Posts

Ketika Aku Menjawab Panggilan-Nya untuk Melayani di Gereja

ketika-aku-menjawab-panggilannya-untuk-melayani-di-gereja

Oleh Lovesa Oktaviana, Bandung

“Telah lama kucari-cari langkah hidup yang lebih pasti,” demikianlah penggalan lirik sebuah lagu yang sepertinya cocok dengan keadaanku. Aku lahir di keluarga Kristen yang menjadikanku otomatis Kristen juga. Namun, sejak kecil aku hanya menjadi simpatisan yang berpindah-pindah gereja mengikuti orangtuaku. Tak pernah terpikir olehku untuk menetap dan melayani di suatu gereja.

Datang, duduk, lalu pulang. Itulah aktivitas yang kulakukan setiap minggu. Aku merasa begitu-begitu saja karena imanku tidak bertumbuh. Ketika suatu gereja mengajakku untuk bergabung dalam pelayanan, aku pun menolak. Aku masih asyik dengan duniaku sendiri, tapi aku merasa kalau hatiku jauh dari damai sejahtera karena masih ada kepahitan yang aku simpan.

Waktu itu pikiranku masih terbatas, aku belum menyadari bahwa di luar gereja pun sebenarnya aku bisa melayani Tuhan. Aku pernah berdoa kepada Tuhan kalau jauh di kedalaman hatiku, aku ingin melayani Tuhan di satu gereja. Namun, siapa sangka bahwa Tuhan akhirnya menggelisahkan hatiku dengan kerinduan. Aku berpikir bagaimana caranya aku bisa mulai melayani Dia di dalam gereja.

Sebuah panggilan untuk melayani-Nya di gereja

Panggilan itu muncul pada tahun 2009 ketika aku masih menjadi jemaat simpatisan di sebuah gereja. Setiap minggunya, dalam perjalanan menuju gereja itu, aku harus melewati sebuah gereja lain yang pernah kukunjungi sejak kecil. Entah itu khayalanku atau bukan, tapi setiap kali melewati gereja itu aku seolah mendengar namaku disebut, “Lovesa, ayo sini ! Kamu punya tugas disini.” Suara itu membuatku berpikir, “apa ini? Tugas apa? Apa Tuhan ingin aku melayani Dia?” Hal ini selalu terpikirkan olehku namun tak pernah kuceritakan pada siapapun.

Bulan Desember 2009 gereja tempatku beribadah memutuskan untuk menggeser jam kebaktian menjadi lebih pagi. Karena jarak tempuh antara rumahku dengan gereja yang jauh, dan adik-adikku yang masih kecil, orangtuaku tidak menyanggupi apabila harus berangkat lebih pagi lagi setiap hari Minggu. Dengan pertimbangan itu, ibuku memutuskan untuk pindah ke gereja lain dan ternyata ibu memilih pindah ke gereja yang “memanggilku” itu.

Tepat di minggu pertama bulan Januari 2010 aku mulai beribadah di gereja itu. Sebenarnya gereja ini bukanlah gereja yang benar-benar baru buat keluargaku karena ibuku telah saling mengenal dengan pendetanya sejak mereka masih remaja.

Minggu-minggu setelahnya aku memutuskan untuk mengikuti kelas baptisan. Aku ingin mengikut Tuhan dengan sungguh-sungguh dan lewat kelas baptisan itu Dia merombak isi hatiku. Salah satu topik dalam kelas yang pernah dibahas adalah tentang pelayanan Yesus. Yesus lebih dulu mengasihi dan melayani kita, bahkan ketika kita masih berdosa.

Pelajaran itu membuatku menyadari bahwa selama itu aku masih menyimpan kepahitan terhadap ayahku. Masih teringat jelas dalam ingatanku ketika ayahku dengan ringannya menamparku hingga mimisan. Lalu dia juga memarahiku di depan umum dan selalu menyakiti hatiku lewat kata-kata yang dia lontarkan.

Pelajaran demi pelajaran dalam kelas persiapan baptisan itu membuatku berpikir, bagaimana mungkin aku dibaptis apabila kepahitan itu masih berakar dalam hatiku? Bukankah saat dibaptis nanti kehidupan lamaku harus kutanggalkan? Bukankah aku harus menjadi pribadi baru yang dibangkitkan bersama dengan Yesus?

Dalam pergumulanku untuk melepaskan kepahitan itu, aku bercerita kepada ibu pendeta. “Bagaimanapun juga, dia adalah ayahmu. Di masa tua nanti di pasti membutuhkanmu. Jika kamu tidak bisa mengampuninya, lalu siapa yang nanti akan merawatnya di hari tua?” Tanggapan dari ibu pendeta itu membuatku merenung.

Sebagai anak pertama, tentu adik-adikku akan melihatku sebagai teladan. Jika aku sendiri tidak dapat mengampuni ayahku, bisa jadi adik-adikku akan mengikuti apa yang telah kulakukan itu. Harus kuakui, mengampuni seseorang yang telah menyakitiku itu berat, tapi aku mau terus belajar. Ibu pendetaku menyarankanku untuk selalu mengatakan “aku mengasihi ayahku” walau hanya dalam hati.

Firman Tuhan dalam 1 Petrus 3:10-11 mengatakan, “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya.”

Aku percaya bahwa kata-kata yang kuucapkan itu memiliki kuasa, oleh karena itu aku mau berusaha untuk mengatakan hal-hal yang baik dan penuh kasih, termasuk kepada ayahku. Lambat laun rasa pahitku kepada ayahku mulai pudar. Sekarang aku tidak lagi sakit hati terhadapnya walaupun aku mengingat-ingat masa lalu.

Kehidupan baruku bersama Yesus

Singkat cerita, setelah menuntaskan kelas persiapan, aku pun dibaptis dan bergabung menjadi satu kesatuan jemaat dalam gereja. Sejak saat itu, Tuhan memberiku kesempatan untuk melayani Dia dalam gereja. Mulai dari menari, menyambut tamu, dan memimpin kebaktian.

Aku punya kerinduan untuk melayani Tuhan lewat nyanyian, dan aku berdoa apakah Tuhan mengizinkanku untuk melayani Dia di bidang itu atau tidak. Tanpa kusadari, Tuhan memberikan talenta itu. Segala sesuatunya kini membuatku untuk selalu mengucap syukur tiap kali aku mengingatnya kembali. Tuhan memberikan lebih dari apa yang aku minta.

Aku mengucap syukur karena Tuhan memberikanku kesempatan untuk boleh melayani-Nya baik itu di dalam gereja maupun lewat profesiku sebagai seorang apoteker. Semua ini boleh terjadi semata-mata hanya karena anugerah-Nya yang melayakkan aku untuk menjadi pelayan-Nya.
Sungguh amat istimewa menjadi pekerja Kristus yang mulia.

“Anak-anakku, sekarang janganlah kamu lengah, karena kamu telah dipilih TUHAN untuk berdiri di hadapan-Nya untuk melayani Dia, untuk menyelenggarakan kebaktian dan membakar korban bagi-Nya” (2 Tawarikh 29:11).

Baca Juga:

Ketika Jumat Agung Menjadi Hari yang Menyedihkan Hatiku

Selama bertahun-tahun aku tidak merasakan ada yang istimewa dari momen Jumat Agung hingga suatu ketika sahabatku mengalami kecelakaan dan ia meninggal tepat di hari Jumat Agung. Peristiwa itu kemudian mengajarkanku tentang apa makna sesungguhnya dari kematian Yesus pada hari Jumat Agung.

Tuhan, Mengapa Aku Harus Masuk Sekolah Farmasi?

tuhan-mengapa-aku-harus-masuk-sekolah-farmasi

Oleh Lovesa Oktaviana, Bandung

Ketika anak-anak seusiaku dulu begitu antusias bercita-cita ingin menjadi dokter, aku malah sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di dunia kesehatan. Sewaktu kecil dulu aku pernah melakukan tes kesehatan, tapi dokter yang memeriksaku itu galak dan kasar sehingga aku takut untuk menjadi dokter. Tapi, yang lebih mendasar adalah aku ingin hidup bebas, sedangkan dalam pandanganku dunia kesehatan itu memiliki banyak aturan dan pantangan.

Tiba saatnya aku akan melanjutkan studi ke sekolah menengah atas dan aku mendaftar di sebuah sekolah swasta. Aku sudah merencanakan untuk masuk ke program IPS saja supaya saat lulus nanti aku bisa melanjutkan kuliah ke jurusan Sastra Prancis. Itulah tekadku dulu, dan aku sendiri pun tidak tahu nantinya akan bekerja sebagai apa. Aku hanya ingin mengikuti jejak ibuku yang waktu itu pandai berbahasa Prancis.

Saat waktu pendaftaran semakin dekat, ibuku membujukku untuk masuk ke sekolah farmasi. Ibuku berkata kalau sekolah farmasi itu belum banyak diminati orang sehingga saat lulus nanti pasti banyak orang yang membutuhkan lulusan farmasi. Aku tahu kalau sebenarnya itu bukanlah satu-satunya alasan ibuku membujukku. Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara sehingga aku punya tanggung jawab terhadap masa depan adik-adikku nanti. Jika nanti aku bisa bekerja mapan tentu aku dapat meringankan beban orangtuaku.

Aku tidak tahu jelas tentang dunia farmasi. Yang aku tahu sekolah farmasi itu nantinya mirip dengan sekolah kejuruan. Aku pun menurut bujukan ibuku untuk mendaftar. “Toh hanya mendaftar, lagian belum tentu juga diterima,” ucapku dalam hati. Aku masih mendambakan masa putih abu-abuku diisi di sekolah SMA umum, sehingga selain di sekolah farmasi aku juga mendaftar di SMA swasta lainnya.

Singkatnya aku mengikuti tes di dua sekolah tersebut. Aku tidak menaruh rasa curiga apapun karena setiap soal tes bisa kukerjakan dengan mudah. Aku yakin kalau akan diterima di SMA biasa, bukan di sekolah farmasi. Tapi, aku kaget karena hasil tes menunjukkan bahwa aku lebih direkomendasikan untuk masuk ke sekolah farmasi! Aku merasa tidak terima dengan hasil itu dan kupikir kalau ibuku telah menjebak dan menipuku.

Malam itu aku berdoa kepada Tuhan supaya aku bisa menggagalkan rencana untuk sekolah farmasi. “Masa aku harus menjalani sesuatu yang aku tidak suka?” doaku pada Tuhan. Tetapi, kemudian aku berpikir bagaimana jika seandainya doaku justru dijawab terbalik oleh Tuhan? Aku bingung harus berbuat apa.

Sembari menunggu pengumuman kelulusan, perlahan Tuhan membukakan pikiranku tentang masa depan. Aku belajar untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia farmasi, tentang peluang dan tantangannya hingga aku menyadari bahwa melanjutkan ke sekolah farmasi juga bukanlah pilihan yang buruk. Aku menyadari bahwa dulu aku bukanlah orang Kristen yang sungguh-sungguh. Aku belum mengalami lahir baru, tidak terlibat pelayanan, dan hanya jemaat simpatisan. Aku belum memahami indahnya panggilan Tuhan. Aku masih berfokus pada diri sendiri karena aku belum jadi orang yang peka.

Hari yang ditunggu pun tiba dan aku harus menerima kenyataan kalau hasil final dari tes itu menunjukkan aku diterima di sekolah farmasi. Perasaanku campur aduk, entah aku harus merasa senang atau sedih. Aku tidak protes kepada ibuku, tapi berdiam diri sejenak dan bertanya dalam hati apakah aku siap untuk menjalani hari-hariku nanti.

Di masa awal sekolah aku berjuang membuat diriku terlarut dalam ritme sekolah farmasi yang padat. Aku tidak terlalu suka pelajaran-pelajaran yang diberikan dan juga sering mengeluh karena jam sekolah yang dimulai pukul 07:15 dan baru berakhir pukul 17:00 setiap hari! Ketika hasil ujian tengah semester keluar, nilaiku hanya pas-pasan. Melihat nilai itu, aku menjadi khawatir.

Sekolah tempatku belajar termasuk dalam sekolah unggulan yang memiliki segudang peraturan ketat. Ketika nilai-nilaiku tidak mencapai standar yang ditetapkan sekolah, besar kemungkinan nanti aku akan dikeluarkan. Terlepas dari ketidaksukaanku dengan dunia farmasi, aku teringat perjuangan kedua orangtuaku yang membiayai sekolahku dengan susah payah. Bagaimana perasaan mereka jika nanti aku dikeluarkan dari sekolah? Aku tidak boleh egois. Hanya karena aku tidak suka farmasi bukan berarti aku bisa bertingkah semau diriku sendiri.

Aku belajar untuk yakin bahwa Tuhan punya rencana. Dengan berdoa, aku datang dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Tuhan membuka pandanganku tentang dunia farmasi. Aku tahu bahwa Dia menempatkanku di sekolah ini bukan semata-mata karena aku adalah anak pertama yang nanti harus segera mendapatkan pekerjaan, tapi lebih dari itu, Tuhan ingin aku melayani Dia.

Saat aku mulai menikmati kehidupanku sebagai seorang siswa farmasi, aku menyadari bahwa menjadi seorang farmasis itu adalah pekerjaan yang mulia. Seorang farmasis dituntut untuk teliti, karena kesalahan sedikit saja ketika menerjemahkan isi resep dokter bisa berakibat fatal! Tapi, farmasis tidak hanya berurusan dengan obat, bisa juga berinteraksi dengan orang-orang dan memberi konsultasi.

Dari sinilah aku belajar bahwa terkadang yang orang butuhkan bukanlah obat jasmani semata, tapi juga obat rohani. Amsal mengatakan kalau hati yang gembira adalah obat yang manjur (Amsal 17:22). Aku bisa memberi mereka obat rohani dengan menjadi teman curhat mereka. Sikapku ketika melayani pasien mungkin akan mempengaruhi kesembuhannya juga. Ketika pasien yang kulayani merasa puas dan gembira, tentu itu akan membantu mengurangi sakitnya walaupun hanya sedikit.

Akhirnya aku menemukan jawaban dari pergumulanku selama ini, yaitu Tuhan mau aku melayani Dia lewat pasien-pasien yang kelak akan kutemui dalam pekerjaanku.

Tiga tahun studi di sekolah farmasi memberiku gelar AA (Asisten Apoteker) di belakang namaku, dan itu membuatku bersyukur karena Tuhanlah yang membawaku ke sana. Singkat cerita, setelah tamat dari sekolah farmasi, aku melanjutkan studi sarjanaku di Sekolah Tinggi Farmasi di kota Bandung dan sekarang kembali melanjutkan studi ke jenjang profesi apoteker.

Seringkali apa yang kita inginkan seolah tidak senada dengan apa yang Tuhan inginkan. Tetapi, percayalah bahwa ada sukacita ketika kita mau hidup di dalam rencana-Nya. Sekalipun awalnya mungkin terasa berat, tetapi kelak ketika kita setia menjalani panggilan-Nya, suatu saat kita akan beroleh sukacita dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mengapa yang kita ajukan.

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Baca Juga:

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.