Posts

Mengapa Orang Kristen Harus Berjuang Merawat Bumi Jika Nanti Setelah Yesus Datang Akan Ada Langit dan Bumi yang Baru?

Oleh Paul Wong
Artikel ini telah ditayangkan di YMI.Today

Bagian akhir dari Alkitab menceritakan tentang sebuah realitas baru yang luar biasa: langit dan bumi yang baru, dan Allah berdiam di tengah-tengah manusia (Wahyu 21:1-4). Inilah akhir paling klimaks dari kisah sejarah: Allah, membuat segala sesuatunya baru, dalam relasi yang sempurna dengan anak-anak-Nya. Tidak ada lagi pandemi, tidak ada lagi rasisme, tidak ada lagi maut, penderitaan, dosa. Dunia yang lama akan berlalu dan yang baru akan datang.

Jika itu adalah kenyataan yang kita nantikan, lantas mengapa orang-orang Kristen masih perlu peduli terhadap bumi ini? Inilah 4 alasannya.

Anugerah dan penatalayanan. Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa meskipun dunia telah dirusak oleh dosa, segala ciptaan di dalam dunia ini tetap merupakan anugerah Allah yang diberikan bagi seluruh manusia—sebuah pemberian yang baik dari Allah bagi kita. Yesus berkata, “…[Bapa] yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5:45). Matahari dan hujan adalah bagian dari ciptaan, itu diciptakan sebagai sarana dari-Nya untuk menopang kehidupan manusia. Tidak ada matahari dan hujan berarti tidak akan ada makanan bagi kita. Apa yang Allah ciptakan tak diragukan lagi adalah berkat bagi kita. Nah, jika kita dengan sengaja mengabaikan kerusakan planet ini, atau terus menerus menghancurkannya demi keserakahan, maka kita dengan bodohnya merusak sarana yang Tuhan telah berikan untuk menopang kehidupan. Kita menjadi penatalayan yang buruk atas bumi yang telah dipercayakan bagi kita.

Common Sense: Alasan lain untuk merawat bumi adalah karena itu sudah sewajarnya. Meski kita tahu suatu hari nanti langit dan bumi akan berlalu (Wahyu 21:1), Yesus berkata kalau tidak ada seorang pun yang tahu kapan pastinya itu akan terjadi. Bisa saja besok, atau dalam ribuan tahun ke depan. Tidak ada gunanya berspekulasi. Lebih baik bagi kita untuk menyadari: aku dan kamu dapat berasumsi kalau kita akan tinggal di bumi untuk hari ini dan esok, sembari menanti dengan penuh harap akan hari-Nya Tuhan.

Jadi, hidup di bumi tapi tidak merawatnya seolah-olah hari esok tidak akan datang adalah pemahaman yang buruk. Ini jugalah konsep yang dimaksud dalam Yeremia 29:4-10 ketika Allah memanggil umat-Nya, para orang buangan untuk ‘mengupayakan kesejahteraan’ Babel. Mereka akan terjebak di sana setidaknya selama satu generasi. Mereka perlu menyadari kenyataan itu, dan untuk melanjutkan hidup di Babel mereka perlu “membuat kebun untuk dinikmati hasilnya, mengambil isteri untuk memperanakkan keturunan (Yeremia 29:5-6), dan mengupayakan kesejahteraan kota demi kebaikan mereka juga, alih-alih berpikir kalau mereka akan segera keluar dari pembuangan.

Prinsip yang sama berlaku juga buat kita: ‘Babel’ yang kita tinggali akan lenyap di hari esok, tapi kita masih tetap harus hidup di dalamnya hari ini, dan melanjutkan pekerjaan kita di waktu-waktu sekarang sebagai duta Kristus. Tidaklah baik untuk merusak rumah yang menjadi tempat hidup kita.

Mengasihi sesama kita: Ketiga, yang kedua dari perintah terbesar yang Yesus berikan adalah untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Orang Kristen diperintahkan Tuhan untuk mengasihi sesama, meskipun kita melakukannya dengan tidak sempurna. Yang pasti, ungkapan kasih yang utama adalah mengarahkan sesama kita kepada kasih Yesus, seperti yang diungkapkan-Nya di kayu salib (1 Yohanes 4:10).

Namun, ada sesuatu yang lebih yang harus kita lakukan. Setelah bercerita tentang perumpamaan orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37), Yesus menyuruh ahli Taurat untuk “pergi dan lakukan hal yang sama”, tetapi ketika Dia mengatakan itu, Yesus tidak bermaksud “hanya melakukan penginjilan”. Yang Yesus maksudkan: “lakukanlah seperti yang orang Samaria itu lakukan. Merawat sesamamu.” Dalam konteks pemanasan global dan bencana alam yang sering terjadi di hari-hari ini, merawat lingkungan adalah salah satu aspek sederhana dari mengasihi sesama.

Menjadi saksi yang baik: Berita Injil adalah satu-satunya harapan bagi mereka yang mati secara spiritual. Injil mengandung kuasa Allah atas keselamatan (Roma 1:16). Dengan membuat Injil didengar, kepedulian kita terhadap lingkungan menjadi lebih relevan. Jika orang Kristen dipandang oleh orang-orang yang tidak percaya sebagai orang yang tidak peduli dengan bumi, atau bersikap dingin terhadap penderitaan dari pemanasan global, maka Kabar Baik yang kita bawa akan diabaikan begitu saja karena dianggap tidak relevan. Kita akan dilihat sebagai saksi yang buruk, yang berpotensi mengurangi dampak dari kesaksian kita yang seharusnya mengarahkan orang pada pertobatan dan iman.

Tapi… kita harus menjaga yang utama, yang utama

Akhirnya, memang pantas dikatakan bahwa kita banyak berbuat salah ketika kita gagal untuk menegaskan apa yang Alkitab tegaskan. Kita perlu menjaga yang utama—memberitakan Injil. Kepedulian kita terhadap bumi mungkin saja menjadi prinsip yang tak tergoyahkan bagi generasi milenial Kristen, bahkan nilainya melebihi dari hal-hal yang Alkitab tekankan. Tapi… ini akan jadi kesalahan besar.

Berkali-kali, Alkitab menekankan bahwa umat manusia akan menghadapi penghakiman Allah atas pemberontakan mereka. Alkitab juga memberitahu kita bahwa dunia yang hancur adalah bukti dari penghakiman ini (Kejadian 3:17; Roma 8:20-22). Lingkungan kita yang rusak adalah cara Tuhan untuk memberikan panggilan pertobatan bagi kita. Murka Allah atas dosa-dosa kita adalah masalah yang Yesus perbaiki dengan kedatangan dan kematian-Nya. Jadi, pada akhirnya, jika upaya kita untuk memperbaharui ciptaan tanpa dibarengi dengan pewartaan Injil, itu adalah upaya yang sia-sia.

Oleh karena itu, bagian dari bumi ini yang harus kita pedulikan adalah umat-Nya: ciptaan yang Allah kasihi dan dipersiapkan untuk kekekalan. Allah pun telah melakukannya: Yesus tidak mati untuk menyelamatkan pepohonan. Dia mati di atas kayu salib yang terambil dari pohon (Kisah Para Rasul 5:30 versi ESV), sehingga kita bisa berada di tempat di mana pohon-pohon tidak akan mati lagi, tetapi ada bagi pemulihan bangsa-bangsa (Wahyu 22:2).

Greta Thunberg berkata pada acara World Economic Forum di Davos tahun 2019: “Aku mau kamu bertindak seolah-olah rumahmu sedang terbakar, karena inilah yang memang terjadi.” Dia tidaklah salah. Pemanasan global yang terus berlangsung mengakibatkan penderitaan-penderitaan yang tak terliput media bagi jutaan orang dan akan terus berlanjut jika tidak ada penanggulangan apa pun. Sebagai orang Kristen, kita tak boleh lupa bahwa ada api yang turun, yang tak terpadamkan selamanya. Kita harus ingat dan menjaga hal utama sebagai hal utama dan melanjutkan misi dari Gereja tanpa teralihkan fokusnya. Rumah kita sedang terbakar, tapi tersedia air kehidupan bagi dunia (Yohanes 4:13-14). Jika kita sungguh peduli pada ciptaan-Nya, kita akan memberitakan Kabar Baik.

Sampah dan Sakumi

Oleh: Melody Tjan

sakumi-dan-sampah

“Eitt, jangan dibuang dulu!” Sakumi meraih kotak jus yang sudah siap kulempar ke tempat sampah. Aku tersipu malu. Tinggal di asrama sekolah bersama para pelajar dari berbagai negara mengajarku tentang banyak hal. Salah satunya tentang betapa kurangnya aku memikirkan urusan membuang sampah. Sudah beberapa bulan satu asrama dengan Sakumi yang super rapi dan bersih pun belum membuatku otomatis memilah sampah menurut jenisnya. Padahal, bagi Sakumi dan teman-teman lain yang berasal dari Jepang, memilah sampah itu sudah menjadi gaya hidup mereka. Kotak bekas jus itu dicuci bersih agar tidak mengundang semut datang, lalu dikeringkan dan dilipat, dikumpulkan bersama sampah sejenis dalam satu tas. Saat ada waktu keluar, Sakumi akan membawa semua itu ke tong sampah khusus yang memang sudah disediakan pihak sekolah untuk sampah plastik dan kertas. Lumayan repot menurutku. Di Indonesia kebanyakan kita membuang segala jenis sampah di satu tempat yang sama. Mudah dan praktis. Tugas memilah sampah biarlah menjadi urusan para petugas sampah. Lagipula, kan tidak ada larangan untuk membuang segala jenis sampah di tempat yang sama, baik oleh negara atau agama. Beda dengan negeri asal Sakumi.

Namun, rupanya bukan aturan hukum di Jepang yang membuat Sakumi dan teman-temannya disiplin memilah dan membuang sampah pada tempatnya. “Kita harus memikirkan orang lain,” Sakumi menjelaskan alasan di balik kedisiplinannya. Tak seharusnya kita menciptakan sumber bau busuk dan penyakit bagi orang lain. Sebagian sampah juga mengandung bahan kimia, yang bisa saja kemudian dikonsumsi hewan, dan kemudian meracuni manusia yang memakannya. Jepang sendiri memang pernah mengalami masalah besar di tahun 1970-an, ketika sampah industrinya mencemari perairan dan menyebabkan ribuan orang keracunan saat mengkonsumsi ikan. Menanggapi hal itu, sejumlah orang lalu memulai gerakan masyarakat peduli lingkungan. Melalui “choinakai” (semacam asosiasi pengurus wilayah yang dibentuk oleh masyarakat sendiri) di tiap-tiap daerah, mereka menggalang kesadaran orang untuk mengurangi sampah (reduce), menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai (reuse), dan mendaur ulang (recycle), demi kebaikan bersama. Dua puluh tahun setelahnya, setelah makin banyak masyarakat yang peduli, barulah pemerintah mengeluarkan undang-undang sebagai payung hukumnya. Tak heran bila warga Jepang seperti Sakumi tetap disiplin dalam mengelola sampah meski tidak sedang berada di wilayah negaranya. Di Jakarta, aku bahkan membaca sejumlah tulisan tentang komunitas orang Jepang yang berinisiatif membersihkan sampah di beberapa tempat umum secara berkala. Sikap mereka muncul dari hati yang mau peduli dengan orang lain, jauh sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Orang Jepang malu bila sampai melakukan hal-hal yang bisa merugikan sesama.

Jujur saja saat membuang sampah aku jarang memikirkan orang lain. Apakah caraku membuang sampah bisa membuat orang lain terganggu atau tidak, kena dampak yang merugikan atau tidak, aku hampir tidak pernah ambil pusing. Apakah kemudian kebiasaan buang sampahku akan membuat rantai pengolahan sampah menjadi lebih panjang atau memakan biaya yang lebih besar, itu ya bukan urusanku, tapi pemerintah dan para petugas kebersihan. Urusanku sendiri sudah terlalu banyak. Masak disuruh mikirin orang lain lagi? Sakumi dan kepeduliannya yang tinggi pada sesama membuatku banyak berpikir ulang tentang hal ini. Sebagai seorang perawat yang telah melayani di sejumlah negara melalui lembaga-lembaga kemanusiaan, Sakumi kerap menyaksikan orang-orang yang menderita gara-gara sampah yang tidak dikelola dengan baik. Sebagai seorang Kristen, Sakumi tahu, ia tidak bisa menutup mata melihat sesama yang menderita. Ya, kita yang mengaku pengikut Kristus, diminta mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39). Bagaimana mungkin kita mengasihi jika kita tak mau ambil peduli?

Seorang pendeta pernah ditanyai, mengapa orang Kristen harus repot-repot memelihara lingkungan jika Alkitab sendiri berkata bahwa dunia ini nantinya akan “hangus dalam nyala api” (2 Petrus 3:10)? Pendeta itu balik bertanya. Bila kamu tahu bahwa dalam 30 tahun lagi rumahmu akan hancur, apakah kamu lantas tidak akan merawat rumah itu selama kamu tinggal di situ? Bila kamu tidak merawatnya dengan baik, tentu saja kamu tidak sedang mengasihi dirimu dan orang-orang yang tinggal bersamamu. Kupikir ini jawaban yang sederhana dan bijak. Benar bahwa bumi kita akan berlalu. Namun, selama kita tinggal di atasnya, kita diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk mengelolanya dengan baik, untuk kebaikan kita dan sesama kita! Sungguh sebuah alasan yang jauh lebih kuat daripada sekadar rasa takut pada aturan atau rasa malu pada komunitas!

Mungkin kebanyakan kita tidak akan menjadi seorang tokoh lingkungan hidup yang mengubah wajah seluruh negeri. Tapi kita bisa memulai dari hal yang sederhana. Mengurangi sampah plastik yang katanya sukar diuraikan itu misalnya bisa dimulai dengan membiasakan diri membawa kantong sendiri saat berbelanja, atau wadah makan dan minum sendiri untuk kebutuhan yang rutin. Ikut mendukung gerakan daur ulang bisa dimulai dengan memilah sampah menurut jenisnya agar mudah diproses lebih lanjut. Bagi yang punya energi dan kreativitas lebih, bisa memikirkan cara-cara mengolah sampah menjadi bahan-bahan yang bernilai guna. Tak perlu menunggu aturan pemerintah ditegakkan. Kita bisa memulainya dari lingkungan tempat kita tinggal dan beraktivitas. Apapun bentuknya, kepedulian kita terhadap lingkungan dapat menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Tidak hanya bagi generasi ini, tetapi juga bagi generasi mendatang. Akankah aku dan kamu mau peduli?