Posts

3 Pelajaran Berharga Dariku, Seorang Penyintas Covid-19

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Pada tanggal 14 April 2021 aku kaget ketika membaca kertas dihadapanku. Surat keterangan hasil swab tes antigen tersebut menyatakan bahwa aku positif Covid-19. Kemudian aku beranjak dari gedung laboratorium klinik swasta itu dengan perasaan campur aduk. Di atas motor yang kukendarai aku bertanya-tanya “Lalu bagaimana, Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?”

Sesampainya di rumah kontrakan, aku menelepon salah satu rekan yang juga pernah mengalami positif Covid-19. Dia menenangkanku dan memberikan beberapa saran. Aku harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari ke depan karena gejala yang aku alami tidak parah. Aku mulai kehilangan penciuman sejak 3 hari sebelum aku memutuskan untuk swab antigen. Selebihnya aku tidak merasakan gejala seperti sesak nafas atau pun demam. Sehingga aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa meski semuanya dilakukan di rumah saja.

Aku juga menghubungi keluarga dan beberapa orang yang aku temui selama satu minggu belakangan. Hal yang paling aku takutkan adalah jika aku menularkan penyakit itu pada orang lain. Aku tidak bisa membayangkannya. Penyesalan dan rasa bersalah yang akan menghantuiku jika mereka harus menderita sakit karena tertular olehku. Aku bersyukur ketika tahu bahwa orang-orang yang berinteraksi denganku selama satu minggu terakhir tidak mengalami gejala Covid-19. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keluhan sakit.

Pengalaman terinfeksi dan isolasi mandiri memberiku beberapa pelajaran, dan inilah yang ingin kubagikan pula untukmu.

1. Aku tidak sendirian di masa yang sulit ini

Di kota tempatku bekerja dan melayani, aku tinggal seorang diri di rumah kontrakan, tapi meski jauh dari keluarga aku bersyukur memiliki saudara seiman di sini. Ketika tahu bahwa aku positif Covid-19 dan harus melakukan karantina mandiri, Allah memakai mereka untuk memenuhi kebutuhanku. Mulai dari membelikan multivitamin, susu, bahan makanan dan bahkan oximeter (alat pengukur kadar oksigen dalam darah). Bukan hanya saudara seiman yang ada di kota yang sama denganku, mereka yang di luar kota juga menunjukkan kasihnya dengan bertanya kabar dan mengirimkan makanan. Jarak tidak menjadi penghalang untuk bisa menunjukkan kepedulian.

Aku merasa bahwa ayat firman Tuhan di Galatia 6:2 ini benar-benar aku alami “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Allah seringkali menunjukkan kasih-Nya melalui uluran tangan saudara seiman. Aku semakin tidak ragu akan kebaikan dan pemeliharaan Allah dalam hidupku.

Tuhan menginginkan kita mengambil bagian dalam kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, mulai dari mendoakan, mengirim pesan singkat, menelepon, memberi apa yang bisa kita berikan. Dengan saling tolong-menolong inilah kita menjadi perpanjangan tangan Allah bagi saudara kita.

2. Aku semakin mengenal siapa Allah dan diriku sendiri

Sebagai seorang ekstrovert yang menjalani masa karantina mandiri, tidak bertemu atau berinteraksi langsung dengan manusia lain adalah suatu bencana bagiku. Aku mulai merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang sulit untuk dijelaskan. Aku merasa tidak sanggup untuk menjalani satu hari lagi tanpa bertemu dengan seorang pun. Aku merindukan sebuah pertemuan! Ada waktu di mana aku pergi tidur dan menangis tanpa tahu apa sebabnya. Aku berusaha untuk terus optimis dan bersukacita, namun rasa sedih itu tidak mau kunjung pergi. Aku berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberiku kekuatan dan damai sejahtera. Aku bertanya “Apa yang Kau inginkan untuk aku pelajari dari kejadian ini?”

Aku diperhadapkan dengan diriku sendiri. Tidak ada yang lain selain aku dan Tuhan. Dia mulai membukakan kepadaku, luka yang selama ini aku sembunyikan. Ternyata selama ini aku menyimpan kekecewaan yang berasal dari masa lalu. Alih-alih menyembunyikannya, Tuhan ingin aku merengkuh setiap luka itu dan menghadapinya bersama-sama. Dia rindu untuk memulihkanku, bukan hanya dari penyakit Covid-19 tetapi terlebih lagi dari luka yang ada di hatiku. Selama masa karantina mandiri, aku mengenal diriku sendiri bahwa ternyata aku tidak setangguh kelihatannya dan itu tidak apa-apa.

Dia adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dia adalah Allah yang setia. Ketika kita tidak percaya pada diri kita sendiri dan ingin menyerah, Allah tidak pernah menyerah untuk terus membentuk kita menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya. Mungkin kita memiliki banyak bekas luka, itu tidak apa-apa. Bekas luka itu akan mengingatkan kita bahwa kita telah melalui banyak hal dalam hidup ini. Bekas luka itu juga mengingatkan kita jika kita boleh ada hingga saat ini, itu semua karena penyertaan dan kemurahan Tuhan semata.

3. Kita perlu punya iman tetapi juga kewaspadaan

Aku tidak bangga dengan pengalaman menjadi penyintas Covid-19, karena aku sadar ini terjadi akibat kelalaianku sendiri. Meski aku tidak begitu yakin kapan dan di mana aku terkena virus itu, nampaknya ini karena aku tidak segera membersihkan diri setelah menaiki bus angkutan umum. Aku berharap semoga sikapku ini tidak ditiru. Aku mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa kebal terhadap Covid-19: kaya-miskin, tua-muda, hitam-putih, orang dengan agama apa pun, dapat terjangkit virus ini.

Iman adalah hal penting dalam hidup orang percaya, namun bukan berarti itu meniadakan tindakan kita untuk mewaspadai supaya tidak terkena Covid-19. Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Dengan mematuhi protokol kesehatan, membatasi pertemuan dengan kerumunan orang, dan terus menjaga pola hidup yang sehat adalah wujud iman kita juga. Hal ini dapat membuat kita terhindar dari Covid-19 dan menolong orang lain untuk tidak tertular.

Kita memang sedang menghadapi masa yang tidak mudah. Mungkin kita sudah kehilangan orang terkasih di masa pandemi ini, ada juga yang sedang berjuang untuk sembuh, ada yang sabar mendampingi kerabat yang sedang sakit. Tidak ada yang tahu pasti tahu kapan Covid-19 akan segera berakhir, namun kiranya kita mau tetap percaya bahwa Dia adalah Allah yang peduli. Jika Dia sangat peduli dengan hal yang paling penting dalam hidup umat manusia yaitu keselamatan kekal mereka, maka terlebih lagi dalam menghadapi Covid-19 ini.

Aku tidak tahu pasti alasan mengapa Tuhan mengizinkan pandemi ini terjadi, dan mungkin memang tidak perlu tahu. Satu hal penting yang aku tahu, Dia adalah Tuhan yang mengetahui setiap kesedihan, rasa sakit, dan penderitaan yang kita alami karena Dia pernah menjadi manusia, sama seperti kita. Kiranya Tuhan memampukan kita menghadapi masa-masa sulit ini. Kiranya damai sejahtera dan sukacita dari Allah melimpah dalam hati kita.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Belajar Mengasihi Orang Asing: Aku vs Ketakutanku

Kehadiran orang asing dalam hidup seringkali bukan sekadar kebetulan. Apa yang harus kita lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Oleh Marta Ferreira
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Trade Your Worries For God’s Peace

Kupikir aku adalah orang yang punya ingatan bagus. Orang-orang sering berkata, “Ingetin aku ya….”. Tapi sekarang, aku terkejut karena betapa mudahnya aku melupakan apa yang seharusnya amat penting—siapa Tuhanku—ketika perasaan insecure dan kebohongan menghampiri pikiranku.

Ketika gelombang pandemi pertama kali menjangkau negaraku, Inggris dan kami menjalani lokcdown, aku berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Lalu, ketika kebijakan karantina skala besar dicabut dan aku mulai menata rutinitasku lagi, rupanya wilayah tempat tinggalku harus menjalani sekali lagi lockdown. Seketika perasaan senang dan bebas terbenam kembali.

Aku orang yang suka bersosialisasi dan menikmati pertemuan dengan orang-orang sepanjang minggu, dan betapa senangnya aku ketika bisa beraktivitas secara normal kembali. Tapi, sekarang aku tidak bisa lagi mengikuti ibadah daring bersama dua temanku di rumah, atau pergi nongkrong di akhir minggu dengan rekan gereja. Yang kulihat adalah: aku akan kembali terisolasi.

Menemukan harapan di tengah kesuraman

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Pagi itu, aku tidak mampu mengendalikan perasaanku dan pikiranku dengan cepat dipenuhi ketakutan. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman. Sebuah doa yang kunaikkan dalam ketakutan, bukan rasa percaya.

Namun, saat aku mulai berdoa, secercah cahaya muncul perlahan di tengah badai pikiranku. Untuk setiap kekhawatiranku, aku mulai mengingat ayat-ayat Alkitab. Semakin aku berdiam dalam pikiran yang tenang, lebih banyak inspirasi dari Alkitab yang kuingat. Aku pun kembali teringat akan siapa Bapa dan firman-Nya. Hatiku tak lagi bergejolak, kendati pikiranku masih terasa kalut. Ada setitik kedamaian yang mulai kurasa.

Ratapan 3:21-25 berkata:

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
Selalu baru tiap pagi;
Besar kesetiaan-Mu!
“Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

Kitab Ratapan dipenuhi jeritan hati dari nabi Yeremia yang melihat Israel, bangsanya dihancurkan dan dijarah oleh bangsa asing. Yeremia sudah mencoba memperingatkan Israel berkali-kali bahwa Tuhan memanggil mereka untuk kembali dan percaya hanya pada Allah, tetapi Isral mengabaikan seruan itu.

Namun, terlepas dari kondisi kehancuran tersebut, Yeremia tetap menaruh harapan. Meskipun di sekelilingnya hanya ada kesuraman, dia tetap memiliki harapan. Mengapa? Karena Yeremia mengetauhui siapa Allah—harapan kepada-Nya tidaklah tergantung pada keadaan dunia yang berubah-ubah, tetapi kepada Allah yang kasih dan kedaulatan-Nya senantiasa tetap. Allah yang berdaulat dan telah berjanji untuk menyambut siapa saja yang mencari dan berpaling pada-Nya. Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Hari itu aku diingatkan kembali bahwa harapan kita terletak pada Allah yang sama. Bagiku, itu artinya aku bisa tetap berharap sekalipun pada kenyataannya semua usaha untuk menekan laju penyebaran virus tidak berhasil. Aku bisa tetap punya harapan meskipun aku harus mengalami lockdown kembali, atau meskipun aku khawatir kalau hari-hariku di depan akan menjadi kelam. Seperti nabi Yeremia, kendati keadaan di sekelilingnya suram, aku tahu aku bisa tetap punya harapan. Aku hanya perlu membangkitkan ingatanku akan apa yang menjadi alasanku untuk berharap.

Cara-cara untuk mengingat kembali kebaikan Allah

Kabar baiknya adalah, Tuhan tahu betapa kita ini pelupa. Karena itu, Dia memberi kita instruksi dalam Ulangan 6:6-9 agar umat-Nya menjaga perintah-perintah-Nya dalam hati mereka dengan cara membicarakannya dengan orang-orang di sekitar, menuliskannya di depan pintu, dan mengingatnya senantiasa.

Perintah Allah adalah tanda dari kasih-Nya. Mengaplikasikan apa yang Allah perintahkan pada umat Israel di masa lampau dapat menolong kita mengingat dan berharap pada janji-Nya. Inilah tiga cara sederhana untuk mempraktikkan Ulangan 6:6-9:

1. Arahkan orang lain pada kebenaran dengan kata-kata sederhana

Kita bisa mengingatkan teman-teman atau orang terdekat kita dengan cara mengirimkan mereka chat atau pesan yang berisikan hikmat Alkitab.

Di hari ketika aku mendapat kabar tentang lockdown kedua, kiriman ayat dan doa dari temanku memberikan perbedaan yang signifikan buatku.

2. Kelilingi dirimu dengan firman Tuhan

Aku menuliskan beberapa ayat dan menempelnya di dinding, atau menjadikannya sebagai lockscreen ponselku. Aku memilih ayat-ayat yang menolongku untuk berfokus pada-Nya.

3. Fokuskan pandanganmu pada kebenaran

Meskipun aku sudah mengelilingi diriku dengan banyak ayat, itu tidak berarti aku selalu membaca dan mengaplikasikan maksud ayat tersebut. Namun, ayat-ayat itu selalu menolongku untuk mengingat Allah dan merasa terhibur ketika aku mulai tergoda untuk khawatir.

Banyak kesempatan selama lockdown kedua ini, ketika aku merasa putus asa, merindukan teman-teman, atau aku berkeluh-kesah, gambaran visual dari 1 Tesalonika 5:16-18 datang ke benakku. Aku meminta agar Tuhan menolongku “bersukacita senantiasa, tetap berdoa, dan mengucap syukur dalam segala keadaan”. Saat aku berdoa, aku menyadari ada perubahan cara pandangku. AKu menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani hari-hariku dengan sukacita dan mulai memperhatikan kebutuhan orang lain.

Menulis ayat-ayat dan menempelkannya di dinding adalah baik, tetapi yang paling penting adalah Allah sendiri memberikan Roh-Nya untuk tinggal bersama kita. Roh itu menolong kita untuk berdoa (Roma 8:26-27) di dalam kelemahan kita, dan Roh jugalah yang memimpin pikiran kita kepada kebenaran yang perlu kita ingat. Kesetiaan Tuhan tak hanya terlihat dari apa yang kita baca di Alkitab, tapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah kita lalui. Dia akan menolong kita memilih pemahaman yang benar akan pencobaan, dan mengingatkan kita akan harapan yang kekal, yang tidak akan mengecewakan kita.

Sekarang aku tidak sedang berkata kalau aku telah berhasil mengatasi kekhawatiranku dengan sempurna, tapi pengalaman ini menolongku untuk lebih percaya diri dalam melangkah. Aku masih terjebak dalam lockdown dan banyak hal tetap terasa berat, tetapi aku tahu Tuhan campur tangan dan mampu memberiku damai sejahtera. Aku berdoa agar Tuhan menguatkanku dan menolongku untuk selalu mengingat siapa Dia. Aku percaya Dia akan melakukannya tak cuma untukku, tapi juga kepada setiap orang yang meminta pada-Nya, sebab Tuhan adalah setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Impian Suksesku Kandas

Kondisi pandemi membuat pekerjaanku terguncang, tetapi aku percaya Tuhan tidak tidur, dan melalui kuasa-Nya yang tidak terbatas, Dia menerbitkan kembali sinar harapan yang telah padam kepada orang-orang yang terdampak pandemi.