Posts

Serunya Bertumbuh Sambil Memuridkan dalam Kelompok Mentoring

Oleh Meista Yuki Crisinta

Setiap orang butuh mentor. Sadar ataupun tidak, kita pasti membutuhkan seseorang yang bisa kita teladani hidupnya, orang yang dengan tulus dan setia membimbing kita untuk menjadi diri sendiri versi yang terbaik dalam perjalanan hidup kita di dunia ini, seseorang yang bisa membawa kita untuk semakin mengenal siapa Allah di dalam Yesus Kristus.

Di tahun 2020, teman kelompok kecilku (TKK) mengajakku untuk membentuk sebuah sistem mentorship dengan visi menolong para lulusan kampus (fresh graduate) dalam proses mencari pekerjaan. Proyek ini tercetus tatkala kami melihat kondisi pandemi yang menyebabkan proses mencari kerja sangat sulit. Singkat cerita, saat itu aku mencoba menjadi mentor dalam masa-masa percobaan proyek perdana kami. Aku “dipasangkan” dengan seorang mentee mahasiswi lulusan baru yang ingin mencari pekerjaan di bidang Ilmu Komunikasi.

Proses mentoring selama beberapa bulan berjalan baik, dan aku menemukan bahwa ternyata aku bersemangat dan senang mengerjakannya. Aku senang bisa membantu satu adik mentee tersebut menjawab berbagai kebingungan dan keraguan yang dia rasakan terkait dunia pekerjaan.

Entah ini sebuah kebetulan atau tidak—tapi aku yakin di dalam Tuhan tak ada yang kebetulan—di tahun yang sama aku tiba-tiba diminta melayani sebagai salah satu mentor di sebuah pembinaan mentoring yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga pelayanan mahasiswa Kristen. Pembinaan mentoring ini diadakan dengan melihat kondisi bahwa tidak sedikit mahasiswa yang kebingungan ketika mereka berada di semester akhir—dan ini memang fenomena yang wajar sekali terjadi. Bingung harus mengambil langkah apa selanjutnya setelah nanti mereka lulus kuliah. Oleh karena itu, dibentuklah kelompok-kelompok mentoring. Para mahasiswa tingkat akhir ini akan dibantu dan dibina oleh kakak-kakak alumni yang telah lebih dahulu merasakan bagaimana asam-manisnya dunia pekerjaan. Dalam kelompok mentoring tersebut juga para kakak alumni akan menceritakan kesaksian hidup mereka tentang perjalanan hidup bersama Tuhan menempuh banyak ketidakpastian ketika memasuki dunia kerja.

Mentor dalam pengertian menurut Oxford Learner’s Dictionaries artinya seseorang berpengalaman (konteks: dunia pekerjaan) yang menolong dan memberikan saran-saran kepada mereka yang belum berpengalaman/pengalamannya lebih sedikit, selama periode waktu tertentu. Darlene Zschech dalam bukunya yang berjudul The Art of Mentoring juga menuliskan:

“…seni menjadi mentor…bukanlah berkaitan dengan mengajarkan saya-ologi. Esensi dari kegiatan mentor adalah usaha membantu orang-orang mencapai potensi terbesarnya, sehingga mereka mampu mengetahui, mengapresiasi, dan menggunakan warisan iman yang besar yang tersedia dalam Kristus.”

Pengalaman menjadi mentor ternyata menjadi cara Tuhan untuk menaburkan benih-benih kasih di hatiku dalam memuridkan adik-adik mentee. Dalam anugerah dan kesempatan pelayanan yang Tuhan berikan, aku sungguh menikmati peranku sebagai mentor dan juga menikmati relasi pertemanan yang terjalin di antara kami. Di sini aku belajar bahwa ternyata penting untuk tetap mewariskan konsep nilai kerajaan Allah kepada generasi muda. Meskipun ada kesaksian hidup pribadi yang dibagikan selama kegiatan mentoring, aku belajar bahwa menjadi mentor bukanlah tentang “menjadi seperti saya”, tetapi menjadi semakin serupa dengan Kristus. Menjadi mentor rohani memiliki esensi dan peranan yang sama untuk menjadikan generasi muda sebagai murid Kristus; berkarakter seperti Kristus.

Jujur, aku pun mengakui ini tidak mudah untuk dijalani, karena terkadang aku juga masih sering mengkotak-kotakkan antara pekerjaan (area duniawi) dengan panggilan hidup (area rohani). Padahal, Allah berdaulat juga di dalam area pekerjaan, dan salah satu panggilan hidup yang Ia tetapkan buat murid-murid-Nya adalah bekerja (Kejadian 1:28). Sehingga yang menjadi tantangan ketika aku menjalankan peran sebagai mentor adalah bagaimana aku harus mengarahkan adik-adik mentee ini nantinya bisa (sedikitnya) memahami hidup dan diri mereka sendiri di dalam Tuhan. Memahami minat dan talenta, passion, peristiwa-peristiwa hidup di masa lalu yang membentuk mereka menjadi pribadi yang sekarang, mimpi mereka, dan lain-lain.

***

Tahun ini, aku kembali dianugerahkan kesempatan melayani sebagai mentor, dengan adik-adik mentee yang berbeda. Salah satu pelajaran yang aku nikmati sepanjang menjadi mentor dalam 2 tahun belakangan ini adalah bahwa jika kita sudah terlebih dahulu menikmati kasih Allah, menikmati penyertaan-Nya di dalam hidup kita, merasakan banyak sekali pertolongan Tuhan di masa-masa sulit, maka bagikan dan ceritakanlah itu. Kesaksian iman pribadi dalam perjalanan bersama Kristus bukanlah hal yang harus disimpan sendiri. Dalam hal ini, kegiatan pelayanan mentoring menjadi jalan yang Tuhan buka untukku membagikan cerita Kasih itu kepada adik-adik mahasiswa.

Kedua, hal yang aku pelajari lainnya adalah bahwa aku sebagai mentor pun ikut bertumbuh. Meskipun pembinaan ini ditujukan untuk adik-adik mahasiswa semester akhir, namun Firman yang dibagikan sepanjang pembinaan ternyata kembali mengingatkanku akan esensi dari pekerjaan menurut sudut pandang Allah. Aku mendapati bahwa meskipun aku berharap terjadi pertumbuhan rohani di dalam adik-adik mentee, ternyata Tuhan juga turut bekerja memberi pertumbuhan untuk kita yang berperan sebagai mentor.

Ketiga, menjadi seorang mentor bukan berarti kita harus “paling tahu segalanya”. Cukup menjadi diri sendiri sesuai dengan karunia dan talenta yang Tuhan anugerahkan. Saat hati kita rindu untuk memuridkan, jalani dan kerjakan sambil terus minta Tuhan untuk menyertai langkah kita sebagai mentor.

Adakah adik-adik atau generasi muda di sekelilingmu yang ingin kamu bagikan dan ceritakan tentang kasih-Nya yang nyata? Mungkin menjadi mentor rohani bisa menjadi salah satu cara yang unik dan menarik untuk membuka jalur pemuridan, sekaligus persahabatan di kalangan saudara seiman.

Dalam Segala Situasi, Bersekutu Itu Selalu Perlu

Oleh Frida Oktavia Sianturi, Pekanbaru

Sudah dua bulan sejak pandemi menghampiri kota Pekanbaru, aku dan adik KTB-ku (Kelompok Tumbuh Bersama) tidak pernah bertemu untuk PA (Pendalaman Alkitab) bersama. Biasanya aku mengunjungi mereka, tetapi kali ini tidak bisa. Mereka memutuskan pulang kampung saja karena perkuliahan mereka dilaksanakan secara daring.

Berbeda denganku, aku harus tetap berada di Pekanbaru. Aku tidak bisa pulang ke rumahku di kabupaten Rokan Hilir karena tetap harus masuk kerja. Pandemi ini pun belum ada tanda-tanda akan berakhir. Pertanyaan terus menghampiri: Kapan ya ini akan berakhir? Kapan ya aku bisa bertemu lagi dengan adik KTB-ku? KTB teman-temanku yang lain kebanyakan dilakukan via online. Aku pun menawarkan kepada adik-adik KTB-ku untuk KTB online.

Namun, respon mereka membuatku sedih.

“Aku tidak bisa kak, jaringan internet di kampungku susah.”

“aku tidak bisa kak, memori HPku tidak cukup untuk download aplikasi yang baru.”

“aku tidak bisa kak, paket internetanku terbatas. Uang jajan tidak diberikan karena aku saat ini di rumah”

Respons mereka membuatku bergumul di hadapan Tuhan. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Awalnya, aku memutuskan agar kami saling berbagi pokok doa saja supaya kami bisa tetap saling mendoakan di tempat kami masing-masing sekaligus kami jadi saling mengetahui kondisi satu sama lain.

Namun aku masih gelisah. Aku merenung bagaimana caranya agar adik-adikku juga tetap diperlengkapi oleh Firman Tuhan selama masa-masa karantina ini. Aku berdiskusi dengan teman sekamarku. Dia lalu memberiku saran untuk KTB via telepon saja. Opsi ini baik meskipun aku perlu mengeluarkan uang lebih untuk membeli pulsa. Untuk menelepon empat orang adik dan biasanya kami KTB bisa lebih dari tiga jam, tentu aku harus mengeluarkan uang yang lebih untuk beli pulsa.

Sebenarnya sulit bagiku untuk mengeluarkan uang lebih di tengah kondisi ini. Work From Home membuat kebutuhanku meningkat. Cicilan juga tetap harus dibayar, tetapi kepada Tuhan kuserahkan semua kesulitanku ini.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon mereka berempat dan mengajak mereka KTB via telepon. Tak hanya belajar firman, kami saling mengabari kondisi kami, berbagi pokok doa, dan saling menopang. Aku sangat bersyukur bisa kembali KTB bersama mereka meskipun kami tak bisa dekat secara fisik. Aku bersyukur kami bisa belajar firman Tuhan kembali. Dan aku jadi belajar, lewat kondisi ini sebenarnya tidak ada alasan bagi anak-anak Tuhan untuk tidak datang kepada-Nya. Kemajuan teknologi bisa dipakai-Nya sebagai sarana untuk kita tetap bertumbuh.

Aku teringat kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Ketika raja Nebukadnezar meminta mereka untuk menyembah patung emas dan memuja dewa, mereka menolaknya. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tetap memegang teguh kepercayaan mereka kepada Tuhan. Kesetiaan mereka berkenan kepada Tuhan, dan Tuhan meluputkan mereka dari panasnya perapian yang menyala-nyala (Daniel 3).

Kita mungkin tidak menghadapi ancaman seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, namun kita dapat meneladani kesetiaan mereka pada Tuhan. Dengan tetap terhubung bersama saudara seiman, kita dapat dikuatkan dalam menghadapi masa-masa sulit. Ibrani 10:24-25, berkata, “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat”.

Pandemi ini mungkin tampak mengerikan bagi kita, tapi janganlah kiranya kepercayaan kita kepada Tuhan menjadi padam. Pandemi ini tidak lebih besar dari pada Tuhan kita. Dalam situasi ini, kita hanya butuh hati yang mau taat belajar firman-Nya. Apa pun persoalan yang saat ini kita hadapi, biar kiranya kita melakukannya di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada kita.

Jika kita kesulitan mengakses persekutuan secara online, tetaplah bangun persekutuan pribadi kita melalui doa dan saat teduh. Atau, jika kita memiliki materi-materi lain seperti buku rohani, kita bisa membacanya sebab itu pun baik untuk pertumbuhan iman kita.

Baca Juga:

Berkat di Balik Pilihan yang Tampaknya Salah

Ketika pilihan yang kita ambil mengantar kita pada kegagalan, cobalah untuk melihat dari sudut pandang Allah. Segala hal dapat dipakai-Nya untuk membawa kebaikan bagi kita, selama kita bersedia untuk percaya.

Skripsi, Garis Akhir Perjuangan Kuliah yang Kulewati Bersama Tuhan

Oleh Yuanda Hemi, Tangerang

Aku adalah seorang mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi di Kota Tangerang. Sebelum berkuliah, aku menjadi atlet bulutangkis selama enam tahun sehingga aku masuk sekolah hanya untuk mengikuti ujian.

Perjalananku sebagai atlet bulutangkis tidak berhasil membuatku menjadi atlet papan atas sehingga aku pun memutuskan untuk kembali ke jalur akademik. Sayangnya, aku belum benar-benar mengenal potensi diriku di luar dunia bulutangkis. Hal ini membuatku memilih jurusan yang disarankan keluarga dengan pertimbangan prospek kerja yang menjanjikan di era digital, yaitu Sistem Informasi.

Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu apa yang akan kupelajari di jurusan tersebut. Beberapa orang mengatakan bahwa keputusanku merupakan langkah yang berani. Tetapi apa boleh buat, jurusan Psikologi yang lebih menarik minatku tidak mendapatkan persetujuan orang tua.

Di masa awal perkuliahan, aku optimis bahwa aku akan bertahan dalam jurusan ini seiring berjalannya waktu. Aku berprinsip kuat untuk memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin, agar dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Dengan belajar sungguh-sungguh dan dengan bantuan dari teman-teman, aku mampu melewati semua mata kuliah yang ada hingga tiba waktunya bagiku untuk membuat skripsi.

Proses menentukan judul dan membuat proposal berlangsung sangat lancar. Perjuangan yang sebenarnya dimulai ketika aku mulai mengerjakan skripsi itu sendiri. Ada saat-saat di mana aku merasa yakin dapat menyelesaikan semuanya tepat pada waktunya, tetapi ada kalanya juga aku merasa tidak sanggup melewati rintangan-rintangan yang ada. Aku mengerjakan skripsiku setiap hari dan rutin mengikuti bimbingan di luar jam kelas delapan SKS mata kuliah yang mengulang. Karena stres berlebihan dan tidak nafsu makan, berat badanku turun sebanyak enam kilogram dalam dua minggu.

Di tengah-tengah masa sulit itu, aku menemukan vlog dari Acha Sinaga yang muncul di beranda YouTube. Acha dan Andy Ambarita, suaminya, mengajak kita untuk senantiasa mengandalkan Tuhan apapun yang terjadi. Menonton video tersebut membuatku merasa dikuatkan kembali.

Sampailah pada hari pra-sidang, aku menerima pengumuman yang tidak siap kudengar dari salah satu dosenku.

“Kalau saya boleh jujur, skripsimu tidak layak untuk maju sidang.”

Aku tertegun, terdiam, sedih, dan bingung. Apakah aku harus menunggu lagi? Ataukah lebih baik bagiku untuk tetap maju dan mencoba, tentunya dengan kemungkinan terburuk yaitu ‘dibantai’ saat sidang dan akhirnya gagal? Beberapa temanku menyarankanku untuk maju sidang, karena ada kemungkinan bahwa aku akan diuji oleh dosen lain. Hatiku bergejolak. Aku tidak siap menerima tekanan, apalagi menghadapi kegagalan.

Aku menceritakan semuanya kepada mamaku. Di tengah-tengah pergumulanku, aku membulatkan tekadku untuk tetap maju sidang.

“Ma, aku mau berjuang. Aku mau mencoba. Aku percaya aku pasti lulus kalau itu memang rencana Tuhan, dan tidak ada seorangpun yang bisa menggagalkan.”

“Percaya dan berdoa saja, Nak. Tugasmu adalah melakukan yang terbaik, biar Tuhan yang membantu dan melancarkan.”

Aku merevisi setiap bagian yang diminta oleh dosen pembimbingku serta melengkapi semua berkas yang diminta sehingga aku dapat mengumpulkan skripsiku tepat waktu. Dalam keadaan yang masih penuh tekanan, aku meminta Tuhan untuk menjauhkanku dari dosen-dosen killer yang menurutku dapat menghambat kelulusanku. Sekarang aku baru tersadar, seharusnya aku meminta kekuatan dan kesiapan dari Tuhan untuk menghadapi siapapun dosen pengujinya.

Puji Tuhan, aku dinyatakan layak sidang! Namun, saat sidang aku tidak dinyatakan lulus, tidak juga dinyatakan tidak lulus, dan tidak pula diminta untuk sidang ulang. Keputusannya menggantung, dan aku harus merevisi hampir satu buku. Inilah masa-masa terberat dalam perkuliahanku—bertahan saat aku merasa tidak sanggup lagi, nyaris menyerah namun tak ingin mengulang.

Yang membuat perjuanganku semakin berat adalah fokusku yang tidak terpusat pada skripsi. Aku harus membagi waktu antara menyelesaikan revisi, mencari tanda tangan dari dosen penguji, mengurus bisnis, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi pertandingan bulutangkis yang diselenggarakan dua minggu setelah sidang. Aku bersyukur Tuhan memberikanku tanggal sidang lebih awal dari teman-temanku, sehingga aku banyak mendapatkan bantuan mereka baik dalam mengerjakan revisi maupun dalam hal mental support.

Setiap harinya, aku beroleh kekuatan dari Tuhan melalui doa. Aku percaya bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik untukku. Tuhan sendiri yang akan menguatkanku dalam melewati semua proses kelulusanku, dan Ia juga yang akan menggerakkan hati para dosen penguji. Tiga belas hari kulalui dengan penuh tangis, dan Tuhan memberiku kejutan di hari ke-14: aku mendapatkan tanda tangan dari ketiga dosen pengujiku. Aku lulus!

Sungguh indah rancangan Tuhan dalam hidupku, dan tentunya dalam hidup teman-teman semua. Ya, aku sempat merasa takut dan tidak percaya diri ketika mendengar pernyataan dari dosenku. Tetapi, aku bersyukur Tuhan menyertaiku dalam melewati setiap proses penyusunan skripsi. Ketika keadaan di depanku terasa menakutkan, aku hanya bisa bersandar pada karakter Tuhan. Ia adalah Bapa yang baik, yang sudah merancangkan masa depanku dengan luar biasa, lebih daripada apa yang aku pikirkan. Dalam Pengkhotbah 3:11 dikatakan bahwa, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

Aku percaya, Tuhan memakai proses yang kualami dalam sidang skripsi untuk menguatkan teman-teman yang mengalami pergumulan yang sama. Puji Tuhan, aku sudah diwisuda pada 20 Juni 2019 yang lalu. Semua karena kasih karunia Tuhan semata, dan biarlah semua kemuliaan hanya bagi-Nya!

Baca Juga:

Yesus Kristus dan Celana Kolor

“Judul ini mungkin terasa aneh. Rasanya kok tidak sopan. Sepertinya kurang elok kalau menyandangkan Yesus Kristus dengan celana kolor.

Tetapi judul ini bukannya tanpa alasan. Inilah ceritanya:”

4 Tindakan untuk Membuat Masa Kuliah Lebih Bermakna

Oleh Jefferson, Singapura

Sudah hampir empat bulan sejak aku lulus dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Aku adalah mahasiswa angkatan pertama di jurusan Environmental Science atau Ilmu Lingkungan Hidup. Tuhan menuntun dan memberkatiku, hingga akhirnya setelah menempuh studi selama empat tahun, aku dapat lulus.

Melalui tulisan ini, aku ingin membagikan beberapa pelajaran penting yang kudapat saat menjadi mahasiswa. Pelajaran-pelajaran tersebut aku rangkum dalam beberapa tindakan praktis yang kuharap bisa membantumu lebih memaknai dan mensyukuri masa kuliah sebagai berkat dari Tuhan.

#1 – LAtihlah disiplin-disiplin rohani selama kuliah

Ketika pertama kali menjejakkan kaki ke dalam kampus, aku menyadari bahwa sekarang aku memasuki dunia yang lebih luas dari yang sebelumnya aku tinggali. Kehidupanku tidak lagi sebatas rutinitas sekolah dan les yang biasanya kuikuti hingga malam hari. Sebagai gantinya, ada jadwal kelas yang tidak teratur dan berbagai macam kegiatan kemahasiswaan di luar kuliah yang bisa kuikuti. Aku juga mendapat banyak teman baru yang berasal dari berbagai daerah.

Aktivitas perkuliahan yang lebih dinamis dan banyaknya teman baru bisa mempengaruhi relasiku dengan Tuhan. Ketika aku semakin sibuk, apakah aku tetap punya waktu untuk berelasi dengan Tuhan? Ketika temanku semakin banyak dan beragam, apakah aku mampu tetap mempertahankan identitas Kristenku? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah disiplin rohani.

Dalam Markus 1:35, tertulis bahwa ketika hari masih gelap, Yesus bangun dan pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa. Aku belajar untuk mengikuti teladan-Nya. Di tengah-tengah kesibukanku sebagai mahasiswa, aku berusaha meluangkan sekitar setengah sampai satu jam setiap pagi untuk membaca dan merenungkan Alkitab serta berdoa. Meski aku sering bangun kesiangan atau merasa enggan bersaat teduh, tapi aku terus melatih diri untuk menjadikan disiplin ini sebagai hal pertama yang kulakukan setiap hari. Selain itu, aku juga mengikuti teladan satu tokoh lainnya, yaitu George Muller, seorang penginjil Inggris. Beliau selalu bersaat teduh setiap pagi. Dia mengatakan bahwa saat teduhnya itu membuat jiwanya benar-benar bersukacita di dalam Tuhan. Ketika jiwaku sudah lebih dulu puas di dalam Tuhan, aku bisa mengucap syukur kepada-Nya dalam segala apapun keadaan hariku.

Pernah suatu ketika aku begitu lelah karena ada banyak tugas dan aktivitas yang kulakukan. Badan ini rasanya tidak ingin bangun pagi, tapi aku tetap berusaha. Dengan mata yang berat dan tubuh yang masih kaku, aku beranjak dari ranjang, duduk di depan meja belajarku dan membuka Alkitab. Aku tidak ingat perikop apa yang kubaca maupun kata-kata apa yang kupanjatkan dalam doa pada Tuhan. Namun, yang kuingat adalah hari itu aku dimampukan Tuhan menyelesaikan segala tugasku dengan baik.

Pada awalnya disiplin rohani mungkin terasa sulit dilakukan. Tapi, apabila kita terus berusaha, anugerah Tuhan akan memampukan kita melakukannya. Disiplin rohani yang kita lakukan akan menumbuhkan karakter-karakter Kristus dalam hidup kita. Selama empat tahun aku telah menerapkan disiplin ini, dan aku berharap untuk terus melakukannya sepanjang hidupku.

#2 – ingat, USaha untuk bangkit dari kesalahan adalah anugerah dari Tuhan

Setiap orang bisa saja melakukan kesalahan. Tapi, fakta ini bukanlah alasan buat kita melepaskan diri dari tanggung jawab. Ketika kita melakukan kesalahan, kita juga harus mau memperbaiki kesalahan itu.

Semasa kuliah, Tuhan memakai kesalahan-kesalahan yang kulakukan untuk menyadarkanku akan kelemahan-kelemahan yang kumiliki dan membuat bergantung kembali pada-Nya. Salah satu kesalahan yang kulakukan adalah pada saat rapat persekutuan kampus, aku mengutarakan pendapatku dengan kasar. Sikapku itu ternyata melukai perasaan seorang teman. Temanku yang lain lalu menegurku dan aku pun langsung meminta maaf. Tapi permintaan maafku tidak diterima dengan baik. Sepanjang sisa hari itu aku merasa sangat muram. Aku lalu bercerita ke beberapa teman lainnya dan mereka semua memberi saran yang sama: sesali baik-baik dan biarkan Tuhan menyembuhkan relasi pertemananmu lewat waktu. Singkat cerita, puji Tuhan relasi kami dapat pulih. Aku telah melakukan kesalahan dengan tidak bersikap baik saat berpendapat, dan pengalaman inilah yang dipakai Tuhan untuk menegur dan memperbaiki sikapku di masa mendatang.

Kesalahan adalah sesuatu yang wajar. Walaupun kita tidak bisa memutar waktu untuk memperbaiki kesalahan itu, tapi kita bisa berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama ke depannya. Kita dapat menyesali kesalahan kita, tetapi jangan berdiam diri dalam penyesalan itu selamanya. Pelajarilah bagaimana kesalahan itu terjadi, dan latih diri untuk tidak jatuh ke lubang yang sama. Dalam kasusku, aku belajar untuk lebih peka dalam bersikap dan memilih kata-kata yang kuucapkan agar tidak melukai orang lain.

#3 – DEngar, cari, dan jadilah bagian dari komunitas Kristen yang baik

Bagi kamu yang merantau ke luar kota sepertiku, aku ingin memberikan dorongan yang lebih kuat untuk melakukan poin ketiga ini. Aku mengalami pertumbuhan rohani yang signifikan dalam komunitas Kristen yang kuikuti, baik di gereja maupun kampus. Lewat persekutuan dengan sesama orang percaya, aku belajar untuk bertumbuh semakin serupa dengan Kristus.

Di poin sebelumnya aku menuliskan bahwa sikap dan perkataanku melukai perasaan seseorang. Sebelum aku bertobat, aku adalah orang yang selalu merasa diri benar. Aku tidak mau menerima teguran dari orang lain. Namun, puji Tuhan, kini Roh Kudus melembutkan hatiku untuk berlapang dada mendengar dan menerima nasihat orang lain. Teman-teman di komunitasku juga tak sungkan untuk menegurku apabila aku memang melakukan kesalahan.

Persahabatanku dengan mereka dipakai Tuhan menjadi relasi yang saling mengasah satu sama lain, dan kupikir ini jugalah berkat yang paling berkesan yang kudapat semasa kuliahku. Menjelang minggu terakhir semester yang padat, kami lebih rajin lagi menanyakan pokok doa satu sama lain. Aku memang bersaat teduh setiap hari, tapi aku merasa kehadiran Tuhan jauh lebih kuat ketika aku berdoa bersama-sama dengan mereka. Aku percaya Firman-Nya yang berkata, “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20). Melalui doa-doa itu kami saling menguatkan satu sama lain supaya kami dapat mengakhiri semester dengan baik.

Ibrani 10:24-25 mengatakan, “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”

#4 – Ora et labora untuk mengenal, memuliakan, bersukacita di dalam Tuhan

Dalam bahasa Latin, ora et labora berarti “berdoa dan bekerja”. Frasa ini sangat relevan bagi kita. Mungkin sebagian besar mahasiswa belum bekerja, tetapi belajar adalah pekerjaan utama dari seorang pelajar atau mahasiswa. Kita membutuhkan pertolongan Tuhan untuk melakukannya. Tapi, kadang ora et labora ini dapat disalahartikan menjadi tindakan ‘menyuap’ Tuhan agar kita mendapat nilai bagus. Oleh karena itu, dalam judul poin ini, aku menuliskan bahwa kita melakukan ora et labora bukan untuk mendapatkan nilai yang bagus, tetapi untuk mengenal Tuhan beserta kemuliaan dan sukacita-Nya.

Belajar, bersaat teduh, mengambil hikmah dari kesalahan yang sudah kita perbuat, bahkan memberitakan Injil hanya akan jadi tindakan yang kehilangan maknanya kalau tidak kita lakukan dengan suatu tujuan. Dalam segala tindakan kita, kita ingin mengenal Tuhan (Filipi 3:8), memuliakan Tuhan (1 Korintus 10:31), dan bersukacita di dalam-Nya (Ibrani 12:2). Buatku sendiri, poin keempat ini adalah poin yang sulit karena untuk mempelajarinya aku harus melewati banyak ‘kekecewaan’.

Pada awal tahun 2017, aku dihadapkan dengan sebuah dilema: antara pergi mission trip atau mengikuti studi lapangan ke salah satu museum ternama di dunia. Kedua acara ini dilaksanakan pada waktu yang bersamaan, jadi aku harus memilih salah satu. Aku bergumul, berdoa, dan berdiskusi dengan banyak orang. Hasilnya, aku memilih ikut studi lapangan karena kupikir inilah kesempatan dari Tuhan untuk aku belajar lebih dalam tentang lingkungan hidup dan kelak aku bisa melayani-Nya melalui bidang ini.

Namun, ketika aku sudah yakin akan pilihanku, masalah datang. Museum yang akan kukunjungi itu ternyata terlambat mengajukan visa. Aku gagal berangkat mengikuti studi lapangan juga mission trip. Namun aku masih beruntung karena pihak universitas kemudian memberikanku kegiatan penelitian mengenai konservasi spesies langka bersama seorang peneliti di Singapura sebagai pengganti dari studi lapangan itu. Aku merajuk pada Tuhan. Aku menyalahkan-Nya karena membiarkanku kehilangan dua kesempatan berharga ini. Namun, belakangan melalui saat teduhku dan percakapanku dengan beberapa teman, aku sadar bahwa aku terlalu memaksakan kehendakku, bukan mengizinkan kehendak-Nya terjadi atas hidupku.

Aku mengakui dosaku, memohon ampun pada Tuhan dan bertekad untuk memuliakan-Nya dan bersukacita dengan apapun hal yang Dia berikan. Dan, puji Tuhan, lewat penelitian yang kulakukan di Singapura inilah aku belajar untuk semakin memelihara dan mengelola alam ciptaan-Nya (Kejadian 1:28). Aku juga belajar bagaimana memuliakan dan menikmati Tuhan lewat partisipasiku dalam melindungi spesies langka tersebut. Terakhir, dan inilah yang paling mengejutkan buatku, keterlibatanku dalam penelitian itu menjadi salah satu faktor aku diterima menjadi karyawan magang di sebuah institusi pemerintahan pada semester terakhir kuliahku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau waktu itu Tuhan mengizinkanku pergi mengikuti studi lapangan. Mungkin aku akan menjadi orang yang bergantung pada diriku sendiri dan memunggungi Tuhan yang selama ini selalu menyertaiku.

Aku belajar untuk menjadikan Tuhan sebagai tujuan utama dalam aktivitas yang kulakukan, entah itu dalam belajar, bersaat teduh, memberitakan Injil, atau bahkan ketika aku membersihkan kamar sekalipun. Aku belajar mencari dan menikmati Tuhan dalam tugas paling sulit atau kejadian paling mengecewakan yang kualami. Jika kamu melakukan itu semua, aku percaya kamu pun akan semakin mengenal Tuhan dan mendapatkan sukacita yang terbesar, yaitu Tuhan sendiri. Dan, selanjutnya kamu pun menjadi alat untuk kemuliaan Tuhan.

Empat poin ini adalah pengalamanku menikmati penyertaan Tuhan selama aku kuliah. Mari kita beranjak ke bagian penutup untuk melihat puncak dari semua perenungan ini.

Frasa akhir dari setiap tahap kehidupan ialah ….

Aku ingin mengakhiri dengan mengajakmu melihat maksud sesunguhnya dari tulisan ini: sebuah pengucapan syukur kepada Allah yang setia, Tuhan Yesus Kristus. Kalau kamu memperhatikan dengan saksama, ada beberapa huruf di poin-poin di atas yang ditulis kapital. Itu bukan salah ketik, aku sengaja menuliskannya demikian untuk mengeja sebuah frasa dari bahasa Latin: LAUS DEO, yang artinya “Puji Tuhan”.

Apalah artinya semua pengalaman yang kulewati kalau semuanya itu tidak membawaku untuk memuji Tuhan yang selalu hadir bahkan dalam momen terendahku dan ketika aku berdosa terhadap-Nya? Dan, apa juga gunanya bagimu, dalam tahap apapun kehidupanmu berada, kalau kamu membaca tulisan ini dan tidak tergerak untuk merenungkan penyertaan-Nya selama ini dan pada akhirnya memuji dan memuliakan Dia juga?

Aku berdoa kiranya Tuhan juga memberkatimu lewat keempat tindakan yang kusebutkan dalam poin-poin di atas, yaitu:

1. Melatih disiplin-disiplin rohani
2. Bangkit dari kesalahan dengan bergantung pada anugerah pengampunan Tuhan
3. Bergiat dalam persekutuan dengan orang-orang percaya
4. Melakukan segala sesuatu untuk semakin mengenal Kristus, memuliakan Dia, dan bersukacita di dalam-Nya.

Semoga masa kuliahmu, baik yang akan datang, sedang dilewati, ataupun sudah dilewati dapat kamu hidupi dan syukuri dalam hadirat Allah yang selalu menyertai kita.

Tuhan Yesus memberkati. Soli Deo gloria.

Baca Juga:

Mengenang Stan Lee: Seorang di Balik Segudang Tokoh Superhero

Tokoh-tokoh superhero itu unik. Mereka berbicara, menginspirasi, juga memotivasi kita. Dari banyak tokoh superhero yang kita kagumi, ada satu orang yang banyak berperan di baliknya. Dia adalah Stan Lee.

Satu Hal yang Kupelajari dari Kegagalanku di SNMPTN

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Aku masih ingat bagaimana campur aduknya perasaanku saat hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri diumumkan. Kecewa, sedih, juga takut bercampur menjadi satu di dalam diriku saat aku dinyatakan tidak lolos.

Peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama saudari kembarku mendaftar lewat jalur SNMPTN Bidikmisi. Tidak ada tes tertulis untuk jalur ini, kami hanya perlu menyiapkan segala berkas yang menjadi prasyarat, mengirimkannya, dan menunggu hasil. Salah satu alasan kami mendaftar ke jalur Bidikmisi adalah karena keluarga kami mengalami kesulitan finansial. Jika kami bisa kuliah dengan beasiswa, tentu itu akan meringankan beban finansial keluarga. Saudariku diterima, sedangkan aku tidak. Ini membuat nyaliku ciut. Aku takut apabila aku tidak bisa kuliah di tahun itu.

Ayahku berusaha menenangkanku. Dia menyarankanku untuk mengikuti SNMPTN jalur tertulis yang akan diselenggarakan dalam empat minggu ke depan. Hari-hari yang kulalui terasa menegangkan. Aku tidak mengikut les persiapan ujian seperti yang dilakukan teman-temanku. Kendala biaya membuatku hanya belajar lewat buku latihan soal. Kata Ayah kalau aku tidak lolos di jalur ini maka aku harus bekerja. Mendaftar di jalur mandiri akan sangat mahal biayanya. Aku mengerti maksud ayahku dan tidak bisa menyalahkannya apabila nantinya aku gagal dan harus bekerja.

Selama masa persiapan itu, aku dipenuhi keraguan. Aku merasa tidak cukup pintar karena aku tidak bisa mempertahankan nilai untuk masuk peringkat 5 di kelas. Aku sangat ingin kuliah, tapi ragu jika aku bisa lolos seleksi SBMPTN. Pernah suatu ketika, saking stresnya aku sampai menangis hingga Ayah memelukku untuk menenangkanku. Ayah mendukungku bahwa apapun hasilnya nanti, dia akan menerimanya.

Di saat-saat penuh keraguan itu, satu hal lainnya yang menguatkanku adalah doa. Ketika aku berdoa, aku belajar untuk mengandalkan Tuhan dan menyerahkan semua proses ini kepada-Nya.

Hari ujian tiba. Dari sekian banyak soal, hanya sedikit yang mampu kujawab dengan yakin. Soal-soal IPS di ujian itu berstandar SMA, dan sebagai siswi SMK aku merasa soal itu terlalu luas cakupannya dibandingkan dengan apa yang kupelajari. Aku ragu, tapi aku belajar untuk tenang. Di halaman terakhir buku soal latihan, aku menuliskan “Noni Elina Kristiani S.S, Universitas Negeri Jember 2015” sebagai ungkapan harapanku. Kemudian aku berdoa dan menyerahkan hasil akhirnya kepada Tuhan. Yang penting aku telah berusaha semaksimal mungkin dan berlaku jujur.

Selang beberapa waktu, hasil ujian diumumkan. Waktu itu aku sedang retret di luar kota dan tidak bisa mengakses internet. Temanku membantuku untuk melihat hasil ujian itu. Hasilnya mengejutkanku, aku dinyatakan lolos dan siap menjadi mahasiswa di jurusan Televisi dan Film di Universitas Negeri Jember, universitas pilihan pertamaku.

Aku tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan. Jika diingat-ingat lagi, apa yang menjadi harapanku yang kutulis di halaman terakhir buku soal latihan SBMPTN itu telah Tuhan wujudkan. Di tahun 2015, aku menyelesaikan studiku, diwisuda, dan memperoleh gelar sarjana di belakang namaku. Apa yang dulu aku ragukan dijawab Tuhan dengan kepastian. Semuanya ini terjadi semata-mata karena kemurahan Tuhan.

Karena kemurahan-Nya pula, aku belajar memahami bahwa setiap proses yang terjadi dalam kehidupan ini bukanlah suatu kebetulan. Tuhan ingin supaya di dalam setiap proses itu kita boleh merasakan pengalaman bersama-Nya, sehingga kita mengenal-Nya tidak cuma berdasarkan apa kata orang, tapi benar-benar dari pengalaman kita sendiri, seperti Mazmur yang berkata: Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya (Mazmur 34:9). Pahit manis kehidupan boleh terjadi supaya kita sendiri dapat mengecap kebaikan Tuhan.

Tuhan itu sungguh baik dan Maha Pemurah. Tuhan baik bukan hanya karena Dia memberikan kesuksesan, tetapi juga melalui kegagalan yang dulu pernah kualami, Tuhan menggunakannya sebagai kesempatan untukku belajar mengenal karakter-Nya lebih dalam. Aku belajar untuk mengerti bahwa rancangan-Nya terkadang tidak dapat kuselami, tetapi dapat kuimani bahwa itulah yang terbaik.

Mungkin saat ini kita tidak menerima apa yang kita inginkan, tetapi Tuhan tahu apa yang sedang Dia lakukan. Tuhan ingin membentuk karakter kita dan Dia ingin kita tahu betapa kasih-Nya melimpah bagi kita semua.

TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia (Ratapan 3:25).

Baca Juga:

Doa yang Sulit

Kawan, sepanjang perjalananmu menjadi orang Kristen, adakah doa yang mudah kamu ucapkan tapi sulit untuk kamu lakukan?

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur, Meski Harus Kehilangan Impianku

ketika-aku-berjuang-untuk-jujur-meski-harus-kehilangan-impianku

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Ketika memasuki dunia perkuliahan dulu, aku bersyukur karena bisa melaluinya dengan baik. Di semester pertama aku mendapat nilai A untuk semua mata kuliah sehingga aku meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 4.00. Di semester-semester selanjutnya aku sempat mengalami penurunan IPK, tetapi puji Tuhan karena aku masih boleh mendapatkan IPK di atas 3.50.

Semua berjalan dengan lancar dan tidak ada satu pun mata kuliah yang harus aku ulang. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan psikologi, tugas akhir yang harus kuselesaikan itu terdiri dari dua tahapan. Pertama adalah usulan penelitian, kedua adalah skripsi. Di tahap pertama aku harus menyusun bab 1 sampai 3, sedangkan di tahapan skripsi aku harus menyusun bab 4 dan 5.

Di tahap pertama aku mengalami kesulitan. Seharusnya tahap pertama ini selesai dalam waktu satu semester saja, tetapi aku butuh waktu empat semester! Sekitar dua tahun kuhabiskan hanya untuk berkutat di bab satu sampai tiga.

Berulang kali aku harus merombak isi bab pertamaku karena ternyata masalah yang ada di lapangan itu tidak relevan dengan judul penelitan yang aku ambil. Sulit bagiku untuk memahami apa yang diinginkan oleh dosen pembimbing, sehingga ini juga menjadi salah satu hambatan di balik lamanya proses bab satu itu. Lalu, waktuku pun terbatas karena aku melakukan penelitian ini di sebuah sekolah. Kalau sekolah itu sedang libur atau ujian, tentu penelitian itu tidak bisa kulakukan.

Setelah berkutat selama empat semester, akhirnya aku bisa melanjutkan ke tahap kedua, yaitu skripsi.

Saat aku merasa putus asa

Ternyata proses penyusunan skripsi ini juga tidak selalu berjalan mulus. Ada saja hal yang membuatku merasa putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Aku pikir skripsi ini akan lebih mudah karena tinggal menyusun hasil temuan data. Tapi, ternyata hasil temuan dataku bermasalah.

Metode penelitian yang kugunakan ternyata kurang lengkap sehingga aku tidak mendapatkan data yang maksimal. Lambat laun aku mulai merasa jenuh karena proses skripsi ini tidak kunjung selesai. Aku harus pergi bolak-balik menemui dosen pembimbingku yang lokasi rumahnya cukup jauh, bahkan sering juga dosenku itu lupa kalau ada jadwal pertemuan denganku.

Aku bertambah bingung ketika teman-temanku sering berkomentar, “Kok lama amat sih ga beres-beres, padahal IPK kamu kan lumayan.” Aku hanya bisa tertawa ketika teman-teman berkata seperti itu walau di dalam hatiku komentar itu terasa “menusuk”. Di tengah frustrasiku, ayahku bahkan sempat memintaku untuk “memberi amplop” pada dosen pembimbingku supaya proses skripsiku bisa dipermudah. Namun aku menolak usulan ayahku itu.

Di tengah kebingungan itu teman-temanku memberi saran untuk memanipulasi data. Si A dan si B juga dimanipulasi sedikit datanya supaya bisa cepat lulus. “Udahlah, zaman sekarang mah gak usah terlalu suci, susah kalau gitu mah, ya diubah sedikit hasil penelitiannya mah ga apa-apa dong,” kata teman-temanku.

Aku merasa malu, aku merasa percuma saja mendapatkan IPK tinggi tetapi tidak bisa lulus tepat waktu dan mendapatkan predikat cum laude. Aku menganggap cum laude itu sebagai sesuatu yang nantinya bisa aku banggakan. Aku senang jika ada orang-orang yang memujiku dan menganggapku hebat. Walaupun ketika dipuji aku tetap berusaha rendah hati, tapi harus kuakui kalau ada perasaan bangga dan aku ingin supaya orang-orang menilaiku sebagai orang yang berprestasi.

Hal-hal itulah yang membuatku berpikir kalau dengan meraih predikat cum laude maka aku akan “terkenal”, apalagi saat wisuda nanti ada ribuan orang yang hadir, termasuk juga para orang tua mahasiswa. Aku ingin mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sekitarku kalau aku adalah mahasiswa berprestasi.

Tantangan untuk berlaku jujur

Sejujurnya, perkataan teman-temanku itu sempat membuatku berpikir. “Apa iya aku harus sedikit curang supaya bisa lulus?” Aku merasa sangat bingung waktu itu, apalagi untuk mendapatkan predikat cum laude itu pun ada batasan masa kuliahnya. Aku benar-benar menghadapi dilema saat itu.

Ketika menghadapi dilema ini aku hanya bisa terus berdoa. Aku menceritakan segala keluh kesahku kepada Tuhan dan meminta hikmat tentang apa yang harus aku lakukan. Aku juga bersyukur karena mempunyai teman yang selalu mendukung dan menguatkan aku. Dia cukup sering memantau kemajuan tugas akhirku dan berusaha menyemangatiku.

Salah satu ayat yang menguatkan aku adalah “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5 : 37). Ayat ini menantang aku sekaligus mengingatkan aku untuk tetap berlaku jujur dan setia. Tuhan tidak berjanji kalau jalan yang harus kita lalui adalah jalan yang mulus, tetapi Tuhan menjanjikan kekuatan bagi orang-orang yang berharap padaNya.

Aku bersyukur walaupun dengan perjuangan yang berat sampai kadang aku pun menangis, Tuhan masih menjagaku sehingga aku bisa tetap jujur dalam menyusun skripsiku. Aku mencoba untuk menikmati proses penyelesaian skripsi itu. Sekalipun predikat cum laude gagal aku raih karena aku butuh waktu lebih lama, tapi aku mengucap syukur karena aku bisa lulus dengan jujur dan tanpa memanipulasi data.

Memang waktu studi yang harus kutempuh tidak sebentar. Total enam tahun harus kutempuh untuk mendapatkan gelar sebagai sarjana psikologi. Kadang aku merasa sedih, kecewa, kesal, merasa percuma saja punya IPK tinggi tapi tidak berhasil meraih cum laude hanya karena terhambat di tugas akhir. Tapi, lewat proses ini aku merasa Tuhan tidak ingin aku menyombongkan diri lewat semua nilai yang sudah kuperoleh.

Tuhan ingin mengasah kesetiaanku untuk tetap hidup benar di hadapan-Nya walaupun jalan yang kulalui seringkali banyak kerikil-kerikil yang menghambat.

Baca Juga:

Haruskah Aku Pindah Gereja?

Aku pernah bergumul tentang di gereja mana seharusnya aku bertumbuh dan melayani. Sekalipun aku sudah memiliki gereja tetap, tetapi aku merasa lebih bertumbuh di gereja sahabatku. Aku berada dalam sebuah dilema.