Posts

Aku, si Keong di Antara Macan

Minder, gak percaya diri… Mungkin kita pernah mengalaminya.

Melihat teman yang sudah mapan dalam banyak hal dan melihat diri sendiri yang rasanya “gitu-gitu aja”, seolah benar adanya kalau aku si keong di antara macan: aku berjalan lambat, sedangkan teman-temanku melaju cepat.

Sobat Muda, perjalanan hidup kita dengan orang lain pasti berbeda. Karena itu, hidup bukanlah tentang siapa yang paling cepat, melainkan suatu proses untuk kita belajar banyak hal dan menjalani hidup yang sesungguh-Nya di dalam Dia.

Jadi, jangan patah semangat yaa. Teruslah berproses. Tuhan melihat upayamu dan senantiasa menyertaimu 🤗

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dibelokkan Dulu, Supaya Menemui Jalan Lurus

Oleh Prilia

Masih jelas kuingat, masa-masa ketika banyak energi dan emosi terkuras demi masuk kampus negeri impianku. Dengan segala persiapan dan rencana yang sudah kususun matang, aku yakin betul kalau aku pasti diterima. Tapi, hidup memang tak bisa ditebak. Keyakinan itu pupus, digantikan rasa kecewa dan patah hati yang rasa sakitnya buatku lebih pedih daripada putus cinta. Waktu itu kupikir semua usahaku sia-sia. 

Semenjak menduduki bangku SMA, aku sudah menargetkan jurusan dan universitas yang akan kupilih. Dan ketika sudah kelas 3 (SMA), aku mendaftarkan nilai raporku pada undangan PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Sayangnya, aku gagal dalam undangan tersebut. Aku tidak sedih atau pun kecewa saat itu, toh masih banyak cara untuk masuk PTN, pikirku. Kemudian aku ingin mengikuti tes tulis masuk PTN. Namun, keadaan ekonomi keluarga membuatku berpikir kembali. Kalau aku diterima masuk PTN, selanjutnya bagaimana? Sanggupkah orang tuaku membiayai kuliahku selama 4 tahun?

Obsesiku untuk masuk kampus negeri muncul sejak aku duduk di bangku SMA. Aku sudah menargetkan prodi dan universitas mana yang mau kupilih. Saat aku naik ke kelas XII, kucoba ikut jalur undangan, tapi sayangnya aku gagal. Aku masih optimis, toh masih banyak cara lain, pikirku.

Ditunda dan diputar, tapi demi kebaikan

Namun, rasa optimisku kemudian berbenturan dengan keadaan. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Usia orang tuaku yang sudah cukup tua membuat mereka tidak lagi bekerja. Kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh kedua kakakku yang lulusan SMA. Dengan kondisi ini, aku jadi berpikir lagi. Kalau aku memang bisa diterima, selanjutnya gimana? Aku tidak enak jika harus membebani keluarga. Meskipun aku bisa meraih beasiswa buat uang kuliahku, bagaimana dengan biaya lain-lainnya? 

“Tuhan, aku bingung,” ucapku dalam doa. “Aku mau banget kuliah. Aku mau buat bangga mama dan bapak. Tolong aku, Tuhan.” 

Doa itu dijawab Tuhan, tapi dengan jawaban yang lain. Setelah lulus SMA, aku pun memutuskan untuk bekerja lebih dulu sebelum nantinya mengambil studi. Dari gajiku itu, aku bisa menabung untuk biaya les SBMPTN dan biaya kuliah kelak. Meskipun sudah satu tahun lebih bekerja, tekadku untuk kuliah tidak pernah luntur. Setelah kurasa punya cukup modal, di tahun kedua kerja pasca lulus SMA, kuikuti seleksi masuk PTN. Kuambil cuti kerja 2 hari supaya bisa ikut tes dan mempersiapkannya dengan maksimal. Selama tes berjalan, aku yakin bisa menjawab banyak pertanyaan dengan benar. Aku optimis pasti lolos. Beberapa hari kemudian hasil pengumuman tes tulis itu keluar.

Aku sudah menabung, sangat siap untuk melepaskan pekerjaan jika dapat universitas negeri. Namun, harapanku sirna. Aku tidak lolos. 

Terkejut, kecewa, patah hati, sampai aku terdiam sekian lama dan tak bisa berkata apa-apa. 

Aku coba refresh lagi pengumuman hasil tes tulisku di situs SBMPTN, namun hasilnya tak berubah. “JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT!” Tulisan ber-font besar di layar komputer kantor yang harusnya memotivasiku itu, kupandang sebagai bentuk kegagalan dan kesia-siaan atas usahaku.

Aku luruh, tidak dapat menahan tangis di meja kantor. “Aku sudah mengorbankan banyak hal. Waktu, materi, pikiran, tenaga, dan banyak lagi. Tapi kenapa aku tidak lolos? Ini impianku sejak lama. Hasil ini rasanya tidak adil!” Aku menggugat Tuhan. 

Berhari-hari aku memikirkan hal ini. Tidak ada lagi harapan masuk universitas negeri karena batas waktuku melakukan tes tulis sudah habis, dan umurku juga sudah bukan lagi umur anak SMA yang baru lulus. Dalam kesedihan itu, aku berusaha untuk ikhlas. Dukungan orang tua yang menenangkan juga membantuku kembali bangkit. Jauh di lubuk hati, keinginanku untuk kuliah masih ada. Kakakku dan rekan-rekan di tempat kerjaku pun mendukung keinginanku itu, tapi mereka mengusulkanku untuk mengambil ospi lain, yaitu kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS).

Kata mereka, meskipun kuliah di PTS biayanya lebih besar daripada di PTN, tapi ada kampus yang menyediakan opsi kelas karyawan. Jadi, sembari kuliah, aku tetap bisa bekerja. 

Saran itu kupertimbangkan dan kurasa baik. Kuputuskan untuk kuliah di PTS dan mengambil kelas karyawan. Pagi hingga sore aku bekerja, malamnya lanjut kuliah. Kupilih satu universitas di Jakarta yang akreditasinya baik, biaya dan lokasinya terjangkau buatku. 

Hari-hariku menjalani kuliah sembari bekerja rupanya perlahan menyadarkanku akan penyertaan dan rencana Tuhan padaku.

Aku bersyukur, HRD kantorku mendukungku untuk kerja sambil kuliah. Kalau ada ujian semester di jam kerja, beliau memberiku izin. Dosen-dosen pengajarku juga memahami keadaan mahasiswa yang terlambat masuk kelas karena jam pulang kerja tiap perusahaan berbeda. Teman-teman kuliahku yang bekerja di beragam perusahaan juga memberiku banyak wawasan baru dari pengalaman mereka. Di sinilah aku mulai menikmati perkuliahanku. Orang-orang yang kutemui turut membentuk pola pikirku jadi lebih dewasa. Dalam hal ini, aku percaya, lingkungan dapat membawa pengaruh pada seseorang.

Satu hal lagi yang membuatku semakin bersyukur kuliah di universitas swasta. Aku mendapatkan potongan biaya semester 20% karena nilai IPK yang baik, serta mendapatkan beasiswa selama dua tahun. Meskipun pada tahun ketiga perusahaanku mengurangi jumlah karyawan, dan aku pun kehilangan pekerjaanku, namun ada saja cara Tuhan menopangku. Tuhan menggerakkan hati saudaraku untuk mendukung biaya studiku sampai lulus. Di sinilah aku mengalami betul apa yang kuimani, bahwa jika Tuhan mengantarku pada suatu perjalanan, Dia pasti memastikan aku tiba di tujuan. Berkat demi berkat yang kuterima membuatku menangis bersyukur karena meskipun jalanku berbelok dan berputar jauh, ternyata Tuhan begitu memperhatikan keadaanku.

Rencana Tuhan tak pernah terbayangkan di benakku. Begitu banyak hal-hal berharga yang kudapat dari-Nya. Dari sini aku belajar bahwa tiap rencana yang sudah kususun dengan matang, bahkan dengan perjuangan keras, adalah upaya yang Tuhan berkati. Meskipun tidak semua upaya kita menjumpai hasil yang sesuai dengan keinginan kita, namun dalam hikmat-Nya, Tuhan pasti dan selalu memberikan yang terbaik buat kita. Rencana Tuhan luar biasa, kadang di luar akal manusia. 

Kawan, jika saat ini ada rencanamu yang tak berjalan mulus, atau kamu mengalami kegagalan, percayalah kalau jalan yang Tuhan rencanakan adalah jalan yang membawa kebaikan untuk hidupmu. Percayalah, Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu dan tak ada rencana-Nya yang gagal (Ayub 42:2).

Ingatlah, yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita bukanlah diri kita sendiri, tapi Tuhan Allah, Sang Pencipta yang begitu mengasihi kita. Dan biarlah setiap pengalaman hidup yang kita lalui dapat menjadi bukti bahwa begitu besar dan dahsyat-Nya kasih Tuhan kepada kita. Aku percaya, Tuhan melihat segala hal yang terjadi. Dia mengerti, dan Dia peduli.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Drama Skripsi dan Wajah-wajah yang Menopang

Oleh Alvianus Gama

“Alex!”, sahut mamaku dari arah kamarnya saat aku sedang bergegas menaiki tangga ke kamarku di lantai atas.

“Ya Ma, kenapa?”, jawabku pendek.

“Mama mau ngobrol dulu bentar”, jawab mama dengan muka yang terlihat serius.

Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa gerangan?

“Mama sama papa udah sebulan ini berdoa tiap malem buat kuliah kamu. Tapi setiap kali berdoa kok rasanya nggak damai ya, jadi mama mau nanya langsung aja ke kamu, sebenarnya kuliah kamu tuh gimana? Coba cerita dong…”, kata mamaku penuh harap.

Aku tertunduk diam. Ini adalah pertanyaan yang paling aku takutkan selama ini. Takut akan konsekuensi yang akan aku hadapi nanti.

Mamaku adalah seorang ahli hukum yang sukses dalam pekerjaannya. Ia seorang yang antusias dan penuh semangat, selalu memotivasi aku dan kakakku untuk maju dalam segala hal. Dalam kesibukannya bertemu dengan klien setiap hari, ia selalu bisa menyisihkan waktu untuk memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan papaku adalah seorang yang berpendirian keras dan berkemauan kuat, yang mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri. Papa adalah sosok ayah yang selalu menemukan berbagai macam cara untuk memperbaiki peralatan rumah yang rusak, mulai dari meja yang patah kakinya, keran air yang bocor, hingga mobil yang mogok, atau motor yang rusak. Agaknya inilah yang membuatku lebih mudah untuk bercerita kepada mama untuk segala urusan, termasuk kuliahku. Cerita ke papa? Hmmm nanti dulu.

“Gimana Lex? Ayo cerita dong…”, ujar mamaku menantikan jawaban.

Aku menghela nafas panjang. Susah rasanya untuk membuka mulutku dan mulai cerita. Saat itu, aku seolah tak punya alasan lain untuk menghindar dari pertanyaannya selain menarik tangan mamaku dan mengajaknya ngobrol di kamarku. Di dalam kamar pun, aku tetap sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku dalam kata-kata. Di momen-momen sunyi yang menyiksa itu, tanpa aku bisa kuasai, air mata mengalir begitu saja. Aku lihat mama menatapku heran, menyaksikan anak laki-lakinya terisak sambil menunggu penjelasan.

”Kenapa kamu nak? Coba jujur aja, cerita ke mama, gimana sebenarnya?” ujarnya lembut sambil memegang tanganku erat.

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha menenangkan hati dan emosiku. Dengan nafas yang tak beraturan, aku mulai menceritakan pada mamaku bahwa sebenarnya sudah 2 tahun ini aku menelantarkan kuliahku. Selama ini aku berbohong pada mamaku terkait kuliahku.

Aku tertunduk malu dan berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan langsung mamaku. Perlahan aku bisa mendengar mamaku juga ikutan menangis. Ia tampak begitu terpukul dan nggak percaya kalau anak yang selama ini dia banggakan, yang punya IPK bagus dan di atas rata-rata teman kuliahnya, anak yang nyaris nggak pernah punya masalah, tiba-tiba membawa kabar yang tak pernah ia sangka-sangka, seperti mendengar suara geledek di siang bolong.

Sejak 2 tahun yang lalu, aku sebetulnya sudah masuk dalam semester akhir dari kuliahku dan menurut hitungan waktu, aku seharusnya sudah menyelesaikan skripsiku di paruh kedua tahun 2020. Tapi pada kenyataannya, alih-alih membereskan skripsi, untuk sekadar memilih topik dan menentukan judul pun belum aku lakukan. Sudah hampir 4 semester ini aku nggak bayar uang kuliahku. Parahnya lagi, kalau ditanya terkait uang kuliah, aku selalu menemukan cara untuk berbohong bahwa aku sudah membayarnya, padahal belum aku bayar dan ngga ada satu pun terkait skripsiku yang aku kerjakan. Entah kenapa, untuk urusan skripsi ini, aku ngerasa nggak bisa, aku frustasi. Aku merasa stuck di program studi yang aku pilih ini. Semua ini terasa mudah aku lakoni karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa semua perkuliahan dan tugas akhir dilakukan secara daring, sehingga tidak ada kecurigaan sedikitpun dari mamaku karena aku tidak perlu lagi pergi ke kampus, hanya diam di kamar seolah-olah sedang mengikuti perkuliahan secara daring.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku terdalam, aku sangat menyukai pelajaran bahasa lebih daripada program studi Akuntansi yang aku ambil sekarang. Bahkan dalam masa-masa awal perkuliahan, aku sudah membayangkan untuk menjadi ahli bahasa, bertemu, bernegosiasi dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Dalam hati, aku pun bertekad untuk pindah jurusan ke program studi bahasa dan memulai dari awal. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku untuk aku lakukan ke depan.

Dan kalau aku ingat lagi, beberapa bulan sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi, aku pernah mengikuti tes minat dan bakat untuk mengetahui program studi mana yang cocok buatku dan menurut hasil tes, aku cocok untuk masuk program studi Akuntansi karena aku terbukti jago dengan angka-angka. Entah kenapa, setelah 4 tahun aku jalani perkuliahan ini, aku benar-benar merasa telah salah memilih program studi. Bukan ini yang aku sukai. Bukan ini Tuhan.

“Selama ini mama pikir kalau kamu sedang nyelesain skripsi, karena kamu yang bilang gitu kan ke mama!” ujar mamaku melanjutkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku terdiam membisu. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Mama yang selama ini tegar dan bersemangat, saat itu kulihat menutupi mukanya dan berulang kali menyatakan ketidakpercayaannya akan berita yang ia terima. Ia mencoba membujukku untuk tetap meneruskan studiku karena sudah kepalang tanggung, tinggal menyelesaikan skripsi saja, tapi aku bersikukuh dengan keinginanku untuk pindah jurusan. Kami pun bersitegang mengenai masalah ini dan sore itu berlalu tanpa ada jalan keluar. Kami menyudahi pembicaraan tanpa ada keputusan apa-apa. Sore yang dingin.

Tanpa kusangka, keesokan sorenya, aku dikejutkan dengan berita yang aku terima. Tanpa sepengetahuanku, setelah berdiskusi dan meminta saran dari beberapa anggota keluarga, mamaku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berkonsultasi dengan ketua program studi. Ia mencoba untuk mengajukan permohonan agar skripsiku dapat diberi perpanjangan waktu. Mengetahui hal ini, tentu saja membuatku mengamuk. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Aku merasa seolah-olah mamaku tidak mendengar sama sekali keluhanku selama 2 tahun ini. Aku sudah bilang aku nggak sanggup, tapi kenapa tetap memaksakan keinginan ini?

Mama mencoba meyakinkan aku kalau Tuhan yang kasih jalan untuk aku mendapat perpanjangan waktu, artinya Tuhan akan membantuku untuk menyelesaikannya. Di sisi yang lain, aku jadi bertanya-tanya, bukankah itu artinya Tuhan tidak mendengar doaku buat pindah program studi? Apa Tuhan pun nggak melihat kalau aku nggak sanggup? Aku speechless.

Keesokan harinya, mama kembali mendatangi kamarku untuk menanyakan keadaanku. Ia khawatir dengan reaksiku kemarin setelah aku meluapkan kekesalan dan amarah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya agar aku dapat menyelesaikan kuliahku saat ini. Ia mengingatkanku akan semua perjuangan yang sudah aku lakukan, mulai dari awal perkuliahan hingga kerja praktek. Ia memintaku untuk belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.

Ada satu kalimat yang hingga saat ini aku ingat, yang berkata bahwa kalau Tuhan sudah menolongku hingga sejauh ini, Tuhan juga akan menolong menyelesaikan perjalanan ini. Agaknya Tuhan mulai melembutkan hatiku saat itu. Amarahku mereda dan aku mulai mencoba untuk melihat masalah yang kuhadapi dari sisi lain. Aku sadar aku begitu egois dan ingin menang sendiri. Aku pun tahu mama bukan orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Ia orang yang fair, berani mengakui kesalahannya dan selalu berterus terang kepada anak-anaknya.

Yang lebih membuatku semakin menyadari bahwa Tuhan mendengar doa dan usaha mamaku adalah ketika aku diberitahu bahwa pihak Fakultas akan berusaha sebisa mungkin agar aku bisa kembali mendapat kesempatan menyelesaikan skripsi yang sudah tertunda selama 2 tahun. Yang membuat terheran-heran, semua urusan itu bisa diselesaikan hanya dalam satu hari saja, padahal selama 2 tahun statusku tanpa kabar itu aku yakin akan berakhir dengan keputusan DO dari kampus.

Saat ini aku merasa senang dan bersemangat. Walaupun papa dan kakakku tidak mengutarakan perasaan mereka, tapi mereka menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampaknya ingin berbuat sesuatu untuk menyemangatiku, dengan cara mereka sendiri. Aku merasa didukung dan ini semakin membesarkan hatiku. Setiap babak baru dalam perjalanan hidup kita berisi tanda tanya dan ketidakpastian. Kita jadi ragu-ragu dan takut. Pada saat seperti ini aku ingat pemazmur yang berbisik meminta topangan dari Tuhan,”Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu…” (Mazmur 119:16).

Saat tulisan ini dibuat, pihak fakultas memberiku 3 bulan waktu perpanjangan agar aku bisa menyelesaikan skripsiku. Berita baiknya lagi, aku bisa mendapat pembimbing skripsi yang aku idolakan selama ini, dosen yang sangat menolong dan memotivasi aku untuk menyelesaikan skripsiku. Aku merasa seperti seorang pendosa yang mendapat anugerah pengampunan yang besar dari Tuhan. Aku tahu ini memang saat-saat yang berat dan penuh perjuangan, tapi aku siap memulai kembali dan aku tahu Tuhan akan menyanggupkan aku. Mungkin perjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini hanya 3 bulan saja, tapi perjalanan hidupku masih puluhan tahun ke depan. Akan jadi apa aku nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidupku?

Saat aku bingung, bimbang, dan takut, aku teringat wajah-wajah yang menopang aku. Wajah mama, wajah papa, wajah kakakku dan orang-orang yang mengasihiku. Aku semakin mantap. Terima kasih Tuhan untuk mereka. Terima kasih Tuhan untuk kasihmu.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya” –Mazmur 37:23-24.

Tuhan Buka Jalan, di Saat Tiada Jalan

Oleh Angel Latuheru, Ambon

Penderitaan menyadarkan manusia bahwa dirinya rapuh, oleh karena itu kita membutuhkan kehadiran sosok Ilahi. Ada suatu momen penderitaan yang mengubah caraku memaknai imanku. Kejadian ini berlangsung pada tahun 2019.

Di awal tahun itu, aku sedang menyelesaikan studi S-2 di universitas swasta di Jawa Tengah. Kampus mewajibkanku melunasi pembayaran uang kuliah paling lambat tanggal 7 Januari 2019. Namun, tak disangka-sangka, cobaan datang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Tepat di tanggal 1 Januari 2019, ibuku dilarikan ke rumah sakit di tengah kondisi finansial keluarga yang sedang kacau balau. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan saja sudah sulit, sekarang ditambah harus masuk rumah sakit.

Ibuku didiagnosis menderita pneumonia yang mengakibatkan batuk dan sesak napas. Setelah serangkaian pemeriksaan, paru-paru beliau harus segera ditangani menggunakan metode Thoracentesis, yakni penyedotan cairan yang menumpuk di dalam rongga pleura paru-paru.

Beberapa orang anggota keluarga mulai meneleponku. Mereka mengabari kondisi kesehatan ibu, sesekali juga menekankan bahwa biaya rumah sakit terlalu besar, sehingga aku harus mengambil cuti kuliah. Aku tahu betul bahwa tabungan orang tuaku telah terkuras habis. Semenjak ayah pensiun, uang tabungan banyak terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan anak-anak. Kalau saja orang tuaku memiliki tabungan saat itu, tentunya aku lebih memilih uang tersebut dipakai untuk kebutuhan berobat ibu dibandingkan kebutuhan kuliahku. Jika kuliah terhenti masih boleh dilanjutkan, tetapi kondisi kesehatan yang memburuk dapat berakhir kehilangan nyawa. “Pasrah” ialah satu-satunya kata yang terlintas dibenak saat itu.

“Jika Tuhan sudah menempatkanku di garis start, maka Tuhan pasti akan menyertai hingga titik finish,” gumamku di dalam hati.

Aku mengimani apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 15:58: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia”. Semua jerih lelah tidak akan luput dari pandangan Tuhan. Mungkin perjalanan hidup mempertemukanku dengan awan hitam, bahkan badai, tetapi aku beriman pada waktu-Nya badai akan berlalu dan awan hitam akan digantikan pelangi di langit yang cerah.

Hari-hari terasa sulit dijalani ketika mengetahui kondisi ibu yang sakit dan aku harus memahami bahwa kuliahku akan terhenti pada semester akhir. Padahal jika aku mengambil cuti kuliah, maka kedepannya orang tuaku harus mengeluarkan biaya kuliah yang lebih besar agar aku dapat menyelesaikan studi S-2.

Dalam kondisi yang sedang merenung di kamar kos berukuran 3×3, tiba-tiba saja aku menerima telepon dari ibuku, yang kuberi nama kontak sebagai “Ibu Negara”. Beliau berkata:

“Nona, kuliahnya bagaimana? Kapan harus bayar uang kuliah?”

“Sudah harus dibayar Ma, terakhir tanggal 7, tapi nanti kakak ambil cuti kuliah aja. Kan mama lagi sakit pasti butuh biaya yang banyak.”

Mendengar jawabanku, beliau terdiam sejenak dan berkata:

“Nona tidak boleh berhenti kuliah. Pokoknya mama akan usahakan untuk mengirim uang kuliah sebelum tanggal 7.”

Ketika beliau berkata seperti itu, terdengar suara lantang di sebelahnya berkata; “Dari mana mau dapat uang buat bayar kuliah, mau nyuri? Buat berobat aja ini kita ngga punya uang. Jangan maksain keadaan!”

Mendengar kalimat tersebut ibuku hanya terdiam. Setelah pembicaraan berakhir, tangisku tidak bisa lagi dibendung. Aku tidak dapat menyangka, ibuku tetap mengkhawatirkan pendidikan anaknya dibandingkan kondisi kesehatannya sendiri. Ibuku melakukan hal yang bertolak belakang dengan banyak orang saat itu. Ketika mayoritas anggota keluarga menghantarku ke tepian untuk mengorbankan pendidikanku, ibuku dalam sakit yang dideritanya tetap mempercayai bahwa Tuhan akan membantu tepat pada waktu-Nya dan aku tetap harus melanjutkan studiku.

Saat itu pelarianku hanyalah doa, dengan percaya bahwa “God’s plan is always the best plan”. Terpatri benar di dalam ingatan saat itu, firman yang kubaca sebelum berdoa ialah Yesaya 55: 6-13, di kemudian hari ayat ini sering aku pakai ketika melakukan pelayanan. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8) Dari ayat inilah keyakinan, kepercayaan, dan pengharapan itu kembali datang. Aku mulai mengerti bahwa seberat apapun penderitaan hidup yang sedang dialami, aku harus tetap setia untuk mempercayakan hidup ini kepada Tuhan.

Tanggal 5 Januari 2019, pukul 08.00 WIB aku berencana untuk pergi ke kampus menanyakan persyaratan untuk mengurus cuti kuliah. Aku bergegas pagi-pagi karena pada hari Sabtu kantor administrasi kampus hanya buka hingga pukul 12.00 WIB. Saat hendak berangkat sekitar jam 07.30 WIB yang artinya waktu Indonesia timur menunjukkan pukul 09.30 ibu meneleponku untuk memberitahukan bahwa beliau akan segera menjalani prosedur medis dan uang kuliahku sudah ditransfer. Ternyata seorang saudara dekat membantu secara diam-diam. Tanpa pikir panjang “orang baik” tersebut bersedia membantu menanggung biaya rumah sakit dan biaya kuliahku. Beliau membantu tanpa membicarakan kepada seorangpun tentang apa yang telah beliau lakukan.

Tiba-tiba saja dalam kesulitan yang sedang keluargaku hadapi, dan saat aku berpikir tidak ada lagi kemungkinan untuk mengikuti semester akhir, Tuhan menunjukkan kuasa tepat pada waktu-Nya. Iman ibuku menyelamatkannya dan masa depanku. Iman ibuku menyadarkan aku bahwa seberat apapun cobaan hidup yang dihadapi, pengharapan kepada Tuhan tidak boleh sirna.

Hampir tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutku, karena rasa syukur atas kebaikan Tuhan. Sedari saat itu hingga tahun 2022 ini, aku dan keluarga selalu mengingat bahwa kami pernah melalui awal tahun yang berat bersama Tuhan. Awal tahun yang memberi kami kekuatan iman untuk menghadapi penderitaan lainnya di kemudian hari.

Gimana Kalau Kamu Gak Pernah Menemukan Passionmu?

Oleh Jiaming Zeng
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What If I Can’t Find My Passion?

“Gimana cara menemukan passion?”

Pertanyaan itu kuketik di Google, di tahun pertama kuliah pasca-sarjana. Kutanya dosenku, teman sebayaku. Kata mereka, passion itu sesuatu yang membuat kita antusias di pagi hari; sesuatu yang saat kita mau tidur pun, masih terbayang di pikiran; atau, sesuatu yang ingin sekali kamu lakukan sepanjang hidupmu. Itu semua kata mereka, bukan kataku.

Ada satu hal yang selalu kupikirkan tentang passion. Inilah yang dulu kuceritakan ke orang tuaku ketika aku masih kecil. Ini jugalah yang kucari tahu di Google, saat aku berdebat tentang keputusan-keputusan hidupku di tahun pertama kuliah doktoral. Aku selalu ingin jadi penulis. Aku membayangkan diriku menulis novel fiksi seperti J.K Rowling atau Jane Austen.

Namun, bagi orang tua Asia, menulis bukanlah pilihan karier yang gemilang. Lagipula, aku suka matematika, memecahkan masalah, dan mengerjakan proyek-proyek riset. Tapi, aku tidak memikirkan angka-angka sebelum tidur. Pun rumus-rumus matematika tidak muncul di pagi hari saat aku bangun. Faktanya, aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku jika bekerja di bidang matematika sepanjang usiaku.

Dilema ini menyiksaku selama setahun pertama. Apakah artinya hidup jika aku tidak mengerjakan apa yang kusuka? Apa jadinya jika aku dapat gelar Ph.D tapi di bidang yang bukan minatku?

Kebenarannya: tak peduli seberapa besar passion menggerakkan kita, seberapa cinta kita pada pekerjaan… kita selalu bertanya pada diri kita sendiri seperti yang dikatakan Pengkhotbah: untuk apakah kita berjerih lelah? Apakah artinya? (Pengkotbah 2:20-23). Bahkan Raja Salomo, dengan kesuksesan dan kebijaksanaannya, tak mampu menemukan makna dari perbuatan tangannya.

Pekerjaan—atau status, relasi, hobi—bukanlah tempat di mana kita harus menemukan makna. Makna datang dari relasi kita dengan Allah. Pengejaran kita akan passion, atau hal lain takkan pernah sungguh-sungguh memuaskan kita. Namun, kita bisa menemukan sukacita dan kepuasan dalam pekerjaan, seperti yang Salomo amati: “setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagianya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya–juga itupun karunia Allah” (Pengkhotbah 5:19).

Menemukan sukacita dalam berjerih lelah

Bagiku, krisis menemukan passion tidak hilang dalam semalam. Aku tetap melanjutkan studi doktoral. Aku mengambil kelas-kelas wajib, menyelesaikan tiap tugas, dan berusaha mencari topik untuk disertasi. Aku bisa bertahan di sana karena itu adalah pekerjaanku.

Seiring dengan fokusku yang bergeser dari ambisi pribadi, sikapku terhadap penelitianku juga mulai berubah. Aku mulai melihat langkah potensial dan aplikatif dari model matematikaku. Alih-alih mengembangkan algoritma, aku lebih tertarik untuk mencari penerapan praktis agar bisa diterapkan di dunia nyata.

Area penelitian yang kupilih adalah pelayanan kesehatan. Usul ini diberikan dari pembimbingku, tapi awalnya aku menolak. Memikirkan pertumbuhan sel kanker atau menganalisa efek dari kemoterapi pada kematian pasien terasa mengerikan buatku. Namun, seiring aku bekerja dan belajar, aku sadar kalau hari-hariku yang membosankan di depan komputer bisa menjadi penjelajahan menantang, yang memberikan dampak pada hidup para pasien.

Pekerjaanku bukanlah tentangku atau tentang pengejaranku akan passion. Hasil dari kerjaku bisa menolong orang-orang dalam mengambil keputusan tentang kesehatan mereka. Dan, di sinilah aku menemukan sukacitanya. Tuhan selalu menempatkanku di tempat yang tepat. Tapi sebelumnya, aku tidak bisa melihatnya. Barulah saat aku mengalihkan fokusku dari diriku sendiri kepada Tuhan, aku sadar bahwa Dia memberiku sesuatu yang tidak hanya kunikmati sendiri, tapi juga bisa menolong orang lain.

Tujuan utama dalam bekerja bukanlah untuk memuaskan kita, tapi untuk kita menjadi penatalayan dari apa yang Tuhan telah berikan pada kita di dunia ini. Dalam pengejaran kita mencari passion, kita seringkali menjadi buta dari apa yang Tuhan telah siapkan buat kita. C.S Lewis berkata:

“Give up yourself, and you’ll find your real self. Lose your life and you will save it. […] Nothing that you have not given awal will ever be really yours.”

Lepaskan dirimu, maka akan kau temukan dirimu yang sesungguhnya. Lepaskan hidupmu, maka kau akan mendapatkannya. Sesungguhnya tidak ada yang tidak kau lepaskan yang pernah benar-benar menjadi milikmu.

Untuk menemukan passion, kita harus melepaskan ambisi kita, dan bukalah diri untuk menerima apa yang Tuhan telah tetapkan buat kita.

Membarui konsep kita tentang passion

Sikap melepaskan mengubah hati dan pikiran kita. Kita akhirnya dapat melihat lebih banyak daripada sebelumnya. Seiring aku belajar melepas berhala dalam diriku, Tuhan menunjukkanku bahwa ada lebih banyak kebebasan ketika aku berfokus pada-Nya. Caraku dulu untuk menemukan passion adalah salah dan terlalu menyederhanakan. Hidup dan impian jauh lebih rumit dan dipenuhi banyak kemungkinan lebih dari yang bisa kubayangkan. Dan…ketika Tuhan adalah penulis hidupku, Dia memberiku kebebasan untuk percaya dan taat pada suara-Nya lebih dari pada suara hatiku sendiri.

Ketika aku belajar percaya dan taat bimbingan-Nya, aku melihat Tuhan pun sebenarnya peduli akan mimpi-mimpiku di masa kecil. Ketika aku siap, Dia akan menuntunku kembali pada impian itu pada cara yang tak terduga. Contohnya, Tuhan memberiku kesempatan untuk menulis bagi-Nya lewat majalan kampus. Memang bukan novel fiksi yang kubayangkan, tapi tulisan tentang kasih dan penyertaan-Nya. Dan… di sinilah aku sekarang, menulis buatmu. Hidupku saat ini memang tidak seperti impianku dulu, tetapi aku yakin apa yang Tuhan berikan selalu lebih masuk akal daripada pikiranku.

Di tahun pertamaku aku tak pernah menemukan apa yang jadi passion-ku, tapi aku belajar bahwa ada cerita yang lebih besar. Melalui prosesnya, aku menemukan kebebasan, penghiburan, dan sukacita dari pekerjaanku. Tak ada yang tahu bagaimana kelak aku akan menulis atau tetap bekerja di riset. Yang kutahu adalah perjalanan ini masih berlangsung. Aku percaya Tuhan selalu ada untuk membimbing dan menunjukkanku jalan. Lagipula, Tuhanlah yang menenun hal-hal kecil yang kita lakukan menjadi sebuah kisah yang jauh lebih besar dan hebat dari apa pun yang kita bayangkan.

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Oleh Aryanto Wijaya

Kemarin (14/6), ungkapan bahagia muncul di beberapa Instagram story teman-temanku. Mereka lolos seleksi masuk perguruan tinggi. Tak ketinggalan, sekolah yang menjadi almamaterku juga membuat postingan yang berisi ucapan selamat atas siswa-siswinya yang berhasil menembus seleksi akbar tersebut.

Tatkala teman-teman yang berhasil menumpahkan haru bahagianya, ada pula teman-teman yang gagal dalam seleksi tersebut. Beberapa sanggup berlapang dada, tapi beberapa lainnya kecewa dan memilih untuk menyembunyikan diri untuk sejenak.

Euforia yang bercampur aduk dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri—was-was, takut, kecewa, senang, atau sedih—juga pernah kualami ketika aku jadi siswa SMA. Aku yang belajar di sekolah swasta pernah punya semangat membara untuk masuk ke perguruan tinggi negeri favorit. Semangat itu mewujud dalam upaya belajar pantang lelah, ikut bimbel yang konon katanya menambah peluang bisa diterima, dan lain-lainnya. Tapi, jalan hidupku pada akhirnya tidak mengantarku studi ke kampus negeri yang kudambakan. Aku kuliah di kampus swasta dan bekerja pula di sektor swasta sampai detik ini.

Namun, hal yang menarik dari impian yang gagal terwujud itu ialah, jalan hidup kita terlalu panjang untuk didefinisikan hanya oleh satu pertandingan. Bayangkanlah kamu diberi Tuhan usia selama 70 tahun. Apakah perjalanan hidup di seluruh usia tersebut suram hanya karena kegagalan di satu babak pada usia 18 tahun? Jika 70 dikurangi 18, maka ada sisa waktu sepanjang 52 tahun, waktu yang panjang untuk kita isi dengan banyak hal yang berarti.

Ada satu kisah menarik dari Alkitab yang pesannya tetap bergema dan relevan bagi kita di masa kini, meskipun memang kisah ini tidak bicara spesifik tentang gagal ujian masuk kuliah karena toh pada zaman Alkitab belum ada institusi perguruan tinggi.

Kita ingat dengan kisah Yusuf yang hidupnya dipenuhi kemalangan karena rasa iri hati saudara-saudaranya. Yusuf dilemparkan ke dalam sumur dan dijual kepada orang Mesir. Seorang anak yang paling disayang oleh ayahnya dipisahkan secara paksa. Jika kita membayangkan ada di posisi Yusuf, sangatlah pedih tentu hati ini. Bertahun-tahun setelah terusir dari keluarganya sendiri, Yusuf bekerja di rumah Potifar lalu dijebloskan ke penjara karena menolak ajakan bersetubuh dari istri sang tuan rumah. Dari kacamata manusia, kita melihat ini sebagai kemalangan yang bertubi-tubi bagi Yusuf.

Namun, ada hal yang menarik yang bisa kita cermati. Kejadian 39:21 menulis demikian:

“Tetapi TUHAN menyertai Yusuf dan melimpahkan kasih setia-Nya kepadanya…”

Kalimat “Tuhan menyertai” ini muncul di tengah kemalangan berat yang Yusuf hadapi. Tak hanya tertulis satu kali, pada ayat-ayat lainnya (Kej 39 ayat 2, 21, 23) juga tertulis demikian.

Hidup di dunia ini menawarkan kejutan demi kejutan, termasuk kegagalan, jadi anggaplah sebagai keindahan hidup yang harus kita nikmati ketika kita menghadapi kegagalan. Dengan begitu hidup menjadi tidak membosankan, kita tidak harus seperti robot yang harus selalu sesuai dengan rencana yang ditetapkan.

Bukankah hanya orang mati yang tidak akan pernah gagal? Karena ia tidak mencoba untuk melakukan apapun dan tidak menjadi apapun. Jadi kalau kita berkeinginan untuk tidak pernah gagal, kita sama saja dengan orang mati. Oleh karena itu, kegagalan yang kita alami hari ini sesederhana menunjukkan bahwa kita sedang berproses dalam hidup.

Ketika kegagalan menghadang, kita mungkin berpikir bahwa itu dihadirkan Allah sebagai hukuman atas perbuatan kita. Tetapi, bukan soal hukuman atau tidak yang seharusnya kita pusingkan, karena kita tahu bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), dan segala sesuatu diizinkan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya (Roma 8:28).

Tidak masalah apabila ada di antara kita yang ingin meluangkan waktu-waktunya sejenak untuk meratap dan kecewa atas kegagalan masuk di perguruan tinggi negeri, tetapi kembalilah tenang dan ingat bahwa dalam gagal atau berhasil, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Gagal dalam masuk perguruan tinggi tidak mutlak karena kita kurang berusaha atau bodoh, karena perguruan tinggi negeri diminati oleh ratusan ribu hingga jutaan siswa, sedangkan kuota yang tersedia tidak sepadan dengan tingginya peminat. Alhasil, tentu ada orang-orang yang harus tersingkir dari kompetisi ini.

Janganlah kiranya kamu berkecil hati dan padam semangatmu. Kegagalan adalah bagian yang tak terelakkan dalam kehidupan. Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk yang lain. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Teruntuk teman-teman yang gagal, damai dan ketenangan dari Tuhan kiranya mendekapmu dengan hangat agar esok kamu bisa bangkit kembali dan menikmati perjalananmu bersama Tuhan, sang penulis hidup.

Baca Juga:

Lebar atau Sempit: Mana yang Kau Pilih?

Jalan lebar dan sempit sering dianalogikan sebagai dua sikap dalam mengikut Yesus. Ketika kita harus memilih salah satu dari dua jalan ini, apa sih yang seharusnya kita ketahui dari keduanya?

Bagaimana Usia 20-an Mengajariku Cara Pandang Baru untuk Menjalin Relasi

Oleh Winnie Little, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What My 20s taught Me About Relationships

Ketika aku memasuki usia 21 tahun—angka yang dianggap sebagai tahun pencapaian di banyak budaya—aku merasa yakin kalau aku sudah punya cukup kemampuan dan kedewasaan untuk menjalani kehidupan. Aku tinggal bersama dua kawan dekatku di kota yang indah. Kami menghabiskan kebanyakan waktu kami untuk belajar, mengobrol, dan jalan-jalan bareng. Sebentar lagi aku akan melanjutkan studi di program pasca sarjana. Masa depan yang cerah menanti di depanku.

Aku pun pulang ke kota asalku dan melanjutkan studi pasca sarjanaku di sana. Namun, aku jadi berpisah dengan teman-temanku dekatku di perantauan dulu. Dan, yang menyebalkan adalah: setelah bertahun-tahun hidup mandiri, aku merasa benci tinggal di rumah. Dengan segera jadwal kuliah yang super padat menghancurkan kepercayaan diri yang telah kubangun. Masalah-masalah datang silih berganti: kekhawatiran akan keuanganku, kesepian, dan relasiku dengan keluargaku yang tegang. Masalah-masalah ini terus ada sampai hampir sepuluh tahun. Kendati ada masa-masa sulit yang kulalui, ada pula beberapa pelajaran berharga yang mengubah hidupku yang bisa kupelajari.

Inilah beberapa pelajaran tersebut:

1. Bangun relasimu

Jelang akhir kuliahku, aku tinggal bersama sembilan mahasiswi lain. Satu di antara mereka sangat ramah dan selalu mengobrol denganku setiap kali aku pulang kuliah malam. Kami sama-sama Kristen dan punya selera humor yang sama pula. Aku menyayangi dia dan bersyukur karena kami bisa jadi kawan karib. Namun, aku sering khawatir setiap kali mulai mengerjakan tesis sehingga tiap pembicaraan singkat dengan temanku itu selalu terasa menyenangkan. Aku berusaha terhubung dengannya di liburan semesteran, tapi seringkali aku menunda untuk menghubunginya sampai akhirnya proses kuliah berjalan lagi. Aku terlanjur jadi sibuk lagi.

Di musim panas, aku mendapat kabar bahwa temanku itu telah meninggal dunia. Aku kaget setengah mati ketika menyadari aku tak akan lagi bisa berjumpa dengannya, berdoa bersama, atau sekadar mengirimkan kata-kata penguatan buatnya. Aku dipenuhi penyesalan, seharusnya aku bisa memanfaatkan libur di jeda semester untuk bertemu dan membangun relasi dengannya.

Dalam 1 Petrus 4:7-8, Petrus menulis: “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” Meski aku sudah tahu ayat ini, aku sekarang lebih menyadari betapa keluarga, teman-teman, dan rekan sekerja kita di bumi punya waktu yang terbatas untuk bersama-sama dengan kita. Oleh karenanya, aku secara aktif berusaha mencari kesempatan untuk berbuat baik pada mereka. Aku berusaha mengingat tanggal-tanggal penting. Dan, walau otakku pelupa, Google Calendar tidak. Aku meluangkan waktuku bersama teman-teman yang mengajakku untuk mengobrol bersama. Meskipun dulu aku suka menolak jika diajak bertemu karena aku tak suka aktivitas yang dilakukan, sekarang aku melihat ajakan itu sebagai waktu-waktu berharga yang bisa kunikmati bersama.

2. Jangan mudah tersinggung

Di awal-awal usia 20-anku, aku sering mengeluhkan para staf pelayan yang sering mengecewakanku. CS dari maskapai penerbangan yang kutelepon nada suaranya menjengkelkan. Penata rias yang produknya kubeli menolakku untuk menukar produknya. Operator internetku tak bisa menjelaskan kenapa aku diminta membayar padahal koneksiku saja terputus.

Aku pernah marah karena aku menganggap orang-orang yang kuhubungi tersebut kasar dan tidak solutif. Perbuatan mereka menunjukkan sikap tak jujur dan tak peduli. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengomel ke teman-temanku tentang orang-orang tersebut.

Tapi setelah aku bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun, aku mengubah caraku menghadapi marah dan rasa tersinggung. Dalam pekerjaanku, aku melihat bagaimana penyakit fisik sering pula membawa ketakutan, kesakitan, ketergantungan, dan beban finansial yang berat bagi pasien dan keluarga mereka. Aku melihat bagaimana orang-orang seperti ini tetap harus menjalani rutinitas, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia meskipun mereka tengah mengalami beban berat dan kepedihan hati. Aku menyadari bahwa orang-orang yang bersikap kasar kepadaku mungkin saja tengah menghadapi penderitaan yang tak dapat kupahami.

Alkitab secara jelas menegaskan agar kita berjalan dalam kasih dan tidak mudah marah (1 Korintus 13:5). Kita juga diminta untuk sabar dan mengampuni (Kolose 3:13). Hari-hari ini, ketika tindakan seseorang melukaiku, aku akan berhenti sejenak dan berpikir positif, “Mungkin mereka tak bermaksud begitu.” atau, “Mungkin mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Berpikir positif tersebut menolongku untuk mempraktikkan belas kasih, yang adalah penawar yang ampuh atas rasa marah. Hidup jadi lebih menyenangkan tanpa memendam amarah dan rasa sakit hati.

3. Belajar untuk berkata “tidak”

Aku termasuk kategori people-pleaser, ingin menyenangkan semua orang. Aku takut kalau menolak ajakan atau permohonan akan membuat orang lain berpikir aku malas dan egois, jadi aku pun mengiyakan hampir semuanya. Aku pernah menjadi relawan di banyak pelayanan gereja sampai-sampai aku merasa tak ada lagi waktu untuk beristirahat. Aku memberi uang lebih besar daripada pendapatanku untuk lembaga-lembaga amal. Aku jarang mengungkapkan pendapatku di kelompok. Di satu sisi, aku mengambil pekerjaan paruh waktu di samping pekerjaan utamaku karena aku tidak ingin menyinggung orang lain dengan menolak ajakan untuk memberi. Hari-hariku jadi terasa mencekik dan membosankan karena semua waktu luangku dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang menguras tenaga.

1 Korintus 12 memberi tahu kita bahwa sebagai anggota tubuh Kristus, setiap kita punya karunia yang berbeda. Paulus menekankan perbedaan-perbedaan ini dengan memberi analogi bagian-bagian tubuh kita. “Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman?” Dengan kata lain, Tuhan menciptakan kita dengan karunia tertentu untuk suatu tujuan. Rencana Tuhan adalah setiap karunia yang diberikan-Nya pada kita bisa digunakan untuk “kebaikan bersama” (1 Korintus 12:7). Aku dapat melayani seturut karunia yang Tuhan sudah berikan. Berusaha menjadi orang lain dan mengingkari diri sendiri tidak akan memberi kebaikan bagi orang lain.

Sekarang aku belajar untuk menolak dengan halus ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak tepat buatku. Melalui pertolongan dari seorang konselor, aku belajar pula untuk membuat keputusan yang lebih baik: Apakah aku punya kemampuan, semangat, atau peran tertentu? Apakah ada komitmen lain yang telah kubuat? Aku juga belajar untuk menunda menjawab suatu keputusan supaya aku punya waktu lebih untuk memikirkannya.

4. Pikirkan ulang caramu menolong orang lain

Seperti poin sebelumnya, aku sering berusaha untuk menyenangkan orang lain. Aku berusaha untuk memperbaiki masalah orang lain. Kupikir aku sedang melakukan tugasku sebagai orang Kristen yang dipanggil untuk saling menanggung beban (Galatia 6:2).

Suatu ketika, seorang temanku curhat tentang relasi dengan pacarnya yang membuat dia menderita. Kata-kata dan perbuatan pacarnya itu melukai hatinya dan membuat dia jadi rendah diri. Aku menyarankan dia untuk ikut konseling, memberinya daftar artikel bertopik relasi, dan berkata lebih baik jika dia putus saja. Tapi, betapa stresnya aku ketika semua saran itu tidak dilakukan dan dia selalu kembali curhat dengan masalah yang sama.

Momen itu membuatku menyadari bahwa aku gagal untuk membedakan apakah temanku itu butuh sekadar nasihat atau pertolongan. Aku tak pernah menyadari bahwa Paulus mengimbangi nasihatnya untuk saling menanggung beban dengan pernyataan lain dari Galatia 6:5, “Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.” Dengan naifnya aku berasumsi bahwa aku bisa membuat masalah yang rumit hilang dalam sekejap, padahal masalah teman-temanku adalah tanggung jawab dari pilihan yang telah mereka buat. Dan, jika yang sejatinya diinginkan oleh temanku hanyalah seseorang yang mau mendengarkan ceritanya, mungkin nasihat-nasihat yang kuberikan terasa sangat merendahkan mereka.

Ada banyak cara untuk saling menanggung beban orang lain tanpa menjadikan masalah mereka sebagai masalah kita pribadi. Kata-kata yang baik dapat menggembirakan hati (Amsal 12:25). Kita juga dapat menangis dengan mereka yang menangis (Roma 12:15). Hari-hari ini, aku belajar untuk mendengar dengan seksama dan bertanya secara spesifik apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Aku berdoa agar mereka dikuatkan; dan aku menahan lidahku untuk tidak berkomentar atas masalah mereka. Aku belajar pula untuk sabar saat mendengar, dan berdamai dengan ketidakberdayaanku untuk mengatasi semua masalah teman-temanku. Tuhan sanggup dan mampu bekerja seturut waktu-Nya.

Itulah pembelajaran yang kudapat di usia 20-anku. Secara garis besar, aku telah belajar untuk bersukacita atas relasiku dengan orang-orang di sekitarku, lebih bermurah hati, menanggapi dengan sukacita, dan menyadari keterbatasanku. Kuharap tulisan ini menolongmu untuk menapaki jalan hidupmu di depan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bersukacita Karena Persekutuan Injil

Sukacita terbesar dalam melayani seseorang adalah bukan hanya ketika mereka mengetahui tentang Tuhan, tetapi ketika melihat mereka mengalami pertumbuhan di dalam pengenalan dan kasih mereka kepada Tuhan.

Tuhan, Mengapa Engkau Mengirimku Ke Padang Gurun?

Oleh Marcella Leticia Salim, Bekasi

Bekasi, Juli 2015

Pengumuman SBMPTN dan Ujian Mandiri diumumkan. Hampir rata-rata teman-temanku diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diinginkan. Saat itu hanya aku sendiri yang tidak diterima di PTN. Sangat sedih mengucapkan selamat tinggal kepada impian dan jurusan yang diinginkan saat itu.

Akhirnya dengan berat hati harus melanjutkan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan dengan jurusan yang tidak diinginkan pula. Aku tidak peduli akan kuliah walaupun seharusnya aku bersyukur masih bisa berkuliah.

“Tuhan, kenapa aku harus ke tempat ini?”

Sepertinya Tuhan hanya diam dan tidak mendengar umat-Nya ini. Ia seolah membiarkan apa yang terjadi kepadaku. Aku gagal di beberapa mata kuliah karena tidak bisa menguasainya. Sebagai orang yang memiliki kekurangan di bidang eksak namun “terpaksa” berkuliah di bidang eksak rasanya aku ini seperti “cari mati”. Perkuliahan yang kujalani rasanya seperti perjalanan di padang gurun. Melelahkan.

Keluhan demi keluhan kulontarkan kepada Tuhan. Mulai dari melihat teman yang melakukan kecurangan setiap ujian, teman kuliah yang menjatuhkan bahkan menjerumuskan, gagal di banyak mata kuliah hingga sampai di titik di mana aku ingin berhenti kuliah dan menyerah saja.

Hingga suatu hari, aku mencapai titik terendah selama berkuliah. Tepat saat itu, ada seorang teman mengajak ke acara conference oleh sebuah gereja di dekat kampus. Saat acara conference itu, ada satu ayat yang menyadarkanku bahwa saat kita berada di tempat yang tidak kita inginkan dan kita tidak mampu berbuat apa-apa, hanya Tuhan yang bisa kita andalkan.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. – 2 Korintus 12:9

Tuhan bisa saja memberikan jurusan dan perguruan tinggi yang aku inginkan saat itu, namun belum tentu menjamin bahwa apakah aku menjadi orang yang kuat dan lebih dewasa untuk diproses oleh-Nya. Tuhan bisa saja memberikan kemudahan, namun apakah itu menjadi jaminan bahwa aku akan semakin percaya dan mengandalkan Ia di saat susah maupun senang?

Penderitaan dan Proses-Nya

Waktu terus berjalan tanpa memberikan isyarat untuk berhenti. Sama seperti roda yang terus berputar kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Sakit, perih, dan berat. Perasaan itu awalnya sering kurasakan, aku pun menangis. Namun, lama-kelamaan aku menjadi kebal menghadapi apa yang di depan mataku: perkuliahan yang sebenarnya bukanlah dambaanku.

Melalui penderitaan, Tuhan mengujiku agar aku menjadi seorang pribadi yang lebih kuat dan mengandalkan-Nya di segala situasi. Sebagai orang yang cenderung terbiasa menggunakan rasio (logika) daripada perasaan, itu adalah hal yang sulit untuk berpasrah dan untuk percaya saja tanpa alasan. Namun, hal itu membuatku berproses untuk menjadi pribadi yang senantiasa mengandalkan Dia di setiap waktu.

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1 Korintus 10:13).

Dalam menjalankan perkuliahanku, aku disadarkan oleh Tuhan bahwa kuliahku sebenarnya bisa aku lalui, walaupun rumit. Namun, aku selalu lupa untuk berpegang teguh dan percaya kepada Tuhan. Aku disadarkan betul bahwa aku selalu mengandalkan kekuatanku sendiri bukan mengandalkan Dia. Melalui ketidakberdayaanku dan di kondisi serba mentok, aku mengubah doaku dari yang awalnya ingin cepat-cepat selesai saja dari perkuliahan menjadi supaya aku dimampukan menjalani setiap situasi selama aku berkuliah. Selain itu, aku belajar untuk memiliki pola pikir bahwa segala sesuatu itu tidak ada yang mustahil selama kita bersama Tuhan dengan cara kita semakin intim dengan Tuhan.

Aku percaya bahwa ketika kita ditempatkan di jurusan yang kita tidak bisa atau tidak suka bukan berarti itu adalah akhir dari hidup kita. Tuhan sudah merencanakan semuanya itu dan kita ditempatkan di sana untuk berkarya dan memuliakan nama-Nya seperti di yang Paulus tuliskan dalam Kolose 3:23, “Pekerjaan apa saja yang diberikan kepadamu, hendaklah kalian mengerjakannya dengan sepenuh hati, seolah-olah Tuhanlah yang kalian layani, dan bukan hanya manusia” (versi BIMK).

Pada akhirnya juga, semua yang kita kerjakan adalah bentuk pelayanan kita di dunia untuk memuliakan nama Tuhan termasuk berkuliah. Memang kuliahnya bukan di jurusan yang kita tidak inginkan dan kita sukai tapi tetap jalankan itu, seperti kata salah seorang teman saya “semua orang berhak memiliki pendidikan yang layak, namun tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan itu”

Pada akhirnya, syukur kuucapkan

Sepanjang masa-masa kuliahku, Tuhan tak hanya menunjukkan kuasa-Nya. Dia juga menunjukkan kesetiaan-Nya bagiku dan tak pernah meninggalkanku. Ketika kita menjadi pengikut Kristus, itu bukan berarti hidup kita akan terbebas dari penderitaan dan pencobaan. Kedua hal itu dapat dipakai Tuhan untuk membentuk kita, seperti seorang penjunan yang membentuk bejana. Tuhan tak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita. Dia tahu sampai mana batas kekuatan kita. Kasih setia-Nyalah yang memampukan kita melewati penderitaan dan membuat kita menjadi seorang yang lebih baik.

Sekarang sudah 5 tahun berlalu, sangat bersyukur kuucapkan kepada Tuhan atas proses yang Dia berikan kepadaku, untuk dilalui saat itu. Mengalami gagal, sedih, penderitaan adalah hal yang wajar sebagai manusia namun Tuhan menjadikan hal itu menjadi sesuatu yang menguatkanku untuk tetap hidup di saat seperti ini. Oleh kegagalan inilah aku belajar untuk menghargai proses dan senantiasa mengandalkan Dia.

Kegagalan bukan berarti hidup kita berakhir di titik itu saja, kita masih hidup sampai saat ini dan kehidupan akan terus berjalan. Menangis, kesal, merasa tidak berdaya adalah reaksi yang wajar bila kita mengalami kegagalan, namun jangan sampai kita terus-terusan dihantui perasaan itu. Percayalah ini semua adalah atas izin Tuhan, kita sebagai ciptaan-Nya tetap percaya saja pada-Nya karena Dialah Sang Sumber Pemelihara Kehidupan dan masa depan sudah disiapkan oleh-Nya.

Baca Juga:

Menang Mengatasi Kesepian

Aku butuh ditolong, tapi aku takut meminta tolong. Aku sangat kesepian, karena merasa orang-orang lain tak mampu mengertiku. Tetapi, kasih karunia Tuhan sungguh berlimpah.

Mematahkan Mitos ‘Dosen Killer’ Ala Mahasiswa

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Kami menerima surat penetapan dosen yang menjadi pembimbing skripsi kami di bulan Maret dua tahun lalu. Membaca dua nama yang tertera, semangatku yang telah terkumpul menciut begitu saja. Isu yang beredar dari mahasiswa-mahasiswa lain, dua dosen pembimbing ini sulit ditemui, mereka pun ‘perfeksionis’. Kesulitan-kesulitan itu menjadi momok tersendiri bagiku.

Ketakutanku akan sulitnya bimbingan dengan kedua dosen itu kujadikan alasan untuk menunda pengerjaan skripsiku. Aku berharap keajaiban agar ada pergantian dosen. Padahal, aku tahu kalau penggantian dosen pembimbing hanya bisa terjadi untuk alasan urgen seperti musibah atau kematian. Penggalan firman Tuhan yang kuingat dari Matius 7:7-8 dan 21:22 tentang bagaimana Allah akan memberikan hal-hal yang kuminta membuatku menjadikan doa seperti jurus ‘Sim Salabim’. Tuhan kujadikan layaknya ‘kantong doraemon’ yang harus menyediakan setiap hal yang kumau. Dengan persepsi yang salah, beragam alasan juga kuajukan pada-Nya seolah aku berhak komplain dengan rencana-Nya.

Aku seperti menyerah sebelum berperang. Ketakutan menghadapi dosen pembimbing dengan label ‘killer’ tidak kualami sendiri. Ada teman seangkatan lain yang sampai mengajukan pergantian dosen ke jurusan. Ada pula yang jadi lama wisuda dan stuck di revisi. Meski memang bukan satu-satunya faktor penentu kelulusan, dosen pembimbing skripsi juga berperan dalam proses mengakhiri masa studi mahasiswa. Dosen killer dianggap sulit untuk ditemui bimbingan, penliaiannya berstandar tinggi, dan kritik sana-sini. Maka tak ayal, menghindari dosen tipe ini dianggap pilihan yang tepat.

Sebulan pun berlalu. Dosen pembimbing pertamaku meminta kami menemuinya, itu pun karena ada temanku yang berinisiatif menghubunginya duluan. Walau dengan mental tempe, kuberanikan diri mengajukan garis besar penelitianku di bimbingan pertamaku. Di luar dugaanku, dia memberi banyak masukan agar di dua minggu berikutnya judulku bisa di-acc. Anak bimbingan dosen itu hanya diberi kesempatan revisi sekali dua minggu. Pertimbangannya, dengan durasi 14 hari, perbaikan akan lebih maksimal. Kesempatan bimbingan yang terbatas juga harus dimanfaatkan agar mahasiswa tidak asal-asalan menyerahkan revisi.

Kesan pertamaku malah berbanding terbalik dengan cerita yang kudengar. Asumsi ‘killer’ yang penuh kritik tidak masuk akal ternyata tidak sepenuhnya benar. Seolah menjadi amunisi untuk semangat yang sempat menipis, aku pun menemui dosen pembimbing keduaku. Aku menceritakan ide penelitian yang akan kukerjakan. Walau sedikit berbeda dalam beberapa hal, beliau yang sudah professor sekaligus guru besar itu tidak sepenuhnya keberatan. Dengan berbagai saran perbaikan di beberapa pertemuan, judul yang kuajukan disetujui.

Meski usaha tidak selalu berbuah manis, secara perlahan aku menemukan sudut pandang baru di pengerjaan tugas akhirku. Beragam stigma negatif yang terbangun karena mendengar opini lain terkikis secara perlahan. Selain karena memang tidak ada pilihan lain, sebisa mungkin aku memenuhi corat-coret perbaikan dari keduanya. Prinsipnya, mengabaikan saran perbaikan sama saja memperpanjang masa studiku. Tentu menjadi mahasiswa abadi atau ‘dropout’ karena tugas akhir tidak diinginkan siapa pun. Namun, dengan beberapa kondisi, ada teman-teman yang harus mengalaminya.

Dengan bantuan dari mereka yang kutemui di sepanjang proses, aku belajar bahwa benar Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya (Ibrani 13:5b). Ia memakai siapa saja sesuai kehendak-Nya (Yohanes 15:16) dalam setiap kondisi (Roma 8:28). Meski terkesan sepele, namun aku merasa tertolong dengan adanya adik-adik tingkat maupun petugas kebersihan yang biasanya kutanyai tentang keberadaan dua dosenku di kampus. “Pak, ada lihat bapak ini?”, “Dek, kamu ada kelas sama Prof hari ini?”. Dua pertanyaan pamungkas untuk menjawab ketidakpastian bimbingan. Terkadang dosen itu seperti PHP (Pemberi Harapan Palsu). Meski sudah ada jadwal, janji bimbingan tidak serta-merta berjalan mulus, biasanya terjadi jika ada rapat atau agenda lain yang lebih penting.

Bertemu dengan teman seperjuangan yang seangkatan atau orang baru dengan dosen yang sama juga sangat kusyukuri. Mereka menjadi teman melewati suka-duka perjalanan skripsweet. Sharing saran perbaikan, informasi jurnal, judul buku hingga menjadi momen saling menghibur. Kadang, karena ide sudah mandek atau sembari menunggu, kami sering usil dengan guyonan lama wisuda. Tidak hanya menghibur saat bisa menertawakan kondisi, gurauan atas nama solidaritas itu ternyata bisa jadi pelecut semangat.

Pengerjaan terus berlanjut. Revisi demi revisi kukerjakan seiring dengan semangat yang kadang on dan off tidak menentu. Sepanjang proses, ada saja lega yang bisa disyukuri atau kesal berujung tangis. Hingga dinyatakan lulus memperoleh gelar sarjana, pandangan dosen ‘killer’ untuk kedua dosenku ternyata tidak sepenuhnya benar. Anggapan itu tentu kusimpulkan dari pengalamanku. Kesulitan atau situasi yang dialami teman-teman bisa saja berbeda. Untuk itu, kita perlu berhati-hati merespon stigma yang ada.

Apalagi dengan kemudahan yang diberikan kemajuan teknologi. Dampaknya dalam berbagai sendi kehidupan tidak bisa diingkari. Tidak hanya bersifat membangun, efeknya juga ada yang negatif. Salah satunya mengenai tirani opini mayoritas. Tidak hanya di dunia nyata, kini melalui media sosial pandangan yang disampaikan secara daring pun mempengaruhi keputusan seseorang. Pandangan netizen melalui like, views dan comment seakan menjadi penentu dalam berkarya. Tanpa kita sadari, kita sering bertindak dengan memperhatikan atau bahkan mengikuti pendapat orang lain. Dari urusan menentukan sekolah, jurusan, tempat kuliah, memilih pacar hingga memutuskan jalur berkarir.

Pandangan yang beredar di masyarakat tentu ada yang bersifat positif, bisa dijadikan pedoman sebelum mengambil keputusan. Di sisi lain, kita juga harus menyadari ada stigma yang perlu diperbaiki. Sebagai manusia, tentu kita tidak bisa membatasi opini orang lain. Pendapat mereka tidak ada dalam kendali kita. Alih-alih nekat dengan dalih ingin mematahkan ‘mitos’, kita juga perlu mendengarkan pandangan itu sebagai nasihat agar bijak mengambil keputusan (Amsal 12: 15).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kita Tak Bisa Memilih untuk Lahir di Keluarga Mana, Tapi Kita Bisa Memilih Berjalan Bersama-Nya

Tuhan mengirimku untuk lahir di dunia ini, di keluarga yang dirundung konflik. Mungkin sekarang aku belum tahu apa maksud Tuhan dari semua ini, namun sekelumit kesan di hari ulang tahun ini mengingatkanku bahwa dalam perjalanan hidupku, aku disertai-Nya.