Lidya lahir, besar, dan tinggal di Jakarta. Untuk mengisi waktu senggang, Lidya suka membaca buku rohani, menulis blog, dan streaming youtube. Saat ini masih aktif terlibat dalam beberapa pelayanan, terutama pelayanan kepada mahasiswa. Tulisan-tulisannya dapat ditemukan di lidcorr.wordpress.com.

Posts

Hal yang Kulupakan Ketika Aku Asyik Menggunakan Instagram Story

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Sekitar setahun lalu, Instagram menciptakan inovasi baru yang sangat digemari oleh para penggunanya hingga saat ini: Instagram Story—yang sering disingkat menjadi Instastory ataupun Snapgram. Melalui fitur ini, kepada followers-nya, seseorang bisa membagikan gambar dan video yang dapat diedit terlebih dahulu secara real-time atau dalam waktu yang hampir bersamaan saat peristiwa tersebut terjadi.

Awalnya, seperti kebanyakan teman-temanku, aku menikmati fitur Instastory dengan cukup aktif. Setiap harinya aku bisa mengunggah 1-5 konten pada Instastoryku. Namun, sampai di satu titik, aku memutuskan untuk berhenti menggunakan fitur ini hingga waktu yang tidak ditentukan. Alasan aku berhenti menggunakan Instastory bukanlah karena fitur ini salah. Akan tetapi, aku berhenti karena kelemahanku sendiri, yang mungkin juga merupakan kelemahan bagi banyak orang, yaitu self-esteem, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “harga diri”.

Jika ditilik lebih dalam, melalui bacaan dari Wikipedia maupun beberapa jurnal psikologi yang pernah kubaca, pada dasarnya self-esteem berarti bagaimana seseorang menilai harga dirinya sendiri.

Dalam pergumulanku pribadi, aku merasa bahwa Instastory telah merusak caraku menilai harga diriku sendiri.

Aku cenderung menempatkan dan mencari harga diriku melalui pengakuan-pengakuan dan pandangan dari orang lain. Ketika zaman beralih menjadi digital, cara yang paling mudah dan efektif untuk ‘menghitung’ harga diriku adalah melalui media sosial. Instastory memberiku kesempatan untuk meliput kehidupanku secara real-time. Para followers-ku bisa mengetahui apa yang sedang aku kerjakan, apa yang sedang aku makan, apa yang sedang aku rasakan, dan banyak hal lainnya melalui tiap-tiap gambar atau video yang kuunggah.

Inilah hal yang menurutku membuat Instastory lebih berbahaya daripada media sosial lainnya seperti Path, Facebook, ataupun Twitter. Melalui visual dan audio yang disajikan secara real-time, tanpa sadar aku telah menjadikan Instastory sebagai sarana untukku memamerkan kehidupanku kepada orang lain. Aku bisa menunjukkan betapa menyenangkannya aktivitas yang kulakukan, betapa enak dan mahalnya makanan yang aku makan, betapa sibuk dan kerennya pekerjaanku, dan banyak hal lainnya.

Tanpa kusadari, aku berjuang untuk melihat diriku terlihat lebih berharga dengan memamerkan kehidupan yang kujalani. Aku jadi sangat tergoda untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang betapa kerennya dan menyenangkannya hidupku. Bahkan, seringkali, tanpa kusadari aku ingin supaya orang lain iri melihat diriku dan kehidupanku.

Sebenarnya, bukanlah hal yang salah untuk mencari dan menemukan harga diri. Dalam pandangan dunia, self-esteem adalah hal yang penting karena hal ini akan mendorong manusia termotivasi untuk menjalani hidupnya. Bahkan, Abraham Maslow, seorang psikolog yang juga teoritikus menempatkan self-esteem atau harga diri sebagai peringkat kedua dalam piramida kebutuhan psikologis manusia.

Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan self-esteem selama kita mencarinya di tempat yang benar. Namun, sayangnya adalah dunia kita saat ini telah kehilangan tempat mencari self-esteem yang benar.

Dalam pergumulanku saat itu, aku membaca sebuah artikel berjudul “Find Your Self-esteem in Someone Else” yang ditulis oleh Jon Bloom. Kutipannya adalah sebagai berikut:

Sekitar pergantian abad ke-20, teori tentang “self-esteem” muncul di bidang psikologi, dan pada tahun 1960 teori ini diterima oleh budaya Barat dan dianggap sebagai salah satu akar utama dari kesehatan mental. Tetapi sesungguhnya teori ini tidak mengatasi masalah mendasar, yaitu keterpisahan dari Allah. Setelah lebih dari 50 tahun mencoba menerapkan teori ini sebagai obat untuk penyakit kita akan identitas, kita mendapati bahwa diri kita hanya semakin terisolasi dan hubungan kita dalam komunitas dan masyarakat hanya menjadi lebih retak. Semua ini terjadi karena kita kita mencari harga diri kita di tempat yang salah dan untuk alasan yang salah.

Perjuanganku untuk menaikkan nilai harga diriku melalui pengakuan dan penghargaan dari orang lain melalui media sosial sesungguhnya berasal dari keterpisahanku dengan Allah. Sadar atau tidak sadar, seringkali aku merasa tidak ada seorangpun yang bisa ataupun mau mengapresiasi, menghargai, mengasihi, dan mengakui diriku kalau aku tidak tampil menawan di hadapan orang lain. Hal ini jelas tidaklah benar. Alkitab dengan jelas mengatakan:

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:4).

“Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekorpun dari padanya yang dilupakan Allah, bahkan rambut kepalamupun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Lukas 12:6-7).

Firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa diriku begitu berharga di hadapan-Nya. Aku diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sang pencipta alam semesta. Bahkan, kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak sedikitpun menghilangkan kasih-Nya kepadaku dan juga kepada seluruh umat manusia. Kita tetap dipandang-Nya berharga, begitu berharga hingga Allah sendiri melalui Yesus Kristus datang ke dunia, mati di kayu salib dan bangkit untuk menebus dosa-dosa kita.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

Mungkin bagi beberapa orang, ayat-ayat di atas terasa seperti hapalan di luar kepala. Namun, ayat tersebut adalah bukti nyata bahwa kasih-Nya kepada kita telah dinyatakan di atas kayu salib. Darah-Nya yang tercurah sudah membuktikan betapa berharganya aku dan kamu di hadapan Allah.

Harga diriku tidak ditentukan dari seberapa banyak likes atau comment yang aku dapatkan di tiap-tiap gambar atau story yang kuunggah. Harga diriku dan harga dirimu begitu mahal, seharga darah yang telah Yesus curahkan untuk menebus dosa-dosa kita.

Pada akhirnya, aku sadar bahwa ketika aku menggunakan Instastory dan media sosial lainnya, seharusnya aku tidak mencari harga diriku di sana. Harga diriku tidak ditemukan pada media sosial. Harga diriku yang sesungguhnya hanya kutemukan pada salib Kristus.

“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19).

Baca Juga:

Ketika Keraguan akan Imanku Membawaku Pada Yesus

Aku dilahirkan di keluarga bukan Kristen yang cukup taat beribadah. Bahkan, kedua orangtuaku pernah menyekolahkanku di sebuah sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Namun, sampai di satu titik, aku mulai meragukan iman yang kupercayai yang pada akhirnya menuntunku kepada Yesus.

Aku Bergumul Karena Kehilangan Papa, Namun Jawaban Allah Membuatku Tertegun

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

16 Mei 2017 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Tepat pukul 08:52, ketakutan terbesarku terjadi. Aku kehilangan Papa untuk selama-lamanya. Di dalam ruang ICU, di tengah deru mesin ventilator dan alarm monitor jantung, di samping ranjang tempat Papa terbaring, pikiranku kosong. Yang aku tahu, selepas peristiwa ini, hidupku takkan lagi pernah sama.

Ketika momen yang menyakitkan itu datang, aku bertanya-tanya mengapa Allah mengizinkan ini semua terjadi? Di awal kepergian Papa, aku berjuang untuk percaya bahwa Tuhan sungguh bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagiku sekeluarga. Tapi, tetap saja aku belum dapat memahami seutuhnya mengapa Dia memanggil Papa secara mendadak di saat masih banyak hal yang ingin kami lakukan bersama.

Dalam hati, aku sempat bertanya, “Tuhan, belasan tahun sudah Papa melayani Engkau dengan setia, tanpa mengeluh sedikit pun dalam kondisi apapun. Tuhan, keluarga kami begitu giat mendekatkan diri kepada-Mu, setiap hari berdoa dan bersaat teduh. Bahkan, aku telah mengabdikan masa mudaku untuk melayani Engkau di kampus dan gereja. Tapi, mengapa ini harus terjadi pada kami?” Walaupun aku berjuang untuk tidak menaruh rasa kecewa pada Tuhan, rasa sakit dan kehilangan memaksaku untuk berpikir demikian.

Seiring waktu berjalan, banyak orang datang untuk menghibur dan mendoakanku. Aku pun berusaha untuk melanjutkan hidupku dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Walaupun aku masih menyimpan rasa kecewa, tapi aku tetap berusaha mendekatkan diri pada Tuhan dengan berdoa, saat teduh, dan membaca buku atau artikel yang menguatkanku. Semua itu kulakukan dengan harapan supaya Tuhan memberiku alasan yang jelas mengapa Dia begitu cepat mengambil papa dari kami sekeluarga. Aku juga berharap supaya Tuhan menghiburku dan membantuku melupakan segala kesedihanku. Tapi, hari demi hari berlalu, perasaanku tidak bertambah baik. Aku masih sering menangis dan meratapi kepergian Papa.

Dalam kesedihanku itu, aku teringat akan kisah Ayub, seorang yang hidup berkelimpahan namun kehilangan segalanya dalam sekejap. Ayub kehilangan hartanya, anak-anaknya, istrinya, bahkan kesehatannya. Dalam kondisi Ayub yang mengenaskan, seharusnya Ayub bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa Dia menimpakan malapateka ini. Ayub tidak pernah berbuat jahat, bahkan Tuhan sendiri pun menyatakan bahwa tidak ada orang lain di bumi yang saleh, jujur, dan takut akan Allah seperti Ayub (Ayub 1:8). Tetapi, karena kesalehan dan kejujurannya itu, Allah malah membiarkan Ayub dicobai oleh Iblis. Apakah ini berarti berarti Allah kejam?

Jika aku melihat dari perspektif manusia pada umumnya, maka aku akan menjawab “ya” bahwa Allah itu kejam. Allah adalah Allah yang kejam karena membalas kesalehan dan keujuran Ayub dengan kemalangan dan malapetaka. Namun, sekali lagi, itu jika aku hanya melihat dari perspektif manusia saja. Sebagai manusia, seringkali aku berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kepastian dan ketenangan dalam hidup. Salah satu caranya adalah dengan cara merasionalkan Allah dan memasukkan-Nya ke dalam kerangka berpikirku sendiri. Jika aku melayani Allah, maka Allah akan baik padaku. Jika aku setia dan taat, maka Allah akan melimpahiku dengan berkat. Begitu pula sebaliknya. Cara pikir seperti ini membuatku menganggap bahwa apa yang Allah lakukan atau berikan kepadaku itu tergantung dari sikap dan perbuatanku. Dengan demikian, sebenarnya aku sendirilah yang menentukan bagaimana Allah harus bersikap atau bertindak.

Kisah Ayub yang tertulis dalam Alkitab menyatakan bahwa Allah bekerja di luar kendali manusia. Pikiran Allah berada jauh di luar jangkauan pemikiran manusia. Dalam Ayub 38, Allah menjawab pertanyaan Ayub dengan menyatakan kedaulatan-Nya atas semesta.

Kisah Ayub membuatku tertegun. Siapakah aku sehingga aku dapat menerka-nerka jalan pikiran Allah yang begitu ajaib menciptakan alam semesta ini? Dalam perenunganku atas pertanyaan itu, aku jadi teringat akan penggalan lirik sebuah lagu yang berjudul “Behold Our God”. Baitnya yang kedua berkata demikian:

Who has given counsel to the Lord
Who can question any of His words
Who can teach the One who knows all things
Who can fathom all his wondrous deeds

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti:

Siapakah yang dapat menasihati Allah
Siapakah yang dapat mempertanyakan perkataan-Nya
Siapakah yang dapat mengajari Dia yang mengetahui segalanya
Siapakah yang dapat menghitung segala perbuatan-Nya yang ajaib

Lirik lagu ini menamparku. Aku begitu terbatas untuk mengerti pikiran Allah yang tidak terbatas. Allah adalah Allah yang berdaulat atas alam semesta untuk selama-lamanya. Cara kerja dan cara berpikir Allah tidak mungkin bisa diselami olehku, seorang manusia yang terbatas.

Ada begitu banyak hal dalam kehidupan ini yang sulit untuk dimengerti, termasuk mengapa Allah memanggil pulang Papa begitu cepat. Tetapi, satu hal yang aku tahu dengan pasti yaitu Allah itu baik dan penuh kasih. Allah itu baik bukan hanya karena Dia memberikan keberhasilan atau kesuksesan, tetapi karena Dia memang baik. Allah penuh kasih bukan hanya karena Dia memberikan berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Oleh karena itu, aku belajar menerima bahwa di balik kepergian Papa, Allah melakukannya dalam hikmat dan kasih-Nya bagiku sekeluarga.

Ketika aku memahami kebenaran ini, aku bisa mengerti dan mendapatkan kekuatan untuk melewati hari-hariku. Seperti penggalan lagu “Trust His Heart” yang berkata:

God is too wise to be mistaken
God is too good to be unkind
So when you don’t understand
When you don’t see His plan
When you can’t trace His hand
Trust His heart

Aku percaya bahwa Allah begitu bijaksana dan Dia tidak mungkin salah. Allah begitu baik dan tidak mungkin berlaku jahat. Jadi, ketika aku tidak mengerti rencana-Nya, ketika aku tidak mampu melihat tangan-Nya, aku dapat mempercayai hati-Nya.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kamu Pernah Minder Karena Penampilanmu Diejek Teman? Aku Pernah. Inilah Kisahku.

Aku terlahir dengan rambut yang keriting, kasar, dan terkadang kusut seperti kabel telepon yang jarang dipakai. Sewaktu duduk di SD, teman-teman sering mengejekku karena kondisi rambutku. Akibatnya, aku tumbuh menjadi seorang yang begitu minder.