Posts

Keluar dari Pekerjaan Lama, Tuhan Memberiku Pengalaman Baru

Oleh Handiani, Semarang

Tahun 2020 adalah tahun yang penuh turbulensi bagiku. Selain pandemi yang merebak, nasib pekerjaan yang kutekuni selama tiga tahun ke belakang pun berada di ujung tanduk. Ada kabar yang beredar bahwa kantorku tidak akan memperpanjang kontrak kerjaku. Kabar ini—kendati belum diketahui kepastiannya—membuat hatiku tidak tenang. Keluar dan mencari pekerjaan baru rasanya jadi pilihan yang sulit.

Aku ingat momen-momen ketika dulu aku masih menjadi seorang job-seeker. Proses mengirim berkas lamaran, mengikuti psikotes, dan wawancara adalah proses yang menyita waktu, tenaga, dan juga uang, apalagi jika itu semua harus dilakukan di luar kota. Atas dasar pengalaman itulah aku merasa ragu. Keluar dan mencari pekerjaan baru berarti mengulangi semua proses itu dari nol. Itu pun belum ditambah dengan proses beradaptasi di kantor baru.

Tetapi, keputusan mau tidak mau harus dibuat. Sembari menanti jawaban final dari kantorku mengenai status pekerjaanku, orang-orang terdekatku memberiku beberapa saran. Tetap bersemangat mencari lowongan pekerjaan baru, atau mencoba hal baru, yaitu wirausaha. Opsi kedua terdengar baik, tetapi menantang. Aku tidak punya pengalaman berjualan sebelumnya, tetapi keluargaku malah mendukung opsi ini. Mereka beralasan, jika aku bisa membuka usaha di kotaku sendiri, aku bisa tetap dekat dengan orang tuaku.

Dalam doa, kututurkan pada Tuhan dua opsi tersebut, sebab aku sendiri tidak tahu mana yang paling tepat buatku. Aku masih mengupayakan opsi pertama. Aku mengirimkan banyak lamaran di banyak kota. Pergi dari satu kantor ke kantor lain untuk memenuhi panggilan tes dan wawancara. Hingga akhirnya, jawaban final dari kantorku pun diumumkan: kontrakku tidak dilanjutkan. Kecewa juga khawatir muncul dalam hatiku karena saat itu aku masih belum mendapatkan pekerjaan baru. Tetapi, syukur kepada Allah, dalam momen-momen penuh ketidakpastian itu, Dia menganugerahiku ketenangan dan optimisme. Aku yakin tiga tahun pekerjaanku di situ tentu ada pengalaman yang bisa kupetik, dan pengalaman itu bisa jadi bekal untukku melangkah selanjutnya.

Dituntun ke dalam pengalaman baru

Setelah berdoa dan berdiskusi dengan keluargaku, aku memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan baru, tetapi menciptakan lapangan kerja baru dengan berwirausaha. Aku tahu bahwa ide ini terasa menantang. Bagaimana caranya seorang pengangguran bermimpi menciptakan lapangan kerja bagi orang lain di saat dia sendiri membutuhkan pekerjaan? Tetapi, di sinilah Tuhan pelan-pelan menuntunku masuk ke dalam pekerjaan-Nya yang ajaib.

Berbekal tabunganku dan dukungan dari keluarga, aku memulai sebuah bisnis kuliner skala mikro. Segala persiapan dilakukan, mulai dari menentukan tempat, membeli alat-alat, hingga merekrut karyawan. Karena modal yang tidak besar, di awal-awal usaha ini dirintis aku sendiri ikut terjun melayani pembeli. Suasana yang berbeda drastis. Jika dahulu aku bekerja menikmati dinginnya udara AC, kini ditemani gerah dan udara panas dari penggorengan. Aku belajar menggoreng ayam, menyapa pembeli, mengatur strategi promosi, hingga mendaftarkan produk kulinerku ke aplikasi ojek daring.

Sempat ada momen ketika aku merasa takut gagal. Dengan modal serta pengalamanku yang terbatas, aku ragu apakah usahaku ini bisa survive dan meraih untung. Tapi kemudian aku ingat, bahwasannya sekalipun aku gagal, Tuhan tidak pernah gagal. Dia tentu tetap mencukupkan kebutuhanku dan menuntunku ke dalam rencana-Nya. Yang perlu kulakukan adalah melakukan pekerjaan tangan yang tersedia di depanku dengan sepenuh hati.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu, bisnis kulinerku rupanya bertahan. Pelan-pelan mulai ada keuntungan yang meskipun secara nominal tidak fantastis, tetapi membuatku bersyukur dalam hati. Tuhan sungguh mencukupkan segala kebutuhanku. Bisnis ini pun menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk memberkati orang lain. Di saat pandemi yang mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, aku dapat mempekaryakan karyawan-karyawan baru meskipun jumlah mereka hanya hitungan jari.

Hari ini aku menyadari bahwa inilah pekerjaan baru yang Tuhan inginkan untukku. Tuhan tidak menjawab ketakutanku dengan mengabulkan keinginan hatiku, karena Dia tentu lebih tahu mana yang lebih baik bagiku. Dia menuntunku melewati jalan setapak yang dipenuhi kekhawatiran, dan tuntunan-Nya itulah yang memberiku ketenangan.

Rencana Tuhan itu selalu baik dan indah pada waktu-Nya jika kita percaya kepada-Nya seperti yang kitab Amsal tuliskan: “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

Usaha pekerjaanku belumlah selesai. Bukan tidak mungkin pula akan ada badai yang menggoyahkan, tetapi kebenaran yang bisa aku pegang adalah: bersama Allah yang menyediakan, aku tidak perlu takut.

Jika kamu mengalami pergumulan serupa sepertiku, aku berdoa kiranya bimbingan Tuhan memberikan ketenangan dalam hatimu dan Dia menuntunmu menuju pekerjaan atau profesi yang membuatmu bertumbuh kepada tujuan-Nya yang mulia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Tawar Hati

Profesiku sebagai dokter membuatku tidak asing dengan kesakitan dan penderitaan yang dialami para pasien. Tak cuma para pasien, setiap kita pun mengalami penderitaan. Bagaimana agar kita tegar menghadapinya?

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Oleh Vika Vernanda, Depok

Sebuah dokumen berisi kalender akademis baru saja dikirim oleh temanku. Salah satu poinnya menyatakan bahwa batas akhir pengumpulan tugas akhir diundur hingga akhir bulan Juli. Aku mulai menghitung waktu yang kuperlukan untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir, hinga kudapatkan kesimpulan bahwa aku harus memulai penelitian lagi di awal bulan Mei.

Pandemi yang menjangkiti dunia dan Indonesia berdampak besar pada semua bidang, salah satunya pendidikan. Semua jenjang pendidikan melakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sehingga setiap siswa dan mahasiswa bisa tetap mengerjakan bagiannya untuk menuntut ilmu, namun penerapan PJJ menjadi kesulitan tersendiri bagi sebagian mahasiswa tingkat akhir. Mereka yang awalnya bisa melakukan penelitian langsung di laboratorium dan di lapangan, kali ini tidak bisa melakukannya. Akibatnya penulisan tugas akhir dan waktu kelulusan jadi terhambat. Aku adalah salah seorang di antara mereka.

Pengumpulan tugas akhir yang diundur merupakan kabar baik bagi beberapa temanku, namun tidak bagiku. Penelitian untuk tugas akhirku rencananya dilakukan di rumah sakit, tapi saat ini sangat berisiko untuk pergi kesana. Pihak universitas dan rumah sakit juga tidak memberikan izin untuk melakukan penelitian. Rencana penelitianku di awal bulan Mei jadi sangat tidak mungkin kulakukan. Padahal, aku sudah merencanakan dengan rapi studiku supaya aku bisa lulus tepat waktu. Sekarang, semua rencanaku terancam berantakan. Aku sangat khawatir jika aku tidak bisa lulus tepat waktu.

Ketika aku menyampaikan kekhawatiranku pada temanku, aku teringat pada firman yang dibahas dalam kelompok tumbuh bersama yang kuikuti kemarin.

Kami membahas tentang surat Paulus bagi jemaat Filipi yang berisi tentang permintaan agar sehati sepikir dalam Kristus. Pada Filipi 4:6-7 ditulis demikian:

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

David Sanford pada bukunya Journey Through Philippians, menuliskan bahwa berdoa dalam segala sesuatu dengan ucapan syukur memberikan implikasi seperti pada ayat 7, yaitu damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran kita. Damai ini hadir bukan karena kita memiliki kontrol, punya rencana, atau tahu jelas berbagai pilihan yang ada dalam hidup kita. Damai ini juga bukan merupakan sesuatu yang kita pikirkan dan kehendaki. Itu semua adalah kedamaian Allah— kedamaian yang terjadi bukan karena kita mengetahui semua hal dengan pasti sesuai rencana, namun ketika kita mempercayakan setiap hal kepada Allah.

Kalimat itu sangat menegurku. Aku tahu, mungkin sulit bagi kita untuk berpegang pada damai sejahtera Allah di tengah kondisi yang sangat tidak sesuai harapan. Banyak harapan dan rencana yang gagal akibat pandemi yang sedang kita alami bersama. Aku mengalaminya, dan untuk sesaat, itu menjauhkanku dari damai-Nya.

Menikmati firman ini membuatku tenang. Namun terkadang perasaan khawatir itu kembali muncul, dan ketika itu datang aku mencoba mengingat lagi bahwa Allah memegang masa depanku. Bagianku saat ini adalah tetap mengerjakan tugas akhir yang bisa dikerjakan dari rumah, dengan perasaan damai sejahtera karena mengetahui bahwa Allah bekerja. Terkait lulus tepat waktu, saat ini aku sudah lebih tenang jika bukan itu yang Allah mau; tapi aku percaya bahwa aku akan lulus pada waktu-Nya.

Pemahaman akan damai sejahtera Allah yang tidak kita dapatkan karena pengertian kita, mengingatkanku untuk tetap berdoa dan meyerahkan kekhawatiranku kepada-Nya. Maka, mari tetap berpengharapan dan menyandarkan kekuatan kita pada Allah, yang sudah menyiapkan rencana terbaik dalam hidup kita.

Untukmu yang juga sedang harap-harap cemas menanti kebijakan terkait tugas akhir, mari percaya bahwa Allah tetap bekerja. Bahwa di tengah kondisi yang terjadi, Allah tetap menjaga, dan itu membuat kita menikmati kedamaian dari-Nya. Lulus pada waktu-Nya juga adalah hal yang indah bukan?

Baca Juga:

Tuhan, Alasanku Bersukacita di Dalam Penderitaan

Habakuk dengan jujur dan berani bertanya kepada Tuhan mengapa ada jurang yang begitu lebar antara apa yang dia percayai dengan situasi yang ada di sekelilingnya. Mungkin kita pun punya pertanyaan yang sama seperti Habakuk. Apakah jawaban Tuhan terhadapnya?

Yuk baca artikel ini.

Setahun Mencari Pekerjaan, Tuhan Akhirnya Menjawab Doaku

Oleh Martha Felica*, Surakarta

Air mataku menetes tatkala aku terdiam. Pusing di kepala dan rasa sakit di dada kurasakan karena diselimuti kekecewaan. Aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan pada tahun 2017 yang lalu. Saat masih duduk di bangku kuliah, aku pernah berpikir bahwa hidup akan terasa mudah dan indah setelah selesai kuliah. Lulus dengan nilai bagus, lalu diterima di perusahaan besar di Jakarta. Namun, impianku justru pupus begitu saja.

Hari demi hari, bulan demi bulan, kota demi kota sudah aku sambangi demi mendapatkan pekerjaan. Aku pernah mengikuti wawancara kerja di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Semarang. Namun, tak ada satupun yang akhirnya lolos. Padahal, teman-teman yang lulus bersamaku sudah mendapatkan pekerjaan. Aku didera rasa malu yang tak kunjung berhenti. Setiap kali orang bertanya di mana aku bekerja, lidahku kelu. Hatiku sakit. Aku tak tahu harus menjawab apa. Pun dengan kedua orang tuaku. Sebagai anak tunggal, aku punya kewajiban untuk menjadi satu-satunya tumpuan mereka nantinya. Lalu, bagaimana jika aku tak bisa memiliki pekerjaan dan tidak berhasil membanggakan mereka?

Tapi, rasa frustrasi tidak membuatku berhenti berdoa. Aku menceritakan tentang kegelisahanku selama aku belum mendapatkan pekerjaan kepada seorang hamba Tuhan di gerejaku. Aku memanggilnya dengan panggilan “Romo”. Saat itu, beliau menasihatiku bahwa yang terpenting bukanlah siapa yang tercepat, melainkan kualitas hidup kita karena itulah yang Tuhan lihat. Beliau juga mengutarakan bahwa aku harus diam sejenak dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Aku harus menerima kondisiku saat itu dan berdamai dengan kekecewaan yang menggerogoti diriku sendiri sambil tetap berdoa. Aku berusaha melakukan nasihat Romo yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam Filipi 4:6-7: “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Ada harapan

Hari demi hari kembali aku jalani. Aku tidak menyerah pada keadaan. Sembari mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, aku berusaha untuk terus berkarya di gereja dan menjadi wirausahawan. Aku membuka bisnis kaos dan bakso goreng serta melayani sebagai lektor atau pembaca Alkitab saat ibadah berlangsung. Di tengah-tengah usahaku itu, selalu ada perusahaan yang memanggilku untuk wawancara kerja, entah di Jakarta maupun Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Pengharapanku tumbuh kembali, apalagi orang tua, keluarga dan teman-temanku terus mendukungku. Aku beroleh kekuatan melalui Matius 6:26:

“Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”

Benar, aku adalah manusia ciptaan-Nya yang lebih dari burung-burung itu. Aku tak boleh khawatir selama aku berusaha dengan jujur dan terus mengandalkan-Nya dalam doa-doaku.

Lembaran baru

Waktu demi waktu berlalu. Wawancara demi wawancara kulalui, tetapi aku masih belum berhasil lolos ke tahap selanjutnya.

Bulan Juli 2017, aku iseng mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan media yang sedang dibangun di kota tempat tinggalku, Solo. Setelah mengikuti seleksi, kupikir aku gagal kembali. Tapi, tak disangka-sangka, seminggu kemudian aku kembali dipanggil lewat telepon dari Jakarta. Aku diberitahu bahwa aku diundang untuk mengikuti proses seleksi di media yang sama namun dengan fokus yang berbeda yakni di berita seputar entertainment. Yang lebih mengejutkan lagi buatku, aku harus melewati proses wawancara di hadapan 10 petinggi perusahaan sekaligus. Aku sempat pesimis karena menurutku jawaban-jawabanku kurang memuaskan. Namun, aku memiliki nilai lebih karena pernah menulis di blog dan tulisanku pernah dimuat di beberapa media di Indonesia.

Setelah seminggu, aku menerima kabar bahwa aku diterima di media tersebut. Aku menandatangani kontrak selama setahun sampai Agustus 2018. Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya diriku saat berhasil memperoleh pekerjaan untuk pertama kalinya. Senang, kaget, dan terharu bercampur menjadi satu. Aku sangat bersyukur karena Tuhan akhirnya memberikan jawaban atas doaku. Sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, aku memberikan seluruh gaji pertamaku untuk orang-orang yang membutuhkan melalui gereja.

Aku teringat pada perkataan Romo, “Hidup kita itu perjuangan. Jalani dengan penuh keberanian dan harapan. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kamu.”

Aku sungguh tak menyangka bahwa usahaku untuk terus melamar pekerjaan akhirnya berbuah manis seperti halnya firman yang tertulis dalam 2 Tawarikh 15:7, “Kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu!

Kini, satu setengah tahun telah berlalu. Aku masih setia bekerja di perusahaan media tersebut. Aku berusaha disiplin dan menghargai pekerjaanku serta memberikan yang terbaik, karena aku tahu betapa susahnya mencari pekerjaan di luar sana.

Teman, siapa pun kamu dan di mana pun kamu sekarang, jika kamu sedang berjuang mendapatkan pekerjaan, yakinlah bahwa Tuhan akan menolongmu. Ia mendengarkanmu jika kamu bersungguh-sungguh, bersedia berjuang dengan jujur dan tak menyerah. Ingatlah, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Selamat berjuang dengan tak putus-putusnya berharap pada Tuhan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

3 Hal yang Tuhan Ajarkan dalam Masa Penantian

Enam bulan aku menanti dan berusaha agar jurnalku sebagai prasyarat kelulusan diterima. Awalnya aku sempat kecewa, tapi rupanya dari masa-masa inilah aku belajar sesuatu.