiani.

Yuk baca artikel kedua dari #SeriDisiplinRohani ini.

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Oleh Christine Emmert
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Learned The Secret To Time Management

Hari sudah terlampau siang. Aku masih duduk di depan komputerku, mengedit sebuah artikel yang harus segera ditayangkan. Anak lelakiku duduk di lantai dan bermain mobil-mobilan dengan berisik—sebuah pengingat bagiku kalau siang itu aku tidak punya waktu untuk bermain dengannya. Selain itu, aku pun masih harus memasak makan malam sebelum suami dan saudariku pulang ke rumah.

Tapi, bukannya memperhatikan kata-kata dan tanda baca di artikel, atau mengerjakan aktivitas lain yang harus segera kukerjakan, aku malah mencari tahu buku-buku apa yang baru temanku baca di postingannya di media sosial.

Itu terjadi ketika sebuah notifikasi muncul di layarku, memberitahuku kalau setahun lalu aku telah membaca 19 buku.

Sebagai seorang kutu buku, angka itu membuatku merasa tidak percaya. Biasanya aku bisa membaca buku dua kali lipat dari angka itu. Mengapa sangat sedikit buku yang kubaca saat ini?

Selama beberapa minggu setelahnya, pertanyaan ini menggantung di benakku. Aku mulai memerhatikan bagaimana caraku meluangkan waktuku. Tidak butuh lama untuku menyadari bahwa pekerjaanku mengambil jatah waktu lebih lama daripada seharusnya. Bukan karena beban kerja yang meningkat tajam, tapi karena aku sering mengambil waktu “break” untuk scrolling media sosial atau situs berita daripada berfokus ke pekerjaanku. Waktu-waktu jeda ini seringkali memakan waktu lebih lama dari yang kurencanakan, dan membuatku jadi lupa akan pekerjaan utamaku.

Menanggapi fakta yang baru kutemukan ini, aku memutuskan untuk membuat pagi hariku lebih bermakna. Aku pergi ke kedai kopi yang mahal di kotaku, dan memikirkan cara terbaik apa yang bisa kulakukan untuk ‘menyelamatkan’ waktu-waktuku di masa depan. Aku merasa senang dengan langkah-langkah praktis yang telah kupikirkan. Lalu, untuk mengingatkan diriku tentang langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti ini, aku menuliskannya di sticky notes, dan menempelnya di komputer.

Hari pertama, strategi ini berhasil. Aku bisa menggunakan waktuku dengan maksimal. Tapi, seminggu berselang, aku kembali berjuang melawan kebiasaan lamaku. Aku lupa untuk mengendalikan waktuku atau menggunakan waktu jedaku jauh dari komputer. Aku tergoda dan mulai menjelajahi Internet ketika seharusnya aku mengerjakan beberapa riset untuk pekerjaanku. Ada beberapa hari yang kurasa aku bisa kembali menjalankan manajemen waktuku, tapi di hari-hari lainnya, kupikir aku tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tak peduli seberapa keras aku berjuang, rasanya aku masih menjadi hamba dari tiap-tiap distraksi yang muncul. Dan segala perenungan dan langkah-langkah praktis yang sudah kususun tidak banyak membuatku berubah.

Hingga akhirnya, ketika aku membaca Alkitabku, aku membuka Mazmur 51. Pasal ini bercerita tentang mazmur pertobatan Daud setelah dia berbuat zinah dan membunuh (2 Samuel 11-12). Ada satu ayat yang menyentakku:

“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12).

Apa yang menegurku adalah ketika menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri, Daud tidak fokus kepada bagaimana memperbaiki dirinya sendiri yang berdosa. Dia tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Daud berbalik kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, dan meminta Tuhan untuk memperbarui hatinya.

Dalam perjuanganku mengatur manajemen waktu yang baik, aku telah menuliskan tujuan-tujuan dan langkah-langkah yang bisa kulakukan—mempercayai kekuatanku sendiri untuk membuat perubahan dan menjadikan pekerjaanku berhasil. Tapi, tak ada satupun yang berhasil! Aku melupakan apa yang Daud ketahui dengan sangat baik—Tuhan tidak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mampu untuk menjadikan hati kita murni dan memperbaruinya dengan roh yang teguh!

Siang itu, aku menempelkan sticky notes yang baru di depan komputerku. Bukan catatan tentang langkah-langkah praktis yang kupikir sendiri, aku hanya menuliskan ayat Mazmur 51:12, dan menjadikan ayat itu sebagai doa pribadiku. Ketika aku duduk untuk bekerja, ketika aku menikmati waktu jeda, dan bahkan ketika aku tergoda untuk terlarut dalam Internet, aku memandang kepada catatan kecil itu dan berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Kamu tahu bagaimana dampaknya? Siang itu pun terasa luar biasa. Aku bisa bekerja dengan fokus, sesuatu yang jarang terjadi di tahun-tahun belakangan. Dan, bukan hanya aku bisa mengerjakan pekerjaanku secara cepat, tapi juga dengan baik. Aku bahkan punya waktu lebih untuk mencuci baju, merapikan rumah lebih rapi daripada biasanya, dan mengajak anakku bermain—semua itu kulakukan sebelum aku memasak makan malam untuk keluargaku.

Dua minggu pun berlalu setelah hari itu. Ada hari-hari di mana aku merasa kurang fokus dan bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kadang pula makan malam kusajikan sedikit terlambat. Tapi, secara keseluruhan, aku merasa punya waktu lebih dan pekerjaan yang kulakukan hasilnya jauh lebih baik.

Yang menjadi inti adalah, aku telah mencoba mengatur waktuku dengan kekuatanku sendiri, dan aku gagal. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku memohon pertolongan Tuhan. Aku berdoa agar Dia mengubah hatiku supaya aku tidak dengan mudah terdistraksi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaanku. Aku memohon Tuhan untuk memampukanku melakukan apa yang kuanggap sebagai kemustahilan untuk kucapai.

Dan, Tuhan dengan murah hati menjawab doaku. Dengan anugerah-Nya saja, aku dimampukan-Nya untuk bekerja dengan baik dan bertanggung jawab atas waktu-waktuku.

Pengalamanku ini adalah sebuah pengingat bahwa Tuhan mampu mengubah hati. Dia menciptakan hati yang murni untuk Daud. Dia telah memperbarui hatiku di masa lalu, dan melakukannya kembali secara ajaib di dalam dua minggu yang lalu. Dan aku tahu, Tuhan akan terus memperbarui hatiku di masa depan, menolongku untuk mengalahkan dosa-dosa dan kesalahanku ketika aku tak dapat melakukannya. Hingga suatu hari, aku kelak akan menghadap-Nya dengan penuh kegembiraan dan tak bernoda di hadapan kemuliaan-Nya (Yudas 1:24).

Temanku, saat ini adakah suatu hal yang sedang kamu gumulkan dalam hidupmu? Adakah tujuanmu yang ingin kamu capai namun kamu belum mampu mewujudkannya? Mohonlah supaya Tuhan memberimu hati yang baru.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Beberapa doaku ada yang dijawab Tuhan setelah bertahun-tahun. Tapi, meskipun di dalam masa kita menanti, ktia dapat memohon Tuhan untuk menolong kita mempercayai-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya. Bahkan ketika kita tersandung dan jatuh lagi, kita tahu bahwa Tuhan terus membentuk dan menguduskan kita. Ketika kita terus berdoa dan percaya, Tuhan memperbarui kita dari hari ke hari. Tuhan sedang bekerja untuk mengubah hati. Tuhan ingin memberikan kita hati yang baru dan Dia pun memperbarui roh kita; yang perlu kita lakukan adalah meminta kepada-Nya.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Aku melamar kerja ke banyak perusahaan, menanti, dan berharap hingga akhirna mendapatkan pekerjaan. Mungkin kisah seperti ini terdengar klise, tapi ada pelajaran berharga yang Tuhan ajarkan kepadaku.

Aku Menutup Akun Media Sosialku, dan Inilah yang Terjadi

aku-menutup-akun-media-sosialku

Oleh Albert Sebastian

Suatu kali, aku menerima sebuah pesan yang mengagetkan yang mengatakan bahwa melihat media sosial bisa menyebabkan kematian. Berikut adalah isi pesannya:

A: “Berita terbaru! Lihat media sosial bisa menyebabkan KEMATIAN!”
B: “Kok bisa?”
A: “Iya, keasyikan lihat media sosial, sampai ketabrak truk!”

Ya, ternyata pesan itu hanya sekadar candaan semata. Namun pesan itu membuatku jadi berpikir, mungkinkah kejadian seperti yang ada dalam pesan tersebut terjadi? Aku teringat salah satu survei yang dilakukan oleh Informate Mobile Intelligence yang mengungkapkan fakta bahwa orang-orang Amerika membuka media sosial yang mereka miliki melalui smartphone mereka sebanyak 17 kali sehari. Wow, sangat banyak, ya. Namun jumlah itu bahkan tidak sebanyak orang-orang di Thailand, Argentina, Malaysia, Qatar, Meksiko, dan Afrika Selatan yang membuka media sosialnya setidaknya 40 kali sehari! Kalau kita sebegitu seringnya menatap layar ponsel kita bahkan ketika kita sedang berjalan, bukan tidak mungkin kita bisa menjadi lengah dan tidak melihat truk yang lewat.

Dahulu, aku adalah orang yang mempunyai banyak sekali media sosial. Aku pernah menggunakan Path, Twitter, Facebook, LinkedIn, Instagram, Ask.fm, Flickr, 17, BeeTalk, KakaoTalk, dan LINE secara bersamaan (cukup ke-’kini’-an kan ya?). Suatu hari, ketika aku sedang asyik upload foto, salah seorang temanku berkata, “Ribet banget sih hidupmu, dikit-dikit harus upload foto.” Sepenggal kalimat tersebut menamparku dan membuatku merenungkan mengapa aku menggunakan semua media sosial tersebut.

Hasil perenungan dari pengalamanku membuatku menemukan beberapa motivasi yang mungkin menjadi alasan orang-orang menggunakan media sosial.

1. “Aku lagi sedih/kesepian/kesel… Komen dong!”

Mungkin ada yang merasa sepi, sedih, atau marah, sehingga mereka menuliskan status yang menarik perhatian untuk mengundang komentar orang-orang (atau pesan untuk seseorang malah dijadikan status di media sosial, contohnya: Aku tuh sayang banget sama kamu, ngerti gak sih?).

2. “Aku lagi di sini nih. Keren kan?!”

Mungkin ada juga yang posting di media sosial untuk memamerkan apa yang dimiliki atau dilakukannya, seperti sedang ada di tempat yang keren, punya barang baru, atau baru menjalin sebuah hubungan yang baru.

3. “Aku ganteng/cantik kan?!”

Mungkin juga ada yang posting foto-foto selfie-nya untuk pembuktian diri. Contohnya, meskipun aku memang sudah ganteng dari lahir (percaya saja ya, hehe), kadang aku merasa perlu ada orang-orang yang mengkonfirmasi hal itu. Keinginan untuk ada orang yang memuji diriku membuatku berfoto selfie dan meng-edit hasil fotonya agar terlihat semakin ganteng sebelum di-upload.

4. “Janganlah kamu bla bla bla…”

Selain itu, ada juga yang menyebarkan kata-kata mutiara atau kata-kata yang sedang pas dengan isi hati, atau bahkan firman Tuhan. Kadang bisa juga buat curhat, supaya orang tahu apa yang kita rasakan melalui tulisan yang kita retweet, repath, atau share.

5. “Update ajah…”

Yang terakhir, mungkin ada juga yang posting di media sosial untuk sekadar terlihat eksis. Contohnya, update sleep/awake di Path.

* * *

Memang banyak juga orang-orang yang menggunakan media sosial untuk hal-hal yang positif, namun dalam kasusku, kebanyakan aku menggunakan media sosial agar hidupku tidak sepi, untuk pamer, atau sekadar lucu-lucuan saja. Kadang memang aku juga menyebarkan firman Tuhan dengan membagikan ayat-ayat atau apa yang aku renungkan. Namun jumlahnya tidak sebanyak curhatanku.

Setelah aku menyadari bahwa begitu banyak waktu yang telah terbuang sia-sia untuk media sosial, aku memutuskan untuk memotivasi diriku untuk mengurangi media sosial yang aku gunakan. Akhirnya, aku berhenti menggunakan banyak media sosialku, dan hanya menggunakan yang aku butuhkan saja. Hasilnya, setidaknya ada 4 manfaat yang aku rasakan.

1. Lebih banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar

Menurut survei tadi, pengguna smartphone dalam sehari dapat menatap layar ponselnya untuk menggunakan media sosial hingga 4,7 jam. Ketika aku mengurangi media sosial yang aku gunakan, aku bisa menggunakan waktu-waktu ini untuk ngobrol dengan keluarga, teman, sahabat, atau pacar.

Ada yang berkata bahwa media sosial itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Aku merasa ucapan itu ada benarnya. Ucapan itu membuatku berpikir, jangan sampai keluargaku atau orang-orang terdekatku merasa tersisihkan dan kurang aku perhatikan karena aku sibuk dengan media sosial.

2. Lebih berani menghadapi dunia nyata

Awalnya, aku merasa lebih mudah berkata-kata di media sosial daripada berbicara langsung di dunia nyata. Namun setelah mengurangi menggunakan media sosial, aku menjadi lebih berani untuk mengungkapkan apa yang aku pikirkan atau rasakan secara langsung.

3. Lebih banyak membaca firman Tuhan & renungan, bukan sekadar judulnya

Aku sering share artikel-artikel rohani di media sosial, namun sering kali aku hanya membaca judulnya saja, dan share artikel itu karena judulnya yang bagus, dan berharap banyak orang yang bisa nge-like (khususnya si ‘dia’). Namun, ketika aku mengurangi menggunakan media sosial, aku dapat menggunakan waktu browsing media sosial untuk membaca artikel-artikel rohani tersebut secara lengkap.

4. Melakukan hal-hal yang lebih produktif

Banyak waktu yang tadinya aku gunakan untuk menggunakan media sosial, kini dapat aku gunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif. Contohnya, waktu-waktu yang dulunya untuk mengetik status di media sosial sekarang dapat aku gunakan untuk mengetik artikel untuk WarungSaTeKaMu. Contoh lain, daripada update status “lagi belajar nich…” dan mengamati jumlah like dari waktu ke waktu, lebih baik waktunya digunakan untuk belajar beneran.

* * *

Maksudku menulis artikel ini bukanlah agar teman-teman menghapus akun-akun media sosial yang teman-teman miliki seperti yang aku lakukan. Yang terpenting adalah kita dapat menggunakan media sosial kita dengan bijak dan jangan bergantung kepadanya. Sebuah ayat mengingatkanku tentang hal ini:

“Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” (Kolose 4:5-6).

Sudahkah kamu menggunakan media sosialmu dengan bijak? Yuk kita jadikan media sosial yang kita gunakan menjadi bermanfaat untuk kebaikan diri kita, kebaikan orang-orang di sekitar kita, dan yang terutama, memuliakan Tuhan kita.

Baca Juga:

5 Pertanyaan untuk Menguji Apakah Idolamu Telah Menjadi Berhalamu

Allah secara jelas memberi perintah pada umat-Nya agar mereka hanya menyembah Dia saja. Namun mula-mula, kita perlu mengidentifikasi apakah “berhala” yang kita miliki dalam hidup kita. Di dalam artikel ini, kamu akan menemukan beberapa pertanyaan yang dapat menolong kita mengidentifikasi apakah sesuatu sudah menggantikan Allah di dalam hidup kita.

5 Hal yang Menolongku Mengatasi Kebiasaan Menunda

Penulis: Jolene C
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Ways To Fight Procrastination

5-Ways-to-Fight-Procrastination

Aku orang yang suka menunda. Ini adalah pergumulanku sejak lahir. Kelahiranku sendiri pun kutunda. Aku tidak bersiap pada posisi yang seharusnya pada saat ibuku hendak melahirkan—mungkin karena aku merasa terlalu nyaman di dalam sana—jadi, ibuku harus menjalani operasi Caesar.

Aku menunda pekerjaan dengan melakukan banyak “perencanaan” dan “penelitian”. Aku beralasan bahwa aku perlu memastikan segala sesuatu sudah siap lebih dulu sebelum aku mulai bekerja. Atau, dengan alasan, “Hidupku tidak berpusat pada pekerjaan”, aku akan memakai waktuku untuk mengobrol dengan teman-temanku, mendengarkan podcast, belajar memainkan lagu baru dengan ukulele, pergi berolahraga, bertemu dengan para sepupu … sampai batas waktu yang diberikan hampir habis. Begitu batas waktu mendekat, aku akan panik untuk menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu (biasanya hasilnya agak berantakan), lalu aku akan berkata pada diri sendiri, “Sebenarnya aku bisa melakukan hal ini dengan lebih baik. Lain kali aku berjanji tidak akan menunda-nunda lagi.”

Tetapi, aku mengulanginya. Aku melanggar janjiku sendiri lagi dan lagi. Kebiasaan itu bahkan sudah menjadi pola yang bisa ditebak dalam hidupku. Tanpa sadar aku pun mulai menganggap diriku sendiri memang tidak bisa menyelesaikan tugas tepat waktu—jadi aku pun tidak memperbaiki kebiasaanku menunda.

Jauh di dasar hati, sebenarnya aku benar-benar ingin menjadi orang yang produktif. Aku ingin melakukan pekerjaan yang memberi nilai tambah dan manfaat, dan aku yakin semua orang yang bergumul dengan kebiasaan menunda sebenarnya juga punya kerinduan yang serupa. Aku pun capek dengan diriku sendiri yang suka menunda. Mungkin terdengar ironis, tetapi begitulah kenyataannya.

Aku juga merasa perlu melakukan sesuatu dengan kebiasaan burukku itu karena aku diingatkan bahwa Kristus telah membebaskan kita dari belenggu dosa. Hidup kita telah ditebus-Nya dan menjadi milik-Nya. Demikian juga dengan waktu kita. Pencipta kita telah menempatkan kita di dunia ini untuk menggenapi tujuan-tujuan-Nya.

Berikut ini ada lima strategi yang kugunakan hingga saat ini untuk melawan kebiasaan menunda, semoga bisa menolongmu juga.

1. Berkata tidak kepada kebiasaan menunda.

Terkadang kita tidak menyadari kuasa yang Tuhan berikan bagi kita untuk berubah. Kita berdalih, “Aku tidak bisa mengubah kebiasaan menunda ini!” Namun, bukankah sebenarnya kita bisa berkata tidak kepada keinginan untuk menunda?

Menurutku sendiri, bisa. Katakan tidak kepada kebiasaan menunda dengan langsung menghentikan aktivitas yang bukan menjadi pekerjaan utama kita. Misalnya dengan menutup jendela Google Chrome yang sedang membuka 10 laman tentang berita politik, ekonomi, dan hiburan terkini. Memang topiknya menarik untuk dibaca—tetapi tidak untuk dibaca pada jam kerja!

Mintalah kekuatan dari Tuhan untuk melawan keinginan menunda. Berbicaralah kepada Yesus, ambillah waktu teduh untuk menjernihkan pikiran kita. Ingatkan diri sendiri, “Yesus tidak menyelamatkan aku untuk bermalas-malasan di tempat tidur dan menghindari tugas yang seharusnya dikumpulkan pada dua minggu lalu.”

Menghindari atau membiarkan kebiasaan menunda hanya akan membuat kita makin menunda. Hadapilah kebiasaan itu, namun jangan turuti kemauannya.

2. Memberi instruksi kepada diri sendiri.

Seringkali aku meluangkan waktu terlalu banyak untuk memikirkan apa yang hendak aku lakukan—dan tidak segera mulai melakukannya. Untuk berhenti melakukannya, aku belajar berbicara kepada diri sendiri.

Misalnya, suatu pagi aku mulai berpikir untuk menunda jadwalku untuk lari pagi: “Lima menit lagilah baru bangun… Cuacanya enak sekali untuk tidur… lari paginya besok saja…”

Aku akan memberi instruksi kepada diriku sendiri:
“Sudah waktunya bangun…. kamu tinggal duduk, pakai kaus kaki, pakai sepatu, keluar dari kamar. Ayo, kamu bisa… kita pergi lari ya… SEKARANG.”

Cara ini dapat menolong kita untuk berhenti berpikir terlalu banyak, dan mendorong kita melakukan pekerjaan kita dengan lebih cepat dan efektif. Strategi ini sangat menolong terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran, misalnya merapikan tempat tidur, mencuci pakaian, mandi, olahraga, dan sebagainya. Bila kita memiliki tugas yang lebih besar, kita dapat membagi-baginya lagi menjadi tugas-tugas yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk mulai dikerjakan—dan lebih mudah diselesaikan. Strategi ini juga sangat menolong jika kita selalu menemukan diri kita kembali pada kebiasaan buruk dan tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

3. Melibatkan teman untuk melatih rasa tanggung jawab kita.

Aku baru benar-benar menyadari betapa buruknya kebiasaan menunda ketika aku melihat dampaknya terhadap teman-temanku. Karena aku suka menunda dan bekerja setengah hati, jadwal mereka kacau balau, mereka menjadi stres dan harus meluangkan waktu ekstra untuk bekerja. Aku telah mengkhianati kepercayaan mereka dengan tidak melakukan bagianku tepat waktu. Aku sadar bahwa aku harus jujur mengakui kesalahanku dan memperbaiki diri.

Tuhan mengetahui bahwa kita, manusia, cenderung ingin menghindari tanggung jawab. Sebab itu, Dia menempatkan kita dalam komunitas, agar kita dapat saling mendukung satu sama lain. Daripada berjuang sendirian untk melawan kebiasaan menunda, kita dapat melibatkan teman-teman kita untuk membantu. Kita bisa minta mereka untuk mengingatkan kita. Latih diri untuk bertanggung jawab terhadap mereka. Ingatkan dirimu bahwa penundaanmu bisa menyakiti mereka.

“Percayalah kepada mereka yang percaya kepadamu” kata teman-temanku. Kita akan jatuh lagi dan lagi karena kita manusia, tetapi mereka yang benar-benar peduli akan selalu berada di dekat kita, karena mereka percaya kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Kita perlu melakukan hal yang sama bagi mereka.

4. Berhenti menjadi seorang pahlawan.

Aku mulai menyadari bahwa ketidakmampuanku menilai batas kemampuanku membuat aku cenderung membuat terlalu banyak janji dan komitmen yang kemudian tidak bisa kupenuhi. Ketika ada terlalu banyak hal yang harus kulakukan, aku menjadi kewalahan dan kesulitan memulai apa pun. Akibatnya, situasi tersebut membuatku harus pontang-panting di menit-menit terakhir.

Sebab itu, aku kemudian belajar untuk tidak lagi berpikir bahwa aku bisa melakukan segalanya. Aku punya waktu yang terbatas, punya tubuh yang terbatas. Aku belajar untuk membawa bebanku sendiri dan memastikan aku menyelesaikan pekerjaanku sendiri sebelum aku berusaha membantu membawakan beban orang lain. Fokuslah pada hal-hal yang benar-benar penting. Jagalah daftar kerja kita agar tidak terlalu panjang, sependek mungkin jika bisa. Pastikan setiap hal yang kita terima tidak akan membuat kita menunda pekerjaan yang menjadi tanggung jawab utama kita.

5. Menjauhkan hal-hal yang bisa memecah fokus kita.

Adakalanya pekerjaan utamaku tertunda karena ada banyak hal yang memecah fokusku. Salah satu hal yang kulakukan adalah mematikan telepon atau memasang mode flight saat sedang bekerja. Dunia akan baik-baik saja meski kita tidak menjawab telepon selama beberapa jam, dan teman-teman yang ingin mengobrol akan menemukan orang lain yang sedang tidak ada pekerjaan/waktunya senggang. Pada saat yang sama, kita sendiri bisa menyelesaikan sebagian pekerjaan kita. Situasi kita ini tentunya perlu dijelaskan kepada orang-orang di sekitar kita, supaya mereka memahami mengapa kita tidak mengecek telepon seluler kita pada jam kerja. Aku belajar bahwa teknologi seharusnya menjadi sarana yang berguna untuk menata hidup, bukan sesuatu yang mengatur hidup kita.

Tidak ada orang yang dapat membuat kita berhenti menunda kecuali diri kita sendiri. Sekarang mulai ada yang mengembangkan aplikasi ponsel untuk menolong kita lebih fokus dengan pekerjaan kita (misalnya: aplikasi Self Control). Namun, bila kita sendiri tidak punya niat yang kuat, aplikasi semacam itu pun tidak banyak menolong. Begitu juga desakan terus menerus dari seorang teman atau orangtua. Kita mungkin tidak akan pernah bisa menggunakan waktu kita dengan sempurna, namun kita dapat terus melatih diri menggunakan waktu kita seefektif mungkin. Mari belajar menjadi pengelola yang baik dan setia dari karunia-karunia Allah selama masa hidup kita yang singkat di bumi.

Aku ingin hidupku berarti—dalam setiap detik, menit, dan jam, dalam tiap harinya. Mari mulai mengoptimalkan jam-jam yang produktif dan saling mengingatkan satu sama lain.