Posts

3 Tips Mencari Kehendak Tuhan dalam Berpacaran

Oleh Jenni, Cimahi

Kita tentu ingin segala sesuatu yang kita lakukan itu selaras dengan kehendak Tuhan. Namun, bagaimana mengetahuinya? Dan, bagaimana pula meyakininya jika kita telah menemukan “kehendak” itu?

Aku pernah mengalami fase itu, terkhusus dalam penantianku akan sosok pacar yang kelak kuharap bisa jadi pasangan hidup. Sekarang, setelah aku berpacaran, pertanyaan akan apa kehendak Tuhan dalam hidup dan relasiku ini tidaklah hilang. Aku terus mencari dan menggumulinya. Jika kamu mengalami yang sama sepertiku, inilah tiga hal yang kulakukan untuk mengenal kehendak Tuhan dalam relasiku.

1. Berusahalah untuk mengenal Dia

Sewaktu aku SD dulu, ada tren menulis biodata di binder teman. Biasanya masing-masing murid punya satu binder dengan kertas-kertas yang unik, beda dari yang lain. Binder ini akan diedarkan ke teman-teman untuk diisi biodata. Dari biodata itu aku jadi tahu hal-hal tentang temanku yang mungkin sebelumnya tidak terpikir olehku untuk menanyakannya.

Jika mengenal teman pun butuh usaha, demikian juga jika kita ingin kenal dan akrab dengan Tuhan. Saat ingin mengetahui kehendak-Nya, kita perlu mengenal pribadi-Nya. Tuhan berbicara lewat firman-Nya di Alkitab. Saat kita membaca firman-Nya dengan pertolongan Roh Kudus, kita dimampukan untuk semakin mengenali karakter-Nya. Kita bisa mengerti apa saja yang menyenangkan-Nya, mendukakan-Nya, dan kehendak-Nya bagi kita.

Saat awal berpacaran, aku agak keteteran mengatur waktu. Kadang ditambah dengan kesibukan, aku melewatkan waktu pribadi bersama Tuhan. Untungnya, ada Roh Kudus yang setia mengingatkan. Seperti tertulis dalam Yeremia 29:13, “apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati.”

Tuhan mengasihi kita. Ia berjanji apabila kita berusaha mencari dan mengenal-Nya dengan sungguh-sungguh, maka kita akan menemukan-Nya. Mari kita sediakan waktu pribadi bersama-Nya.

2. Selaraskan relasi kita dengan firman Tuhan

Rasa-rasanya sekarang aku agak paham mengapa dulu orang-orang yang lebih tua menyarankan untuk berpacaran kalau sudah bekerja atau setidaknya lulus sekolah. Pacaran atau menjalin relasi bukan hanya tentang happy-happy. Perlu pribadi yang dewasa, dan dewasa itu identik dengan tidak egois. Kita juga perlu belajar mengasihi tapi tetap punya batasan yang jelas.

Rasa cinta adalah sesuatu yang bisa dibangun. Semakin lama berelasi, ada kecenderungan untuk makin besar cintanya. Saking sayangnya, ingin rasanya selalu mengikuti yang si doi mau, yang tanpa kita sadari membuat hati kita telah melekat padanya. Kemelekatan kita pada apa pun dan siapa pun selain Kristus berpotensi untuk menghancurkan dan mengecewakan kita, sebab Tuhan sendiri berfirman bahwa kita harus melekat pada pokok yang benar. Di luar Dia, kita tidak dapat berbuah (Yohanes 15:1-8).

Aku pun menyadari salah satu tantangan pacaran adalah tetap bisa mengasihi tanpa kehilangan diri sendiri, atau menjadi bucin. Bucin bisa mengaburkan batasan-batasan dalam berpacaran dan hal ini bisa membuat relasi menjadi tidak sehat. Firman Tuhan dan kekuatan dari-Nya memampukan kita untuk bisa menjalani hubungan yang sehat. Maka karena itu, yuk kita selaraskan relasi kita dengan firman Tuhan.

3. Bawa dan letakkan hubunganmu pada Tuhan

Tujuan pacaran adalah saling mengenal sebelum memantapkan hati untuk menikah. Dua pribadi yang berbeda berusaha menyatukan visi, mencita-citakan hal yang sama. Kadang pikiran melanglang buana, lupa yang di depan mata. Dalam doa pun mendikte Tuhan mau begini mau begitu, padahal pengertian-Nya jauh di atasku. Aku lupa menyediakan ruang bagi Tuhan dalam hubungan kami.

Dalam Keluaran 13:17 dituliskan saat bangsa Israel pertama kali keluar dari Mesir, Tuhan sengaja menuntun ke jalan memutar karena saat itu bangsa Israel belum siap untuk berperang. Saat ini aku paham karena aku membaca pertimbangan Tuhan di Alkitab. Akan tetapi, kalau aku ada di posisi bangsa Israel, belum tentu aku mengerti. Mungkin sekali aku akan mengeluh, kenapa harus repot-repot memutar, padahal ada jalan yang lebih dekat? Tetapi, Tuhan adalah pencipta dunia beserta isinya. Akan ada banyak hal yang tidak akan bisa aku pahami dengan pikiranku yang terbatas.

Seperti yang tertulis dalam Roma 11:33-36, mustahil menyelami pikiran dan jalan Tuhan. Dan segalanya adalah dari, oleh dan kepada Dia. Satu yang pasti, seperti karya penebusan-Nya, Dia mengasihi kita. Dia tahu apa yang terbaik untuk kita. Mari kita berusaha memberikan Tuhan ruang di hubungan kita. Percayalah pada-Nya.

Sampai di titik ini aku melihat bahwa ternyata cara untuk mengenal kehendak Tuhan adalah dengan mengenal pribadi-Nya. Dengan menyediakan waktu pribadi dan berusaha melakukan ajaran-ajaran-Nya, kita bisa memisahkan mana kehendak-Nya dan mana yang bukan.

Semoga sharing ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semuanya!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

3 Tanda Aku Bucin Parah!

Menyampaikan cinta nggak sama dengan memaksakan cinta🤔🤔

Kamu pernah punya pengalaman jadi bucin atau dibucinin? Share yuk!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hukumnya Jodoh di Bawah Langit: Law of Love atau Law of Attraction?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35).

Dear love fighter, beberapa waktu lalu aku lihat postingan di tiktok tentang yang namanya law of attraction. Sederhananya, law of attraction berbunyi you attract what you are, atau dengan kata lain kita akan menarik seseorang/sesuatu yang memang adalah diri kita. Dalam aplikasinya jika kita memang adalah orang yang “positif” seperti rajin ngerawat diri, good looking, rajin kerja, dst., kita juga akan menarik orang-orang dengan karakter-karakter demikian. Jika kita punya yang yang negatif, kita juga akan attract orang-orang yang negatif untuk mendekat pada kita. Dalam hal jodoh, orang baik akan berjodoh dengan orang yang baik, dan demikian sebaliknya orang tidak baik dengan orang yang tidak baik juga.

Di dalam merenungkan Law of Attraction, ternyata Law of Love itu GAK SEMENARIK yang kita bayangkan!

To the point aja, aku tidak akan menyanggah jika kamu yang sudah baca judul akan berekspektasi tulisan ini puncaknya adalah “Law of Love” (lihat lagi Yohanes 13:34-35) sesuai ajaran Yesus dan khotbah-khotbah yang sering kita dengar, karena benar demikian jika kita bicara cinta sejati secara “abstrak”. Bahkan aku berani berargumen bahwa relasi kita dengan Tuhan itu akan menentukan bagaimana kita berelasi dengan jodoh/pasangan kita. Aku pun mengamini sebagai orang Kristen DNA, bahkan aku mengaplikasikan “Law of Love” itu di dalam mencari jodoh dan mendekati perempuan yang aku suka. Semasa remaja SMA, selama 2 tahun aku pernah suka dengan seorang perempuan di gereja dan berusaha untuk menarik hatinya. Di mataku, perempuan itu pintar, cemerlang, baik hati, dan dewasa. Aku pun sudah mengerti jelas apa itu “Law of Love” versi Alkitab dan aku pun coba mengaplikasikannya di dalam mengejar cinta. Aku berdoa kepada Tuhan, mengenal dia dan pergumulannya, menemani dia melakukan hobinya pergi ke festival anime Jepang, mengajaknya olahraga pingpong bersama, menjadikannya teman cerita senang dan sulitnya aku. Semua itu kulakukan selama 2 tahun layaknya anak muda yang mau serius mengasihi dan membangun cinta. Akan tetapi kemudian semua itu kandas. “Law of Love” itu seakan-akan dikalahkan dengan “Law of Attraction” di mana dalam waktu singkat yaitu 2 bulan perempuan itu lebih mendekat kepada laki-laki lain yang lebih “dewasa” dan mapan daripada aku.

Jika kita sadar bahwa relasi kita dengan Tuhan menentukan relasi kita dengan calon pasangan atau pasangan kita, kita juga perlu belajar membuka mata akan realita yang Tuhan sudah izinkan terjadi. Dulu aku hanya tahu apa itu “Law of Love”, tapi saat ini aku melihat apa itu “Law of Love”. Ternyata  “Law of Love” adalah ajaran yang tidak menarik jika diaplikasikan dalam mencari jodoh. Mungkin ketika melihat kisah pribadiku, mudah bagi sebagian kita untuk lompat pada asumsi bahwa “aku ini kurang iman, melawan Tuhan”, “perempuan itu belum dewasa rohani”, dunia ini “berdosa”, atau “bukan jodoh”. Waktu itu pun aku marah dan tidak mengerti mengapa “Law of Love” tidak bisa menarik perempuan itu dibandingkan “Law of Attraction”. Ajaran “Law of Love” orang Kristen ternyata tidak semenarik seperti yang kita bayangkan.

Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan secara khusus formula untuk memperoleh jodoh berdasarkan Law of Love. Tidak pernah sama sekali sebenarnya kita boleh cepat-cepat berasumsi bahwa Law of Love adalah senjata ampuh mencari jodoh dari Tuhan, melainkan Law of Love adalah pedoman dasar kehidupan orang Kristen. Pedoman bukan tujuan terakhir kita, tapi sebuah petunjuk di dalam menghidupi iman Kristen. Sederhananya, ketika kita mengasihi, kasih yang diajarkan Kristus bukan kasih yang mengharapkan balasan. Walaupun yang namanya relasi perlu adanya hubungan timbal balik (tidak bertepuk sebelah tangan), kita perlu selalu siap akan penolakan dan kekecewaan. Bersiap untuk ditolak bukan artinya negative thinking, tapi sebuah proses mendewasakan pribadi kita.

Siap ditolak, siap kecewa, siap untuk next stage of love: attach and detach

Hukum cinta yang aku sebut menempel (attach) dan melepas (detach) adalah cinta yang mau menempel pada waktunya kita menjalani relasi yang sehat dan melepas di saat kita harus menghadapi realita bertahan hidup. Dosenku pernah ditanya kenapa dia menikah dan jawabannya sederhana, “untuk bertahan hidup”. Kami tertawa, tapi ternyata beliau benar bahwa urusan mencari jodoh adalah urusan bertahan hidup (survival instinct) manusia dan tidak boleh dicampurkan dengan “Law of Love”. Mencampuradukkan urusan bertahan hidup dan cinta terkadang bisa membawa kita pada asumsi bahwa cinta itu “harus selalu menempel” dan “menang”. Misalnya, ketika kita ditolak oleh orang yang kita kejar, kita akan mudah terjebak pada asumsi bahwa kita “gagal” mengasihi atau kita tidak pantas dikasihi. Kita mudah akhirnya merasa diri insecure karena telah “gagal”. Atau jika kita yang baru saja berpacaran, mudah untuk selalu “menempel” pada pacar baru kita. Selalu sleep call tiap hari, merasa selalu cocok, kemana-mana selalu menempel, hingga suatu saat kita memutuskan menikah dan di titik tertentu kita mengenal konflik. Akhirnya imajinasi tentang “cinta happy ending” akan luntur dan tidak sedikit akhirnya banyak pasangan memutuskan cerai.

Siap mencintai artinya juga siap melepas (detach). Melepas bukan berarti bercerai, tapi melepas harus bersifat spiritual. Sikap melepas (detach) nyatanya punya dasar Firman Tuhan. Realita bahwa “Law of Love” punya aspek “tidak menarik” sebenarnya sudah dikatakan dalam Filipi 2:6-8: Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mengganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan Manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.”

Yesus lahir sebagai seseorang yang “melepas” (detach) dengan segala yang dimiliki-Nya di Surga dan lebih memilih taat kepada Allah. Di dunia pun tujuan Yesus datang dan lahir ke dunia bukan untuk menarik orang untuk mengikuti atau menyanjung-nyanjung Dia, namun semata-mata untuk taat kepada rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sifat melepas (detach) yang dimiliki Yesus menjadikan Yesus begitu ditinggikan Allah. Maka melepas (detach) yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen sifatnya bukan menghancurkan, tapi membawa kita semakin mengenal Allah.

Di dalam hal mencari jodoh atau berpacaran, melepas yang bukan milik kita memang menyakitkan, karena kadangkala kita mengalami penolakan. Siapa yang mau ditolak sama orang yang kita kasihi? Bahkan secara psikologis penolakan punya dampak yang sama dengan patah tulang. Sakit dari penolakan ga bisa dipandang sebelah mata, tapi kita perlu membuka diri akan rencana Tuhan yang bisa memakai penolakan dalam hidup kita untuk menumbuhkan iman kita kepada Dia.

Baik melepas atau menempel, dua-duanya bukan lawan dari kasih. Namun, perjalanan spiritual yang membawa kita merenungkan karya Yesus melalui salib dan kebangkitan-Nya.

Nyatanya, ketika kita merasa dipaksa untuk melepas keinginan kita memperoleh cinta dari orang lain, bisa saja saat itu sebenarnya Tuhan sedang menjaga hati kita dari duri? Atau bisa saja ketika kita terpaksa melepas masa pacaran, itu adalah cara Tuhan menarik kita menjauh dari cinta yang toxic dan yang menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu kita perlu berani untuk melepas. Tidak mudah jika di dalam menjalin relasi, kita diperhadapkan pada bentrokan antara keinginan untuk dicintai atau memiliki jiwa yang sehat. Terkadang sebagian orang punya pasangan yang manipulatif, abusive, atau perilaku tidak sehat lainnya, tapi tidak bisa melepasnya karena perasaan bersalah, diancam atau bahkan sudah diikat oleh pengalaman berhubungan seks di luar nikah. Namun sekali lagi, melepas bukan lawan dari kasih, melainkan jalan yang Tuhan sediakan untuk kamu melihat Kristus yang mengasihi kamu dan ingin kamu pulih.

Melepaskan juga tidak selalu berangkat dari orang lain, melainkan bisa dimulai dari emosi yang kita tidak inginkan. Siapa tahu ketika kita marah dan belajar detach dari perasaan kita dengan berdiam diri sejenak, kita akan belajar mengelola emosi dan mengenal kelemahan kita? Ketika kita belajar melepas diri kita dari ekspektasi bahwa pasangan itu harus selalu memenuhi keinginan kita untuk diperhatikan, dimengerti, sebenarnya kita sedang belajar bahwa pasangan kita juga adalah orang yang penuh kelemahan dan rapuh. Mungkin ketika kita mau melepas sikap overthinking kita dengan menulisnya dalam jurnal, kita sedang melakukan terapi diri dan menjadi kreatif. Melepas diri dari perasaan kita bukan berarti kita akan kebal dari rasa sakit, kekecewaan, marah, atau hal negatif lainnya, tapi sebuah langkah pertumbuhan jiwa, pikiran, dan emosi kita yang mau bertumbuh serupa dengan Kristus Allah kita.

Terlebih lagi jika kamu sedang mengalami pengalaman melepas yang begitu sulit dan tidak bisa mengerti, ingatlah bahwa Kristus mengerti pergumulanmu karena Dia bersamamu dan mau membawamu kembali menempel kepada-Nya. Ini bukan jalan untuk membenarkan diri ketika kita ditolak orang lain, tapi jalan untuk membenarkan jalan Tuhan yang bukan jalan hidup kita. Siapa yang tahu jika kamu sedang mengalami putus, Tuhan sedang memecahkan periuk tanahnya supaya dibentuk lebih indah? Siapa yang tahu kalau kamu ditolak cintanya sama doi, Tuhan ingin upgrade pribadi dan penampilan kamu lewat sakit hati? Siapa yang tahu kalau ketika kamu marah kepada pasanganmu, Tuhan sedang ingin membuka luka lama dari diri kamu dan menyembuhkannya? Apa pun yang saat ini kita alami, yuk kembali belajar menyelami isi hati kita, karena cara kerja Tuhan juga adalah melihat hati. Jika memang Dia sedang menuntun kita ke lembah kekelaman, Dia akan senantiasa beserta kita. Dan jika memang Dia sedang menuntun kita pada padang rumput yang hijau, Dia ingin kita hanya puas jika kita hidup di dalam-Nya. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin kita. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

PDKT Gak Cuma Tentang Hal-Hal yang Menyenangkan

Kalau ngomongin PDKT, banyak dari kita yang mungkin hanya ingin mengalami hal-hal menyenangkan saja. Padahal, masa-masa PDKT juga berisi hal-hal yang mungkin membingungkan, bahkan bisa jadi menyakitkan.

Masa PDKT tidaklah mudah. Tapi sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa ketika menjalin hubungan dalam bentuk apa pun, Tuhan mau kita menunjukkan kasih (Matius 22:35-40) dan memperhatikan kepentingan sesama (FIlipi 2:3-4).

Jadi, mulailah hubungan dengan kasih seperti yang Tuhan bilang dan siapkanlah dirimu dengan baik 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari  @ymi_today dan didesain oleh  @aspectswithabigail.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Demi Cinta, Aku Akhirnya Berserah, Menyerah, dan Terserah

Oleh Edwin Petrus, Medan

“Sudah, kamu berserah sama Tuhan saja, ikut saja apa maunya Tuhan!” Itulah yang selalu aku dengar dari pacarku setiap kali aku menceritakan pergumulan berat yang sedang aku hadapi. Dan tiap kali juga, aku merespons pacarku dengan pernyataan: “Aku tahu kok, dan aku sudah berserah. Ya sudah, aku ikut saja dengan yang Tuhan mau.”

Aku mencoba untuk berdamai dengan kondisi yang ada. Aku memaksakan diri untuk mengerjakan “apa yang Tuhan mau.” Namun, aku sendiri tidak menikmati hari-hariku. Rasanya aku ingin menyerah. Aku menceritakan lagi segala keluh kesahku, dan pacarku kembali mengulangi kata-kata yang sama. Aku pun membalasnya lagi dengan jawaban yang sama. Selama lebih kurang enam bulan, pergumulan ini sering mewarnai pembicaraan kami. Gara-gara isu ini, perbincangan kami memanas dan memicu pertengkaran.

Sampai suatu kali, di sebuah acara makan malam pernikahan, aku bertemu dan duduk semeja dengan seorang saudara di gereja. Di sela-sela percakapan, dia bertanya: “Bro, kamu tahu gak apa yang membuat aku akhirnya bisa keluar dari masalah-masalah hidupku selama ini?” Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Tatapan mataku langsung terfokus kepadanya. Aku sangat menantikan sebuah jawaban yang tidak biasa. Aku berharap bisa segera keluar dari rentetan panjang problema hidupku yang sudah membuat aku lelah.

“Berserah sama Tuhan saja. Aku rasanya plong dan lega banget ketika aku berserah sama Tuhan. Terserah Tuhan mau ngapain!” Sambil tersenyum, saudara itu berkata-kata dengan santai. Kemudian, dia pun melanjutkan kisah hidupnya tentang bagaimana Tuhan memampukan dia untuk mengatasi perkara-perkara yang sulit ketika dia menyerah dan membiarkan Tuhan yang mengerjakan apa yang dipandang baik oleh-Nya.

Kawan, aku percaya kalau kamu ada di posisiku saat itu, kamu juga pasti akan kesal dengan jawaban yang itu-itu lagi. Awalnya aku juga tidak puas hati, sampai suatu hal membuka hati dan pikiranku.

Singkat cerita, seperti biasa, aku dan pacarku pasti selalu mengobrol sembari menanti jam tidur. Aku kembali mengangkat isu tentang masalahku yang belum selesai. Pacarku tampaknya sudah kehabisan akal untuk menasihatiku. Dia terdiam sejenak. Aku pun terdiam karena tidak tahu lagi harus mengucapkan apa.

Dalam keheningan itu, ada satu kata yang terlintas dalam pikirkanku: pride (kesombongan). Sel-sel di otakku memberikan respons yang cepat terhadap kata itu. Tidak lama kemudian, aku melanjutkan obrolan dengan pacarku: “Jangan-jangan, selama ini aku sombong dengan kemampuan diriku. Aku bilang aku cinta Tuhan. Aku mau mengasihi Tuhan. Aku bilang berserah sama Tuhan. Tapi, aku tidak mau menyerah pada apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Aku justru mau bangun pride dalam diriku, bukan mau terserah sama maunya Tuhan.”

Kawan, malam itu aku disadarkan oleh Tuhan, kalau selama ini cintaku kepada Tuhan masih lemah dan rapuh. Dengan gampangnya, aku sanggup menghafalkan hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Namun, ketika Tuhan memintaku untuk mempercayakan seluruh hidupku kepada rencana baik-Nya, aku masih enggan.

Aku teringat dengan kisah seorang murid Yesus, Simon Petrus, yang dicatat di Injil Yohanes pasal 21. Pengalaman iman dari Petrus ini terjadi pasca kebangkitan Yesus. Pada saat itu, Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya untuk di pantai danau Tiberias. Dari kisah ini, aku merefleksikan tiga hal:

1. Berserah kepada Sang Cinta

Petrus dan beberapa murid Yesus yang lain pergi ke tengah danau untuk menangkap ikan. Sudah semalaman mereka menjala, tetapi pulang dengan tangan kosong. Yesus datang dan meminta mereka untuk menebarkan jala di sebelah kanan. Ketika Petrus menyadari bahwa Pribadi yang menyapa mereka adalah Yesus yang dikasihinya, dia dan teman-temannya kembali ke danau untuk sekali lagi menebarkan jala. Mirip dengan peristiwa yang terjadi kira-kira tiga tahun silam, ketika Petrus dan teman-temannya dipanggil untuk mengikuti Yesus, mereka mendarat dengan sejumlah banyak ikan.

Petrus juga pernah “ngotot” pada Yesus saat mereka makan malam bersama sebelum Yesus disalibkan. Yesus mengingatkannya untuk waspada karena iman mereka akan digoyahkan pada malam itu. Dengan lantang dan sombong, Petrus menjamin bahwa kasihnya kepada Sang Cinta, Yesus, tidak mungkin tergantikan. Namun, nyatanya itu hanya sekadar ucapan. Demi menjaga keselamatan dirinya, Petrus menyangkal Yesus sebanyak tiga kali dengan berkata bahwa ia tidak mengenal Yesus.

Petrus amat kecewa dengan dirinya yang gagal menyatakan kasih kepada Sang Cinta. Karena itu, Petrus memastikan dirinya untuk tidak lagi mengecewakan Yesus. Petrus berserah pada apa yang diminta oleh Sang Guru yang dicintainya. Dia mengikuti arahan Yesus untuk menebarkan jala di sebelah kanan, dan dia berhasil menangkap 153 ekor ikan yang besar. Jala yang dipakainya pun tidak koyak sama sekali (Yohanes 21: 11). Ketika Petrus berserah dan mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Sang Cinta, dia menemukan bahwa kehendak Sang Cinta adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Menyerah demi Sang Cinta

Tiga tahun yang lalu, Petrus diminta Yesus untuk meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Karena itu, Petrus tidak lagi berurusan dengan bidang perikanan. Yesus memanggil Petrus untuk mengemban tugas yang lebih besar: tidak lagi menjala ikan, tapi menjala manusia bagi kerajaan Allah.

Namun, bingung dan sedih dirasakan Petrus dan rekan-rekannya karena kematian Yesus di kayu salib. Mereka tidak mengerti bahwa memang inilah rancangan Allah sejak semula untuk memberikan anugerah keselamatan kepada manusia berdosa. Yesus telah menang terhadap kuasa dosa dan bangkit dari kematian. Walaupun Yesus sudah bangkit dan pernah menampakkan diri kepada para murid-Nya, Petrus masih ragu. Dalam pikiran Petrus, terbesit ide untuk kembali menaiki kapal dan pergi menangkap ikan (Yohanes 21:1-3).

Yesus menghampiri Petrus untuk mengonfirmasi seberapa serius Petrus mengasihi-Nya. Tiga kali berturut-turut, Yesus bertanya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” Petrus memberikan respons yang sama: “Aku mengasihi Engkau.” Jikalau demikian, Petrus perlu menyerah pada dirinya demi Sang Cinta. Petrus bukan hanya berserah untuk siap mengerjakan perintah Sang Cinta, tetapi menyerahkan seluruh hidupnya dengan penuh komitmen demi Sang Cinta. Sang Cinta memintanya untuk menggembalakan domba-domba-Nya.

3. Terserah kepada Sang Cinta

Di akhir percakapan dengan Petrus, Yesus menunjukkan kepadanya sebuah konsekuensi dari berserah demi cinta dan menyerah kepada cinta. Yesus memberikan sebuah penggambaran yang mengenaskan tentang akhir hidup Petrus. Ketika Petrus sudah menjadi tua, dia akan diikat dan dibawa ke tempat yang tidak dikehendaki olehnya (Yohanes 21:18-19). Para penafsir Alkitab meyakini bahwa ilustrasi ini berkaitan dengan kematian Petrus yang juga dalam kondisi tersalib. Bahkan, Petrus sendiri merasa ia tidak layak tersalib sebagaimana Yesus tersalib, sehingga ia meminta untuk disalib secara terbalik.

Setelah itu, Petrus melihat seorang murid yang dikasihi oleh Yesus. Orang tersebut adalah Yohanes, sang penulis Injil. Petrus mempertanyakan akhir hidup dari saudaranya ini kepada Yesus. Yesus menjawab Petrus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu….” (Yohanes 21:22). Tampaknya, nasib Yohanes ini jauh lebih baik dari Petrus. Para pakar sejarah Alkitab mencatat bahwa Yohanes adalah murid Yesus yang usia hidupnya paling panjang.

Di tahap akhir ini, ketika Petrus sudah bisa berserah kepada Sang Cinta dan menyerah demi Sang Cinta, dia sudah tidak lagi mempermasalahkan bagaimana Sang Cinta merancang hidupnya. Petrus sudah belajar untuk berkata, “Terserah pada Sang Cinta saja!” Sebab, dia meyakini bahwa Sang Cinta memiliki rencana yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kitab Kisah Para Rasul menarasikan antusiasme dan kegigihan dari Petrus yang dipenuhi oleh kasih dari Sang Cinta untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Petrus tidak pantang menyerah untuk mewartakan nama Yesus walaupun dia diperhadapkan dengan tantangan dan masalah yang datang silih berganti. Sampai pada akhirnya, oleh karena Sang Cinta, dia harus mengorbankan nyawanya.

***

Dari kisah Simon Petrus di Yohanes 21, aku menyadari bahwa ketidakmampuanku untuk menemukan solusi dan jalan keluar yang permanen terhadap masalah hidupku dikarenakan ketidakmauanku untuk melepaskan diriku dan menuruti kehendak-Nya. Aku mempertahankan ego dan kesombonganku untuk menyelesaikan masalahku. Selama ini, aku hanya mengaku di bibir saja kalau aku mau mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi; tetapi pada praktiknya, aku justru mau Tuhan yang mengikuti pikiran dan rancanganku sebagai pilihan yang terbaik. Padahal, Yesus sendiri menawarkan: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).

Kawan, aku telah menemukan jawaban yang telah kucari-cari selama ini.
Ternyata, hal yang membuatku berat dalam menjalani pergumulanku adalah egoku sendiri. Aku mengerti kalau untuk berserah kepada Sang Cinta, menyerah demi Sang Cinta, dan terserah kepada Sang Cinta memang tidak mudah. Namun, aku sadar, justru Sang Cinta itu sendirilah yang menarikku untuk bisa mengalami cinta-Nya ketika aku bersedia menyerahkan keegoisan dan kesombonganku.

Lagipula, aku percaya jikalau Tuhan mengizinkan masalah dan pergumulan terjadi dalam hidup kita, Tuhan tidak pernah tinggal diam karena Dia sendiri yang berjanji: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).

Komik: Kasih

Kita mengasihi karena Allah terlebih dulu mengasihi kita, dan salah satu cara kita mengasihi ialah mewujudkannya dalam tindakan.

Adakah orang yang perlu kamu tolong hari ini? Doakanlah mereka dan mintalah hikmat pada Tuhan agar kamu dapat memberikan pertolongan yang tepat untuknya.