Posts

Belajar dari Kisah Naaman: Menerima Saran Sebagai Cara untuk Memperbaiki Diri

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

“Baik, terima kasih. Saranmu akan aku perhatikan.”

“Terima kasih atas masukannya. Kami akan berusaha melakukan yang terbaik.”

Pernahkah kamu mendengar dua ungkapan tersebut? Aku sering mendengarnya ketika seseorang memberikan saran terhadap suatu program tertentu, ataupun ketika sedang mengikuti pertemuan dan rapat. Biasanya perkataan tersebut merupakan “standar” jawaban ketika kritik, saran, ataupun masukan disampaikan. Namun, apakah ucapan “terima kasih atas saranmu dan kami akan memperbaikinya” hanyalah formalitas belaka? Ataukah seseorang benar-benar serius melakukan saran tersebut?

Aku pernah mengalami situasi seperti itu. Saat aku menjadi seorang pemimpin, aku pernah meminta saran dari rekan sekerjaku. Setelah saran-saran kuterima, aku pun mengucapkan kalimat-kalimat di atas sebagai formalitas belaka, yang berarti: kritik dan saran dari orang lain tidak akan sepenuhnya aku lakukan. Aku mengucapkan kalimat “terima kasih atas masukannya dan aku akan berusaha memperbaikinya” hanya supaya orang itu senang dan hubungan kami tetap baik. Tapi, sesungguhnya aku tidak pernah mendengarkan saran mereka dengan serius. Bagiku, aku telah memiliki prinsip, nilai, dan perencanaanku sendiri, sehingga saran dari orang lain tidak ada yang cocok. Aku mengabaikan kritik dan masukan dari orang lain tanpa bersedia berdiskusi dengan mereka. Dan, tanpa kusadari, di sinilah aku sedang terjebak dalam dosa kesombongan.

Lambat laun, ketidakseriusanku terhadap saran mereka pun terlihat. Sewaktu kami (aku beserta organisasi yang kupimpin) merencanakan sebuah acara perayaan ulang tahun sekaligus ibadah kebangunan rohani di komunitas pemudaku, seorang senior (sekaligus panitia acara) menegurku dengan nada yang kurang enak. Dia mengetikkan pesannya lewat chat dan memaksaku untuk segera mengganti konsep acara perayaan di dalam gereja menjadi kegiatan sosial di luar gereja. Saran darinya adalah akan lebih baik apabila acara perayaan ulang tahun gereja kali ini diisi dengan kegiatan sosial karena tahun-tahun sebelumnya acara hanya berpusat pada perayaan dalam gedung. Dia lalu memintaku untuk mengeksekusi saran itu dalam waktu dua minggu saja. Sebagai seorang pemimpin yang sudah punya perencanaan matang, aku tidak terima dengan saran itu. Mengapa aku harus menggantinya?

Tapi, saran itu kemudian membuatku bergumul: apakah aku tetap memegang prinsip dan perencanaanku, atau aku mau mengikuti saran dari kakak seniorku? Sebelum aku bertemu dengannya untuk membahas acara tersebut, aku berdoa agar Tuhan memberikanku jalan terbaik untuk melakasanakan acara ini. Dan, aku ingin agar semuanya untuk kemuliaan Tuhan saja.

Sewaku berdoa, Roh Kudus mengingatkanku akan kisah Naaman yang mau menerima saran yang diberikan oleh pelayannya (2 Raja-raja 5:1-27). Naaman adalah seorang panglima raja Aram. Dia terkena kusta dan hendak pergi ke Israel untuk mencari kesembuhan atas saran dari pelayan isterinya. Setelah dia tiba di Israel dan diarahkan untuk menemui Elisa, dia sempat kecewa. Naaman pikir Elisa akan menyembuhkannya dengan cara-cara yang spektakuler: Elisa menyentuh kulitnya lalu sembuh. Tapi, Elisa malah menyuruh Naaman mandi ke Sungai Yordan dan ini membuat hati Naaman panas. Tetapi, pegawai-pegawai Naaman datang dan memberikan saran kepada Naaman, “Seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir” (ayat 13). Naaman mengikuti saran itu dan sembuhlah ia.

Dari kisah ini, aku cukup kagum melihat Naaman, seorang panglima dari Aram yang mau menerima masukan dari isteri—yang telah dibisikkan pelayannya—untuk mencari kesembuhan di Israel, yang notabenenya adalah negara musuhnya sendiri (2 Raja-raja 6:8-23).

Naaman tak hanya mendengarkan saran dari pelayan itu, tetapi juga bersedia melakukannya. Bahkan ada tantangan yang dihadapinya dalam melaksanakan saran tersebut. Bila kuperinci, beberapa tantangan Naaman dalam melakukan saran dari pelayan Israel itu adalah sebagai berikut:

1. Naaman harus rela disembuhkan oleh nabi lain di luar negerinya, bahkan negeri musuhnya. Tak hanya itu, ia pun juga berurusan dengan Allah di Israel, Allah yang berbeda dengan yang ia sembah seperti di negeri asalnya. Hal tersebut terlihat pada ayat 15, di mana Naaman menunjukkan kekagumannya akan kedahsyatan kuasa Allah Israel, “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel”.

2. Naaman sempat dicurigai hendak mencari gara-gara oleh raja Israel (ayat 7).

3. Naaman ingin menemui nabi Elisa, tetapi Elisa malah menyuruh suruhannya untuk menemui Naaman, dan hanya memberikan perintah “Mandi tujuh kali di Sungai Yordan” tanpa basa-basi (ayat 9-11).

4. Naaman mendapatkan cara penyembuhan yang tidak seperti yang ia harapkan dari Elisa (ayat 12). Naaman berharap ia disembuhkan dengan cara Elisa menggerakkan tangannya ke kulitnya. Tapi, ternyata Elisa malah cuma menyuruhnya mandi.

5. Bagi Naaman, ada banyak sungai lain yang lebih baik daripada sungai Yordan, dan untuk apa pula ia jauh-jauh ke Israel hanya untuk mandi di sungai Yordan. “Bukankah Abama dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?” (ayat 12).

Ada banyak tantangan yang dihadapi Naaman ketika ia ingin serius menjalankan saran yang diberikan pelayannya tersebut. Namun, di tengah tantangan yang dihadapi, Naaman tetap fokus dan serius melakukan saran tersebut meskipun ia sempat hampir menyerah. Naaman tak sekadar menerima saran dan masukan sebagai formalitas hubungan saja, tetapi ia sungguh-sungguh melakukan saran yang diterimanya.

Melalui kisah Naaman, ketika memberi diriku untuk menerima saran, aku belajar untuk menerima dan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan serius, khususnya dalam organisasi yang kupimpin. Memang tidak semua saran harus kuikuti, tetapi aku perlu menyaringnya dan tidak menganggap remeh saran-saran tersebut. Aku memerlukan pertolongan untuk memajukan organisasi yang kupimpin. Dan tentunya, saran dan kritikan dari senior, penatua atau gembala, maupun orang-orang yang mengasihiku adalah salah satu bentuk pertolongannya.

Sesungguhnya, menerima saran dan melakukannya dengan serius itu sangat sulit untuk dilakukan. Namun, bersyukur karena Roh Kudus memampukanku untuk melakukannya. Ketika kami berkumpul membahas konsep acara ulang tahun komunitas pemuda gerejaku, aku dapat menerima saran dari seniorku dan bersama-sama kami mempersiapkan acara tersebut. Memang ada banyak tantangan yang dihadapi: tempat yang dipilih, pembicara, penyesuaian hari dan jam kegiatan, transportasi, konsep acara, bantuan yang akan diberikan, dan sebagainya. Namun, puji Tuhan, Tuhan memampukan kami untuk melakukannya. Bahkan, acara tersebut berjalan dengan lancar dan mendapat respons yang luar biasa, di luar dugaan kami.

Aku berharap kita semua dapat menganggap kritik dan saran sebagai sarana penolong bagi diri kita sendiri untuk bertumbuh lebih baik, juga untuk kemajuan organisasi yang kita terlibat di dalamnya. Biarlah kritik dan saran yang kita terima tidak hanya kita anggap sebagai formalitas belaka, tetapi jadi satu kesempatan buat kita belajar. Kritik dan saran tidak bukanlah halangan, itu bisa mendorong kita untuk lebih maju dan bertumbuh.

Baca Juga:

Aku Mengalami Bipolar Mood Disorder, Namun Aku Bersyukur

Aku positif mengalami bipolar mood disorder dan aku membutuhkan pengobatan dan penanganan khusus. Awalnya semua ini terasa mengerikan buatku, tapi melalui pertolongan Allah sajalah aku dapat berproses menuju pulih.

Tuhan Memakai Pengalaman Tidak Menyenangkanku untuk Memberkati Orang Lain

Oleh Jefferson, Singapura

Beberapa minggu lalu, aku bersama rekan-rekan di kelompok Pendalaman Alkitab di gereja membahas tentang pelayanan yang diambil dari buku The Purpose Driven Life karangan Rick Warren. Aku menikmati tiap bagian yang ditulis di buku itu, hingga aku tiba di satu bagian yang menyentakku.

“Adalah kategori terakhir, yaitu pengalaman menyakitkan, yang Tuhan gunakan paling sering dalam mempersiapkanmu untuk melayani… Bahkan, kemungkinannya sangat besar bagi pelayanan terhebatmu untuk terlahir dari pengalamanmu yang paling menyakitkan.”

Mungkin kalimat itu terdengar rumit. Jika kusederhanakan, Rick Warren hendak mengatakan bahwa Tuhan bisa memakai pengalaman pribadi kita yang tidak menyenangkan sebagai pelayanan bagi-Nya. Apa yang baru saja kubaca itu mengingatkanku akan pengalaman tidak menyenangkan yang kualami beberapa hari sebelumnya.

Seorang teman baikku di gereja mengkritikku. Dia tidak suka dengan kelakuanku yang menurutnya tidak dewasa. Katanya, aku bersikap egois dalam relasiku dengan beberapa teman, termasuk dia. Contohnya, ketika mereka sedang lelah, aku sering memaksa mereka untuk menemaniku makan. Aku pun meminta maaf kepadanya, tapi dalam hati aku merasa kalau kritikan itu tidak benar. Selama beberapa hari aku jadi tidak konsentrasi dalam pekerjaan magangku. “Benarkah apa yang dia katakan? Apakah aku memang egois dengan mereka belakangan ini?”

Dalam kondisi hati yang belum sepenuhnya rela menerima kritik, aku melanjutkan membaca sisa dari bagian itu. Cuplikan cerita Rasul Paulus yang diambil dari 2 Korintus 1:8-11 menghiburku. Di suratnya tersebut, Paulus mengisahkan penderitaan yang dia alami selama di Asia Kecil yang mengingatkan dia untuk menyandarkan diri sepenuhnya pada Tuhan. Rick Warren berkomentar: “Supaya Tuhan dapat memakai pengalaman menyakitkanmu untuk memberkati orang lain, kamu harus mau membagikannya apa adanya… Paulus memahami kebenaran ini, makanya ia bisa dengan jujur menceritakan pergumulannya menghadapi depresi.”

Bacaan itu menegurku. Pengalaman dikritik tidak pernah menyenangkan. Meski kritik itu bermaksud baik, tapi suatu kritik pasti menyakiti hati. Tapi, kritik juga adalah sarana supaya aku bisa mengenal dan memperbaiki diriku. Akhirnya, dengan hati terbuka, aku menerima kritik temanku itu dan berkomitmen untuk memperbaiki diriku.

Pengalaman tidak menyenangkan bisa dipakai untuk kita mengenal diri sendiri

Lewat kritikan dari temanku itu, Tuhan membuka mataku terhadap dosa-dosa yang tidak aku sadari. Sembari aku merenungkan hal ini, aku teringat petikan ayat dari Kitab Mazmur yang berkata:

“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24)

Kritik dari temanku telah menolongku untuk sadar bahwa kelakukanku selama ini egois dan tidak peka terhadap kondisi orang lain. Aku mengucap syukur kepada Tuhan karena melalui pengalaman ini aku kembali diingatkan tentang keberdosaanku, dan kasih anugerah Tuhan saja yang memampukanku untuk mau terus dituntun oleh-Nya. Dan, puji syukur kepada Tuhan atas relasi pertemanan kami yang dipulihkan sehingga kami tidak merasa canggung atau saling menghindar ketika kami berpapasan di gereja.

Pengalaman tidak menyenangkan bisa dipakai Tuhan untuk memberkati orang lain

Beberapa minggu setelah aku mempelajari hal-hal ini, Tuhan memberiku kesempatan untuk membagikan ceritaku kepada seorang teman di tempat magangku. Dari interaksi kami sebelumnya, aku tahu kalau dia seorang ateis.

Saat kami sedang berjalan kembali ke kantor seusai makan siang, dia bertanya tentang apa kesanku terhadap dirinya. Sebelum menjawabnya, aku balik bertanya mengapa tiba-tiba dia menanyakan hal ini. Kemudian ia bercerita kalau beberapa hari sebelumnya ada seorang temannya yang menjelek-jelekkan dan mengkritiknya habis-habisan. Tapi ia tidak bercerita kepadaku mengapa temannya sampai melakukan itu kepadanya. Tebakanku mungkin itu terjadi karena sifat buruknya.

Seusai ia bercerita, tibalah giliranku untuk bicara. Aku membagikan pengalamanku beberapa minggu sebelumnya yang mirip dengan apa yang dia alami, yaitu kami sama-sama menerima kritik. Kemudian aku pun bercerita tentang bagaimana kritik itu menolongku mengenal diriku dan bagaimana Tuhan menolongku untuk tetap berelasi baik dengan teman-temanku.

Teman magangku itu mendengarkan dengan antusias. Tapi, ketika aku bercerita bahwa itu semua terjadi karena Tuhan yang mendamaikan relasiku, dia memotongku dan menegaskan kembali posisinya sebagai orang yang tidak percaya pada Tuhan. Dia pun langsung mengganti topik pembicaraan, tapi dari nada bicara dan ekspresinya, aku dapat merasakan bahwa dia sangat terkesan terhadap pengalamanku itu. Sekalipun pada akhirnya teman magangku belum percaya pada Tuhan, tapi aku percaya bahwa melaluiku, Tuhan bekerja dan sedang menuturkan kasih-Nya kepada temanku itu.

Kembali ke buku The Purpose Driven Life, Rick Warren menuliskan: “Siapa lagi yang dapat dengan efektif membantu seorang pemabuk pulih dari kecanduannya selain ia yang telah menghadapinya di masa lampau dan berhasil menang?” Seseorang yang pernah jatuh namun ditolong Tuhan hingga dia berhasil bangkit adalah orang yang punya potensi besar untuk menjadi alat Tuhan untuk menolong mereka yang memiliki pergumulan serupa.

Aku percaya bahwa Tuhan tidak pernah mendidik umat-Nya tanpa tujuan, sekalipun mungkin pada awalnya kita merasa bahwa Tuhan seperti sedang menyesah kita. Namun, ketika kita mengakui dosa-dosa kita dan sungguh-sungguh berbalik kepada-Nya, Dialah yang akan menolong dan menghibur kita, supaya melalui kitalah kelak pekerjaan-Nya dapat dinyatakan.

Melalui pengalaman-pengalaman inilah aku yakin Tuhan ingin kita membagikan berita Injil. Ketika kita membagikan pengalaman pribadi kita untuk menguatkan orang lain yang sedang menghadapi hal serupa, di sinilah kita bisa membagikan kabar baik tentang kasih Tuhan. Sharing yang jujur tentang bagaimana Tuhan dimuliakan melalui kelemahan-kelemahan kita bisa dipakai-Nya untuk mengetuk hati orang-orang.

Jika sekarang kamu baru saja mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, kuharap kisah yang kubagikan ini dapat menolongmu. Tuhan memang tidak berjanji untuk menghilangkan rasa sakit yang datang dari pengalaman-pengalaman tersebut, tapi Dia berjanji untuk terus bekerja melalui diri kita yang berdosa. Dan, pengalaman-pengalaman menyakitkan yang kita alami bisa dipakai Tuhan untuk memuliakan nama-Nya dan memberkati orang-orang di sekitar kita.

Ulangan 32:39 bergaung dengan jelas dan keras di benakku,

“Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia.
Tidak ada Allah kecuali Aku.
Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan,
Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan,
dan seorangpun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku.”

Soli Deo Gloria, Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Mencari Pekerjaan Itu Sulit, tapi Aku Tidak Menyerah

Perjalanan mencari kerja selama setengah tahun lebih kembali dijawab dengan hasil yang getir. Lagi-lagi aku gagal. Namun, di sinilah aku belajar untuk berserah dan tidak menyerah.