Posts

Tuhan, Mengapa Engkau Mengirimku Ke Padang Gurun?

Oleh Marcella Leticia Salim, Bekasi

Bekasi, Juli 2015

Pengumuman SBMPTN dan Ujian Mandiri diumumkan. Hampir rata-rata teman-temanku diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diinginkan. Saat itu hanya aku sendiri yang tidak diterima di PTN. Sangat sedih mengucapkan selamat tinggal kepada impian dan jurusan yang diinginkan saat itu.

Akhirnya dengan berat hati harus melanjutkan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan dengan jurusan yang tidak diinginkan pula. Aku tidak peduli akan kuliah walaupun seharusnya aku bersyukur masih bisa berkuliah.

“Tuhan, kenapa aku harus ke tempat ini?”

Sepertinya Tuhan hanya diam dan tidak mendengar umat-Nya ini. Ia seolah membiarkan apa yang terjadi kepadaku. Aku gagal di beberapa mata kuliah karena tidak bisa menguasainya. Sebagai orang yang memiliki kekurangan di bidang eksak namun “terpaksa” berkuliah di bidang eksak rasanya aku ini seperti “cari mati”. Perkuliahan yang kujalani rasanya seperti perjalanan di padang gurun. Melelahkan.

Keluhan demi keluhan kulontarkan kepada Tuhan. Mulai dari melihat teman yang melakukan kecurangan setiap ujian, teman kuliah yang menjatuhkan bahkan menjerumuskan, gagal di banyak mata kuliah hingga sampai di titik di mana aku ingin berhenti kuliah dan menyerah saja.

Hingga suatu hari, aku mencapai titik terendah selama berkuliah. Tepat saat itu, ada seorang teman mengajak ke acara conference oleh sebuah gereja di dekat kampus. Saat acara conference itu, ada satu ayat yang menyadarkanku bahwa saat kita berada di tempat yang tidak kita inginkan dan kita tidak mampu berbuat apa-apa, hanya Tuhan yang bisa kita andalkan.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. – 2 Korintus 12:9

Tuhan bisa saja memberikan jurusan dan perguruan tinggi yang aku inginkan saat itu, namun belum tentu menjamin bahwa apakah aku menjadi orang yang kuat dan lebih dewasa untuk diproses oleh-Nya. Tuhan bisa saja memberikan kemudahan, namun apakah itu menjadi jaminan bahwa aku akan semakin percaya dan mengandalkan Ia di saat susah maupun senang?

Penderitaan dan Proses-Nya

Waktu terus berjalan tanpa memberikan isyarat untuk berhenti. Sama seperti roda yang terus berputar kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Sakit, perih, dan berat. Perasaan itu awalnya sering kurasakan, aku pun menangis. Namun, lama-kelamaan aku menjadi kebal menghadapi apa yang di depan mataku: perkuliahan yang sebenarnya bukanlah dambaanku.

Melalui penderitaan, Tuhan mengujiku agar aku menjadi seorang pribadi yang lebih kuat dan mengandalkan-Nya di segala situasi. Sebagai orang yang cenderung terbiasa menggunakan rasio (logika) daripada perasaan, itu adalah hal yang sulit untuk berpasrah dan untuk percaya saja tanpa alasan. Namun, hal itu membuatku berproses untuk menjadi pribadi yang senantiasa mengandalkan Dia di setiap waktu.

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1 Korintus 10:13).

Dalam menjalankan perkuliahanku, aku disadarkan oleh Tuhan bahwa kuliahku sebenarnya bisa aku lalui, walaupun rumit. Namun, aku selalu lupa untuk berpegang teguh dan percaya kepada Tuhan. Aku disadarkan betul bahwa aku selalu mengandalkan kekuatanku sendiri bukan mengandalkan Dia. Melalui ketidakberdayaanku dan di kondisi serba mentok, aku mengubah doaku dari yang awalnya ingin cepat-cepat selesai saja dari perkuliahan menjadi supaya aku dimampukan menjalani setiap situasi selama aku berkuliah. Selain itu, aku belajar untuk memiliki pola pikir bahwa segala sesuatu itu tidak ada yang mustahil selama kita bersama Tuhan dengan cara kita semakin intim dengan Tuhan.

Aku percaya bahwa ketika kita ditempatkan di jurusan yang kita tidak bisa atau tidak suka bukan berarti itu adalah akhir dari hidup kita. Tuhan sudah merencanakan semuanya itu dan kita ditempatkan di sana untuk berkarya dan memuliakan nama-Nya seperti di yang Paulus tuliskan dalam Kolose 3:23, “Pekerjaan apa saja yang diberikan kepadamu, hendaklah kalian mengerjakannya dengan sepenuh hati, seolah-olah Tuhanlah yang kalian layani, dan bukan hanya manusia” (versi BIMK).

Pada akhirnya juga, semua yang kita kerjakan adalah bentuk pelayanan kita di dunia untuk memuliakan nama Tuhan termasuk berkuliah. Memang kuliahnya bukan di jurusan yang kita tidak inginkan dan kita sukai tapi tetap jalankan itu, seperti kata salah seorang teman saya “semua orang berhak memiliki pendidikan yang layak, namun tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan itu”

Pada akhirnya, syukur kuucapkan

Sepanjang masa-masa kuliahku, Tuhan tak hanya menunjukkan kuasa-Nya. Dia juga menunjukkan kesetiaan-Nya bagiku dan tak pernah meninggalkanku. Ketika kita menjadi pengikut Kristus, itu bukan berarti hidup kita akan terbebas dari penderitaan dan pencobaan. Kedua hal itu dapat dipakai Tuhan untuk membentuk kita, seperti seorang penjunan yang membentuk bejana. Tuhan tak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita. Dia tahu sampai mana batas kekuatan kita. Kasih setia-Nyalah yang memampukan kita melewati penderitaan dan membuat kita menjadi seorang yang lebih baik.

Sekarang sudah 5 tahun berlalu, sangat bersyukur kuucapkan kepada Tuhan atas proses yang Dia berikan kepadaku, untuk dilalui saat itu. Mengalami gagal, sedih, penderitaan adalah hal yang wajar sebagai manusia namun Tuhan menjadikan hal itu menjadi sesuatu yang menguatkanku untuk tetap hidup di saat seperti ini. Oleh kegagalan inilah aku belajar untuk menghargai proses dan senantiasa mengandalkan Dia.

Kegagalan bukan berarti hidup kita berakhir di titik itu saja, kita masih hidup sampai saat ini dan kehidupan akan terus berjalan. Menangis, kesal, merasa tidak berdaya adalah reaksi yang wajar bila kita mengalami kegagalan, namun jangan sampai kita terus-terusan dihantui perasaan itu. Percayalah ini semua adalah atas izin Tuhan, kita sebagai ciptaan-Nya tetap percaya saja pada-Nya karena Dialah Sang Sumber Pemelihara Kehidupan dan masa depan sudah disiapkan oleh-Nya.

Baca Juga:

Menang Mengatasi Kesepian

Aku butuh ditolong, tapi aku takut meminta tolong. Aku sangat kesepian, karena merasa orang-orang lain tak mampu mengertiku. Tetapi, kasih karunia Tuhan sungguh berlimpah.

Mematahkan Mitos ‘Dosen Killer’ Ala Mahasiswa

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Kami menerima surat penetapan dosen yang menjadi pembimbing skripsi kami di bulan Maret dua tahun lalu. Membaca dua nama yang tertera, semangatku yang telah terkumpul menciut begitu saja. Isu yang beredar dari mahasiswa-mahasiswa lain, dua dosen pembimbing ini sulit ditemui, mereka pun ‘perfeksionis’. Kesulitan-kesulitan itu menjadi momok tersendiri bagiku.

Ketakutanku akan sulitnya bimbingan dengan kedua dosen itu kujadikan alasan untuk menunda pengerjaan skripsiku. Aku berharap keajaiban agar ada pergantian dosen. Padahal, aku tahu kalau penggantian dosen pembimbing hanya bisa terjadi untuk alasan urgen seperti musibah atau kematian. Penggalan firman Tuhan yang kuingat dari Matius 7:7-8 dan 21:22 tentang bagaimana Allah akan memberikan hal-hal yang kuminta membuatku menjadikan doa seperti jurus ‘Sim Salabim’. Tuhan kujadikan layaknya ‘kantong doraemon’ yang harus menyediakan setiap hal yang kumau. Dengan persepsi yang salah, beragam alasan juga kuajukan pada-Nya seolah aku berhak komplain dengan rencana-Nya.

Aku seperti menyerah sebelum berperang. Ketakutan menghadapi dosen pembimbing dengan label ‘killer’ tidak kualami sendiri. Ada teman seangkatan lain yang sampai mengajukan pergantian dosen ke jurusan. Ada pula yang jadi lama wisuda dan stuck di revisi. Meski memang bukan satu-satunya faktor penentu kelulusan, dosen pembimbing skripsi juga berperan dalam proses mengakhiri masa studi mahasiswa. Dosen killer dianggap sulit untuk ditemui bimbingan, penliaiannya berstandar tinggi, dan kritik sana-sini. Maka tak ayal, menghindari dosen tipe ini dianggap pilihan yang tepat.

Sebulan pun berlalu. Dosen pembimbing pertamaku meminta kami menemuinya, itu pun karena ada temanku yang berinisiatif menghubunginya duluan. Walau dengan mental tempe, kuberanikan diri mengajukan garis besar penelitianku di bimbingan pertamaku. Di luar dugaanku, dia memberi banyak masukan agar di dua minggu berikutnya judulku bisa di-acc. Anak bimbingan dosen itu hanya diberi kesempatan revisi sekali dua minggu. Pertimbangannya, dengan durasi 14 hari, perbaikan akan lebih maksimal. Kesempatan bimbingan yang terbatas juga harus dimanfaatkan agar mahasiswa tidak asal-asalan menyerahkan revisi.

Kesan pertamaku malah berbanding terbalik dengan cerita yang kudengar. Asumsi ‘killer’ yang penuh kritik tidak masuk akal ternyata tidak sepenuhnya benar. Seolah menjadi amunisi untuk semangat yang sempat menipis, aku pun menemui dosen pembimbing keduaku. Aku menceritakan ide penelitian yang akan kukerjakan. Walau sedikit berbeda dalam beberapa hal, beliau yang sudah professor sekaligus guru besar itu tidak sepenuhnya keberatan. Dengan berbagai saran perbaikan di beberapa pertemuan, judul yang kuajukan disetujui.

Meski usaha tidak selalu berbuah manis, secara perlahan aku menemukan sudut pandang baru di pengerjaan tugas akhirku. Beragam stigma negatif yang terbangun karena mendengar opini lain terkikis secara perlahan. Selain karena memang tidak ada pilihan lain, sebisa mungkin aku memenuhi corat-coret perbaikan dari keduanya. Prinsipnya, mengabaikan saran perbaikan sama saja memperpanjang masa studiku. Tentu menjadi mahasiswa abadi atau ‘dropout’ karena tugas akhir tidak diinginkan siapa pun. Namun, dengan beberapa kondisi, ada teman-teman yang harus mengalaminya.

Dengan bantuan dari mereka yang kutemui di sepanjang proses, aku belajar bahwa benar Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya (Ibrani 13:5b). Ia memakai siapa saja sesuai kehendak-Nya (Yohanes 15:16) dalam setiap kondisi (Roma 8:28). Meski terkesan sepele, namun aku merasa tertolong dengan adanya adik-adik tingkat maupun petugas kebersihan yang biasanya kutanyai tentang keberadaan dua dosenku di kampus. “Pak, ada lihat bapak ini?”, “Dek, kamu ada kelas sama Prof hari ini?”. Dua pertanyaan pamungkas untuk menjawab ketidakpastian bimbingan. Terkadang dosen itu seperti PHP (Pemberi Harapan Palsu). Meski sudah ada jadwal, janji bimbingan tidak serta-merta berjalan mulus, biasanya terjadi jika ada rapat atau agenda lain yang lebih penting.

Bertemu dengan teman seperjuangan yang seangkatan atau orang baru dengan dosen yang sama juga sangat kusyukuri. Mereka menjadi teman melewati suka-duka perjalanan skripsweet. Sharing saran perbaikan, informasi jurnal, judul buku hingga menjadi momen saling menghibur. Kadang, karena ide sudah mandek atau sembari menunggu, kami sering usil dengan guyonan lama wisuda. Tidak hanya menghibur saat bisa menertawakan kondisi, gurauan atas nama solidaritas itu ternyata bisa jadi pelecut semangat.

Pengerjaan terus berlanjut. Revisi demi revisi kukerjakan seiring dengan semangat yang kadang on dan off tidak menentu. Sepanjang proses, ada saja lega yang bisa disyukuri atau kesal berujung tangis. Hingga dinyatakan lulus memperoleh gelar sarjana, pandangan dosen ‘killer’ untuk kedua dosenku ternyata tidak sepenuhnya benar. Anggapan itu tentu kusimpulkan dari pengalamanku. Kesulitan atau situasi yang dialami teman-teman bisa saja berbeda. Untuk itu, kita perlu berhati-hati merespon stigma yang ada.

Apalagi dengan kemudahan yang diberikan kemajuan teknologi. Dampaknya dalam berbagai sendi kehidupan tidak bisa diingkari. Tidak hanya bersifat membangun, efeknya juga ada yang negatif. Salah satunya mengenai tirani opini mayoritas. Tidak hanya di dunia nyata, kini melalui media sosial pandangan yang disampaikan secara daring pun mempengaruhi keputusan seseorang. Pandangan netizen melalui like, views dan comment seakan menjadi penentu dalam berkarya. Tanpa kita sadari, kita sering bertindak dengan memperhatikan atau bahkan mengikuti pendapat orang lain. Dari urusan menentukan sekolah, jurusan, tempat kuliah, memilih pacar hingga memutuskan jalur berkarir.

Pandangan yang beredar di masyarakat tentu ada yang bersifat positif, bisa dijadikan pedoman sebelum mengambil keputusan. Di sisi lain, kita juga harus menyadari ada stigma yang perlu diperbaiki. Sebagai manusia, tentu kita tidak bisa membatasi opini orang lain. Pendapat mereka tidak ada dalam kendali kita. Alih-alih nekat dengan dalih ingin mematahkan ‘mitos’, kita juga perlu mendengarkan pandangan itu sebagai nasihat agar bijak mengambil keputusan (Amsal 12: 15).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kita Tak Bisa Memilih untuk Lahir di Keluarga Mana, Tapi Kita Bisa Memilih Berjalan Bersama-Nya

Tuhan mengirimku untuk lahir di dunia ini, di keluarga yang dirundung konflik. Mungkin sekarang aku belum tahu apa maksud Tuhan dari semua ini, namun sekelumit kesan di hari ulang tahun ini mengingatkanku bahwa dalam perjalanan hidupku, aku disertai-Nya.

Kemenangan Melintasi Jalur Sunyi

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Perbedaan bukan hal yang baru di kehidupan kita. Kita sering menyaksikan harmoni keindahan dari perbedaan. Dalam beberapa hal, pandangan atas pilihan berbeda yang kita buat sering disalahartikan. Kita dianggap aneh, melawan arus. Karena tidak seperti pilihan orang-orang pada umumnya, kita harus melintasi jalur sunyi. Dianggap sok suci, ketika tidak memberi contekan. Direndahkan tatkala gagal seleksi sekolah favorit atau kampus bergengsi. Dinilai salah, saat pacaran beda suku.

Selepas dari SMP, aku memutuskan melanjutkan studi di sekolah kejuruan. Berkas pendaftaran kuantar, setelah orang tuaku tidak menyetujui pilihanku. Sebelumnya aku di terima di SMA, salah satu yang bergengsi dan direkomendasikan oleh sekolahku. Namun, hasil tes yang kuikuti rupanya gagal membawaku masuk ke kelas yang biaya pendidikannya disubsidi. Jika bersekolah di sana, orang tuaku harus membayar keperluan sekolah secara mandiri tanpa potongan. Melihat rincian biaya yang akan dikeluarkan setiap bulan, bapak dan ibu menolak pilihanku. Padahal, menurutku sekolah favorit itu bisa menjembatani kesuksesanku.

“Emas akan tetap jadi emas sekalipun di kubangan lumpur. Sekolah di mana pun, kalau kamu sunguh-sungguh akan tetap berhasil”. Pernyataan ini kuterima, tiap kali aku berusaha memaksakan kehendakku. Motto pendidikan kejuruan berhasil memikatku. Iming-iming lulusan terampil yang siap kerja menjadi satu-satunya alasanku yang masuk akal ketika mendaftar ke SMK. Selebihnya hanya karena kesal, tidak jadi bersekolah di SMA favorit.

Tahun pertama bersekolah sulit kujalani. Bukan hanya karena tidak dari hati, suasana belajarnya juga berbeda dari bayanganku. Pembelajarannya kebanyakan praktik. Memoriku masih merekam jelas momen saat kami harus menjual produk perusahaan yang bekerja sama dengan sekolahku. Tidak mudah bagiku memenuhi tugas untuk nilai kewirausahaan itu.

Aku juga minder ketika bertemu teman SMP-ku. “Kenapa ke SMK?”, Pertanyaan yang sering diajukan temanku sembari mengernyit. Label bandel dan stigma siswa SMK yang tidak sebagus SMA membuat mereka menyayangkan pilihanku. Pandangan yang sama juga beredar secara publik. “Nanti langsung kerja ke Batam saja ya”, “Jadi TKI saja, anak SMK biasanya langsung diterima”. Pernyataan yang menunjukkan pandangan mereka tentang terbatasnya kesempatan berkuliah bagi anak SMK. Berita tentang anak SMK yang tawuran sampai merusak fasilitas umum juga seolah mempertegas stigma negatif yang sudah ada entah dari kapan.

Walau tidak bisa dipukul rata untuk semua siswa SMK, penilaian yang tidak menyenangkan itu sempat membuatku pesimis. Ibarat pelari di luar lintasan, aku merasa salah jalan karena mengambil pilihan yang berbeda.

Perbedaan target sekolah kejuruan dan sekolah menengah lainnya membuat proses belajar di SMK tidak seserius di SMA, apalagi untuk urusan teori. Menciptakan lulusan yang siap kerja membuat kegiatan belajar kebanyakan bersifat praktik. Mau tidak mau, kondisi itu mempersempit kesempatan anak SMK untuk bersaing secara akademis apalagi untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Pendalaman materinya jauh berbeda. Pilihan program studi di kampus juga tidak terbuka untuk semua kejuruan yang ada di SMK.

Mirip dengan Abraham dan Sara di Kejadian 17-18. Abraham yang sudah tua dan Sara yang juga sudah menopause, menertawakan Tuhan ketika Ia menjanjikan anak laki-laki bagi mereka. Tepat seperti yang difirmankan-Nya, di masa tuanya Sara melahirkan anak laki-laki bagi Abraham (Kejadian 21:2).

Demikian halnya dengan masa putih abu-abu yang sudah kulewati. Tuhan terus mengikis rasa minder yang pernah kumiliki. Ia juga memakai beberapa temanku untuk mengikuti lomba, bersaing dengan perwakilan dari beberapa sekolah yang dianggap favorit. Di antara para alumni, kami juga ada yang berhasil menjadi sarjana. Banyak juga dari mereka yang terus menjaga nama baik sekolah di dunia kerja ataupun dalam bermasyarakat. Akhir-akhir ini juga, secara nasional banyak karya anak SMK yang bisa dipakai untuk keperluan bangsa ini. Sebagai salah satu alumni SMK, aku berharap semoga semakin banyak karya dari teman-teman yang memutuskan sekolah kejuruan. Mengikis stigma-stigma negatif yang ada di masyarakat.

Bersekolah di SMK atau di SMA bahkan tidak bersekolah pun, Tuhan memiliki tujuan tersendiri bagi setiap ciptaan-Nya. Kita bisa mengetahui hal itu dari riwayat penciptaan Allah dari hari pertama hingga hari keenam (Kejadian 1). Allah melihat semua pekerjaan tangan-Nya itu baik dan menceritakan kemuliaan-Nya (Mazmur 19: 1-15).

Memasuki bulan ketujuh di tahun ini, teman-teman mungkin sedang berhadapan dengan pilihan yang sarat dengan label atau cap tertentu. Menyambut tahun ajaran baru yang artinya harus menentukan sekolah atau kampus tujuan. Atau teman-teman sedang berjalan melintasi jalan sunyi dan berjuang mematahkan ‘mitos’ tertentu. Terbentur dengan kalimat-kalimat yang menurunkan semangat seperti: ‘kuliah itu harus di negeri’, ‘anak kota mah manja, mana sanggup mandiri jauh dari orang tua’ ‘susah cari kerja di masa pandemi, apalagi untuk fresh graduate’.

Walau tidak mudah, semoga Allah sumber pengharapan memenuhi sukacita kita melintasi jalan sunyi (Roma 15:13). Menuju kemenangan atas pilihan-pilihan sesuai ketetapan-Nya yang kadang berlawanan dengan pandangan banyak orang. Keputusan terbentur kebiasaan umum yang direncanakan-Nya untuk mendatangkan kebaikan. (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Pernikahan kami baru seumur jagung ketika Tuhan memanggil dia yang kukasihi ke pangkuan-Nya. Namun, dari kisah yang terasa getir ini, aku merasakan manisnya kasih setia Tuhan.

Kehendak-Nya Tidak Selalu Tentang Mauku

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Doakan aku ya biar wisuda tahun ini,” begitu isi chat dari teman seangkatanku di kampus beberapa hari yang lalu. Dia adalah satu dari beberapa temanku yang belum berhasil menyelesaikan perkuliahannya walau tahun 2020 ini merupakan tahun keenam bagi angkatan kami. Selain karena ingin segera menjadi alumni, tekanan pertanyaan dari orang tua, beban keuangan karena harus membayar uang kuliah, jenuh dengan urusan revisi, malu dengan teman-teman seangkatan bahkan adik tingkat yang sudah selesai merupakan ha-hal lain yang juga ikut mendesaknya untuk menyelesaikan kuliah.

Menyelesaikan tugas akhir merupakan salah satu hal yang sering terasa sulit bagi mahasiswa tingkat akhir. Terbatasnya dana yang dimiliki untuk melakukan penelitian, bermasalah dengan hasil penelitian, kehabisan ide untuk judul penelitian, kesulitan memperbaiki revisi adalah beberapa contoh kesusahan yang dialami. Maka tidak heran jika ada mahasiswa yang putus asa dan tidak menyelesaikannya hingga drop out dari kampus atau bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya pada masa penyusunan tugas akhir.

Sebagian kita mungkin berpikir mereka bodoh sekali. Kok seperti tidak beriman? Kan masih banyak jalan lain, tugas akhir kan bukan segalanya. Namun bagi mereka yang sudah mengusahakannya tapi tidak kunjung berhasil, menyelesaikan studi tak semudah mengomentarinya. Kita memang sebaiknya tidak menghakimi sesama (Matius 7:1-2), kita juga harus mengingat bahwa tidak semua orang memiliki persepsi dan tingkat kerentanan yang sama walaupun berhadapan dengan hal yang sama.

“Kemarin katanya ini adalah bimbingan kami yang terakhir, aku sudah mengerjakan yang diminta, namun hari ini aku diminta lagi melakukan perbaikan di bagian lain, entah apa salahku bisa lama wisuda,” keluhnya disertai emotikon sedih.

“Kerjakanlah, He knows the best for you! Mungkin ini akan menjadi revisimu yang ke 20/25,” balasku sedikit jahil.

Ya, Tuhan tahu yang terbaik bagi setiap ciptaan-Nya (Yeremia 29:11). Dari Alkitab kita melihat bahwa Tuhan tahu yang terbaik bagi Ayub yang mengalami sakit penyakit serta kehilangan harta dan anaknya (Ayub 42:2). Tuhan juga yang mengutus Musa dengan setiap keterbatasannya untuk rencana-Nya atas bangsa Israel (Keluaran 3:11-12). Tuhan juga tahu yang terbaik untuk memelihara kehidupan umat-Nya (Kejadian 45:5) melalui Yusuf yang dijual saudara-saudaranya menjadi budak orang Mesir. Dan kita juga tahu bagaimana Yesus, anak-Nya yang tunggal melalui Via Dolorosa untuk menggenapi rencana-Nya bagi dunia yang dikasihi-Nya (Matius 26:39). Semua menceritakan bagaimana Tuhan dapat memakai setiap hal bahkan situasi yang kita anggap paling sulit sekalipun untuk menyatakan rencana-Nya.

Percaya pada Tuhan dan setiap rencana-Nya ketika semua terasa sulit akan terdengar klise apalagi ketika kita merasa sudah mengusahakannya, namun hasil tak jua maksimal. Sudah berdoa tapi rasanya Tuhan kok semakin terasa jauh, berserah namun merasa semakin tak berdaya. Alih-alih mencoba untuk mengerti dari sudut pandang Tuhan dan percaya dengan rencana-Nya, kita mungkin akan cenderung bertanya apa yang menjadi alasan Tuhan mengizinkan hal itu menjadi bagian dari cerita kita. Kita cenderung membombardir Allah dengan deretan pertanyaan. Mengapa harus aku yang kehilangan ibu? Mengapa aku yang harus lama wisuda? Apakah Engkau peduli? Mengapa Engkau membiarkan ini terjadi? Apakah maksud dari semuanya ini? Apa yang salah denganku dan pertanyaan mengapa lainnya yang mungkin sering malah membuat kita kurang peka untuk melihat bagaimana Allah akan bekerja lewat situasi tersebut.

Hal yang sama juga ditanyakan oleh murid Tuhan Yesus ketika Ia menyembuhkan orang yang buta sejak lahir (Yohannes 9:1-7).

“Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (ayat 2) Yesus menjawab dengan “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (ayat 3). Hal ini juga tak jarang kita alami, kita mengaitkan kesulitan yang kita alami sebagai akibat dari dosa di masa lampau, layaknya hukum tabur tuai. Namun lewat kisah orang buta tersebut kita belajar bahwa tak selamanya kesulitan yang kita alami adalah upah dosa, Tuhan juga bisa memakai penderitaan yang kita alami untuk menyatakan rencana-Nya seperti kesembuhan orang buta itu (ayat 11).

Kita juga melihat bagaimana Ayub, orang yang paling saleh di dalam Alkitab (Ayub 1:1,8) yang juga menanyakan apakah maksud Allah dengan penderitaan yang dialaminya (Ayub 10), walaupun Ayub merupakan tokoh Alkitab yang seringkali dihubungkan dengan ketabahan dalam menghadapi penderitaan (Yakobus 5:11). Melalui kesembuhan yang dialami orang buta itu, para tetangganya dan juga orang farisi mendapat kesempatan untuk melihat karya Allah dan meresponnya begitu juga dengan kisah Ayub yang dipakai Allah untuk memurnikan imannya.

Demikian juga dengan temanku yang sedang tidak mengerti dengan rencana Tuhan atasnya dalam pengerjaan skripsinya. Selain membantu memberi masukan untuk penelitiannya atau sekadar menghiburnya lewat media komunikasi, aku juga berdoa semoga dia semakin mengenal Tuhan dan bergantung pada-Nya dalam setiap proses yang ia lalui (Yesaya 40:31).

Mungkin kita juga sedang mengalami situasi-situasi yang menyulitkan kita dan membuat kita kehilangan sukacita, terlebih ditengah pandemi COVID-19 ini. Ketidakpastian akan rencana mendatang, kehilangan sahabat atau orang terdekat, kehilangan pekerjaan, kesulitan ekonomi serta kesulitan lain yang kita alami mungkin sering menyurutkan iman percaya kita, seperti kapal yang dihantam badai. Namun lagi-lagi kita harus mengingat bahwa dalam badai pun Tuhan tetap bisa menyatakan rencana-Nya (Mazmur 29; Markus 4: 35- 5:1).

Untuk setiap situasi kita selalu memegang janji Tuhan, bahwa Dia sekali-kali tidak akan membiarkan kita dan sekali-kali tidak akan meninggalkan kita (Ibrani 13:5) Dia tetaplah Allah yang menjadi sumber harapan ketika menghadapi setiap hal (2 Korintus 1:3). Kiranya kita terus meminta Tuhan untuk menuntun kita agar tetap percaya padaNya dan setiap rencana-Nya yang tidak selalu tentang kehendak dan kemauan kita (Amsal 3:5)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Penolakan Menjadi Awal Baru Relasiku dengan Tuhan

Ketika sesuatu terjadi tak sesuai mau kita, kita mungkin membombardir Tuhan dengan deretan pertanyaan kenapa. Tapi, mengapa tidak menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melihat dari sudut pandang-Nya?

Tuhan Lebih Tahu Sedalam-dalamnya Kita

Oleh Josua Martua Sitorus, Palembang

“Hidup ini adalah pilihan.”

Kita mungkin familiar dan paham makna dari kutipan di atas. Mulai dari lahir, mengalami masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, ada begitu banyak pilihan di hadapan kita, dan dalam waktu tertentu kita ‘dipaksa’ untuk memilih satu di antaranya.

Kilas balik kehidupanku tujuh tahun silam merupakan momen penentu yang punya andil besar dalam menentukan masa depanku. Seperti anak-anak kelas XII SMA lainnya, aku menghadapi banyak pilihan: ikut bimbel atau tidak, ingin lanjut kuliah di mana, seleksinya lewat jalur apa, hingga kampus mana dan jurusan apa yang perlu kuambil. Aku sempat bimbang. Kucari tahu apa kehendak Tuhan lewat perenungan-perenungan dan doa yang kupanjatkan. Aku juga banyak bertanya kepada keluargaku dan abang alumni, sampai akhirnya aku menentukan ke mana aku harus melangkah.

Supaya aku bisa lolos di SNMPTN, aku menyiapkan diri sebaik mungkin. Setiap hari aku bangun pukul setengah lima pagi, belajar materi dan membahas soal, lanjut ikut bimbel dari jam tujuh pagi sampai tujuh malam. Sampai di rumah aku masih lanjut belajar sampai kira-kira jam sembilan. Semua itu kulakukan hampir tiap hari, masa-masa yang menurutku begitu produktif. Namun, rupanya Tuhan menghendaki yang lain. Aku gagal di SNMPTN.

Ada satu ayat yang menguatkanku, “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yakobus 2:17). Ayat ini mengajariku bahwa hanya berdoa dan memohon saja tidak cukup jika tidak disertai usaha. Mungkin upayaku belajar terkesan ambisius, tapi itulah caraku menunjukkan keseriusanku pada Tuhan. Dia senantiasa menguatkanku, bahkan memberiku orang-orang yang bersedia mendukungku saat itu.

Aku pun ikut ujian kembali, kali ini di kota Medan. Saat itu aku belum hafal denah kota ini. Aku sempat nyasar, tapi bukan suatu kebetulan saat aku turun dari angkot, aku malah bertemu seorang teman akrabku tepat di trotoar tempat angkotku berhenti. Dia yang memang orang Medan langsung mengantarku ke tempat ujian. Kulari ke ruang ujian di lantai dua, dan semenit kemudian ujian langsung dimulai. Nyaris saja aku terlambat jika aku harus mencari-cari jalan sendiri ke tempat ujian. Ada banyak sekali hal yang patut disyukuri dari Tuhan.

Singkat cerita, hari pengumuman SBMPTN pun tiba. Tuhan menganugerahkanku kesempatan untuk kuliah di salah satu PTN di kota Bandung. Syukur begitu dalam kuhaturkan pada-Nya. Namun, di tengah rasa syukurku tetap ada yang mengganjal di hati. Aku tetap saja gagal meraih kampus yang sebenarnya paling kuimpikan.

Kembali aku ingat penggalan ayat Alkitab yang berkata, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (Amsal 16:9).

Aku berangkat ke Bandung dengan tekad kuat untuk menjalani kehendak-Nya dalam hidupku. Pertanyaan tentang mengapa aku gagal meraih impianku sedikit demi sedikit mulai hilang. Mamaku berulang kali menasihatiku supaya jangan lupa bersyukur pada Tuhan karena aku sudah diberikan kesempatan untuk berkuliah.

Proses selama kuliah adalah masa-masa yang indah. Aku belajar memilih, melawan godaan duniawi dan pergaulan tak sehat, dan Tuhan memberkati tiap langkahku. Tugas kuliah, praktikum, jadwal ujian yang padat, serta tanggung jawab di kepanitiaan, semuanya terasa berat tetapi Tuhan menguatkanku sehingga semuanya terasa ringan. Dan, di masa-masa kuliah inilah aku bertumbuh melalui pengenalku akan firman-Nya. Aku ikut komunitas rohani.

Sampai hari kelulusanku tiba, aku benar-benar merasakan Tuhan terus bekerja atas hidupku. Aku melihat hasil karya tangan-Nya yang begitu nyata. Beberapa pertanyaanku di awal perkuliahan mulai terjawab melalui apa yang kurasakan.

Mungkin jika aku berhasil masuk ke kampus impianku, aku tidak dapat bersaing dengan teman-temanku yang lain. Mungkin juga aku tidak bisa lulus lebih cepat dari yang seharusnya dan menjadi lulusan tercepat kedua. Aku juga merasakan hal-hal yang tidak ada di bayanganku sebelumnya seperti hidup di kota Bandung yang sejuk dan asri, mendapat komunitas ideal tempatku bertumbuh, mengikuti kegiatan yang bermanfaat yang dapat mengasah kemampuanku, serta hal-hal lain yang begitu banyak Tuhan izinkan untuk terjadi. Satu waktu aku sampai terdiam dan menangis karena mengingat akan kebaikan Tuhan atas hidupku. Tuhan begitu baik, sangat-sangat baik. Kadang aku menyesal untuk kurang bersyukur pada Tuhan.

Memilih berjalan bersama Tuhan dan mengikuti semua kehendak-Nya adalah pilihan yang harus kita ambil. Kadang kita tidak tahu apa rencana Tuhan atas hidup kita, padahal sebenarnya yang lebih tahu sedalam-dalamnya hidup kita adalah Tuhan, bukan diri kita sendiri. Tuhan adalah penulis skenario terbaik dalam hidup kita. Banyak rancangan-Nya yang begitu indah, tinggal bagaimana respons kita dalam menjalaninya. Kemuliaan hanya bagi Tuhan!

Di akhir ceritaku, aku ingin membagikan satu lirik lagu yang menurutku sangat baik untuk kita hayati bersama. Lagu ini ditulis oleh Adelaide A. Pollard yang terinspirasi dari Yesaya 64:8. Begini liriknya:

Have Thine Own Way, Lord

Have thine own way, Lord, have thine own way!
Thou art the Potter; I am the clay,
Mould me and make me, After thy will,
While I am waiting, Yielded and still.
Have thine own way,
Lord, have thine own way!
Search me and try me, Master, today!
Whiter than snow, Lord, Wash me just now,
As in thy presence Humbly I bow.
Have thine own way, Lord, have thine own way!
Wounded and weary, Help me I pray!
Power, all power, Surely is thine!
Touch me and heal me, Saviour divine!

Atau dalam terjemahan bebas, kira-kira seperti ini liriknya:

Jadilah kehendak-Mu ya Tuhan,
Engkaulah penjunan, aku tanah liat
Bentuklah aku seturut kehendak-Mu
Dengan tenang aku menantikan-Mu

Jadilah kehendak-Mu ya Tuhan
Cari dan ujilah aku aku, Tuhan
Basuhlah aku agar aku lebih putih dari salju
Di hadapan hadirat-Mu, aku merendahkan diri
Jadilah kehendak-Mu Tuhan
Aku terluka dan lemah, tolonglah Tuhan
Segala kekuatan adalah milik-Mu
Jamah dan sembuhkanku, Juruselamat.

“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau , dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yeremia 1:5).

Baca Juga:

Teruntuk Kamu yang Merayakan Ulang Tahun Sendirian

Hari ulang tahun mengingatkanku akan kesetiaan Allah. Dia senantiasa hadir dalam tiap langkah perjalanan hidup kita.

Jika hari ulang tahunmu jatuh pada hari-hari ini dan orang-orang terdekatmu tak dapat hadir secara fisik, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun buatmu.

Kelulusan yang Tertunda: Momen untuk Memahami Kehendak Tuhan

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Bagaimana kalau kelulusan kamu ditunda satu semester?

Begitulah pertanyaan dari dosen pembimbingku di bulan Oktober tahun lalu. Beliau memberiku waktu 3 minggu untuk memutuskannya. Aku terdiam dan hanya bisa berpikir dalam hati. Rencanaku, aku akan lulus di Februari 2020, lalu mencari lowongan pekerjaan. Jika rencana ini lancar dan aku diterima kerja, maka itu akan jadi pekerjaan pertamaku setelah hampir 10 tahun aku duduk di bangku perkuliahan. Tapi, pertanyaan dosen pembimbingku itu mengejutkanku. Aku jadi berpikir, apakah Tuhan ingin aku menunda kelulusanku?

Dosen pembimbingku menilai bahwa aku perlu sedikit waktu untuk memikirkan apa tujuan hidupku: apakah aku mau lanjut berkarya di dunia akademik atau bekerja sebagai peneliti di institut penelitian? Beliau juga berpikir bahwa jika kelulusanku ditunda sedikit, aku bisa mengerjakan beberapa penelitian yang dapat menambah kualitas disertasiku.

Beliau lantas memberiku dua pilihan: menunda kelulusan atau tetap lulus di bulan Februari 2020 dan menetap di lab sebagai postdoctoral fellow sampai nanti aku mendapatkan pekerjaan tetap, seperti yang kebanyakan dilakukan para senior di labku.

Dalam masa-masa pergumulanku menentukan keputusan ini, kelompok kecil gerejaku membahas tentang memahami kehendak Tuhan. Melalui pembelajaran tersebut serta diskusi bersama mentor rohani dan keluargaku, aku memutuskan untuk menunda kelulusanku hingga Agustus 2020.

Prinsip mengambil keputusan

Kita bisa memahami dengan jelas kehendak Tuhan yang sangat jelas tertera di Alkitab. Contoh-contoh kehendak Tuhan yang terlihat jelas adalah: hidup kudus (1 Petrus 1:16), bersukacita senantiasa, berdoa, mengucap syukur dalam segala hal (1 Tesalonika 5:16-18), berbuat baik kepada orang lain (1 Petrus 2:15), dan masih banyak lagi jika kita mau mencarinya.

Tapi, bagaimana dengan kehendak Tuhan yang tidak tertulis di Alkitab? Pertanyaan-pertanyaan seperti jurusan apa yang harus kupilih, pekerjaan yang harus kulakukan, di mana nantinya aku tinggal, dengan siapa aku menikah, dan semacamnya, tidak memiliki jawaban secara eksplisit di Alkitab. Namun, Tuhan melalui firman-Nya tidak akan membiarkan anak-anak-Nya berada dalam kebingungannya sendiri. Tuhan berjanji kepada kita sebagai orang percaya bahwa Dia akan menunjukkan kepada kita jalan-jalan yang harus kita tempuh.

“Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu” (Mazmur 32:8).

Untuk menumbuhkan sukacita yang sesungguhnya (JOY) di dalam mengambil keputusan, kita dapat menerapkan prinsip Jesus Others You (kalau disingkat menjadi JOY) sebagai urutan prioritas. Terkait dengan mendahulukan Yesus dalam mengambil keputusan, aku belajar tentang bagaimana firman Tuhan harus menjadi dasar dalam mengambil keputusan. Kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan berlandaskan firman Tuhan kepada diri kita masing-masing, seperti contoh di bawah ini:

  • Apakah dengan mengambil keputusan ini aku mendahulukan kepentingan kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya daripada keinginanku sendiri? (Matius 6:33).
  • Apakah dengan mengambil keputusan ini aku bisa lebih mengasihi Kristus dan orang-orang di sekitarku? (Matius 22:37-39).
  • Apakah dengan mengambil keputusan ini menolongku menyampaikan berita Kristus kepada orang-orang yang belum percaya? (Matius 28:19-20).
  • Apakah keputusan ini bisa membantuku hidup dalam kekudusan? (1 Petrus 1:15).
  • Apakah keputusan ini bisa membuatku mengenal Kristus dan bertumbuh dalam kasih karunia-Nya? (2 Petrus 3:18).
  • Apakah yang aku lakukan ini menjadi batu sandungan bagi orang-orang di sekitarku? (1 Korintus 8:9).
  • Apakah ini bermanfaat bagi jiwaku dan tidak menjadi tuan dalam hidupku? (1 Korintus 6:12).
  • Apakah aku melakukan semuanya ini untuk kemuliaan Tuhan? (1 Korintus 10:31).

Dan masih banyak lagi firman Tuhan yang dapat kita temukan dan jadikan sebagai dasar untuk membedakan mana yang kehendak Tuhan atau bukan dalam kehidupan kita. Ketika kita melihat bahwa hal yang akan kita lakukan tidak sesuai dengan firman Tuhan, kita dapat menyimpulkan dengan pasti itu bukanlah kehendak Tuhan.

Kembali ke pengalamanku sendiri dalam mengambil keputusan untuk menunda kelulusanku, aku berusaha jujur terhadap diriku sendiri. Ada hasrat dalam diriku untuk lulus cepat supaya aku bisa bangga menyelesaikan studiku sedikit lebih cepat dari waktu normal. Aku pikir ini mungkin bisa membantuku mendapat pekerjaan yang aku inginkan nantinya.

Ketika aku melihat tujuanku dalam mencari pekerjaan dan membandingkannya dengan firman Tuhan yang tertulis dalam Matius 6:33, aku mulai membuka hatiku terhadap kemungkinan untuk menunda kelulusanku.

Aku juga berpikir Tuhanlah yang menggerakkan hati dosen pembimbingku untuk menanyakan kepadaku tentang penundaan kelulusan. Jika beliau tidak bertanya itu sama sekali, dipastikan aku lulus di Februari 2020.

Taat pada kehendak Tuhan

Di dalam pembahasan mengenai kehendak Tuhan, aku diajarkan untuk taat kepada kehendak-Nya yang telah diberikan Alkitab. Tulisanku sebelumnya mengenai ketaatan yang benar di hadapan Tuhan bisa dibaca di sini.

Ketaatan kepada firman Tuhan dapat bertumbuh melalui saat teduh dan kehidupan doa kita sehari-hari. Bagaimana aku bisa peka terhadap arahan Tuhan dalam hidupku kalau aku tidak peka dengan suara-Nya dalam firman-Nya? Ketika firman Tuhan ada dalam hati kita, langkah hidup kita tidak akan goyah (Mazmur 37:31). Firman Tuhan akan menjadi pelita bagi kita dan terang bagi jalan kita (Mazmur 119:105), dan memberikan pengertian kepada kita (Mazmur 119:130).

Untuk mencari pimpinan Tuhan dalam kehidupan kita, kita bisa belajar dari doa Daud yang tertuang dalam Mazmur 25:4-5 dan Mazmur 143:8. Daud merindukan kasih setia Tuhan setiap pagi. Daud tahu dan percaya bahwa kasih setia Tuhan tidak berkesudahan, tidak habis, dan selalu baru setiap pagi (Ratapan 3:22-23). Kita juga bisa meneladani Daud dengan setia merenungkan firman Tuhan setiap pagi dan berdoa meminta bimbingan-Nya setiap hari.

Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya! Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku. (Mazmur 143:8)

Untuk mengerti kehendak Tuhan dalam kehidupanku, aku melatih diriku untuk lebih giat berdoa. Salah satu caraku adalah dengan mendoabacakan Mazmur 25:4-5 setiap harinya. Terkadang di saatku berdoa, aku juga memparafrasekan ayat tersebut dengan bahasaku sendiri. Ini sangat membantuku untuk menikmati kasih setia Tuhan dan menunggu dengan setia jawaban dari Tuhan.

Membuka hati dan menerima bimbingan Tuhan

Jika kita memiliki hati yang bersedia untuk melakukan apa pun itu yang merupakan kehendak Allah dalam kehidupan kita, kita akan lebih mudah membedakan mana yang merupakan kehendak Allah atau bukan. Tuhan Yesus juga berkata apabila kita mau melakukan kehendak-Nya, kita bisa tahu apakah itu kehendak Allah atau tidak (Yohanes 7:17). Ketika kita membuka hati kita untuk taat terhadap apa pun kehendak-Nya dalam hidup kita, Tuhan akan membimbing langkah kaki kita.

Salah satu cara Tuhan membimbing langkahku adalah lewat berdiskusi dengan mentor rohaniku. Aku bersyukur memiliki mentor rohani yang pernah mengalami masa-masa sepertiku dan bersimpati terhadap keadaanku.

Dibandingkan lulus cepat, lebih baik lulus normal dan telah mendapat tawaran pekerjaan. Menetap sebagai postdoctoral fellow di lab yang sama bukanlah hal yang buruk, tapi itu dapat memberiku kesan kalau aku tidak mendapatkan tawaran dari luar sama sekali. Kurang lebih begitulah nasihat yang mentorku berikan.

Mentorku juga menyarankanku untuk lebih menyelidiki motivasiku dalam mencari pekerjaan. Apakah dengan uang yang aku peroleh dari pekerjaanku nantinya aku mau memakainya untuk memberkati orang lain? Apakah aku mau menyampaikan berita Kristus dan memuridkan orang lain terlepas dari apa pun pekerjaanku? Apabila Tuhan melihatku telah siap dipakai untuk memperluas kerajaan-Nya, aku yakin Tuhan akan memberikan aku pekerjaan yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Setelah memutuskan untuk menunda kelulusanku, aku merasakan damai Kristus dalam hatiku. Tuhan Yesus juga membantuku dalam penelitianku yang aku lakukan di masa-masa penundaan kelulusanku. Melalui kasih karunia Tuhan, aku bisa mempublikasikan satu jurnal, dan satu lagi sedang dalam proses revisi.

Kondisi virus corona di seluruh dunia saat ini juga berdampak terhadap tersedianya lowongan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatku. Mungkin aku harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapat pekerjaan pertamaku. Terlepas dari apapun kondisi nantinya, aku akan menantikan Tuhan bekerja pada waktu-Nya dan taat kepada kehendak-Nya karena aku tahu Penebusku hidup dan mengasihiku.

Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia! (Yesaya 30:18)

Aku berharap teman-teman sekalian di dalam masa mencari tahu kehendak Tuhan dalam kehidupan, tetap taat dan berpedoman kepada Firman Tuhan. Biarlah kiranya kita semua selalu setia menanti bimbingan Tuhan dalam kehidupan kita.

Tuhan memberkati.

Baca Juga:

Menentukan Jurusan Kuliah: Pilihanku atau Pilihan Tuhan?

Menentukan jurusan kuliah adalah salah satu keputusan sulit yang kita ambil. Bagaimana kita bisa yakin pilihan yang kita ambil adalah pilihan yang terbaik buat kita?

Menentukan Jurusan Kuliah: Pilihanku atau Pilihan Tuhan?

Oleh Jefferson, Singapura

Ketika dulu masih berstatus mahasiswa jurusan Environmental Earth Systems Science (Ilmu Lingkungan Hidup) di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, ada sekumpulan pertanyaan yang sering dilontarkan kepadaku baik oleh kerabat maupun teman, “Kok bisa ambil jurusan itu? Apa saja yang dipelajari? Kalau sudah lulus bekerja jadi apa?” Awalnya aku jengkel karena terus ditanyakan hal yang sama, tapi lambat laun aku menyadari bahwa memang tidak banyak orang—terutama dari Indonesia—yang tahu tentang keberadaan bidang ini, apalagi mengambilnya.

Dalam tulisan ini, aku akan membahas dengan singkat mata kuliah apa saja yang kupelajari sambil menceritakan bagaimana dan mengapa aku bisa mengambil jurusan itu. Seperti yang bisa kamu duga dari judul di atas, keputusanku untuk belajar Ilmu Lingkungan Hidup sangat berkaitan dengan kehendak Tuhan, dalam artian aku memahami pilihanku sebagai pilihan yang Tuhan ingin aku ambil.

4 cara Tuhan berkehendak dan memimpin umat-Nya

Apa maksudnya? Sebelum menceritakan kisahku lebih lanjut, aku ingin mengajakmu untuk memahami terlebih dulu jenis-jenis kehendak Tuhan dalam Alkitab. Dalam artikelnya, John Piper membedakan empat macam kehendak Tuhan, yang kuringkas sebagai berikut:

  1. Decree / Ketetapan Allah yang berdaulat. Lewat jenis kehendak ini, Allah mengerjakan segala sesuatu yang telah Ia rencanakan tanpa sepengetahuan maupun andil kita sama sekali sehingga semua unsur ciptaan-Nya berada dan bekerja sesuai dengan desain-Nya. Contoh dari dekrit Allah adalah peristiwa pemenjaraan Paulus dan Silas yang menuntun kepada pertobatan kepala penjara Filipi dan seisi rumahnya (Kis. 16:23–24). Ketetapan Allah melibatkan ketiga jenis kehendak lainnya dan pasti terjadi (bdk. Ayb. 42:2).
  2. Direction / Arahan mencakup perintah-perintah dan ajaran-ajaran dari Tuhan yang tertulis dalam Alkitab. Jenis kehendak ini mengarahkan kita secara spesifik tentang apa yang (tidak) boleh kita lakukan, seperti dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel. 20) maupun Khotbah di Bukit (Mat. 5–7).
  3. Discernment / Pemahaman berlaku untuk keputusan-keputusan yang harus kita buat yang tidak tercatat dengan spesifik dalam Alkitab seperti jurusan kuliah dan yayasan mana yang patut kita dukung selama wabah COVID-19. Mentaati jenis kehendak ini memerlukan kepekaan dalam mengaplikasikan kebenaran Alkitab untuk menanggapi situasi yang dihadapi dengan tepat. Paulus mendeskripsikannya dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna”. Terhadap banyak pilihan dalam kehidupan kita, Allah tidak memberikan arahan yang spesifik, tetapi oleh Roh Kudus memperbaharui budi kita melalui disiplin rohani—seperti saat teduh dan doa—sehingga kita dapat memahami dan membuat keputusan-keputusan yang paling memuliakan-Nya, memberikan kita sukacita-Nya, dan memberkati orang lain dan dunia ini.
  4. Declaration / Deklarasi adalah yang paling jarang ditemui di masa sekarang. Lewat jenis kehendak ini Allah mendeklarasikan langsung kepada kita apa yang harus kita lakukan, seperti yang dialami oleh Filipus dalam Kis. 8:26 dan 8:29.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa “kehendak Tuhan” yang kumaksud di awal adalah jenis ketiga, discernment / pemahaman. Aplikasi praktis dari jenis kehendak Allah inilah yang akan kubahas untuk sisa artikel dalam konteks memilih jurusan kuliah. Dalam praktiknya, kamu akan menemukan bahwa langkah-langkah tersebut berlaku tidak hanya untuk memilih jurusan tapi juga dalam menentukan berbagai keputusan yang Tuhan tidak perintahkan secara spesifik dalam Alkitab.

Bisakah kamu menebak langkah pertamanya? Petunjuk: langkah itu sempat dibahas dalam penjelasan jenis kehendak ketiga.

#1: Dalami disiplin rohani hingga Roh Kudus memperbaharui akal budi kita

Kuharap kamu tidak bosan ketika aku sekali lagi membicarakan tentang disiplin rohani, terutama doa dan pembacaan Firman, sebagai salah satu poin dalam tulisan. Meskipun ada disiplin-disiplin rohani lain seperti penatalayanan dan puasa, doa dan merenungkan Firman adalah dua disiplin paling mendasar yang melaluinya kita dapat mengenal identitas TUHAN yang berdaulat atas hidup kita. Melalui perjumpaan dengan Allah setiap harinya, kita memberikan setiap inci diri kita untuk diperiksa, diajar, dan dikoreksi oleh Roh Kudus lewat Firman-Nya sehingga akal budi kita diperbaharui (Rm 12:2b). Kita tidak lagi ingin menjadi serupa dengan dunia (Rm. 12:2a); sebaliknya, kita ingin semakin menjadi serupa dengan Tuhan Yesus (Rm. 8:29) yang dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna” (Rm. 12:2c). Dengan kata lain, hidup kita benar-benar diperbaharui oleh Roh Kudus sehingga kita mencerminkan Allah yang kudus dan baik dan sempurna dalam semua aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan. Begitu radikalnya pembaharuan itu sehingga tidak ada satu inci pun dalam kehidupan kita yang tidak diperbaharui Roh Kudus.

Mengapa langkah ini sangat penting? John Piper dalam khotbahnya menjelaskan, “[K]arena 95% dari apa yang kamu lakukan sekarang kamu lakukan secara spontan [mengikuti kehendak daging yang berdosa]. Kalau kamu bukan ciptaan yang baru [yang akal budinya telah diperbaharui Roh Kudus], maka dari hati akan keluar hal-hal [keputusan-keputusan] yang salah.” Bagaimana kita dapat mengambil keputusan-keputusan besar yang sesuai dengan kehendak Allah? Dengan pertama-tama mengambil keputusan-keputusan kecil yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Aku percaya bahwa keputusanku untuk mengambil jurusan Ilmu Lingkungan Hidup di NTU dimulai sejak aku memutuskan untuk percaya kepada Yesus sebagai Tuhan atas hidupku. Kalau Tuhan tidak membawaku kembali kepadanya sejak kelas 10 dan mendidikku dalam disiplin-disiplin rohani, kurasa aku akan terus mengambil keputusan-keputusan yang salah dengan motivasi-motivasi yang salah: tidak ingin membantu teman-teman yang kesulitan dengan pelajaran, menjadi arogan ketika mewakili sekolah mengikuti olimpiade matematika tingkat provinsi, malas-malasan dan menggerutu saat mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk NTU yang materinya jauh lebih sulit dari Ujian Nasional, dan hal-hal lainnya yang serupa dengan dunia ini. Puji Tuhan, lewat perjumpaan dengan Tuhan Yesus dalam Firman-Nya, doa, kelompok kecil, dan pelayanan, Roh Kudus terus memperbaharui budiku sehingga aku dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Pembaharuan budi tidak hanya menolong kita untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tapi juga membantu kita untuk mengenal lebih dalam satu pihak penting dalam pengambilan keputusan kita.

#2: Diri sendiri juga perlu kita kenali

Dalam merenungkan berbagai implikasi dari kehendak discernment / pemahaman Tuhan, aku mengamati bahwa keputusan-keputusan yang berhubungan dengannya sedikit banyak didominasi oleh hal-hal yang bersifat pribadi. Di satu sisi, Tuhan telah memberikan panduan umum terhadap keputusan yang harus kita ambil dalam jenis kehendak ketiga ini: “apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna”, yaitu prinsip-prinsip dalam Alkitab yang bisa kita temui dalam kehendak direction / arahan Allah. Di sisi lain, selama keputusan itu dibuat mengikuti panduan Firman, kita dibebaskan untuk membuat keputusan sesuai dengan preferensi kita masing-masing. Dengan kata lain, pengenalan yang baik akan diri sendiri merupakan kunci keberhasilan dari langkah ini.

Berkenaan dengan pilihan jurusan maupun karir, aku akan menanyakan dua pertanyaan di bawah kepada diriku sendiri dan orang-orang lain yang mengenalku dengan dekat sebelum mengambil keputusan:

  1. Kelebihan apa saja yang telah Tuhan berikan kepadaku yang bisa Dia pakai untuk paling memuliakan-Nya dan memberkati sesama dan dunia?
  2. Bidang studi atau topik apa yang paling membebani hati dan pikiranku?

Sebenarnya orangtuaku telah mengarahkanku sejak masuk SMA untuk mengambil jurusan Teknik Sipil dengan alasan minat dan bakatku yang (waktu itu) cukup besar di matematika. Karena masih tidak tahu menahu tentang dunia perkuliahan, aku mengiyakan saja. Tetapi begitu naik ke kelas 12 dan mulai mempersiapkan diri untuk tes masuk NTU, aku jadi mempertanyakan arahan itu. Benarkah kuliah di jurusan Teknik Sipil adalah keputusanku sendiri, atau keputusan orangtuaku? Aku mulai berdoa lebih keras kepada Tuhan tentang hal ini dan menanyakan dua pertanyaan di atas kepada diriku sendiri.

Aku tidak mencatat proses pencarian jawabanku waktu itu dengan terperinci, tapi kira-kira jawaban yang kudapat adalah demikian: aku ingin melihat dan memahami dunia yang lebih luas, gambaran besar dari proses-proses yang terjadi di dunia. Aku tidak puas hanya belajar tentang rumus-rumus IPA maupun menghafal teori-teori IPS di ruangan kelas. Aku ingin terjun ke dunia di luar sana, melihat apa yang terjadi, dan memberikan kontribusi unikku yang menyatakan kemuliaan dan kebenaran Allah kepada dunia. Memakai istilah yang baru kuketahui belakangan, jurusan idealku adalah jurusan yang interdisipliner.

Sayangnya, NTU tidak menawarkan jurusan yang demikian, pada awalnya. Sekitar sebulan setelah mengikuti tes masuk di pertengahan Januari 2014, NTU mengumumkan peluncuran jurusan Ilmu Lingkungan Hidup di tahun ajaran 2014/2015. Awalnya aku tidak berminat sama sekali, tapi setelah berkali-kali disuruh orangtua untuk melihat-lihat jurusan ini lebih lanjut, akhirnya aku membuka brosur elektronik yang NTU kirimkan. Aku langsung tertarik dengan jurusan ini. Di tiga semester pertama, kami mempelajari sains dasar lingkungan hidup—seperti Ekologi Dasar, Geologi, dan Antropologi Lingkungan—sebelum mengambil salah satu spesialisasi di semester keempat: Ekologi, Geosains, atau Society and the Environment (Masyarakat dan Lingkungan). Spesialisasi yang terakhir sangat cocok dengan minatku karena mendalami perkembangan dan dinamika yang terjadi antara komunitas manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah mendoakannya di hadapan Tuhan bersama dengan teman-teman di gereja dan keluarga, aku mengirimkan dokumen-dokumen tambahan kepada NTU untuk melamar ke jurusan Ilmu Lingkungan Hidup.

Dunia ini berkata, “Ikutilah hatimu,” tetapi Tuhan berkata, “Ikutilah hatimu ketika kamu telah mempersembahkan dirimu sepenuhnya sebagai persembahan yang hidup kepada-Ku” (Rm. 12:1). Sebab hanya orang-orang yang telah diselidiki dan hatinya telah dikenal oleh Tuhanlah yang akan dituntun-Nya di jalan yang kekal (Mzm. 139:23–24).

#3: Dalam doa, serahkan keputusan kita kepada Tuhan dan maju

Tanpa sengaja aku telah menyebutkan langkah terakhir ini di beberapa kalimat sebelumnya. Ya, kalau kita merasa sudah membuat keputusan yang sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Firman Tuhan dan preferensi kita, serta meminta pendapat yang lebih objektif dari orang lain, tidak ada lagi yang dapat kita lakukan selain menyerahkan keputusan itu ke dalam tangan-Nya dan melangkah maju dalam doa. Dalam setiap langkah ke depan, janji Tuhan dalam Mazmur 32:8 adalah pilar penopang yang teguh, “Aku akan mengajar dan mengarahkanmu di jalan yang harus kamu jalani, Aku akan menasihatimu dengan mata-Ku yang tertuju kepadamu.” Sesederhana itu.

Itulah yang kulakukan dalam tahap-tahap berikutnya selama mengikuti proses penerimaan ke jurusan Ilmu Lingkungan Hidup. Setelah mengirimkan dokumen tambahan, kukira aku hanya perlu menunggu kabar tentang diterima atau ditolaknya aku dari NTU. Ternyata tidak sesederhana itu. Seminggu setelahnya, pihak fakultas memintaku untuk mengirimkan esai singkat yang menjelaskan ketertarikanku terhadap jurusan ini. Beberapa hari kemudian, aku diundang untuk mengikuti wawancara dengan beberapa dosen melalui Skype. Waktu itu adalah masa persiapan Ujian Sekolah, jadi aku disibukkan dengan tryout, ujian praktik, les, dan sekarang persiapan wawancara. Puji Tuhan, semuanya itu dapat kulalui dengan tenang dan baik, satu langkah setiap waktunya, hingga akhirnya aku melihat diriku diterima sebagai orang Indonesia satu-satunya dari angkatan pertama jurusan Ilmu Lingkungan Hidup di NTU.

Enam tahun telah berlalu sejak aku melalui seluruh proses itu. Setelah mempelajari Ilmu Lingkungan Hidup selama empat tahun dan bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama satu setengah tahun, dengan yakin aku dapat berkata bahwa aku tidak memiliki penyesalan sama sekali. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman seperti ini, yang semakin banyak kualami sejak pertobatanku, adalah mood-lifter-ku ketika sedang muram. Lewat mereka, aku terus diingatkan akan salib Tuhan Yesus yang menebus segala dosaku dan memberikan Roh Kudus untuk tinggal di dalamku serta memperbaharui akal budiku. Karya Roh Kudus inilah yang memampukanku untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah dan terus melangkah maju di jalan yang Tuhan kehendaki harus kujalani.

Hari-hariku sebagai mahasiswa Ilmu Lingkungan Hidup di NTU adalah sebuah pengucapan syukurku kepada Tuhan, yang pembelajaran daripadanya kurangkumkan di sini.

Penutup: kebebasan keputusan kita dalam kedaulatan Allah

Sebagai penutup, aku ingin mengajakmu membayangkan situasi berikut: Tuhan memberikan kita sebuah buku yang berisi setiap keputusan yang harus kita buat, yang pasti sesuai dengan kehendak-Nya. Bayangkan implikasinya: kita tidak perlu bergumul setiap kali ingin membuat keputusan, tidak perlu susah-susah mempelajari Alkitab dan memahami “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan yang sempurna”. Tinggal mengikuti apa yang tertulis dalam buku itu, maka keputusan kita pasti sesuai dengan kehendak-Nya. Apa yang akan menjadi reaksimu? Merasa sangat bersyukur, karena kehidupan ke depannya hanya perlu mengikuti isi buku? Atau merasa pemberian ini tidak konsisten dengan karakter Tuhan yang kita kenal?

Perhatikan kata kerja yang dipakai Tuhan dalam Mazmur 32:8—“mengajar”, “mengarahkan”, dan “menasihati”. Apa persamaan di antara ketiganya? Semuanya adalah kata kerja yang memberikan kita pilihan untuk memberi diri kita diajar, diarahkan, dan dinasihati oleh-Nya. Ilustrasi situasi di atas lebih mirip sebuah robot yang tidak punya pilihan kecuali melaksanakan apa yang sudah tertulis di dalam kodenya daripada kondisi manusia yang tetap bisa menjalankan kehendak bebasnya dalam kedaulatan Allah.

Layaknya orangtua yang ingin anak-anaknya memahami dan menimbang setiap alasan dan konsekuensi dari setiap pilihan yang ada serta mengambil keputusan terbaik tanpa perlu diberitahu terus menerus, Tuhan ingin kita benar-benar mengenal-Nya dan mengambil keputusan terbaik dalam ketaatan kepada-Nya. Tentu dari waktu ke waktu kita perlu menanyakan pendapat orang lain yang mengenal kita dekat, tapi pada akhirnya keputusan kita adalah milik kita sendiri di hadapan Tuhan.

Itulah salah satu alasan Dia mengirimkan Anak-Nya Yesus Kristus ke dalam dunia: agar Ia menjadi teladan ketaatan bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya (bdk. Ibr. 5:8–9). Di mana buktinya? “Namun, bukan apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki,” kata Yesus seperti yang tercatat dalam Markus 14:36. Kristus memilih untuk taat kepada kehendak Bapa dan mati di kayu salib agar setiap keputusan yang kita ambil bukannya serupa dengan dunia melainkan sesuai dengan kehendak Bapa,.

Selamat bertekun dalam disiplin-disiplin rohani serta mengambil keputusan bersama-Nya!

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.


Pertanyaan refleksi

  1. Sudahkah kamu bergaul dekat dengan Allah dan Firman-Nya?
  2. Apakah keputusan-keputusan yang kamu ambil telah dilandasi oleh prinsip-prinsip kebenaran Alkitab?
  3. Apakah kamu telah mengenal dirimu sendiri sehingga kamu mengetahui dengan jelas preferensi-preferensi dan pandangan-pandangan pribadimu?
  4. Sudahkah kamu menyerahkan segala keputusan yang kamu buat kepada Tuhan dalam doa?

Baca Juga:

Membuat Pilihan yang Berkenan pada Tuhan

Setiap hari dalam hidup kita diperhadapkan dengan berbagai pilihan, dari yang sederhana sampai yang rumit. Bagaimana caranya supaya pilihan kita selaras dengan kehendak-Nya?

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Oleh Vika Vernanda, Depok

Sebuah dokumen berisi kalender akademis baru saja dikirim oleh temanku. Salah satu poinnya menyatakan bahwa batas akhir pengumpulan tugas akhir diundur hingga akhir bulan Juli. Aku mulai menghitung waktu yang kuperlukan untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir, hinga kudapatkan kesimpulan bahwa aku harus memulai penelitian lagi di awal bulan Mei.

Pandemi yang menjangkiti dunia dan Indonesia berdampak besar pada semua bidang, salah satunya pendidikan. Semua jenjang pendidikan melakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sehingga setiap siswa dan mahasiswa bisa tetap mengerjakan bagiannya untuk menuntut ilmu, namun penerapan PJJ menjadi kesulitan tersendiri bagi sebagian mahasiswa tingkat akhir. Mereka yang awalnya bisa melakukan penelitian langsung di laboratorium dan di lapangan, kali ini tidak bisa melakukannya. Akibatnya penulisan tugas akhir dan waktu kelulusan jadi terhambat. Aku adalah salah seorang di antara mereka.

Pengumpulan tugas akhir yang diundur merupakan kabar baik bagi beberapa temanku, namun tidak bagiku. Penelitian untuk tugas akhirku rencananya dilakukan di rumah sakit, tapi saat ini sangat berisiko untuk pergi kesana. Pihak universitas dan rumah sakit juga tidak memberikan izin untuk melakukan penelitian. Rencana penelitianku di awal bulan Mei jadi sangat tidak mungkin kulakukan. Padahal, aku sudah merencanakan dengan rapi studiku supaya aku bisa lulus tepat waktu. Sekarang, semua rencanaku terancam berantakan. Aku sangat khawatir jika aku tidak bisa lulus tepat waktu.

Ketika aku menyampaikan kekhawatiranku pada temanku, aku teringat pada firman yang dibahas dalam kelompok tumbuh bersama yang kuikuti kemarin.

Kami membahas tentang surat Paulus bagi jemaat Filipi yang berisi tentang permintaan agar sehati sepikir dalam Kristus. Pada Filipi 4:6-7 ditulis demikian:

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

David Sanford pada bukunya Journey Through Philippians, menuliskan bahwa berdoa dalam segala sesuatu dengan ucapan syukur memberikan implikasi seperti pada ayat 7, yaitu damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran kita. Damai ini hadir bukan karena kita memiliki kontrol, punya rencana, atau tahu jelas berbagai pilihan yang ada dalam hidup kita. Damai ini juga bukan merupakan sesuatu yang kita pikirkan dan kehendaki. Itu semua adalah kedamaian Allah— kedamaian yang terjadi bukan karena kita mengetahui semua hal dengan pasti sesuai rencana, namun ketika kita mempercayakan setiap hal kepada Allah.

Kalimat itu sangat menegurku. Aku tahu, mungkin sulit bagi kita untuk berpegang pada damai sejahtera Allah di tengah kondisi yang sangat tidak sesuai harapan. Banyak harapan dan rencana yang gagal akibat pandemi yang sedang kita alami bersama. Aku mengalaminya, dan untuk sesaat, itu menjauhkanku dari damai-Nya.

Menikmati firman ini membuatku tenang. Namun terkadang perasaan khawatir itu kembali muncul, dan ketika itu datang aku mencoba mengingat lagi bahwa Allah memegang masa depanku. Bagianku saat ini adalah tetap mengerjakan tugas akhir yang bisa dikerjakan dari rumah, dengan perasaan damai sejahtera karena mengetahui bahwa Allah bekerja. Terkait lulus tepat waktu, saat ini aku sudah lebih tenang jika bukan itu yang Allah mau; tapi aku percaya bahwa aku akan lulus pada waktu-Nya.

Pemahaman akan damai sejahtera Allah yang tidak kita dapatkan karena pengertian kita, mengingatkanku untuk tetap berdoa dan meyerahkan kekhawatiranku kepada-Nya. Maka, mari tetap berpengharapan dan menyandarkan kekuatan kita pada Allah, yang sudah menyiapkan rencana terbaik dalam hidup kita.

Untukmu yang juga sedang harap-harap cemas menanti kebijakan terkait tugas akhir, mari percaya bahwa Allah tetap bekerja. Bahwa di tengah kondisi yang terjadi, Allah tetap menjaga, dan itu membuat kita menikmati kedamaian dari-Nya. Lulus pada waktu-Nya juga adalah hal yang indah bukan?

Baca Juga:

Tuhan, Alasanku Bersukacita di Dalam Penderitaan

Habakuk dengan jujur dan berani bertanya kepada Tuhan mengapa ada jurang yang begitu lebar antara apa yang dia percayai dengan situasi yang ada di sekelilingnya. Mungkin kita pun punya pertanyaan yang sama seperti Habakuk. Apakah jawaban Tuhan terhadapnya?

Yuk baca artikel ini.

Berkat yang Kuterima dari Kegagalanku

Oleh Marion Sitanggang, Jakarta

Sejak SMP aku bercita-cita menjadi seorang Psikolog Anak. Profesi itu adalah dambaan bagiku karena aku bisa menolong para orang tua yang kesulitan menghadapi anak-anak mereka, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan psikis anak-anak yang berpengaruh terhadap masa depan mereka.

Supaya cita-cita ini terwujud, aku belajar sungguh-sungguh. Setelah lulus SMA, aku ikut seleksi di beberapa perguruan tinggi negeri, aku memilih jurusan Psikologi di setiap PTN yang kupilih. Tapi, beberapa kali ujian, semuanya gagal. Aku pun ngambek pada Tuhan. Setiap hari pertanyaan di kepalaku, “Kenapa gagal? Kenapa Tuhan kok gak kasih kesempatan itu? Tuhan kan tahu aku pengen banget, kan Tuhan juga sudah lihat usahaku yang hampir setiap hari lembur belajar? Kenapa?”

Larut dalam kecewa membuatku menyerah pada disiplin rohaniku. Aku berdoa seadanya, kalau ingat saja. Ke gereja kalau tidak sedang malas saja. Di pikiranku saat itu, terserah Tuhan saja, toh aku meminta juga Dia gak kasih.

Meski gagal masuk jurusan Psikologi, aku tetap kuliah tahun itu. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi di bawah Kementrian Perindustrian di jurusan Manajemen Bisnis. Jurusan ini kupilih ngasal saja. Yang penting saat ujian tidak ada materi fisika, jadi tentunya kupikir nanti saat kuliah tidak ada mata kuliah fisika.

Semester pertama aku kuliah tanpa semangat. Aku datang, duduk, diam, lalu pulang. Aku tidak belajar kala ujian, tidak ikut kegiatan. Aku tak peduli kuliahku benar atau tidak. Tapi, setelah ujian akhir semester pertama, IP-ku malah 3,67. Bukannya bersyukur, aku malah bertanya, “Kenapa Tuhan? Di saat aku berontak, Engkau malah memberiku sesuatu yang membuatku merasa bersalah sudah mengutuki keadaan. Tuhan, apa mau-Mu?”

Kebingungan itu mendorongku untuk mencoba berdamai dengan kenyataan. Mungkin aku memang tidak bisa kuliah di jurusan idamanku, tapi mungkin juga Tuhan ingin menunjukkan hal lain yang lebih baik. Saat itu, seniorku di kampus sering mengajakku untuk ikut persekutuan. Seniorku mengajakku bergabung dalam kelompok kecil dan aku bersedia.

Sepanjang masa-masa aku tergabung dalam persekutuan dan melayani di sana, aku tertampar oleh banyak sekali ayat-ayat Alkitab. Salah satunya dari Yesaya 55:8, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” Aku teringat bagaimana pedihnya hatiku ketika berhadapan dengan kegagalan. Di awal-awal kuliah aku masih sering menangis dan berandai jika saja aku kuliah di Psikologi. Apalagi setiap ada pengumuman masuk Perguruan Tinggi Negeri, kegagalan itu masih terbayang dan membuatku bertanya lagi pada Tuhan.

Namun seiring waktu, Tuhan nyatanya malah menyertaiku. Kisah hidupku tidak selesai ketika aku gagal, melainkan Tuhan melanjutkannya dengan penyertaan-Nya yang sempurna. Hari lewat hari aku diajar-Nya untuk berdamai dengan keadaan. Melalui doa, persekutuan, dan ibadah Minggu, pelan-pelan aku mengerti bahwa segala sesuatu pastilah terjadi dengan alasan. Aku membayangkan, jika seandainya aku sungguh mendapatkan apa yang aku mau, besar kemungkinan aku akan jadi orang yang serakah dengan segala keinginan dagingku hingga melupakan-Nya. Aku mungkin akan jadi orang yang sombong karena merasa berhasil dengan upayaku sendiri.

Tuhan sungguh baik, Dia menunjukkanku bahwa yang menjadikan hidupku baik bukanlah karena aku mendapatkan apa yang kuinginkan, melainkan karena Dia menyertaiku senantiasa. Hari-hariku melayani-Nya menjadi saat-saat penyembuhanku. Aku sadar Tuhanlah yang sepenuhnya berkuasa. Aku terlalu rakus mengejar mimpi tanpa peduli akan kehendak-Nya, tanpa melibatkan-Nya. Aku telah sombong, merencanakan segala yang baik tanpa sikap berserah.

Kisah yang awalnya gagal Tuhan rangkai dengan amat baik. Sekarang aku telah lulus dari studiku dan meraih IPK 3,74, lebih daripada yang kuminta. Sungguh Tuhan itu baik, teramat baik!

* * *

Kawanku, ceritaku ini adalah cerita tentang kekecewaanku dan bagaimana Tuhan bekerja seturut kehendak-Nya. Setiap tahun akan ada orang-orang yang gagal masuk PTN sepertiku. Aku tahu betapa sesaknya di hati, sampai kata-kata pun hilang dan hati hanya bisa bertanya, “Kenapa?”

Aku berdoa kiranya kamu yang masih bergumul dengan pedihnya kegagalan dapat bertahan melewati saat-saat tersulit sekalipun. Dan untuk kamu yang tahun ini akan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kiranya Tuhan beserta langkahmu.

Siapa pun kamu yang membaca tulisan ini, aku harap kiranya inilah yang jadi pengingat bagi kita semua: bahwa ketika keadaan tidak sesuai dengan rencana dan harapan kita, sekalipun kita sudah berusaha semampu kita atau bahkan lebih, pandanglah pada Yesus. Di tengah perasaan kecewa dan terpuruk, semoga kita bisa melembutkan hati, menerima keadaan, dan mencari Tuhan. Menangislah jika ingin menangis, marahlah jika ingin marah, tetapi jangan sampai menghambat dirimu untuk dituntun Tuhan.

Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya jatuh sampai tergeletak. Tangan-Nya selalu menopang. Dia selalu ada menunggu kita untuk datang kepada-Nya.

Tuhan memberkati dan menyertai kita setiap waktu.