Posts

Kataku vs Kata Tuhan

Apa yang kita pikirkan dan tanamkan dalam hati, lalu kita “luapkan”, dapat menggambarkan siapa kita bagi sesama, terlebih bagi Tuhan.

Yuk, sebelum bertutur kata maupun bertindak, selaraskan lebih dulu hati dan pikiran kita dengan firman Tuhan 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menjadi Produktif Tidak Berarti Mengabaikan Waktu-waktu Beristirahat

Oleh Sarah Tso
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Rest Without Feeling Guilty

Teman-temanku mengenalku sebagai seorang yang sangat produktif. Aku tumbuh besar di keluarga yang selalu mengingatkan anggotanya untuk “jangan cuma diam saja.” Alhasil, beristirahat menjadi aktivitas yang tak kusuka karena kuanggap sebagai “nggak ngapa-ngapain”. Dalam kamus hidupku, setiap hari pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan.

Terlepas dari budaya keluarga yang menghargai produktivitas setiap waktu, hal lain yang membuatku enggan menikmati momen-momen jeda atau istirahat adalah media sosial. Kita melihat teman kita memposting hobi atau prestasi (naik jabatan, menikah, punya anak), dan kita lantas membandingkan diri kita dengan mereka. Sebelum kita sadar, kita sudah terjebak dalam perangkap membanding-bandingkan.

Kita juga sulit mengendalikan diri kita sendiri. Kita merasa lebih berpengalaman dan bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik. Akhirnya, alih-alih mendelegasikan tanggung jawab ke orang lain, kita malah menanggungnya sendirian.

Ketika hari yang kita jalani terasa kurang produktif menurut pandangan kita, kita pun merasa bersalah dan berpikir: “harusnya aku bisa melakukan lebih”, “duh, aku gak fokus lagi”. Belum cukup sampai di situ, kita lalu khawatir akan hari esok: “Mending aku kelarin semua sekarang, atau besok malah numpuk.” Jadi, bagaimana kita bisa menikmati momen istirahat yang tenang tanpa khawatir?

Allah menghendaki kita untuk beristirahat, dan pemahaman ini membawaku merenung tentang Yesus, tentang bagaimana Dia menjalani hidup-Nya semasa di bumi. Juruselamat kita tahu batasan-batasan dalam tubuh manusia. Dia berfokus pada misi-Nya, tapi Dia tahu Siapa yang sungguh memegang kendali. Itulah mengapa Yesus mengerti bagaimana cara beristirahat.

Inilah 3 poin yang kupelajari:

1. Fokuslah pada misi utama hidup dan karuniamu supaya kamu tidak mengiyakan segala sesuatu

Ketika Yesus melayani di bumi, Dia tidak memaksa diri-Nya untuk menyembuhkan semua orang sakit dan memberitakan Injil ke semua orang yang ada di wilayah-Nya. Yang Yesus lakukan adalah memperlengkapi para murid dan menunjukkan tanda-tanda mukjizat untuk menegaskan kebenaran Injil. Yesus tahu bagaimana membangun batasan dan mempercayakan Allah untuk meneruskan misi-Nya melalui para murid yang dimampukan oleh Roh Kudus (Kis 1:8).

Belajar dari teladan Yesus untuk menemukan apa misi Tuhan buat hidupku telah membebaskanku dari godaan untuk melakukan segala sesuatu sendirian.

Belakangan ini aku mengenali karunia rohani dan panggilan hidupku melalui sebuah kelas pelatihan yang kuambil (tentang The Significant Woman). Karuniaku adalah memberi dorongan semangat, mentoring, mengajar, dan menulis. Semua ini menolongku untuk sadar bahwa misi utamaku adalah untuk membimbing orang-orang dewasa muda dan menolong mereka menemukan tujuan hidup dalam Kristus.

Ketika misi utama itu tampak jelas bagiku, aku mulai berfokus dalam menulis dan mentoring. Hal-hal lain yang tak selaras dapat kukesampingkan lebih dulu. Saat aku mengerti bagaimana Tuhan membentukku untuk melayani-Nya, aku bisa dengan yakin berkata “tidak” tanpa merasa bersalah pada hal-hal yang memang tak bisa kulakukan. Hasilnya, aku punya waktu-waktu berharga untuk mengerjakan tugas kerajaan-Nya dan menikmati waktu istirahatku.

Kalau kamu belum menemukan apa yang jadi karunia rohani dan misi hidupmu, aku sangat mendorongmu untuk mencarinya dengan bimbingan seorang mentor atau kelompok komselmu.

2. Temukan aktivitas yang menolongmu recharge secara rohani dan fisik

Yesus tahu cara terbaik untuk menghindari rasa kewalahan dan beristirahat dengan benar. Caranya adalah dengan terhubung dan berserah kepada Allah secara teratur (Lukas 5:16). Yesus secara intensional mencari tempat-tempat tenang untuk berdoa dan meluangkan waktu dengan Bapa Surgawi. Dia juga mendorong para murid untuk melakukan yang sama (Markus 6:31).

Aku merasa recharge ketika aku merenungkan kebaikan Tuhan dan melihat ciptaan-Nya dari dekat. Aku suka bertemu para sahabat dan mengobrol deep-talk, berdoa bersama sebelum makan, jalan-jalan di alam, mempelajari lagu baru, atau menulis puisi tentang ciptaan-Nya. Sebagai seorang yang melakukan perencanaan, aku menjadwalkan waktu-waktu itu semua di kalenderku. Kalau tidak terjadwal, maka tidak akan kesampaian.

Beristirahat tidak selalu tentang tidak melakukan apa pun. Beristirahat bisa berupa memprioritaskan apa yang akan menolongmu untuk memulihkan kembali jiwa dan ragamu.

3. Ganti kritik atas dirimu sendiri dengan menerima karya-Nya di kayu salib

Dalam tahun-tahunku tumbuh besar, aku suka mengkritik. Aku menaruh ekspektasi tinggi buat diriku sendiri karena aku memegang prinsip “selalu ada ruang untuk meningkatkan kualitas diri” dan aku bisa melakukan yang lebih baik. Pelatih basketku juga pernah bilang, kalau aku tidak kerja keras hari ini, maka orang lainlah yang akan mendapat kesempatan.

Tanpa kusadari, pemikiran ini kuterapkan dalam caraku beriman. Aku melihat diriku dan orang lain sebagai sosok yang kurang berharga di mata Tuhan, dan Tuhan menjadi sosok yang susah disenangkan.

Barulah saat aku ikut konferensi Father Heart, cara pandangku berubah dan aku mengerti apa artinya menjadi anak Allah (Yohanes 1:12; 1 Yohanes 3:1). Allah bergirang karena aku (Zefanya 3:17), Dia menyediakan apa yang tak pernah kupikirkan (1 Korintus 2:9). Semuanya diberikan karena karya Kristus di kayu salib.

Kita cenderung mengukur diri kita dengan standar orang lain atau standar kita sendiri yang kita tetapkan lebih tinggi, lalu merasa bersalah ketika kita tidak sanggup mencapainya.

Untuk menjaga hati kita dari jebakan membanding-bandingkan diri yang tiada akhirnya, kita harus ingat bahwa yang paling penting dalam sejarah telah dituntaskan-Nya (Yohanes 19:30, Ibrani 9:12). Kita tidak perlu membuktikan diri berharga melalui kerja keras kita karena Allah telah membuat kita berharga lebih dulu (Roma 8:28-39). Kita dapat bersandar pada pekerjaan-Nya yang telah tuntas dan melayani dalam kasih setia-Nya yang berlimpah.

Artinya, kita dapat berdoa memohon hikmat untuk mengetahui kapan harus bersusah payah dan menuntaskan pekerjaan dan kapan harus membangun batasan serta mempercayakan pada Allah pekerjaan-pekerjaan kita yang belum dapat kita selesaikan. Dalam kedua situasi itu, kita mengakui Yesus adalah Tuan (Kolose 3:23) sehingga apa pun yang kita lakukan bukanlah supaya kita diterima atau menyenangkan orang lain, tapi sebagai persembahan bagi Tuan yang kita layani.

Teruntuk saudara dan saudariku, kalau kamu hari ini ingin beristirahat tapi dilanda rasa bersalah, kuingatkan kamu akan janji dari Yesaya 26:3, “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya”.Fokuskan pikiranmu pada Tuhan hari ini, percaya sepenuhnya, supaya kamu mengalami damai dan momen istirahat yang sejati ketika kamu tahu bahwa Dia sungguh peduli.

Mengatasi Burnout di Tempat Kerja

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Aku kembali melihat arloji di lengan kiriku, untuk kesekian kalinya dalam 30 menit. Aku tidak sabar menunggu jarumnya menunjuk angka 4 pertanda waktu mengajarku selesai. Memasuki tahun terakhir di kampus, sembari mengerjakan skripsi aku menerima tawaran mengajar persiapan Ujian Nasional bagi anak SMA di salah satu daerah di Sumatera Utara. Walau sudah beberapa kali punya kesempatan untuk menjadi pendidik, rasa jenuh dan keinginan untuk segera selesai mengajar tidak selalu berhasil kuhindari.

Bekerja dan berhadapan dengan anak didik sebagai manusia dengan kehendak bebas yang kaya dengan berbagai respons atau pun tingkah laku di setiap harinya tidak menjadi jaminan bagi seorang pendidik untuk tidak mengalami kejenuhan bekerja atau dikenal dengan istilah burnout. WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola dengan baik. Sindrom tersebut ditandai dengan tiga hal: pertama, merasa kehilangan energi atau kelelahan; kedua, meningkatnya keinginan untuk mengasingkan diri dari pekerjaan, atau adanya perasaan negatif atau sinisme terhadap pekerjaan; dan yang ketiga berkurangnya efikasi profesional.

Secara umum burnout menggambarakan kondisi di mana seseorang merasa lelah dan jenuh dengan pekerjaannya. Dari 1 Raja-raja 19:1-18, kita bisa membaca kisah tentang nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun. Elia menghindari pengejaran ratu Izebel yang mengancam ingin membunuhnya. “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku”, katanya ingin mati (ayat 4). Merasa gagal dengan yang dikerjakan, ketakutan akan keselamatan diri dan kelelahan fisik setelah berjalan seharian penuh menggiring rasa ingin mati pada Elia.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada kita. Sebagai pendidik tidak jarang aku merasa kurang maksimal ketika aku melihat anak didikku kesulitan mengerti materi yang kami bahas, terkadang aku khawatir tentang pertumbuhan karakter mereka dengan semua pengaruh teknologi yang mereka gunakan dan seringkali hal itu membuatku mempertimbangkan untuk meninggalkan profesi yang idealnya memanusiakan manusia tersebut.

Apa pun pekerjaan yang sedang kita tekuni, bukan tidak mungkin kita mengalami kejenuhan. Kendati WHO menyarankan agar perusahaan/tempat bekerja untuk menfasilitasi pencegahan atau pun penyembuhan burnout pada pekerja, secara pribadi kita juga bisa menerapkan beberapa hal berikut untuk membantu menghindari ataupun mengatasi burnout :

  1. Memiliki motivasi kerja yang benar (Kolose 3:23)
  2. Mengerjakan segala sesuatu untuk Tuhan mungkin terdengar klise karena setiap pekerjaan tentu mempunyai target yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Jurnalis yang mesti memenuhi jumlah berita minimal yang diterbitkan, manager pemasaran yang harus mencapai target penjualan, supir angkot yang perlu kejar setoran serta pekerjaan lain dengan target-target yang wajib diselesaikan.

    Keberhasilan memenuhi target kerja tentu berpengaruh baik pada karier dan kesejahteraan kita, namun acap kali motivasi pengejaran tersebut berubah menjadi ambisi berlebihan berujung serakah. Gaji yang besar, kenaikan pangkat, pujian dari atasan memang perlu bagi kita namun tidak selalu menjadi kebutuhan kita yang utama, kelegaan dan sukacita ketika bekerja tentu menjadi award yang tidak terukur.

  3. Memiliki perencanaan yang dikerjakan (Amsal 21:5)
  4. Mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam (SKS), menyelesaikan laporan bulanan sampai subuh, menonton drama dari pagi hingga pagi adalah contoh kegiatan yang mungkin pernah kita kerjakan. Selain berbahaya bagi kesehatan tubuh dan performa dalam bekerja, hal tersebut bisa jadi alarm untuk manajemen waktu yang kita punya. Demikian halnya dalam bekerja, kita mungkin kerap menunda-nunda pengerjaanya atau sebaliknya kita sangat bersemangat hingga ingin segera menyelesaikannya.

    Dengan pertimbangan, kita bisa menyusun perencanaan tentang mana pekerjaan yang harus diselesaikan dulu, memutuskan kapan waktu untuk microbreak atau rehat kilat dengan bermain gim atau mendengarkan musik, mengatur jadwal makan yang teratur serta aktivitas lainnya yang kita kerjakan di tempat kerja (Amsal 15:22). Tentang hal ini, Tuhan Yesus juga mengingatkan orang yang mengikut Dia dalam perjalanan-Nya tentang pentingnya perencanaan sebelum mengerjakan sesuatu. Dia menggunakan ilustrasi tentang seseorang yang akan melihat ketersediaan anggarannya sebelum mendirikan menara serta tentang seorang raja yang akan mengatur strategi sebelum berperang (Lukas 14:28-31).

  5. Menjalin relasi yang baik (Ibrani 10:22-25)
  6. Abai dalam menjalin relasi kepada Tuhan dan kepada sesama dengan berbagai alasan sering menggiring kita untuk selalu asyik sendiri seakan punya dunia sendiri. Baik kepada Tuhan maupun terhadap sesama, relasi dibangun lewat komunikasi. Kita menemukan kekuatan di saat lemah dan semangat ketika kita merasa tidak berdaya untuk melanjutkan pekerjaan kita lewat relasi dengan Tuhan (Yesaya 40:29). Sama halnya dengan relasi dengan mereka yang kita temui hampir setiap hari di jam kerja. Sapaan di pagi hari, lelucon receh dari rekan kerja, pujian dan kerjasama yang baik dengan teman-teman di kantor sampai saling menolong dan berbagi suka-duka dengan mereka dapat menjadi sumber sukacita di tempat kerja.

    Datang menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh dan saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih di tempat bekerja merupakan bentuk relasi yang bisa membantu kita mengatasi burnout yang sedang kita alami.

Menjadi rekan sekerja Allah melalui pekerjaan kita tentu tidak menjamin kita terbebas dari belenggu kejenuhan (burnout). Selain mencoba ketiga hal diatas, dengan akal budi yang dianugerahkan Allah kepada kita, kiranya kita juga terus berusaha mengatasi kejenuhan (burnout) yang kita alami serta senantiasa mengimani bahwa Allah tetap menyertai kita untuk melaluinya (Yesaya 41:10).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kemarin Aku Gagal, Hari Ini Aku Memilih Mengucap Syukur

Meski di awal usahaku meniti karier pil terasa getir, tapi aku mau tetap membuka hatiku untuk mengecap kebaikan-Nya. Aku mau tetap mengucap syukur.

5 cara untuk membangkitkan semangat saat kamu merasa lelah

Tanggung jawab yang dirasa terlalu besar dan ketiadaan rekan yang menolong bisa membuat jiwa dan raga menjadi lelah dan semangat kita meredup. Ketika kamu mengalami hal itu, tak perlu buru-buru menyalahkan diri dan jatuh dalam keputusasaan. Alkitab mencatat bahwa dahulu pernah ada seorang nabi yang juga mengalami kelelahan dan putus asa. Namun, kisahnya tidak berakhir hanya sampai di sana, Tuhan tetap menyertainya dan memberinya kekuatan.

Jika kamu sedang merasa terpuruk, kiranya postingan ini boleh menguatkanmu. Mention juga teman-temanmu dan ajaklah mereka untuk bersama-sama saling mendukung dalam doa.

Bosan Tidak Selalu Jadi Pertanda untuk Berhenti

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

“If you are tired, learn to rest, not quit.”

Pesan di atas kuterima di bulan keenam tahun 2018 dari seorang teman dekat yang mengetahui keputusanku untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi pelayanan intern-kampus. Jenuh merupakan faktor utama yang mendorongku untuk memutuskan mundur dari koordinasi yang seharusnya kuselesaikan hingga bulan Desember di tahun yang sama.

Sebagai pengurus, aku dan kesembilan teman dalam koordinasi biasanya memiliki jadwal yang padat. Selain karena kami juga masih menjalani rutinitas kuliah, kegiatan di organisasi dengan visi pelayanan “murid yang memuridkan kembali” tersebut juga terbilang cukup padat. Kegiatan dalam Kelompok Kecil yang merupakan ujung tombak dari pelayanan tak boleh luput dari pantauan kami sebagai motor organisasi di tahun itu. Begitu juga dengan kegiatan lain seperti persiapan ibadah yang biasanya dilakukan 2 kali sebulan, jam doa puasa, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan anggota organisasi yang masih mahasiswa hingga harus menjalin komunikasi dengan keseluruhan anggota baik alumni maupun mahasiswa melalui sharing ataupun via daring serta mengadakan pertemuan untuk regenerasi kepengurusan di tahun mendatang.

Hampir setiap malam kami harus bertemu di rumah sekretariat, terkadang kami juga harus sampai begadang karena susah mencocokkan jadwal kosong di siang atau sore hari. Aktivitas yang di awal membuatku bersemangat perlahan berubah menjadi rutinitas yang berlalu tak berbekas ataupun bermakna. Di bulan keenam, kuberanikan diri bercerita dengan seorang teman yang juga pernah mengerjakan kepengurusan. Walau berbeda kampus namun aku percaya dia bisa jadi tempat berbagi.

“Mengapa kemarin mau menerima pelayanan itu?” Pertanyaan pertama darinya membuatku mengingat kembali momen ketika PKK-ku (Pemimpin Kelompok Kecil) secara khusus mengajakku membahas firman Tuhan dari Lukas 19:28-40 tentang bagaimana Yesus dielu-elukan di Yerusalem.

Di sana diceritakan bagaimana Yesus meminta murid-murid-Nya membawa keledai untuk-Nya yang akan ditunggangi-Nya menuju Yerusalem. Saat Yesus akan menaiki keledai, orang-orang menghamparkan pakaiannya dan membantu Yesus menaiki keledai itu.

“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang Maha Tinggi”, kata semua murid yang mengiring Dia. Karena hal itu, orang Farisi menegur Yesus, “Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu”. Jawab Yesus, “Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak” (Ayat 40).

“Jangan mengeraskan hati dek, jika Tuhan mau, batu pun bisa dipakai-Nya untuk melayani Dia”, begitu kakak di kelompok kecil mengingatkanku di akhir pertemuan itu.

“Ahk, aku capek. Bosan! Daripada kukerjakan tapi tidak dari hati” belaku dengan berbagai alasan pembenaran atas keputusanku. Merasa lelah karena terlalu sering dipekerjakan merupakan salah satu penyebab kejenuhan. Walau tak selalu benar, kejenuhan bisa menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengerjakan hal itu lagi.

“If you tired, learn to rest, not quit”, kutipan di awal tulisan ini mengingatkanku untuk menyediakan waktu beristirahat alih-alih mundur dan mengingkari komitmen yang sudah diambil. Di dalam pelayanan-Nya, Yesus juga pernah mengajak murid-murid-Nya untuk beristirahat ketika mereka harus memberi makan lima ribu orang yang mengikuti mereka (Markus 6:31). Tentu beristirahat dan berhenti adalah dua hal yang berbeda. Secara perlahan dengan pertolongan-Nya, aku mengingat kembali kenapa aku mau menerima tanggung jawab itu. Dengan menyediakan waktu untuk beristirahat, itu berhasil membantuku memulihkan keadaanku saat itu.

Jenuh, jemu, bosan menggambarkan situasi emosional di mana kita sudah tidak suka dengan si objek yang bisa jadi dalam bentuk keadaan, pekerjaaan, lingkungan bahkan hubungan dengan seseorang. Ayah yang sudah bosan bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama; ibu yang jenuh dengan urusan dapur dan kegiatan beres-beres yang dilakukan setiap hari; anak yang jemu duduk berjam-jam di kelas ditambah dengan tugas sekolah; atau mungkin sepasang kekasih yang mulai bosan dengan dering telpon yang dipisahkan jarak; bahkan kita anak-anak Tuhan yang mungkin merasa jenuh menjalin persekutuan dengan-Nya.

Memasuki bulan keempat setelah aturan-aturan untuk menanggulangi pandemi virus corona digalakkan, beradaptasi untuk menghilangkan kejenuhan bukanlah perkara yang mudah. Berhenti beraktivitas dari rumah, pergi berkerumun, atau menolak anjuran pemerintah tentu memiliki konsekuensi tersendiri khususnya bagi kesehatan kita. Sebagai individu yang diciptakan berbeda-beda, tips treatment untuk kejenuhan orang yang satu bisa saja tidak mempan untuk yang lainnya. Pilihan untuk menikmati waktu dengan keluarga, mengubah situasi kamar atau rumah agar lebih nyaman untuk belajar dan bekerja dari rumah, hingga mencari kreativitas lain agar tetap waras selama #DiRumahaAja terdengar klise dan tak berpengaruh. Namun sebagai ciptaan-Nya kita perlu mengingat bahwa pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita (Matius 11:28).

Kiranya kita bisa memaknai setiap waktu atau kesempatan dengan bijaksana. Sama seperti Musa, biarlah kita tak bosan meminta kekuatan dari Tuhan untuk menyadari berharganya setiap waktu yang ada (Mazmur 90:12).

Dia akan menolong dan memulihkan semangat kita (Yesaya 40:29).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjebak Membandingkan Diriku dengan Orang Lain

Aku pernah ada dalam kondisi membandingkan diriku dengan orang lain. Dan orang itu adalah teman terdekatku! Aku merasa temanku itu lebih baik dalam banyak hal, terutama pelayanan yang dia kerjakan.

Kejenuhan, Celah Si Jahat Untuk Hambat Produktivitas

Oleh Santina Sipayung, Batam

Berjam-jam duduk di kelas. Berhari-hari mengerjakan tugas. Berbulan-bulan menyelesaikan skripsi. Bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama. Tak dapat dipungkiri, menjalani rutinitas atau mengerjakan sesuatu dalam jangka waktu yang lama seringkali membuat kita merasa jenuh.

Sebenarnya, apa itu kejenuhan?

Kejenuhan adalah sindrom yang ada pada tataran emosi. Area kejenuhan pada mental ialah perasaan kehilangan idealisme, gagal sebagai pribadi, dan menyebabkan kesulitan berkonsentrasi. Kejenuhan pada mental dapat ditandai dengan tidak lagi memiliki pengharapan dan cepat menuduh diri sendiri. Bahkan, citra diri di dalam Kristus terkadang dapat terkikis karena kondisi mental yang negatif. Apabila dibiarkan berlarut-larut, kejenuhan bisa menjadi stres yang berkepanjangan dan dapat menyebabkan sakit jiwa.

Kejenuhan yang terjadi pada tataran mental turut berimbas pada area fisik. Kondisi fisik yang menurun karena kejenuhan turut menyebabkan kecenderungan darah tinggi serta serangan otak karena kelelahan. Kelelahan tersebut juga dapat menyebabkan migrain, sakit kepala, dan flu yang tidak kunjung sembuh.

Orang yang mengalami kejenuhan seringkali memiliki kesulitan untuk menyelesaikan aktivitas yang sudah dimulai atau malas melakukan rutinitas yang seharusnya dijalani. Ia jadi cepat bosan, tidak sabar, dan sulit menghargai diri sendiri dan orang lain. Iblis dapat menggunakan celah kejenuhan untuk menurunkan produktivitas dan membuat kita tidak lagi bergairah dalam menjalankan aktivitas rohani maupun pelayanan-pelayanan kita.

Lalu, siapakah orang yang rentan mengalami kejenuhan?

Orang yang rentan mengalami kejenuhan adalah orang-orang yang ambisius, pernah memiliki akar pahit, dan orang yang tidak sanggup berkata “tidak” pada orang lain. Ketiga hal tersebut memberi tekanan pada diri mereka yang berujung pada depresi.

Kejenuhan menjadikan kita kesulitan bertumbuh dan menghalangi peluang kita untuk maju. Oleh karena itu, tentu saja kejenuhan harus diatasi. Berikut adalah langkah konkret yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kejenuhan.

1. Sadari dan akui kejenuhan itu

Langkah pertama untuk mengatasi kejenuhan adalah menyadari perasaan jenuh dan belajar untuk mengakui kejenuhan yang kita rasakan. Seringkali kita berusaha untuk menyangkal kejenuhan dan berusaha untuk terus memforsir diri kita agar dapat menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan dalam rutinitas kita, meski tidak lagi dapat mencapai hasil yang maksimal.

2. Kenali diri dan ketahui kapasitas diri

Setelah menyadari kejenuhan, selanjutnya kita perlu mengenali diri sendiri. Apa saja kondisi yang membuat diri kita jenuh? Kita dapat sejenak berhenti dari aktivitas kita untuk merenung. Jangan lupa juga untuk berdoa dan ceritakan pergumulan kita kepada Tuhan.

Selain itu, kita juga harus mengetahui kapasitas diri kita dan memohon bimbingan Tuhan sebelum memutuskan untuk berkegiatan. Pekerjaan dan aktivitas yang bertumpuk dapat kita bagi menjadi pekerjaan prioritas, mendesak, dapat ditunda, atau pekerjaan yang dapat ditinggalkan. Mengenali kesibukan kita akan membantu kita mengenal Allah yang menganugerahkan setiap aktivitas yang kita miliki. Kita dapat menyerahkan diri dan hidup kita sepenuhnya ke tangan Tuhan karena kita adalah kepunyaan-Nya. Ketika kita membiarkan Allah mengambil alih hidup kita dan melakukan semuanya untuk Tuhan, niscaya kita dapat terlepas dari kejenuhan.

3. Mencari tahu kegiatan untuk keluar dari kejenuhan

Pertanyaan kedua untuk direnungkan adalah, kegiatan apa yang dapat membantu kita untuk mengatasi kejenuhan? Melakukan hobi bisa menjadi solusi untuk mengatasi rasa jenuh. Misalnya, ketika mulai bosan belajar atau mengerjakan tugas selama berjam-jam, selingi dengan bermain musik, berolahraga, menggambar, atau hobi lainnya.

Dalam konteks membaca Alkitab atau bersaat teduh, ada orang yang bisa mengatasi jenuh dengan bersaat teduh dari kitab tertentu (Amsal) selama sebulan, tetapi ada juga yang lebih suka membaca renungan dari kitab yang berbeda-beda setiap harinya. Ada juga yang lebih suka menonton video khotbah dibandingkan membaca buku, atau berselang-seling setiap harinya agar tidak jenuh.

Ketika merasa jenuh, ingatlah bahwa kita tidak pernah sendiri. Tuhan Yesus membuka tangan-Nya lebar-lebar dan menanti kita untuk mencurahkan isi hati kita pada-Nya. Dalam Matius 11:28, Ia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita. Saatnya datang pada-Nya dengan penuh kerendahan hati dan izinkan Tuhan memegang kendali hidup kita. Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Tuhan Membentukku Lewat Pekerjaan yang Tak Sesuai dengan Passionku

Ketika pekerjaanku tidak sesuai passionku, yang terpikir olehku adalah resign. Tapi, Tuhan membuatku bertahan di pekerjaan itu sampai waktu tia tahun lebih! Dan, tak kusangka, pekerjaan ini dipakai-Nya untuk membentukku.

5 Ayat Alkitab yang Menguatkanmu Saat Kamu Merasa “Lelah”

Kehidupan memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kita menghadapi tantangan dan badai hidup yang dapat menggoyahkan iman kita. Tetapi semua itu dapat menjadi sebuah jalan agar kita makin berakar dan bertumbuh di dalam Tuhan. Saat melewati hari-hari yang sulit itu, membaca firman Tuhan dapat menguatkan kita untuk terus berjuang di dalam Dia. Mari terus berharap pada kekuatan dan penghiburan dari-Nya.

4-5 Ayat Alkitab-lelah-01

4-5 Ayat Alkitab-lelah-02

4-5 Ayat Alkitab-lelah-03

4-5 Ayat Alkitab-lelah-04

4-5 Ayat Alkitab-lelah-05

4-5 Ayat Alkitab-lelah-06

Jadilah yang pertama menemukan artikel terbaru dari WarungSaTeKaMu.org. Add akun LINE kami dengan klik di sini atau cari melalui ID @warungsatekamu

Add Friend

Mengapa Hidup Terasa Begitu Melelahkan

Penulis: Yuliani Trifosa

mengapa-hidup-ini-begitu-melelahkan

Belakangan ini aku merasa sangat lelah dengan hidupku. Aku merasa sudah berusaha sekuat tenaga untuk memastikan segala sesuatu berjalan dengan sempurna, tetapi ibarat orang yang berusaha menangkap angin, semua terasa sia-sia. Dalam pekerjaan, ada saja hambatan yang membuat hasil kerjaku terasa tidak memuaskan. Dalam persahabatan, aku masih mengecewakan sahabatku. Dalam keluarga, impianku untuk membahagiakan orangtua kandas karena sebelum bisa mewujudkannya, ayahku sudah dipanggil pulang ke rumah Bapa.

Ketika aku berdoa di tengah kelelahan itu, Tuhan memberiku gambaran tentang sebuah buku yang sudah rusak. Buku itu berusaha kuperbaiki dengan mengelemnya, mengganti sampulnya, namun sia-sia. Aku lalu menyerahkan buku itu kepada sang pembuat buku, minta pertolongannya untuk memperbaiki. Setelah buku itu kuserahkan, aku mendiktenya dengan apa saja yang menurutku harus dikerjakan, mana yang harus dilem, diganti, dan seterusnya. Namun, buku itu tetap saja tidak kembali seperti sediakala. Lelah dan putus asa, akhirnya aku berkata kepada sang pembuat buku: “Lakukan saja apa yang kau anggap baik.”

Gambaran itu menyentak hatiku. Tuhan menyadarkanku bahwa selama ini aku tidak mengandalkan Dia, aku mengandalkan kekuatanku sendiri untuk melakukan segala sesuatu. Mungkin kelihatannya aku berdoa meminta pertolongan Tuhan, namun sesungguhnya aku tidak sedang menyerahkan hidupku seutuhnya kepada Tuhan. Aku hanya memberi laporan saja tentang apa yang hendak aku lakukan. Atau, aku menyerahkan situasi hidupku kepada Tuhan, namun mendikte apa saja yang harus Dia lakukan.

Firman TUHAN mengingatkanku dengan keras: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!” (Yeremia 17:5). Tuhan mengenal kita luar dalam. Dia tahu ketika hati kita “menjauh” dari-Nya, sekalipun dari luar kita mungkin kelihatannya rajin berdoa dan berusaha. Sia-sialah bila kita mengusahakan segala sesuatu tanpa perkenan Tuhan (Mazmur 127:1-2).

Aku sadar bahwa aku harus belajar untuk lebih mempercayai Tuhan. Kelelahanku bersumber dari hati yang berpusat pada diri sendiri. Aku berfokus pada apa yang kuinginkan dan berpikir bahwa aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku. Padahal, pikiranku jelas terbatas. Sementara, Tuhan adalah Pencipta segenap semesta ini, Pemilik hidup kita. Jelas Dia tahu betul apa yang harus Dia lakukan. Dari sudut pandang manusia yang terbatas, mungkin kita mengira Dia sedang berpangku tangan saat apa yang telah kita usahakan dengan segenap hati tampaknya tidak membuahkan hasil apa-apa. Namun, sebenarnya Dia sedang dan senantiasa bekerja, dengan cara yang melampaui akal kita. Ketika hati kita melekat kepada Tuhan, mempercayai-Nya sebagai Penguasa segala sesuatu dan sebagai Bapa yang punya rancangan damai sejahtera bagi anak-anak-Nya (Yeremia 29:11), kita akan selalu memiliki semangat dan kekuatan untuk melakukan yang terbaik, sekalipun situasi tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan kita.

Aku Memerlukan-Mu

Oleh: Dewi Simanungkalit

busy-days

Menjelajah waktu yang terus melaju
Terlalu sibuk, aku memekik jerih
Namun langkahku terus maju
Seolah tak bisa berhenti

Lelah, letih, penat
Semuanya beradu
Dalam relung hati ini
Tak ada yang mengerti

Tatkala sang ratu malam menghias jagat raya
Butiran itu jatuh
Aku, dengan sudut ruang itu

Tuhan …
Aku memerlukan-Mu …

Asyik kucari semua yang kusenangi
Melarutkan diri di dalamnya,
Hingga terbuang waktu yang tak terulang
Dan Engkau pun hilang dari pandangan

Ini tanganku, jangan lepaskan
Aku tak bisa hidup tanpa-Mu, Tuhan
Ini hidupku, jangan tinggalkan
Jadikanku seturut kehendak-Mu

Tatkala nyata waktu-Mu saja yang terbaik
Butiran itu jatuh
Aku, dengan sudut ruang itu

Tuhan …
Aku memerlukan-Mu …

 
 
Ya Allah, Engkaulah Allahku, Aku mencari Engkau;
jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu,
seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair
” (Mazmur 63:1-2)