Posts

Belajar Mengasihi Orang Asing: Aku vs Ketakutanku

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Mengemban tugas pelayanan sebagai pemimpin kelompok kecil (PKK) semasa kuliah dulu merupakan hal tersulit bagiku. Bahkan aku sempat ‘bersumpah’ pada rekan-rekan sepelayananku bahwa: “Aku tuh enggak bisa gampang deket sama orang yang baru dikenal. Susah, lho. Takut banget”. Itulah mengapa aku cukup kesulitan ketika mendapat bagian melayani sebagai PKK bagi adik-adik mahasiswa baru di kampus sekitar 8 tahun lalu. Mengasihi orang asing atau orang yang baru kukenal menjadi hal yang tak pernah kuinginkan.

Keenggananku itu perlahan terkikis, ketika akhirnya Tuhan memberiku berbagai proses yang mengarahkanku untuk mengasihi diri sendiri.

Sejak aku belajar dan menyadari bahwa aku sangat dikasihi Tuhan meskipun mengalami penolakan, sejak aku menyadari bahwa menikmati relasi pribadi dengan Tuhan ternyata banyak sekali mengubah hidupku, pelan-pelan aku berani membuka diriku terhadap hal-hal baru dan juga orang-orang baru. Awalnya memang pikiranku dikuasai oleh ketakutan dan kekhawatiran. Terlebih lagi aku memiliki isu ketidakpercayaan terhadap orang baru. Namun, ‘belajar’ menjadi motivasi utamaku ketika mulai menjalin relasi bersama mereka. Aku berkata pada diriku sendiri, “Mau sampai kapan kamu menutup diri terus, Meista?” Dan ketika aku memahami, menyadari, serta mengalami betapa besarnya kasih Tuhan dalam hidupku, keberanian untuk membuka hati dan kepercayaan diri pun muncul.

Belajar Mengasihi Orang Asing: Menerima Pelayanan Sebagai Mentor

Tahun 2020 aku mendapat tawaran sebagai mentor untuk sebuah pembinaan yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga pelayanan. Pembinaan ini dilakukan selama 6 bulan dengan sistem daring. Peranku sebagai mentor adalah membimbing adik-adik mahasiswa semester akhir dalam menggumulkan panggilan hidup mereka setelah lulus kuliah nanti. Sebagai orang yang pernah menikmati pemuridan semasa kuliah, juga sebagai orang yang tahu betul bagaimana sulitnya bertumbuh seorang diri tanpa komunitas kecil, pelayanan tersebut langsung aku terima.

Aku sempat merasa takut. Aku dihantui kecemasan dan keraguan terhadap diriku sendiri. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tiba-tiba muncul dalam pikiranku: apa motivasimu terima pelayanan ini? Apa kamu sedang merasa dibutuhkan?

Aku pun lebih tekun berdoa menjelang hari-H pelayanan. Aku bertanya dalam doaku: Tuhan, apakah hal yang kulakukan ini benar? Jika Engkau tidak berkenan aku mengambil pelayanan ini, lebih baik aku mundur saja. Tuhan lantas tidak menjawab doaku secara langsung. Namun, dalam hatiku aku merasa yakin bahwa alasanku menerima pelayanan ini hanyalah karena aku telah dan sedang menikmati pimpinan Tuhan dalam proses menemukan serta menjalani panggilan hidup. Prosesnya berlangsung hingga saat ini, dan aku tidak ragu untuk membagikan bagaimana Tuhan menuntun dan memimpin hidupku melalui banyak hal. Aku juga ingin mengimani dan membuktikan apa yang tertulis dalam kitab Ulangan 31:6 :

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”

Inilah yang menjadi alasan kuat bagiku untuk tidak mundur menggembalakan adik-adik yang Tuhan berikan menjadi bagianku sepanjang pembinaan berlangsung.

Ternyata, ada banyak hal yang menjadi berkat buat diriku sendiri ketika aku melayani sebagai mentor. Pertama, tentu aku mendapat teman-teman baru. Baik itu adik-adik dalam kelompok mentoring, hingga teman-teman panitia. Kedua, materi dari pembinaan itu sendiri. Meskipun statusku adalah mentor, namun aku kembali diingatkan esensi tentang menggumulkan panggilan hidup. Aku kembali belajar bahwa panggilan hidup tidak terbatas pada apa jabatan, jenis pekerjaan, atau di mana aku bekerja. Panggilan hidup dalam Tuhan berbicara tentang berjalan dan berelasi bersama-Nya dalam kehidupan ini. Jadi, segala sesuatu benar-benar harus dipusatkan pada Kristus, bukan mengedepankan apa yang kita mau—meskipun tidak ada salahnya juga untuk menyampaikan apa yang kita inginkan pada-Nya di dalam doa. Ketiga, aku juga makin dimampukan untuk melihat lebih tajam tentang kepribadianku, talenta, serta minatku. Hal ini tentu menolongku juga untuk makin serius melakukan pekerjaan dan pelayanan yang tengah dipercayakan padaku.

Dari beberapa pelajaran dan pengalaman yang dinikmati, aku bersyukur karena tidak mengikuti rasa takutku dalam menjalin relasi dengan adik-adik mentoring yang ‘statusnya’ adalah orang-orang asing. Kasih dari Tuhan yang lembut mengubah ketakutan itu menjadi berkat yang tak pernah aku sesali hingga saat ini.

Belajar Mengasihi Orang Asing: Menjadi Pendengar yang Baik untuk Teman Baru

Suatu kali aku tengah menceritakan kisah kegagalanku pada salah satu teman dekat. Kemudian ia menyarankan aku mendengarkan siaran podcast yang ia buat bersama temannya. Podcast yang mereka produksi ternyata berbicara tentang kegagalan juga. Singkat cerita, aku sangat terberkati melalui konten tersebut, dan aku langsung mempublikasikannya di akun Instagram Story-ku.

Tak berapa lama, tiba-tiba aku dikontak oleh temannya temanku yang berada dalam podcast itu melalui pesan Instagram (Direct Message/DM). Temannya temanku. Aku tidak tahu dia siapa, aku tidak mengenalnya, lalu tiba-tiba dia merespon postingan yang aku buat. Untuk aku yang cukup tertutup terhadap orang asing, menjadi tantangan tersendiri bagiku ketika hendak memberikan respon balik. Namun salah satu komitmen pribadiku di tahun 2021 ini adalah belajar untuk lebih membuka diri, termasuk dalam hal relasi. Aku sempat bertanya pada diri sendiri, “Apa sih yang salah dengan punya teman baru di luar lingkaran terdekat, Meista? Enggak ada kan?” Akhirnya dengan mengingat hal ini, aku memberanikan diri untuk membalas pesannya.

Obrolan demi obrolan berlangsung, hingga aku mengetahui bahwa ia memiliki isu pada kesehatan mental (ia menceritakannya langsung kepadaku). Topik mengenai kesehatan mental ini tentu menjadi hal menarik bagiku karena aku juga pernah merasakan situasi yang sama meski dengan detail yang berbeda. Jadilah aku juga membuka diri untuk bercerita tentang beberapa pergumulan hidupku padanya dengan motivasi siapa tahu ceritaku bisa menguatkannya juga.

Hari demi hari berlalu dan kami jadi cukup sering mengobrol melalui aplikasi chat. Hingga tiba pada masa di mana aku mulai merasa khawatir, cemas, dan takut jika relasi kami makin dekat. Jika teman baruku ini perempuan, mungkin aku tidak masalah. Namun dia adalah laki-laki. Kecenderungan perempuan, atau lelaki pun, pada umumnya jika cukup sering berkomunikasi dengan teman lawan jenis adalah mudah dibawa perasaan (baper)—meski memang kondisi ini tidak bisa digeneralisasikan. Aku sempat terpikir untuk tidak lagi membalas chat-nya, tidak ingin lagi meresponi curhatannya, tidak ingin lagi mengetahui cerita-cerita hidupnya meski ia terus mengontakku. Namun, saat itu aku sadar aku memang diperhadapkan pada 2 pilihan: tetap merespons dengan sewajarnya, atau diamkan saja.

Lalu aku merenung dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada diriku sendiri: apa yang membuatku khawatir, cemas, dan takut ketika berkomunikasi dengannya? Apakah aku terganggu dengan pesan-pesan singkatnya? Ketika merenungkan hal ini, aku teringat salah satu bagian Firman yang berkata:

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1 Yohanes 4:18)

Ditambah lagi dengan Firman yang kudapat dari saat teduh pada tanggal 15 April 2021 tentang “Berbagi Beban”. Imamat 19:34 sangat jelas menyatakan, “…kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu.” Lalu ada bagian yang menguatkanku hingga aku memutuskan untuk tidak berfokus pada ketakutanku sendiri:

“Terkadang beban yang orang lain tanggung membuat mereka merasa seperti orang asing—sendirian dan tidak dimengerti—bahkan di antara orang-orang sebayanya. …mungkin kita belum pernah mengalami kesulitan yang orang lain alami. Meski demikian, kita dapat memperlakukan siapa pun yang dihadirkan Allah dalam hidup kita dengan penuh hormat dan pengertian, seperti yang kita sendiri inginkan. Kita menghormati Allah ketika kita melakukannya.”

Tanpa ingin melakukan ‘cocoklogi’, aku yakin pilihan ada di tanganku untuk tetap berteman dengannya atau hentikan saja karena akunya ketakutan. Akhirnya aku pelan-pelan menyadari bahwa mungkin bagianku hanya menjadi teman yang mendengar saja. Belajar menjadi pendengar yang baik di kala dia bercerita. Aku tidak perlu takut dalam mengasihi teman sendiri selama tidak ada ekspektasi yang dipautkan padanya. Jadi, saat ini aku belajar untuk menikmati relasi pertemanan kami yang masih berlangsung hingga sekarang dan tetap mengasihinya sebagai teman tanpa harus merasa takut baper.

* * *

Kehadiran orang asing dalam konteks orang yang sengaja dilayani di pelayanan tertentu atau bahkan dalam ranah pekerjaan profesional sekalipun, atau orang asing yang hadir secara tak disengaja (random) ke dalam hidup kita pastinya bukanlah suatu kebetulan. Namun bukan bagian kita untuk mengetahui, “Apa sih maksud Tuhan dalam hal ini?”.

Kadang, tidak semua hal Tuhan beritahu kepada kita maksud dan tujuan dari segala sesuatu yang terjadi. Namun satu hal yang pasti: pimpinan dan penyertaan-Nya selalu ada. Kasih-Nya selalu nyata, dan kasih inilah yang sepatutnya bisa kita bagikan kepada orang-orang asing yang datang ke hidup kita jika kita sudah mengalami sendiri bagaimana indahnya kasih Allah itu.

Baca Juga:

Berhadapan dengan Rekan Kerja yang Menyebalkan

Ketika bekerja, kita pasti akan berurusan dengan orang lain. Senyaman apapun lingkungan kerja kita, sebesar apapun nominal gaji kita, semudah apapun jobdesc kita, kita tidak bisa menghindar dari urusan relasi ini.

Berhadapan dengan Rekan Kerja yang Menyebalkan

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dalam kehidupan pekerjaan profesional, tantangan tentu menjadi hal yang tidak mungkin kita hindari. Pergumulan terkait kecukupan gaji, nyaman-tidaknya lingkungan bekerja, tinggi-rendahnya tingkat stres dari pekerjaan yang kita lakukan, hingga apakah pekerjaan tersebut membawa pertumbuhan dan perkembangan pada diri kita tentu selalu ada. Dari beberapa tempat kerja yang memberiku banyak sekali pengalaman dan pelajaran, ada satu hal lainnya juga yang pasti akan kita temui ketika bekerja di manapun: berhadapan dengan karakter orang lain.

Ketika bekerja, kita pasti akan berurusan dengan orang lain. Entah banyak, atau sedikit. Entah dengan usia yang lebih tua, atau lebih muda. Entah dengan perempuan, atau laki-laki. Senyaman apapun lingkungan kerja kita, sebesar apapun nominal gaji kita, semudah apapun jobdesc kita, kita tidak bisa menghindar dari urusan relasi ini.

Seperti relasi antar manusia pada umumnya (dengan keluarga, teman dekat, dan lain-lain), relasi dengan rekan kerja pun tentu akan mengalami dinamika. Ada masa di mana kita kompak dengan mereka ketika mengerjakan suatu pekerjaan, namun ada juga masa di mana kita harus berhadapan dengan karakter atau tingkah mereka yang menyebalkan dan tidak kita sukai. Meskipun indikator ‘menyebalkan’ dan ‘tidak suka’ antara satu orang dengan yang lain akan berbeda, namun fase ini tentu tidak terhindarkan. Ini hal yang wajar, karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia unik dan berbeda satu sama lain (Efesus 4:7). Juga tidak boleh dilupakan bahwa kita semua telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).

Lalu apa yang harus kita lakukan jika tengah berhadapan dengan rekan kerja yang menyebalkan, atau bahkan sampai muncul konflik yang tak terhindarkan?

1. Akui emosi hatimu pertama-tama pada Tuhan

Aku pernah memiliki rekan kerja yang tidak mau berbicara padaku gara-gara kami berdebat soal konten media sosial apa yang harus diprioritaskan untuk publikasi hari itu. Aku sedih karena dia mendiamkanku selama beberapa hari dan itu sangat mengganggu jalannya kinerja harian kami (kebetulan pekerjaan harianku selalu berkorelasi dengannya). Mudah bagiku untuk terus larut dalam emosi, berpikiran negatif, hingga berpengaruh pada pekerjaan. Namun, masih ada pilihan untuk berdoa dan mengakui apa yang kurasakan pada Tuhan. Awalnya aku gengsi, ingin berada di posisi yang paling benar, tapi lama-lama Tuhan tolong aku untuk melihat situasi dengan hati dan pikiran yang lebih jernih. Dengan keberanian yang Tuhan anugerahkan, aku akhirnya meminta maaf duluan padanya meskipun dia tetap tidak membalas pesanku. Sedih dan sedikit kecewa, tapi setidaknya itu hal terbaik yang bisa kulakukan.

Mengakui keadaan hati kita pada Tuhan mungkin tidak menolong konflik mereda seketika, tetapi itu akan memberikan damai sejahtera pada hati kita. Ketika hati kita lebih damai, kita lebih mampu untuk melihat lebih jelas dan luas konflik yang sedang kita alami.

2. Bicarakan pada pimpinan atau atasan jika sudah mengganggu profesionalitas kerja

Masih lanjutan dari cerita di atas, karena dia masih mendiamkanku, sedangkan urusan publikasi masih harus terus berlangsung setiap harinya, akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengan atasan kami. Menjadi suatu berkat yang harus disyukuri ketika memiliki pimpinan yang mau peduli dengan masalah yang dialami anak buahnya. Singkat cerita, ia mengajak ngobrol rekan yang mendiamkanku itu, lalu tak berapa lama kemudian ia akhirnya membuka komunikasi denganku dan relasi kami kembali baik seperti semula.

Namun bagaimana jika atasan kita malah tidak mau ikut campur dengan konflik antar rekan kerja yang sedang terjadi?

Tetap tenangkan diri dan pikiran, lalu coba sampaikan pada atasan bahwa kita butuh pertolongan atau masukan atas pekerjaan yang terhambat akibat konflik tersebut. Usahakan kita tidak perlu fokus pada perilaku rekan kerja yang membuat kita marah, kesal hingga berkonflik, namun fokus pada mencari solusi dari masalah pekerjaan yang sedang dilakukan.

3. Belajar rendah hati untuk terus perbaiki diri

Meski rasanya kesal dan seringkali tidak mau berada di posisi salah, namun kita juga tetap rendah hati untuk terus belajar dalam memperbaiki diri sendiri. Seperti yang ditulis oleh Suzanne Stabile dalam bukunya yang berjudul The Path Between Us: “Sangatlah bagus jika Anda menghabiskan energi untuk mengobservasi dan memperbaiki diri sendiri ketimbang mengobservasi serta memperbaiki orang lain.”

Kesal dengan tingkah laku si rekan kerja tentu bukan berarti kita menjadi pihak yang paling berdosa. Bukan juga artinya dia yang paling berdosa. Namun, Firman dalam Efesus 4:2 mengatakan perintah yang jelas: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” Sulit? Tentu. Keberdosaan kita membuat kita ingin menjadi pihak yang selalu benar dan tidak ingin salah. Pada akhirnya, meminta tolong kerendahan hati untuk mau belajar pada Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.

4. Komunikasikan dengan baik ketidaksukaan kita dengan cara yang tidak menghakimi

Ada kalanya kita kesal dengan rekan kerja kita hanya karena tingkahnya yang memang tidak kita sukai, misalkan: si dia terlalu banyak bicara, si dia sok tahu, si dia memiliki kebiasaan menghentak-hentakkan kaki sehingga ruangan kantor jadi berisik, si dia tidak sabaran, si dia pemalas, si dia suka datang terlambat, dan lain-lain. Jika hal itu tidak mengganggu pekerjaan kita, tentu harusnya tidak ada masalah. Namun, jika sudah mengganggu, membuka komunikasi secara baik-baik menjadi cara yang layak dicoba.

Sewaktu bekerja di perusahaan media, salah satu rekanku sering sekali berbicara dengan nada menuntut dan cukup tinggi kepadaku. Konteksnya seperti ini: alur kerja kami memang dimulai dari aku dulu yang membuat konsep, kemudian dia yang membuatkan desain. Aku selalu berupaya untuk memberikan konsep tepat waktu, namun dalam beberapa kesempatan ia tetap marah-marah padaku. Emosinya membuatku merasa di posisi serba salah. Aku jadi kesal. Hingga pada suatu hari aku mencoba iseng mengungkapkan rasa kesal itu. Dimulai dengan berdoa singkat dalam hati meminta ketenangan, aku bertanya, “Woy, kamu kenapa sih? Lagi dikejar kereta api? Ngomong sama aku kok ngegas mulu gitu lho.” Lalu dia menjawab, “Hah? Aduh aku emang ngegas ya? Maaf, maaf.” Responnya dia ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Dia bahkan meminta maaf dan setelah itu menceritakan bahwa ada masalah yang tengah mengganggunya sehingga di saat itu ia sebenarnya tidak sedang berkonsentrasi bekerja.

Singkat cerita, hubungan kami malah jadi semakin dekat, dan ketika dia mulai berbicara dengan nada yang sama, aku tidak masukkan ke dalam perasaan lagi, selama memang pekerjaan kami sudah pada alur dan waktu yang tepat.

Jadi, belum tentu tingkah menyebalkan seseorang selalu tanpa alasan. Kadang mungkin saja ada permasalahan atau beban berat yang sedang mereka pikul namun enggan membicarakannya pada siapapun, sehingga membuat tingkahnya jadi menyebalkan untuk orang sekitar. Di sini, kita bisa meminta hikmat pada Tuhan untuk menjadi pendengar yang baik, atau bahkan kita bisa membantu dan menolongnya sesuai kapasitas yang Tuhan anugerahkan untuk kita.

5. Hindari membicarakan kelemahan atau keburukannya kepada orang lain

Aku menuliskan ini bukan berarti aku berhasil menghindarinya. Tidak. Membicarakan keanehan atau kelemahan orang lain yang tidak kita senangi rasanya menjadi makanan sehari-hari dan kita sadar-tidak sadar senang melakukannya. Aku pribadi mengakui bahwa masih sangat sulit untuk mengekang lidah dan sulit untuk menjaga hati agar tidak bergunjing, apalagi jika itu menyangkut orang yang menyebalkan bagiku.

Sayangnya, Tuhan tidak menghendaki demikian. Yakobus 1:26 secara jelas menyampaikan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Ketika ‘terjebak’ pada situasi bergosip yang sungguh menggoda, kita bisa minta tolong pada Allah dalam doa untuk menahan motivasi hati kita yang ingin ikut-ikutan membicarakannya. Aku sendiri beberapa kali lebih memilih diam atau bermain ponsel ketika topik tentang si orang-yang-menyebalkan mulai muncul dalam percakapanku bersama rekan-rekan kerjaku yang lain. Ada kalanya aku juga jatuh dan ikut tergoda membicarakannya. Minta tolong pada Allah menjadi cara terbaik yang bisa kita lakukan.

* * *

Beberapa pengalaman bekerja di ranah profesional sebelumnya mengajariku bahwa meskipun kita bisa memilih perusahaan, ladang, gaji, hingga jenis pekerjaan dan jabatan yang kita mau, kita tidak bisa memilih pemimpin, tim, serta rekan kerja yang akan bekerja bersama kita. Aku belajar bahwa jika pun aku memperoleh semua yang aku mau dalam pekerjaan tersebut, aku tidak bisa mengelak dari dinamika relasi yang terjadi antara aku dan rekan sekerjaku. Talenta yang kumiliki untuk berkontribusi dalam pekerjaan tersebut ternyata satu paket dengan bayar harga dan penderitaan di dalamnya, termasuk juga ketika menghadapi konflik dan masalah dengan sesama.

Pertanyaannya: apakah kita mau untuk selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dalam pekerjaan hari ke hari, atau lebih memilih untuk mengandalkan kekuatan sendiri?

Baca Juga:

7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Berteman lama dan sangat dekat tidak jadi jaminan kalau pertemanan itu akan bebas dari konflik. Lalu, bagaimana caranya kita berekonsiliasi kala konflik terjadi dengan kawan dekat?

7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dulu aku sempat berpikir bahwa relasi pertemanan yang sudah terjalin lama dan sangat dekat tidak akan pernah bersentuhan dengan konflik atau perseteruan. Aku pikir karena kita sudah sama-sama saling mengenal, saling tahu kelemahan dan kelebihan, harusnya relasi kami baik-baik saja.

Ternyata aku salah.

Tahun 2020 merupakan tahun pembelajaran besar buatku akan hal ini. Aku mengalami konflik dan gesekan karakter dengan teman-temanku sendiri yang berada dalam lingkaran pertemanan kelompok tumbuh bersama (KTB). Hal-hal yang sempat kurasakan waktu itu adalah mereka sudah tidak peduli denganku, berbeda dengan masa-masa kuliah di mana kami benar-benar saling memperhatikan satu sama lain. Nyatanya, kehidupan di dunia alumni merubah semuanya. Aku yang saat itu tengah kesepian merasa ‘tidak aman’ berada bersama-sama dengan mereka. Obrolan di grup chat kami pun terasa hambar dan tidak sesuai ekspektasiku. Belum lagi ditambah dengan momen kesalahpahaman yang terjadi. Niatnya aku hanya peduli pada salah satu temanku, ternyata dia merespon aku berbeda. Tersinggung dan merasa direndahkan, katanya. Aku pun ikut tersinggung karena merasa dihakimi. Akhirnya dengan emosi yang campur aduk antara sedih, kesal, dan kecewa, aku meninggalkan grup chat kami dan memutuskan untuk tidak lagi berkomunikasi dengan mereka.

Jika aku menyelesaikan cerita sampai sini, mungkin rasanya sedih sekali, bukan? Memutuskan relasi dengan teman-teman dekat tentu tidak menjadi mimpi dan anganku. Singkat cerita, saat ini aku sudah kembali berteman baik dengan mereka, kembali masuk grup chat—setelah dua kali kutinggalkan, dan aku pribadi mendapat banyak sekali pelajaran berharga dari konflik yang kami alami. Nah, izinkan aku untuk membagikan hal-hal apa saja yang kita perlu lakukan ketika sedang terlibat konflik, khususnya dengan mereka yang sudah sangat dekat dengan kita:

1. Pahami dan kenali diri sendiri dengan baik

Orang lain, termasuk teman-teman dekat kita, mungkin tidak sepenuhnya mengenal kita. Untuk itu, kita sendiri yang terlebih dahulu harus mengenal diri sendiri. Lihat bagaimana respons kita ketika menghadapi konflik, bagaimana cara kita menyelesaikannya, apakah kita termasuk orang yang lebih baik kabur atau cari aman alih-alih menghadapi konflik tersebut, dan sebagainya. Kita bisa juga melakukan tes kepribadian seperti MBTI, Enneagram, atau tes kepribadian lain yang sejenis. Kita juga bisa mencari tahu apa bentuk bahasa kasih yang dimiliki diri sendiri dan juga teman-teman kita. Mengetahui bahasa kasih ini dapat menolong untuk memahami bagaimana bentuk kasih yang perlu disampaikan secara nyata melalui tindakan kita.

2. Terus belajar bahwa konflik dalam relasi pertemanan itu adalah hal yang wajar

Konflik yang aku sebut di sini mengarah pada konflik yang sehat; konflik yang membawa pertumbuhan baik bagi diriku sendiri, maupun bagi relasi kami. Menurut situs christiantoday.com, relasi pertemanan akan mengalami ujian tersendiri. Ujian tersebut dapat membawa kita pada 3 pelajaran penting: pengampunan, kerendahan hati, dan pertumbuhan.

Dalam pertemanan, biasanya kita menjadi dekat karena menemukan persamaan-persamaan. Entah itu karena persamaan hobi, selera musik, atau masalah yang sedang dihadapi. Namun, sekadar menemukan persamaan saja tidak cukup. Seiring berjalannya waktu, pertemanan akan menunjukkan perbedaan-perbedaan, dan di sinilah biasanya konflik terjadi. Pertemanan yang baik bukanlah pertemanan yang bebas konflik, karena tentunya perbedaan-perbedaan bisa menimbulkan gesekan, tetapi pertemanan yang baik dapat terjadi ketika masing-masing pihak bersedia untuk memahami perbedaan.

3. Lebih baik jujur namun menyakitkan, daripada ‘cari aman’ tapi tidak menjadi diri sendiri

Hal yang membuat kita takut untuk jujur dan sulit menjadi diri sendiri adalah: rasa malu (shame). Curt Thompson dalam bukunya yang berjudul “The Soul of Shame” mengatakan bahwa: “Kita hidup dalam sebuah budaya di mana kita takut menunjukkan siapa kita karena takut dipermalukan karena menjadi diri sendiri.” Pilihannya jatuh di tangan kita: menjadi jujur demi kesehatan emosi dan relasi, atau tidak menjadi diri sendiri.

Hal yang kuakui secara jujur pada mereka waktu itu adalah aku merasa tidak ditanggapi ketika sedang menceritakan masalahku. Di saat aku butuh didengar, mereka malah meresponi ceritaku dengan masalah pribadi mereka juga. Mungkin ini sebenarnya tidak masalah, tapi yang kurasakan saat itu tentu kecewa. Akhirnya aku tinggalkan grup, dan sempat menuliskan sekelumit perasaanku dalam tulisan blog—yang kemudian tulisan itu kukirimkan ke mereka satu-satu. Aku tahu ini sangat berisiko, namun saat itu aku tetap terbuka jika mereka ingin menegur atau memberikan respons lainnya. Seperti ada tertulis: “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi” (Amsal 27:5). Jadi aku memilih untuk tetap jujur meskipun dengan risiko, daripada menyembunyikan apa yang kurasakan dan tenggelam dalam situasi relasi yang kurang sehat.

4. Ambil waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu supaya tidak dikuasai emosi

Emosi marah, kesal, dan kecewa bisa berdampak pada keputusan-keputusan yang kita ambil. Itulah mengapa pilihan untuk menyudahi pertemanan sempat terlintas di pikiranku. Alasannya karena aku gagal menjadi teman yang baik, karena mereka tidak mengerti diriku, dan alasan-alasan lainnya yang dikendalikan oleh emosi. Aku tahu sangat sulit untuk mengaplikasikan Firman yang tertulis dalam Efesus 4:6. Namun ternyata membuat hati dan pikiran tenang adalah cara terbaik yang bisa kita lakukan demi memperoleh solusi terbaik ketika berkonflik. Tidak perlu paksakan waktu, dan izinkan diri kita berserah pada kasih Allah yang sanggup membuat hati kita tenang.

Emosi bersifat sementara, tetapi keputusan yang kita ambil bisa berdampak permanen.
Mengambil keputusan dalam emosi yang lebih stabil menolong kita untuk melihat secara lebih luas dampak apa yang akan timbul dari keputusan yang akan kita buat.

5. Berdoa, dan akui sakit hati serta kekecewaan kita pada Tuhan

Sebagai Pencipta, Tuhan tahu betul karakter, kepribadian, serta emosi-emosi diri kita. Selain belajar jujur pada diri sendiri dan teman, belajar juga untuk jujur pada Tuhan di dalam doa. Aku pernah mendoakan bahwa aku sulit sekali mengampuni. Aku sulit memaafkan diriku sendiri yang gagal dan juga sulit memaafkan teman-teman yang mengecewakanku. Pada akhirnya, Tuhan sendirilah yang memberikan jalan keluar bagi relasi kami hingga saat ini.

Memulihkan hati yang terluka tidak cukup hanya dengan upaya kita sendiri. Kita butuh sentuhan kasih Ilahi yang tak hanya menutup luka itu, tapi juga membaharui hati kita.

6. Ceritakan kondisimu pada orang yang dipercaya

Ketika aku tengah menangis dan tidak tahu harus berbuat apa, aku teringat akan beberapa kakak dan abang senior yang menurutku dapat menolongku. Awalnya aku khawatir dan sempat tidak bisa mempercayakan ceritaku pada mereka. Namun, aku memberanikan diri saja untuk mengontak mereka demi mendapat pertolongan. Mereka memberiku nasihat yang bijak, aplikatif, dan netral (tidak membela teman-temanku, juga tidak membelaku). Aku makin percaya bahwa di luar dari lingkaran pertemanan dengan teman-teman dekat, masih ada orang-orang lain yang Tuhan pasti sediakan untuk menolong kita.

Menceritakan pergumulan kita pada orang yang dipercaya bukanlah tergolong sebagai gosip atau gibah, melainkan itu dapat menjadi sarana agar kita menerima perspektif baru yang benar dan baik. Namun, yang perlu diperhatikan ialah sikap hati kita. Apakah kita bercerita untuk mendapatkan masukan, atau untuk menjelekkan nama teman atau seseorang yang sedang berkonflik dengan kita?

7. Buka komunikasi kembali, dan sampaikan permintaan maaf ketika kondisi hati kita sudah jauh lebih baik

Butuh waktu beberapa bulan sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk bergabung kembali dalam grup chat kami. Di masa itu, aku merasa bahwa aku sudah cukup pulih, sudah bisa menerima segala sesuatunya, dan ada dorongan dari dalam diriku untuk terus berelasi dengan mereka apa adanya.

Pengkhotbah berkata, untuk segala sesuatu ada waktunya. Konflik memang tidak terelakkan, tetapi tidak selamanya konflik itu perlu dipelihara. Jika kita memahami relasi sebagai karunia yang berharga dari Allah, tentu kita akan berupaya untuk melakukan rekonsiliasi.

Apa saja hal yang berubah?

Yang pertama tentu hatiku. Aku belajar menerima bahwa aku berkawan dengan orang-orang yang berbeda denganku. Tidak semua hal dalam relasi kami harus selalu sama. Aku belajar menghargai perbedaan karakter, sifat, bagaimana kami saling merespon satu sama lain, bahkan belajar juga untuk menerima kondisi terluka akibat kejujuran kami masing-masing.

Yang kedua adalah ekspektasiku. Awalnya aku berpikir bahwa teman-teman terdekatku harusnya yang lebih mengerti diriku, yang paling tahu aku maunya apa, dan lain sebagainya. Namun, konflik yang terjadi mengajariku bahwa ekspektasi pribadi dapat melukai diri sendiri. Aku tahu bahwa berekspektasi adalah hal yang wajar terjadi dalam setiap relasi. Hanya, pengenalan yang lebih mendalam terhadap teman-teman kita dapat membantu untuk mengatur tingkat ekspektasi tersebut.

Ketiga, cara pandangku ketika berelasi. Persahabatan adalah salah satu anugerah Tuhan yang Ia sediakan untuk menolongku menjalani kehidupan ini. Tidak kebetulan kami bertemu dalam persekutuan kampus, tidak kebetulan kami berada dalam sebuah pelayanan bersama, dan tidak kebetulan masih ada komunikasi yang terjalin hingga kini kami berada di jalur hidup masing-masing. Aku menemukan bahwa kasih adalah landasan utama dari setiap relasi pertemanan. Seperti yang tertulis dalam Amsal 17:17 yang berbunyi:

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

Kasih yang membuat suatu relasi pertemanan tetap bertahan. Kasih juga yang diajarkan oleh Yesus pada murid-murid-Nya:

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yohanes 13:34).

Tentu tidak ada yang salah dengan momen bersenang-senang bersama teman. Akan tetapi, mengasihi mereka bukan berarti kondisi akan selalu baik-baik saja. Ada konsekuensi penderitaan yang harus kita terima ketika kita bergesekan karakter dan muncul konflik. Di kali kedua aku meninggalkan grup chat kami, aku sempat berpikir bahwa pertemanan kami akan kandas. Aku gagal mempertahankan relasi berharga yang sudah terjalin sejak kami kuliah. Rasanya sedih sekali memutuskan relasi pertemanan dengan orang-orang yang sebenarnya Tuhan anugerahkan untuk mengenal aku sangat dalam. Namun, Tuhan begitu baik kepada kami hingga akhirnya kami dapat berteman seperti biasa lagi. Tuhan menolongku untuk belajar dan berproses pelan-pelan mengenal mereka satu persatu secara lebih baik lagi. Ia juga yang membuat kami sama-sama tidak ‘mengusir’ satu sama lain, melainkan memberi kami kesempatan untuk makin bertumbuh dalam kedewasaan (Efesus 4:13).

Terakhir, aku juga belajar bahwa dalam pertemanan atau persahabatan dengan konteks relasi yang sangat dekat, kita tidak mungkin hanya berhadapan dengan sifat yang baik-baik saja. Semakin mengenal teman-teman kita, seiring dengan berjalannya waktu, kita pasti akan diperhadapkan dengan sifat-sifat buruk hingga keberdosaan masing-masing yang terlihat sedikit demi sedikit. Pilihan ada di tangan kita: mau tetap memperjuangkan relasi tersebut dan terus bertumbuh sama-sama, atau memilih untuk berada pada relasi yang hambar dan dibiarkan begitu saja?

Baca Juga:

Berdamai dengan Keluarga, Mengampuni Masa Lalu

Alih-alih sebagai komunitas yang merangkul, terkadang keluarga jadi tempat di mana kita menyaksikan luka dan kesedihan.

Yuk ikuti cerita Meista tentang bagaimana dia mampu berdamai dengan keluarganya di artikel kedua dari seri Lika-liku dalam Relasi.