Posts

Stres Sehari-hari Bukanlah Kondisi yang Bisa Dianggap Remeh

Oleh Aryanto Wijaya

Sudah lebih dari dua bulan perutku tampak dan terasa lebih besar dari biasanya.

“Dung…dung…” suara kembung muncul saat telapak tanganku kutepukkan pelan-pelan ke atas perutku. Pikiranku segera menerka kalau-kalau ada yang tak beres dengan pencernaanku. Daripada aku googling dan mendapati info-info tidak akurat, maka keesokan harinya kuputuskan untuk menemui dokter spesialis penyakit dalam.

Sebenarnya kembung yang kualami saat itu bukanlah yang pertama. Setahun sebelumnya, aku pernah mengalami kembung serupa. Oleh dokter yang kusambangi, aku cuma dibilang butuh lebih banyak olahraga. Namun, di konsultasiku yang kedua kali (tapi di dokter yang berbeda), barulah aku disodorkan fakta yang membuatku tercengang.

Selama lebih kurang setengah jam, dokter melakukan pemeriksaan USG pada perutku. Hasilnya, dia bilang kalau aku terkena Gastroesophageal Reflux Disease atau lebih beken disingkat Gerd. Penyakit Gerd ini menyebabkan lambungku memproduksi cairan asam yang berlebihan. Karena volumenya yang terlalu banyak, asam itu lalu menjalar ke kerongkongan dan bagian pencernaan lainnya. Dampaknya jika dibiarkan bisa fatal.

“Masih mau hidup lama, kan?” tanya sang dokter dengan senyum tipisnya.

Aku tahu itu pertanyaan seloroh, tapi terasa menohok. Kujawab, “Iya dong dok, menikah aja belom masa udah good bye, haha.”

Aku menggugat diriku sendiri: kok bisa di umur yang masih muda sudah punya sakit begini?

Selama enam bulan sejak aku melakukan pengobatan hari itu, aku melakukan banyak pantangan makan. Pola hidup pun mau tak mau berubah total, walaupun ini sangat sulit dan seringkali aku abai. Aku belajar membiasakan diri untuk bergerak, makan mengurangi gorengan, tidur cukup, dan yang paling susah….mengubah caraku merespons terhadap stres.

Pikiran stres yang tak mungkin bisa hilang dari hidup

Di konsultasi-konsultasiku selanjutnya dengan dokter, dia mengungkapkan bahwa salah satu penyebab gangguan lambungku adalah stres yang tidak dikelola dengan baik, yang diperparah dengan tabiat makan dan pola tidur yang buruk.

Aku lantas menyelidiki diriku. Agaknya apa yang dokter itu sampaikan bukanlah sekadar diagnosis yang diambil dari teori, tetapi memang pada faktanya demikian. Aku seorang yang bisa dikategorikan sebagai introver, meskipun karena tuntutan pekerjaan aku sering tampil di muka publik. Aku suka menyendiri dan merenung, tetapi kadang durasinya bisa kelamaan. Dari situ, kusadar kalau aku belum memiliki kapasitas untuk mengelola setiap tekanan hidupku dengan benar dan baik. Ketika beban pekerjaan, konflik dengan rekan, beban finansial, atau masalah keluarga datang—yang sebenarnya adalah masalah rutin yang kita alami—yang kulakukan adalah berlebihan memikirkannya. Kupikirkan hal-hal yang seharusnya tak perlu jadi soal, hingga aku pun terjebak dalam pusaran kekhawatiran. Tidak satu jam atau dua jam, pikiran berat itu kubiarkan berkecamuk di otak berhari-hari, sampai-sampai aku sering kedapatan melamun sendirian di samping jendela.

Dalam buku Filosofi Teras, dr. Andri yang merupakan spesialis kejiwaan mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di otak kita bisa memengaruhi badan secara keseluruhan. Tidaklah heran apabila saat seseorang merasa tegang atau panik, dia akan gemetar atau berkeringat dingin, atau sakit kepala. Lanjutnya, otak kita selalu berusaha untuk beradaptasi. Ketika kita mengalami stres yang diterjemahkan otak sebagai persepsi negatif, otak kita akan bekerja lebih keras untuk beradaptasi dengannya.

Hans Selye mengatakan demikian: “Bukan stres yang sebenarnya membunuh kita, tetapi reaksi kita terhadapnya.”

Mendapati kenyataan bahwa tekanan-tekanan hidup yang mengantar kita pada pikiran stres adalah bagian dari hidup, dapat menolong kita untuk melangkah ke arah yang lebih baik. Kita perlu menggeser fokus, bukan agar semua tekanan dalam hidup ini lenyap, tetapi bagaimana kita dapat merespons dengan benar terhadapnya.

Jalan pasti yang Gembala kita tawarkan

Ilmu psikologis saat ini telah berkembang. Kita dapat menemukan beragam jawaban komprehensif atas kendala-kendala pikiran dan perasaan yang kita gumulkan. Tetapi, sebagai orang Kristen, hendaknya kita tidak lupa bahwa iman yang kita anut turut pula menyajikan bagi kita jawaban-jawaban yang mendasar melalui firman Tuhan. Ayat-ayat dari Alkitab bukanlah mantra yang jika kita daraskan akan mengubah keadaan kita seperti sulap, tetapi karena itu diilhamkan oleh Allah, maka dengan kita menerima, mengerti, dan mengaplikasikannya, firman Tuhan berkuasa untuk mengubah kelakukan kita dan mendidik kita dalam kebenaran (2 Timotius 3:16; Yakobus 1:22).

Alkitab pun melihat perasaan takut, stres atau tertekan sebagai respons alamiah manusia. Tidak ada satu pun manusia yang kebal dari perasaan ini. Dalam beberapa bagiannya, Alkitab mencatat tokoh-tokoh yang bergumul dengan tekanan-tekanan hidup: Pemazmur yang meratap pada Tuhan, “Berapa lama lagi, Tuhan…?” (Mazmur 13:2); Ayub yang dalam kesakitannya tak tahu bilamana segala penderitaannya akan selesai; atau seorang Rut, yang pasca kematian suaminya harus memilih bagaimana dia akan hidup. Bahkan, Tuhan Yesus dari sisi manusia-Nya pun mengalami hebatnya gulatan perasaan ini ketika Dia hendak ditangkap oleh prajurit Romawi. Injil Matius 26 mencatat saking takutnya, Yesus mengucap: “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya…” (ayat 38), dan saat Dia berdoa pun keringatnya berubah seperti titik-titik darah (Lukas 22:44).

Allah mengaruniakan manusia akal budi. Kita dipanggil untuk tidak menjadi serupa dengan dunia, dan mampu membedakan manakah yang baik dan yang buruk (Roma 12:2). Perasaan stres sejatinya adalah respons yang wajar, namun di sinilah titik krusialnya: bagaimanakah kita akan merespons stres tersebut?

Dunia mungkin menawarkan kita solusi atas perasaan itu—rekreasi sejenak, self-healing dengan makan, atau pada kasus yang buruk: beralih pada obat-obatan atau minuman beralkohol. Solusi-solusi itu bermanfaat, tetapi itu bisa hanya bersifat sebagai pengalihan. Biasanya, segera setelah seseorang pulang dari berlibur atau nongkrong, dia akan kembali berkubang dalam pikiran stresnya.

Firman Tuhan menawarkan kita solusi yang dibangun di atas jalan yang pasti, yakni jalan yang dibuat oleh Sang Gembala Agung untuk memimpin domba-domba-Nya.

Pertama, segala permasalahan dalam hidup yang memunculkan stres dalam diri kita bukanlah hal yang harus kita nihilkan kehadirannya. Melainkan, kita dapat merengkuhnya dan membawa itu semua ke hadapan Allah, sebab Allah bukanlah Allah yang jauh. Dia adalah Allah yang mendengar doa-doa kita dan bersedia menjawabnya (Yohanes 16:23).

Allah tidak memandang hina ratapan anak-anak-Nya. Yesus telah memberi kita teladan bahwa dalam masa-masa terkelam, ketika murid-murid-Nya tertidur dan tak dapat Dia andalkan, Dia tetap dapat meluapkan perasaan-Nya yang terdalam kepada Bapa (Matius 26:39, 42). Alkitab memang tidak mencatat ada jawaban secara verbal yang Allah berikan atas ratapan Yesus, tetapi satu hal yang kita imani adalah: Allah tidak pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Dalam Podcast KaMu Episode-3, Ev. Dhimas Anugrah mengungkapkan bahwa sekalipun Allah tampaknya diam dan tidak merespons, sejatinya diamnya Allah itu merupakan bahasa kasih-Nya. Dalam diam sekalipun, Allah tidak pernah berhenti mengasihi, sebab Dia adalah kasih (1 Yohanes 4:8).

Kedua, Allah menjanjikan penyertaan-Nya bagi setiap kita (Matius 28:20). Penyertaan Tuhan bukanlah sebuah kondisi bak sulap yang menjadikan seluruh perjalanan hidup kita mulus tanpa kendala. Tantangan, kesulitan akan tetap ada dan menghadang kita, tetapi bersama Dia dan dalam penyertaan-Nya, kita selalu dimampukan untuk mengatasinya (Filipi 4:13).

Dimampukan untuk mengatasi segala tantangan itu bukan pula berarti bahwa hidup kita akan selalu berhasil. Kegagalan mungkin akan tetap kita jumpai. Kesakitan mungkin akan tetap kita alami. Tetapi, dalam iman kita mengetahui bahwa segala kesukaran itu mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Dia, yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya (Roma 8:28).

Dua kebenaran yang Alkitab sajikan bagi kita ini adalah sebuah rumus dasar yang seharusnya hadir dalam pemahaman kita. Ketika kita memiliki pola pikir dan cara pandang yang berasal dari-Nya, kita pasti bisa melalui setiap tantangan dan kesukaran, dan menjadikan itu sebagai kesempatan untuk mendewasakan iman kita.

Ketiga, merengkuh kerentanan adalah cara untuk menjadi kuat. Untuk menyembuhkan sakit, kita perlu tahu secara jelas apa yang jadi penyebabnya. Jiwa yang tertekan tidak seratus persen disebabkan oleh keadaan, tetapi lebih kepada respons kita terhadap keadaan itu. Jika respons kita adalah menanggapi dengan cara-cara yang negatif, pemazmur mengingatkan bahwa “…tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari” (Mazmur 32:3).

Kembali pada secuplik kisahku tentang sakit lambungku, sejak saat itu aku terus belajar untuk membangun dasar hidupku pada dasar yang teguh: firman Tuhan. Stres yang muncul sebagai respons atas kendala sehari-hari akan tetap ada, tetapi aku kini telah mengetahui cara yang benar untuk meresponsnya. Bukan membiarkan diriku jatuh berlarut-larut memikirkannya seorang diri, tetapi aku dapat menaikkannya dalam doa, dan juga meminta bantuan dari orang-orang terdekatku atau bahkan tenaga profesional kesehatan mental. Sebab meminta tolong bukanlah tanda bahwa kita lemah, meminta pertolongan adalah tanda bahwa kita manusia ciptaan Allah, yang dipanggil untuk saling menolong (Galatia 6:2).

Menutup tulisan ini, ada satu lagu yang liriknya memberkatiku. Lagu ini adalah sebuah himne yang dalam bahasa Inggris berjudul: “Turn Your Eyes Upon Jesus.”

Refrainnya berkata:

Turn your eyes upon Jesus
Look full in His wonderful face
And the things of earth will grow strangely dim
In the light of his glory and grace

Ketika kita memandang pada Yesus dan melihat wajah-Nya yang mulia, segala hal duniawi akan meredup, tersamarkan oleh sinar-Nya yang teramat mulia.

Tabik. Tuhan Yesus memberkati.

Menemukan Pemeliharaan Tuhan lewat Tenaga Profesional Kesehatan Mental

Oleh Listiyani Chita Ellary

Isu kesehatan mental dan komplikasinya adalah isu yang dulunya asing bagiku. Beberapa tahun yang lalu, aku belum mengenal arti pentingnya memiliki kesadaran soal merawat kesehatan mental bagi setiap orang, dan bagaimana kita bisa saling menolong untuk menjaga kewarasan rohani. Yang aku pahami adalah bahwa kesehatan mental setiap orang diukur dengan tolak ukur yang sama dan tentu saja menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing untuk menjadi tetap kuat. Sebelumnya aku merasa bahwa cara terbaik merawat kondisi mental pribadi adalah dengan terlihat baik-baik saja dan memendam semua emosi. Tabu pula untuk mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, sakit hati, serta ekspresi emosi “negatif” lainnya.

Caraku memperlakukan pergumulan mental selama ini, dengan berusaha menyimpan untuk digumuli sendiri dan mencoba terlihat baik-baik saja di mata orang lain, juga membuatku sedikit asing dengan profesi konselor, psikolog, juga psikiater. Lagi-lagi aku berasumsi bahwa ketiga profesi tersebut akan dibutuhkan hanya bagi seseorang dengan gangguan jiwa yang parah, yang mungkin juga dipengaruhi oleh kurangnya iman yang teguh. Namun semua asumsiku soal isu kesehatan mental dan profesi yang berkaitan dengannya luntur ketika aku sendiri harus menghadapi serangkaian peristiwa pahit yang cukup menggoyahkan hidup.

Tepatnya setahun lalu sejak kepindahanku ke Jakarta, ibu kota negara yang tekanan hidupnya amat berbeda dan unik, banyak adaptasi yang ternyata tidak selalu berjalan mulus. Awal-awal tinggal di Jakarta, hampir setiap harinya aku merasa stres harus menahan marah melihat kemacetan khas Jakarta dan desak-desakan antar penumpang di dalam bus dan kereta, transportasi yang aku gunakan setiap hari saat berangkat dan pulang dari tempat kerja.

Hal ini masih ditambah lagi dengan berbagai pergumulan personal, misalnya banyak pertikaian dalam relasi dengan pacar, juga peristiwa-peristiwa lain yang tidak jarang menguras banyak energi dan emosi. Pada momen-momen inilah aku merasa kewalahan untuk hidup sebagai seorang manusia. Aku merasa seperti mayat hidup, mengalami kekosongan dalam diri, seringkali merasa lelah dan hilang arah, hingga berakibat pada jatuhnya relasiku dengan Tuhan.

Dalam kondisi yang kacau saat itu, aku hanya menggunakan cara bertahan yang selama ini aku tahu; bahwa semua kekacauan tersebut menjadi tanggung jawabku pribadi, dan tidak baik membagikan kerapuhan kepada orang lain. Ketakutan terbesarku ketika mencoba membagikan kerapuhan kepada orang lain adalah respons negatif berupa penghakiman dari mereka ketika melihat bagian diriku yang kelam yang semakin membuatku terpuruk, padahal ketakutan tersebut belum tentu akan terjadi. Namun sikap yang kutunjukkan dalam keseharian tak bisa bohong. Orang terdekatku melihat banyak keanehan dalam diriku seperti banyak murung, mudah menangis tanpa alasan jelas, juga banyak ungkapan pesimis terlontar dari mulutku.

Akhirnya seseorang mendorongku untuk datang ke sebuah lembaga konseling Kristen di Jakarta. Tentu saja mulanya aku menolak habis-habisan. “Aku masih waras kok,” begitu pikirku. Namun dorongan beberapa orang terdekat dan kemurahan hati seorang kawan yang bersedia menemaniku ke tempat konseling membuatku bersedia menemui seorang konselor. Tentu saja, pertemuan pertama membuatku takut. Bagaimana mungkin aku harus membuka luka kepada orang asing yang sama sekali tidak mengenalku?

Tapi lagi-lagi, ketakutan serta asumsiku sama sekali tidak terbukti. Sepulang dari konseling, aku merasa amat dilegakan seperti sebagian beban hidupku terangkat. Aku bersyukur sekali ketika dipertemukan dengan seorang konselor yang amat hangat sehingga membuatku nyaman dan aman dalam membagikan banyak persoalanku tanpa sama sekali keluar penghakiman darinya, justru sambutan hangat dan positif yang tidak henti-henti kudapatkan. Di akhir sesi, beliau memberikan saran yang ternyata sederhana untuk menguraikan emosi dalam diriku: menulis. Akhirnya aku mulai mendisplinkan diri untuk mulai menuliskan berbagai emosi yang aku rasakan. Hasilnya cukup membantuku, yakni aku mulai belajar memetakan isi kepala terhadap semua respons emosi yang aku alami terhadap suatu peristiwa.

Benar, datang untuk konseling tidak menjamin permasalahan hidup akan selesai atau menemukan jalan keluar seketika. Namun menemukan seorang penolong profesional yang lebih mampu melihat secara jernih akar permasalahan dan memiliki sudut pandang obyektif ternyata mampu membuatku melihat banyak benang kusut dalam permasalahan hidup yang sedikit demi sedikit mampu diuraikan.

Hal ini mengingatkanku kepada nabi Elia, yang pernah mengalami kejatuhan mental dan depresi, juga bagaimana Tuhan menolongnya. Dalam kitab 1 Raja-raja 19 disebutkan bahwa Elia diancam dibunuh oleh Ratu Izebel yang geram akibat tindakan Elia yang membuktikan kekuasaan Allah dan kepalsuan nabi-nabi Baal. Di ayat 3 dan 4, dia, di luar dugaan kita akan nabi yang tangguh dalam Allah, justru meminta Tuhan untuk mengambil nyawanya karena begitu takutnya dia akan ancaman pembunuhan Izebel.

Lalu apa respons Tuhan? Dia ternyata mendengar ketakutan Elia dan menyatakan penyertaan-Nya, namun dengan cara yang tidak terlihat megah, malah remeh, yakni lewat roti bakar dan air (ayat 5-8) yang mendampingi istirahatnya, serta angin sepoi-sepoi yang menghampiri Elia (ayat 12).

Aku sering menganggap bahwa pertolongan Tuhan kepada para nabi pasti dengan cara dahsyat, namun kenyataannya Tuhan memperlengkapi dan menjaga semua anak-anak-Nya hari lepas hari dengan cara yang tidak terduga namun selalu mencukupkan.

Melalui nabi Elia yang berani mengutarakan ketakutannya kepada Tuhan, aku menyadari bahwa tidak apa-apa mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takut atau emosi yang selama ini dianggap negatif alih-alih dipendam baik-baik agar nampak kuat. Aku pun melihat bahwa semua respons emosi juga Tuhan izinkan, tujuannya tentu saja untuk mengingat bahwa kita manusia yang memerlukan Tuhan untuk menolong semua kerapuhan kita.

Aku pun dituntun untuk belajar melihat dengan rendah hati serta menerima bahwa diri ini penuh kerapuhan dan memerlukan pertolongan Tuhan untuk menguatkan. Juga untuk tidak menganggap remeh bentuk-bentuk pertolongan yang Tuhan sediakan, termasuk melalui profesional di bidangnya yang membagikan pemahaman yang objektif serta pertolongan yang nampak simpel tapi sejatinya amat menguatkan.

Aku tahu di masa-masa sukar ini kita semua sedang sama-sama berjuang melaluinya. Tidak jarang kita merasa sendirian, kecewa, sakit hati, atau bahkan kehilangan harapan. Namun semoga kita semua selalu ingat bahwa kita selalu diperlengkapi dengan banyak pertolongan-pertolongan yang sederhana namun mencukupkan. Tugas kita hanyalah untuk mau rendah hati mengakui kerapuhan dan memiliki kesediaan untuk mau ditolong. Aku berdoa agar apapun yang sedang kita alami saat ini, semoga tidak pernah kehilangan harapan hidup di dalam Allah yang senantiasa mengasihi kita dengan cara-Nya yang unik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Jalan Sulit dan Memutar

Kita tidak ingin menjumpai masa-masa sulit, tetapi Tuhan seringkali mengizinkan masa-masa itu hadir untuk membentuk kita. Pembentukan seperti apakah yang Tuhan inginkan terjadi bagi kita?

Serba-serbi Kesehatan Mental: Tren, Fakta, dan Jalan untuk Mengasihi Diri

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Kesadaran akan kesehatan mental sedikit banyak meningkat, terlebih setelah film karya DC berjudul Joker (2019) sukses di berbagai layar bioskop. Namun, kesadaran tersebut disertai dengan dampak negatif. Karena melihat suatu film yang menunjukkan karakter pengidap mental illness, ada penonton yang merasa cocoklogi. Karena mengisi kuis dari Facebook, ada orang-orang yang merasa dirinya pasti mengidap penyakit mental tertentu. Dan lucunya, orang-orang yang cocoklogi, merasa dirinya mengalami gangguan psikologis, merasa keren, disebarkan di sosial media; seolah menjadi tren.Sebagai seorang yang rutin ke psikolog, aku merasa sedih melihat fenomena ini dan rasanya penting untuk berdialog mengenai fakta seputar kesehatan mental.

Menguji Kesehatan Mental Butuh Uji Ilmiah, Bukan Cocoklogi

Pada awal pandemi Covid-19 masuk di Indonesia, masyarakat menjadi waspada kesehatan. Ketika aku berada di suatu tempat, dan bersin, sontak seisi ruangan menoleh ke arahku. Apakah aku pasti terjangkit Covid-19? Menurut ilmu cocoklogi, mungkin wajar kalau aku diduga demikian. Namun, sebagai bangsa yang cerdas, kita pun bisa tahu seseorang mengalami Covid-19 melalui uji ilmiah, berupa Rapid Test, Swab Test atau PCR.

Hal yang sama terjadi pada kesehatan mental kita. Kuis yang ada di sosial media maupun Google, hanyalah kisi-kisi yang belum tentu akurat 100%. Kecocokan karakter pada film atau novel yang kita baca, tidak bisa membatasi karakter dan kondisi psikologis kita. Maka, untuk mengetahui kesehatan mental kita, datanglah ke ahli kesehatan mental, di mana sang psikolog, psikiater, terapis atau konselor akan berbincang-bincang bersama kita untuk mengetahui kondisi kita.

Penting banget ya untuk datang ke psikolog, psikiater, terapis, atau konselor? Secara logika, ketika sakit gigi, tentu kita datang ke dokter gigi, bagi ibu hamil tentu memeriksa kandungannya datang ke obgyn atau dokter kandungan. Lantas jika kita mengalami gangguan psikis, datanglah juga ke tenaga profesional, yang tentunya dapat membantu kita, bukan sekadar tebak-tebakan kuis.

Datang ke Konselor, Bukan Sekadar Curhat ke Teman

“Tapi aku sudah cerita ke temanku, si A, mahasiswa psikologi, atau si B, mahasiswa teologi, apa masih perlu ke konselor?”

Jawabannya? Tergantung kebutuhanmu. Jika butuh didengarkan, carilah orang yang benar-benar mampu mendengarkanmu. Namun, jika kamu butuh dibantu secara mendalam, bagaimana merespons kondisi psikis kamu dan mengelolanya, maka datanglah kepada tenaga ahli.

Tanpa bermaksud mengecilkan latar belakang mereka yang sedang atau menempuh studi psikologi, teologi maupun orang-orang berlatar pendidikan humaniora lainnya, datang ke konselor (terlebih yang sudah bersertifikat) memiliki poin kelebihannya tersendiri. Kelebihan pertama ialah sisi profesionalitasnya, di mana kita sudah membayar (secara langsung atau melalui BPJS di beberapa klinik) dan kita tentu bisa menaruh ekspektasi lebih daripada bantuan teman biasa. Kedua, mereka telah menaruh sumpah untuk menjaga rahasia dari kita, sebagai klien. Hal ini menjadi jaminan bahwa cerita kita akan terjaga dengan baik, dan kita bisa menuntut apabila hal itu tersampaikan kepada khalayak umum. Ketiga, karena tidak memiliki kedekatan personal, tenaga profesional mungkin dapat memberikan saran yang lebih obyektif dibandingkan dengan orang-orang yang mengenal dekat dengan kita dan pendapatnya condong mendukung kita.

Tentu aku tidak melarangmu untuk curhat ke teman, aku pun masih curhat ke teman. Namun dalam batasan tertentu, kita perlu melihat kedalaman privasi cerita yang disampaikan dan apa yang kita harapkan setelah cerita kita tersampaikan.

Konseling Tidak Sepenuhnya Langsung Menyelesaikan Masalah

Lantas buat apa ke psikolog kalau masalah tidak selesai? Buang-buang uang dong? Nyatanya, konseling memang tidak langsung menyelesaikan masalah kita. Kondisi keluarga kita tidak akan langsung harmonis. Orang yang kita cintai belum tentu akan kembali, masalah pendidikan atau pekerjaan mungkin masih tetap ada. Datang ke ahli, seperti, psikolog, psikiater bahkan pendeta, tidak sama seperti kita datang ke tukang sulap maupun tukang ketok magic; ada proses yang perlu kita lalui.

Kembali menggunakan perumpamaan di bidang kesehatan, kita perlu mengingat pengalaman kita ke dokter. Kala kita mengonsultasikan kesehatan kita, sang dokter memeriksa dan memberikan resep obat. Prosesnya tidak berhenti di situ. Harus ada aksi yang kita lakukan, yaitu menebus resep dan meminum obat tersebut secara berkala, sesuai petunjuk dokter. Dengan skala waktu tertentu, kita akan merasakan pemulihan secara perlahan dan jika kita masih merasa sakit, kita perlu kembali memeriksanya kembali ke dokter bukan?

Hal yang sama juga kita alami ketika kita melakukan konseling kesehatan mental kita, di mana memiliki tingkat kompleksitasnya tersendiri. Dalam pertemuan pertama, kita akan banyak menceritakan perasaan dan pikiran kita, di mana cerita tersebut masih seperti puzzle yang tercerai-berai. Bersama dengan tenaga profesional, kita diajak untuk mencari akar permasalahannya, baik dengan ragam metode kesadaran jasmani maupun di bawah kesadaran, sesuai permintaan kita dan kemampuan sang konselor tersebut. Dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya kita akan mencoba mencari metode bersama-sama, cara yang tepat agar kita memiliki ketenangan dalam menentukan pilihan tindakan dan pikiran kita. Proses setiap orang tentunya tidak akan sama, aku harus sesi 4 kali, mungkin kamu bisa kurang dan bisa lebih, hingga dirasa memiliki kondisi mental yang baik.

Konseling Bagian dari Kita Menghargai Anugerah Tuhan

Seperti yang dijelaskan Vika, dalam artikel 4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental, aku rasa mungkin setiap orang berpotensi memiliki gangguan kesehatan mental kok. Tentu gangguan kesehatan mental jangan dianggap negatif, karena spektrum dan tingkatannya sangat luas. Kita tidak bisa menyempitkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental hanyalah orang yang melakukan tindakan sadis saja. Ketika kita merasa sedih yang berlarut-larut, mengalami ketakutan yang berlebih, hal itu pun sudah termasuk gangguan kesehatan mental, dengan spektrum yang berbeda dengan pelaku tindakan sadis.

Teman-teman mungkin hafal dengan hukum kasih kedua, yang tertulis dalam Matius 22:39, “Dan Hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Melalui ayat tersebut, aku memahami bahwa mengasihi diri sendiri adalah hal yang tak kalah pentingnya dengan mengasihi sesama. Bentuk mengasihi diri tentunya bermacam-macam, salah satunya rutin melakukan cek kesehatan, USG, kontrol gula, kontrol gigi, yang kerap kita maupun orang tua kita lakukan secara berkala. Mental kita pun perlu diperiksa juga, tentu dengan kesadaran bahwa kita mengasihi diri kita, sebagaimana Allah juga telah mengasihi diri kita.

Dengan kondisi mental kita yang baik, didukung juga oleh kondisi fisik dan spiritual yang baik, aku yakin bahwa kita jauh lebih optimal memuliakan nama Tuhan lewat berbagai aspek hidup kita. Dan bagi kamu yang merasa sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, it’s okay to not be okay. Datanglah ke tenaga ahli, dan saya juga turut berdoa bagi kamu. God bless us!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental

Oleh Vika Vernanda, Depok

Di akhir tahun 2018, fakultas psikologi di kampusku menginisiasi program kesehatan mental untuk mahasiswa. Salah satu layanan dari program tersebut adalah memfasilitasi mahasiswa yang ingin berkonsultasi dengan psikolog. Ini membuka makin banyak peluang mahasiswa di kampusku untuk berkonsultasi terkait kesehatan mentalnya kepada professional dengan lebih mudah.

Namun, sayangnya, aku masih melihat beberapa orang yang merasa ragu dan malu berkonsultasi dengan profesional terkait kesehatan mentalnya. Demikian pula anak-anak Tuhan. Masih banyak orang dalam komunitas Kristen enggan berbicara atau konseling kepada konselor Kristen, padahal manfaat berbicara atau konseling dengan konselor Kristen sangat besar. Oleh karenanya, aku menuliskan beberapa hal berdasarkan pengalaman pribadi dan orang di sekitarku, alasan untuk kamu atau kerabatmu yang merasa perlu namun masih ragu untuk datang menemui konselor Kristen.

1. Menemui praktisi kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan

Dari apa yang kudengar, salah satu alasan orang enggan menemui psikolog atau konselor adalah karena orang-orang di sekitar mereka menganggap menemui ahli psikis adalah memalukan. Disangka tidak punya keluarga atau teman yang bisa menjadi tempat bercerita. Disangka tidak percaya bahwa Tuhan yang bisa menyelesaikan permasalahan dalam hidup. Namun pemikiran seperti itu tidaklah tepat. Ada beberapa hal yang memang perlu diselesaikan, dan teman kita tidak berkapasitas untuk membantu menyelesaikannya; misalnya saja untuk seseorang yang merasa kehilangan harga diri setelah mengalami pelecehan seksual. Kehadiran konselor Kristen merupakan anugerah Allah untuk menolong kita untuk bisa semakin melihat bahwa identitas kita aman di dalam Allah dan tidak bergantung pada masalah atau kejadian buruk yang kita alami. Jadi, menemui praktisi konselor Kristen bukanlah hal yang memalukan, melainkan justru merupakan satu keputusan yang menunjukkan keberanian.

2. Menemui praktisi kesehatan mental bisa menolong kita mengenal diri kita lebih dalam

Satu tahun lalu aku rutin bertemu dengan Kak Sabeth yang adalah seorang konselor Kristen. Aku memutuskan untuk menemuinya karena aku bergumul dengan emosi yang saat itu mudah sekali untuk ‘meledak’.

Pertemuan-pertemuan awal dimulai dengan aku yang bercerita tentang berbagai ledakan emosi itu. Kak Sabeth kemudian mendiskusikan denganku beberapa hal yang menjadi pemicu terjadinya hal tersebut. Lewat pertemuan-pertemuan rutin itu, aku akhirnya mengetahui beberapa hal dalam diriku yang tidak aku ketahui sebelumnya. Misalnya, ternyata ada beberapa kejadian masa kecil yang membuatku cenderung menumpuk emosi, sehingga ketika emosi tersebut dikeluarkan akan menjadi ‘meledak’.

Ada beberapa kecenderungan diri yang tidak kita sadari ternyata bisa menyebabkan masalah dalam hidup. Kesadaran akan hal itu yang didapatkan dari diskusi dengan konselor akan sangat menolong kita menghadapi permasalahan hidup kedepannya.

3. Menemui ahli kesehatan mental bisa menjadi sebuah awal kita melayani Tuhan lebih efektif

Masalah yang kita hadapi seringkali membuat kita tidak berdaya. Tidak jarang masalah kehidupan sehari-hari mempengaruhi bagaimana kita melayani Tuhan. Misalnya saja karena masalah yang bertubi-tubi datang membuat kita tidak percaya akan kebaikan Tuhan, sehingga kita merasa percuma untuk tetap mengerjakan pelayanan.

Menemui seorang konselor akan menolong kita melihat dan menemukan penyelesaian permasalahan yang kita alami. Hal itu akan membuat kita kembali bisa memandang kehadiran Tuhan dengan cara yang benar.

Pertemuan rutinku dengan Kak Sabeth satu tahun lalu menyadarkanku bahwa aku tidak perlu memendam berbagai emosi yang kurasakan, hingga saat ini aku lebih bisa untuk mengekspresikannya. Pelayanan yang aku kerjakan saat ini berhubungan dengan banyak orang, sehingga ledakan emosiku yang sangat jauh menurun membuatku lebih efektif dalam melayani.

4. Kamu tidak menemui seorang konselor sendirian: Allah bersamamu

Masih ada orang-orang dalam lingkungan kita yang menganggap pergi menemui praktisi kesehatan mental hanya diperlukan untuk orang “gila”. Ditambah lagi mungkin ada teman-teman yang mengatakan bahwa pergi menemui praktisi kesehatan mental tidak diperlukan karena masih ada teman yang bisa mendengarkan, “kayak ga punya temen aja sih”. Hal-hal itu membuat kita merasa sendiri dan semakin ragu untuk memberanikan diri. Sehingga, memutuskan menemui praktisi kesehatan mental bukanlah hal yang mudah.

Markus 4:35-41 menceritakan tentang Yesus yang meredakan angin rebut. Ayat 37 menyatakan adanya taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Craig Groeschel dalam buku Divine Direction menuliskan bahwa keadaan saat itu terlalu besar untuk diatasi oleh perahu kecil dan para murid yang ketakutan di dalamnya. Tapi, meskipun keadaan tampak terlalu berat untuk dihadapi, para murid tidak sendirian. Markus mencatat “Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam”.

Bersama dengan Yesus di buritan perahu tidak berarti bahwa badai tidak akan menghantam perahu kita. Ini hanya berarti bahwa badai itu tidak akan menenggelamkan kita.

Allah bersama dengan kita, melewati berbagai ketakutan yang kita hadapi untuk akhirnya berani memutuskan untuk menemui praktisi kesehatan mental.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Sebuah Retret Keluarga di Rumah Sakit

Aku sekeluarga berada di ruang isolasi setelah positif terjangkit Covid-19. Momen yang awalnya menakutkan ini rupanya dipakai-Nya untuk mengingatkan kami betapa Tuhan sayang pada kami.

Meneladani Sang Konselor Sejati

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Lebih cantik, lebih pintar, lebih kaya—bagiku, itulah yang disebut sebagai kelebihan. Namun, bagi orang lain, aku memiliki kelebihan yang berbeda dari apa yang kupahami sebagai kelebihan. Padahal, apa yang dianggap orang lain sebagai kelebihanku sepertinya adalah hal yang biasa dan dimiliki oleh banyak orang: mendengarkan dan mendoakan.

Ketika menerima kata-kata pujian tentang kedua hal itu dari orang lain, aku hanya tersenyum tipis dan kadang menjawab dengan, “Ah, masa?” atau “Amin…”. Aku merespon dengan cara seperti itu bukan karena merasa senang dipuji, tetapi karena aku merasa belum sepenuhnya menjadi seorang pendengar dan pendoa yang baik.

Seringkali keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitarku juga menyampaikan bahwa mereka sangat tersentuh dengan kata-kata yang kuucapkan dalam doaku. Mereka bilang, aku adalah pendoa yang baik. Namun, lagi-lagi aku merasa apa yang kulakukan adalah hal yang biasa-biasa saja, karena setiap orang bisa berdoa dan setiap kata yang disampaikan dalam doa tidak ada yang salah. Sikap hati saat berdoa adalah hal yang terpenting.

Aku sangat sering mendengarkan curhat dari orang lain, baik orang yang sudah maupun baru kukenal. Entah mengapa, mereka yang baru saja mengenalku bisa langsung merasa nyaman untuk bercerita kepadaku, bahkan meminta aku untuk mendoakan mereka.

Suatu malam, aku merasakan ada yang berbeda saat sedang mendengarkan curhatan seorang junior di kampusku dulu. Usai kami berbincang lewat WhatsApp, aku membaca kembali setiap kata dan kalimat yang kusampaikan. Aku tersenyum dan merenung, “Tuhan, kenapa aku bisa menyampaikan hal ini ya?”. Aku juga teringat bahwa setiap kali ada orang yang bercerita kepadaku, baik langsung maupun lewat media sosial, mereka selalu menyampaikan, “bawa aku dalam doamu setiap hari”. Aku mulai merenung, apakah mendengarkan dan mendoakan memang dua hal yang Tuhan karuniakan bagiku?

Aku teringat pada pengalamanku ketika mengikuti konseling. Sebuah konseling terdiri dari dua pihak, yaitu konselor dan konseli (atau klien). Konselor mampu menolong konseli untuk menyampaikan masalah yang sedang ia hadapi serta memberikan solusi agar si konseli bisa pulih dan kembali melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan baik.

Malam itu juga aku mendapati sebuah jawaban bahwa hanya karena pertolongan dari Yesus Kristus, Sang Konselor Sejati, aku dimampukan untuk mendengarkan dan mendoakan orang lain. Sang Konselor Sejati terlebih dahulu memulihkan hidupku dengan berbicara lewat firman-Nya dalam Alkitab dan memberiku kekuatan lewat doa, sehingga aku dimampukan untuk menjadi konselor bagi orang lain.

Untuk menjadi konselor yang baik bagi orang-orang di sekitar kita, tentunya kita harus terlebih dahulu memiliki relasi yang intim dengan Sang Konselor Sejati. Mendengar suara-Nya dan mengenal kehendak-Nya adalah hal utama yang harus selalu kita kejar hari demi hari. Tuhan sendiri yang akan memampukan kita untuk menjalani panggilan-Nya dalam hidup kita, yaitu untuk menjadi ‘konselor-konselor’ Ilahi.

Mendengarkan dan mendoakan—dua cara sederhana yang bisa dilakukan untuk menyatakan kasih Yesus kepada sesama. Kita dapat menolong orang lain dengan mengajak mereka datang kepada Yesus, Sang Konselor Sejati yang memberi kelegaan.

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).

Baca Juga:

Terlalu Fokus Pelayanan Membuatku Lupa Siapa yang Kulayani

Kupikir jalan hidup yang kuambil sudah tepat—menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan pelayanan. Tapi, kemudian aku sadar bahwa ada yang keliru dalam motivasiku melayani-Nya.