Posts

Aku Pendeta dan Aku Bergumul dengan Depresi

Ditulis oleh Hannah Go, berdasarkan cerita dari Jordan Stoyanoff
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Confessions Of A Pastor Who Wrestles With Anxiety

Aku memulai perjalanan karierku sebagai pendeta muda yang bersemangat, yang punya mimpi mengubah dunia. Aku mau melakukan apa pun yang bisa kulakukan buat Tuhan… tapi di tahun kedua pelayananku, aku bergumul dengan depresi dan kecemasan.

Setiap hari, aku merasa waktuku tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan. Kesibukan makin banyak dan setiap kritik terasa menyengat. Aku tidak bisa berpikir jernih, dan seringkali merasa frustrasi hanya karena hal-hal kecil.

Bebanku terasa makin berat, ditambah lagi beban dari harapan-harapan yang aku sendiri dan orang lain buat untukku. Aku berpikir bagaimana seharusnya aku memperhatikan orang-orang muda yang Tuhan hantarkan kepadaku. Suatu hari nanti aku harus mempertanggungjawabkan bagaimana aku telah membina dan menggembalakan mereka karena kita sedang berurusan dengan kehidupan kekal mereka kelak.


Semua ekspektasi itu membuatku tertekan. Aku mengalami burnout dan kelelahan. Semua harapanku lenyap. Aku tidak bisa membayangkan keadaanku akan membaik. Penderitaan mentalku terlalu besar, sampai-sampai aku merasa satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri hidupku dan segera bertemu Yesus.

Pemikiran itu membuatku kaget sendiri. Padahal selama ini aku menganggap diriku itu orang yang tabah dan kuat, sehingga gulatan perasaan seperti ini sungguh terasa aneh dan tidak nyaman.

Setelahnya, kupikir aku butuh liburan karena aku kelelahan. Mungkin pergi liburan akan menolongku lepas dari stres dan menjernihkan pikiran untuk menyusun rencana ke depan. Aku perlu mencari tahu bagaimana caranya bertahan melayani di pelayanan anak-anak muda, tidak sekadar jadi pendeta yang cuma hadir lalu gagal. Maka aku pun mengambil cuti seperti yang disarankan oleh salah satu mentorku, dan orang-orang di sekitarku yang mengerti pergumulanku.

Tapi, liburan selama satu minggu tidaklah cukup, dan aku tahu itu. Aku harus kembali lagi ke pekerjaanku, berjibaku kembali dengan rutinitas yang menantang. Meskipun ada sesi follow-up setelahnya, itu tidak menyelesaikan masalah utama. Tidak ada seorang pun yang hadir untuk mengajakku bicara terkait masalahku. Aku tetap tampil ‘baik-baik saja’, sementara dalam diriku bergumul hebat.

Semua hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku meragukan imanku dan motivasi pelayananku. Di satu titik, semua beban itu bertumpuk dalam kepalaku.

Sebagai pendeta, aku memiliki kemampuan intelektual yang ‘baik’ tentang siapa Tuhan dan apa yang Dia katakan tentang aku. Namun, yang kutemukan setelahnya adalah justru aku tidak memahami diriku sendiri dengan baik, sehingga tidak dapat menerapkan kebenaran tentang siapa aku di hadapan Tuhan. Aku tahu keadaanku cukup sulit, tapi aku masih merasa cukup kuat untuk mengatasinya. Aku tidak menyadari bagaimana dunia di sekitarku mempengaruhiku dan turut berkontribusi menghadirkan pola-pola negatif di hidupku.

Bagaimana konseling menolongku mengatasi pergumulan

Suatu malam, aku berada di titik nadir. Harapan yang ditumpukan orang kepadaku terasa amat berat, dan aku merasa tidak sanggup lagi. Aku diliputi keputusasaan. Aku yakin aku tidak layak mengemban tanggung jawab di hadapanku. Aku lalu pergi ke sofa, dan tidur meringkuk seperti bola. Aku tak bisa berpikir jernih, tak bisa berbuat apa-apa. Kusadari kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh bantuan.

Malam itu juga, atas arahan dari salah seorang pendeta, aku pergi menjumpai seorang dokter umum yang memberiku obat dan menyarankan agar aku berkonsultasi dengan psikolog.

Melihat ke belakang, aku merasa tindakan dokter yang segera memberiku obat bukanlah langkah yang tepat. Kadang obat-obatan memang bisa dipakai Tuhan untuk mengatasi masalah, tapi itu bukan solusi sesungguhnya. Kurasa ada banyak dokter di luar sana juga seperti itu, langsung memberi resep obat antidepresan kepada pasien yang belum pernah menjalani psikoterapi. Meski merasakan banyak progres positif, tetapi setelah sembilan bulan mengonsumsi obat, aku berhenti.

Aku memutuskan menemui konselor Kristen karena aku tahu pada intinya, masalah yang kuhadapi adalah masalah spiritual. Aku membutuhkan Yesus untuk mengubah hati dan pikiranku, sebab konselor sekuler hanya akan menolongku mengatasi gejala-gejala klinis dari masalah yang sebenarnya. Aku perlu memahami diriku seperti cara Tuhan melihatku. Aku perlu menemukan identitasku dalam Kristus, bukan dalam berhasil atau gagalnya pelayananku. Aku membutuhkan pertolongan dari sesama orang Kristen.

Hal lain yang juga menolongku (pada tahun-tahun menjelang pernikahanku), adalah bagaimana aku belajar mengasihi seseorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan—istriku sendiri.

Istriku pernah melalui tantangan-tantangan mental seperti yang kualami ini sebelumnya, maka aku pun paham bahwa menemui konselor adalah keputusan yang baik. Aku tahu bahwa aku tak perlu menjadi sempurna—karena pada dasarnya memang kita tak bisa sempurna, dan itu tidak masalah. Melihat sendiri bagaimana istriku melewati masa-masa tersebut, memberiku keberanian untuk mencari pertolongan, meskipun aku masih merasa kaget karena tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan mengalami masalah seperti ini juga. Selama proses konseling berlangsung, aku tetap melanjutkan peranku sebagai pendeta sampai beberapa tahun setelahnya.

Menjalani konseling merupakan hal yang paling penting, pertolongan terbesar yang kudapat dalam perjalananku mengatasi kesehatan mental. Konseling adalah tempat yang aman karena segala data dan informasi kita bersifat rahasia. Dari sana, aku mulai mengerti bahwamasalah yang kualami itu berkaitan dengan identitasku, dan kemudian aku melihat bagaimana identitasku itu menentukan apa yang kulakukan. Sebelumnya, aku punya konsep sendiri tentang siapakah aku, bagaimana dunia itu, dan siapakah Tuhan—beberapa konsepku itu tidaklah sejalan dengan perspektif Yesus. Cara pandangku akan realitas tidaklah benar, baik, dan sejalan dengan apa yang Yesus katakan padaku. Aku butuh Yesus untuk menunjukkan kebohongan yang telah kupercaya selama ini, baik secara sadar maupun tidak. Aku butuh percaya kebenaran dari Yesus melebihi apa yang kupikir dan kurasa.

Sesi-sesi konseling menolongku mengurai masalahku. Aku juga mendapat terapi perilaku kognitif Kristiani yang menolongku untuk mengerti apa yang terjadi dalam pikiranku, alasan mengapa aku melakukan sesuatunya, sehingga aku bisa merespons dengan efektif terhadap pikiran-pikiran, perasaan, tindakan, serta melepas konsep yang keliru.

Sebelumnya, aku tak menyadari bahwa iman berkaitan dengan kesehatan mental. Aku tidak sepenuhnya mengerti bahwa identitasku dalam Kristus juga berkaitan dengan masalahku. Sungguh penting mengetahui siapa kita sebenarnya di dalam Kristus.

Pemulihan dari burnout

Pulih dari burnout adalah proses yang panjang, namun aku tetap menjalankan tanggung jawabku sebagai pendeta sampai Tuhan bilang saatnya untuk pindah. Butuh dua tahun untukku beranjak dari posisiku sebagai pendeta ke tanggung jawabku yang sekarang. Semua karena anugerah-Nya saja.

Masih ada momen-momen ketika aku melihat kendala dalam diriku, entah itu kurangnya rasa belas kasihan, bertindak di luar karakterku, atau bergumul untuk lebih tenang. Semua itu memaksaku berhenti dan berpikir: apa keyakinan yang mendasari di sini? Bagaimana aku bisa menyelaraskan diriku dengan kebenaran Tuhan di situasi ini?

Satu hal yang kupelajari tentang menghadapi masalah kesehatan mental di dalam gereja adalah kurangnya kesadaran akan kesehatan mental dari sudut pandang Kristen. Beberapa orang terlalu serius menanggapi persoalan mental orang lain seolah-olah itu penyakit menular, yang akhirnya malah membuat seseorang semakin takut untuk membuka diri. Sikap ini menunjukkan sebuah tembok yang dibangunoleh orang-orang di gereja—tidak mampu untuk secara terbuka berbagi kisah tentangapa yang sedang dialami, dan tak ada orang yang bisa memvalidasi pengalaman mereka.

Di sisi lainnya, aku juga melihat bagaimana orang bisa begitu berempati dan berbelas kasih terhadap mereka yang bergumul, tetapi pada akhirnya malah terlalu banyak menceritakan pengalaman mereka sendiri, yang belum tentu tepat. Pada kasusku, penting untuk tidak merasa kita adalah juruselamat bagi orang lain dan kitalah yang paling bisa menolong. Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan, tapi aku pun harus percaya bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang memelihara mereka.

Pada akhirnya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Kita tak bisa memaksa mereka yang bergumul dengan masalah kesehatan mental untuk menemui dokter atau konselor. Biarlah mereka sendiri yang memutuskan. Perjalanan menuju pemulihan adalah urusan orang itu sendiri dengan Yesus. Kita sebagai temannya bertanggung jawab menemani dia. Bukan sebagai juruselamat atau ahli kesehatan mental, tapi sebagai kawan.

Ketika Beban di Pundakmu Terasa Terlalu Berat

Oleh Bramantyo

“Brakkkkk!”, kereta api yang tengah melaju kencang menghantam sesuatu.

Bukan motor atau mobil yang ditabrak oleh kereta itu, melainkan sesosok manusia yang sengaja menabrakkan dirinya dengan cara bertengkurap di rel. Kisah pilu ini terjadi di kota Jogja, pada bulan Mei 2013. Tidak ditemukan identitas apa pun pada lokasi kejadian selain ciri-ciri fisik korban yang berkulit sawo matang dan disinyalir berusia sekitar 40 tahunan.

Barulah setelah aparat kepolisian melakukan investigasi, terungkap teka-teki siapa identitas korban dan mengapa dia nekat melakukan aksi tragis tersebut. Dia [korban] adalah ayah dari anak semata wayang, suami dari seorang istri, dan ketua panitia dari sebuah konser musik. Kesalahan komunikasi pada gelaran musik yang diketuainya membuatnya jadi bulan-bulanan dari banyak pihak yang melemparkan caci maki untuknya di media sosial. Konser musik akbar yang didamba berjalan mulus rupanya didera banyak masalah; mulai dari urusan promosi yang tak jalan, persoalan dana yang kurang, dan para artis yang akhirnya membatalkan partisipasi karena belum menerima honor. Sebagai ketua panitia, korban mencari cara untuk menutupi kekurangan uang. Dia berutang, tapi hasil utangan itu tidak cukup. Konser yang seharusnya berjalan dua hari, hanya jadi sehari. Pendapatan dari tiket masuk dan sponsor pun tetap tidak balik modal. Segala kemelut ini menghimpit pundaknya, dan bebannya menjadi terlampau berat ketika caci-maki dilemparkan padanya.

“Trimakasih atas sgala caci maki….ini gerakan.. Gerakan menuju Tuhan.. Salam,” tulis korban pada akun twitternya. Ini adalah status terakhirnya sebelum dia ditemukan tak lagi bernyawa.

* * *

Aku ingat kisah itu pernah kubaca di sebuah koran cetak. Pada tahun 2013, aku masih menjadi mahasiswa semester dua di kota Jogja, masa-masa yang banyak kuisi dengan terlibat di berbagai kepanitiaan kampus. Aku bergidik membaca kisah pilu itu. Aku tak dapat membayangkan betapa beratnya menjadi seorang ketua panitia yang dicap gagal menjalankan sebuah event. Bagi kita yang pernah terlibat dalam sebuah kepanitiaan, entah itu untuk acara festival di kampus, atau acara kebaktian Natal di gereja, kita mungkin setuju bahwa menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas sebuah acara tidaklah mudah.

Jika beban untuk sebuah acara yang berlangsung dalam hitungan jam atau hari saja terasa berat, kita tidak menampik bahwa beban-beban hidup lainnya pun tak kalah berat. Malahan, ia harus ditanggung setiap hari dan kita tak tahu kapan dan di mana garis finishnya. Ketika studi kita terganggu karena kesulitan keuangan, ketika beban pekerjaan semakin membuat letih karena tuntutan yang semakin tinggi dari atasan, atau ketika segala impian dan harapan kita karam karena penyakit yang menggerogoti tubuh kita. Segala beban tersebut seringkali membuat pundak kita seolah remuk. Dan, pada banyak kasus pikiran kita meresponsnya dengan memunculkan gambaran solusi instan: mengakhiri kehidupan.

Data dari Bank Dunia mencatat pada 2016 kasus bunuh diri di Indonesia berada di angka 3,4 per seratus ribu populasi . Kasus-kasus ini bukanlah statistik semata, itu menyajikan pada kita sebuah realitas: bahwa kehidupan ini rentan. Siapa pun tidak kebal dari godaan untuk mengakhiri masalah secara instan. Aku pun pernah beberapa kali mengutarakan keinginan ini dalam tangisanku. Kehidupanku sebagai anak yang lahir di luar pernikahan sah, yang tak mendapat perhatian cukup dari orang tua seringkali membuatku dirundung kesepian. Aku beranggapan jika keluarga yang katanya orang terdekatku saja tidak peduli denganku, maka siapalah aku ini hingga aku perlu melanjutkan hidup.

Namun, syukur kepada Allah karena dalam momen terkelam sekalipun sejatinya Dia tidak pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Melalui berbagai kesempatan—rangkulan hangat dari seorang kawan yang tetiba mengajakku mengobrol, sapaan apa kabar dari teman lama, alunan musik yang lirik dan nadanya meneduhkan hati, atau dari pandanganku akan ciptaan Allah di sekelilingku yang dipelihara-Nya dengan cantik, meneguhkan kembali pondasi hatiku yang rapuh. Aku dan kamu, kita semua berharga dan dipelihara-Nya, sebagaimana Allah memelihara kehidupan pada burung-burung pipit di udara yang tidak menabur dan menuai. Bahkan, kita jauh melebihi daripada burung-burung itu. (Matius 6:26).

Menguatkan kembali pundak yang didera beban terlampau berat sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu upaya yang akan melibatkan derai air mata, dan bukan tidak mungkin pula keputusasaan selalu mengetuk hati kita. Tetapi ingatlah…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin hati dan bibirmu enggan untuk mengakuinya. Mungkin kamu malah menghakimi kalau dirimu terlalu lemah untuk menanggung semua ini.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin akan ada orang-orang yang tetap mencibirmu karena mereka tak melihat betapa panjang dan sulitnya perjalanan yang telah kamu tempuh.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin air matamu akan menetes dan pandangan di depanmu tampak kelam. Kamu tak tahu bilamana permasalahan ini akan berujung.

Tetapi…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada Pundak lain yang turut menanggungnya bersamamu. Ingatlah bahwa di atas pundak itu pernah tertanggung segala cela dan hina yang seharusnya mengantar seluruh umat manusia kepada kebinasaan.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada janji mulia yang dianugerahkan kepadamu. Bahwasannya segala penderitaan yang kamu alami akan mendatangkan bagimu kemuliaan kekal.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa Dia yang turut menanggung bebanmu, berkuasa untuk membalut luka-luka hatimu dan meneguhkan kembali langkahmu yang gontai. Dia mungkin tidak mengubah keadaan dengan sekejap, pun melenyapkan segala beban itu, tetapi dalam tuntunan-Nya, Dia akan membawamu menang sampai ke garis akhir.

Aku berdoa, kiranya dalam perjalanan berat yang kamu lalui, kamu senantiasa dapat merasakan kehadiran Allah yang memelihara. Bersama Dialah, perjalananmu akan mengantarmu kepada tujuan yang telah Dia tetapkan untukmu.

Tuhan memberkatimu.

Baca Juga:

Kasih yang Melukai

Banyak dari kita beranggapan bahwa wajah yang ceria mencerminkan kehidupan yang mudah. Namun, dibalik senyuman terlebar pun, setiap orang punya cerita. Aku berharap setelah membaca ini, kita semua dapat menjadi pribadi yang lebih memiliki empati terhadap orang lain.

Serba-serbi Kesehatan Mental: Tren, Fakta, dan Jalan untuk Mengasihi Diri

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Kesadaran akan kesehatan mental sedikit banyak meningkat, terlebih setelah film karya DC berjudul Joker (2019) sukses di berbagai layar bioskop. Namun, kesadaran tersebut disertai dengan dampak negatif. Karena melihat suatu film yang menunjukkan karakter pengidap mental illness, ada penonton yang merasa cocoklogi. Karena mengisi kuis dari Facebook, ada orang-orang yang merasa dirinya pasti mengidap penyakit mental tertentu. Dan lucunya, orang-orang yang cocoklogi, merasa dirinya mengalami gangguan psikologis, merasa keren, disebarkan di sosial media; seolah menjadi tren.Sebagai seorang yang rutin ke psikolog, aku merasa sedih melihat fenomena ini dan rasanya penting untuk berdialog mengenai fakta seputar kesehatan mental.

Menguji Kesehatan Mental Butuh Uji Ilmiah, Bukan Cocoklogi

Pada awal pandemi Covid-19 masuk di Indonesia, masyarakat menjadi waspada kesehatan. Ketika aku berada di suatu tempat, dan bersin, sontak seisi ruangan menoleh ke arahku. Apakah aku pasti terjangkit Covid-19? Menurut ilmu cocoklogi, mungkin wajar kalau aku diduga demikian. Namun, sebagai bangsa yang cerdas, kita pun bisa tahu seseorang mengalami Covid-19 melalui uji ilmiah, berupa Rapid Test, Swab Test atau PCR.

Hal yang sama terjadi pada kesehatan mental kita. Kuis yang ada di sosial media maupun Google, hanyalah kisi-kisi yang belum tentu akurat 100%. Kecocokan karakter pada film atau novel yang kita baca, tidak bisa membatasi karakter dan kondisi psikologis kita. Maka, untuk mengetahui kesehatan mental kita, datanglah ke ahli kesehatan mental, di mana sang psikolog, psikiater, terapis atau konselor akan berbincang-bincang bersama kita untuk mengetahui kondisi kita.

Penting banget ya untuk datang ke psikolog, psikiater, terapis, atau konselor? Secara logika, ketika sakit gigi, tentu kita datang ke dokter gigi, bagi ibu hamil tentu memeriksa kandungannya datang ke obgyn atau dokter kandungan. Lantas jika kita mengalami gangguan psikis, datanglah juga ke tenaga profesional, yang tentunya dapat membantu kita, bukan sekadar tebak-tebakan kuis.

Datang ke Konselor, Bukan Sekadar Curhat ke Teman

“Tapi aku sudah cerita ke temanku, si A, mahasiswa psikologi, atau si B, mahasiswa teologi, apa masih perlu ke konselor?”

Jawabannya? Tergantung kebutuhanmu. Jika butuh didengarkan, carilah orang yang benar-benar mampu mendengarkanmu. Namun, jika kamu butuh dibantu secara mendalam, bagaimana merespons kondisi psikis kamu dan mengelolanya, maka datanglah kepada tenaga ahli.

Tanpa bermaksud mengecilkan latar belakang mereka yang sedang atau menempuh studi psikologi, teologi maupun orang-orang berlatar pendidikan humaniora lainnya, datang ke konselor (terlebih yang sudah bersertifikat) memiliki poin kelebihannya tersendiri. Kelebihan pertama ialah sisi profesionalitasnya, di mana kita sudah membayar (secara langsung atau melalui BPJS di beberapa klinik) dan kita tentu bisa menaruh ekspektasi lebih daripada bantuan teman biasa. Kedua, mereka telah menaruh sumpah untuk menjaga rahasia dari kita, sebagai klien. Hal ini menjadi jaminan bahwa cerita kita akan terjaga dengan baik, dan kita bisa menuntut apabila hal itu tersampaikan kepada khalayak umum. Ketiga, karena tidak memiliki kedekatan personal, tenaga profesional mungkin dapat memberikan saran yang lebih obyektif dibandingkan dengan orang-orang yang mengenal dekat dengan kita dan pendapatnya condong mendukung kita.

Tentu aku tidak melarangmu untuk curhat ke teman, aku pun masih curhat ke teman. Namun dalam batasan tertentu, kita perlu melihat kedalaman privasi cerita yang disampaikan dan apa yang kita harapkan setelah cerita kita tersampaikan.

Konseling Tidak Sepenuhnya Langsung Menyelesaikan Masalah

Lantas buat apa ke psikolog kalau masalah tidak selesai? Buang-buang uang dong? Nyatanya, konseling memang tidak langsung menyelesaikan masalah kita. Kondisi keluarga kita tidak akan langsung harmonis. Orang yang kita cintai belum tentu akan kembali, masalah pendidikan atau pekerjaan mungkin masih tetap ada. Datang ke ahli, seperti, psikolog, psikiater bahkan pendeta, tidak sama seperti kita datang ke tukang sulap maupun tukang ketok magic; ada proses yang perlu kita lalui.

Kembali menggunakan perumpamaan di bidang kesehatan, kita perlu mengingat pengalaman kita ke dokter. Kala kita mengonsultasikan kesehatan kita, sang dokter memeriksa dan memberikan resep obat. Prosesnya tidak berhenti di situ. Harus ada aksi yang kita lakukan, yaitu menebus resep dan meminum obat tersebut secara berkala, sesuai petunjuk dokter. Dengan skala waktu tertentu, kita akan merasakan pemulihan secara perlahan dan jika kita masih merasa sakit, kita perlu kembali memeriksanya kembali ke dokter bukan?

Hal yang sama juga kita alami ketika kita melakukan konseling kesehatan mental kita, di mana memiliki tingkat kompleksitasnya tersendiri. Dalam pertemuan pertama, kita akan banyak menceritakan perasaan dan pikiran kita, di mana cerita tersebut masih seperti puzzle yang tercerai-berai. Bersama dengan tenaga profesional, kita diajak untuk mencari akar permasalahannya, baik dengan ragam metode kesadaran jasmani maupun di bawah kesadaran, sesuai permintaan kita dan kemampuan sang konselor tersebut. Dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya kita akan mencoba mencari metode bersama-sama, cara yang tepat agar kita memiliki ketenangan dalam menentukan pilihan tindakan dan pikiran kita. Proses setiap orang tentunya tidak akan sama, aku harus sesi 4 kali, mungkin kamu bisa kurang dan bisa lebih, hingga dirasa memiliki kondisi mental yang baik.

Konseling Bagian dari Kita Menghargai Anugerah Tuhan

Seperti yang dijelaskan Vika, dalam artikel 4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental, aku rasa mungkin setiap orang berpotensi memiliki gangguan kesehatan mental kok. Tentu gangguan kesehatan mental jangan dianggap negatif, karena spektrum dan tingkatannya sangat luas. Kita tidak bisa menyempitkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental hanyalah orang yang melakukan tindakan sadis saja. Ketika kita merasa sedih yang berlarut-larut, mengalami ketakutan yang berlebih, hal itu pun sudah termasuk gangguan kesehatan mental, dengan spektrum yang berbeda dengan pelaku tindakan sadis.

Teman-teman mungkin hafal dengan hukum kasih kedua, yang tertulis dalam Matius 22:39, “Dan Hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Melalui ayat tersebut, aku memahami bahwa mengasihi diri sendiri adalah hal yang tak kalah pentingnya dengan mengasihi sesama. Bentuk mengasihi diri tentunya bermacam-macam, salah satunya rutin melakukan cek kesehatan, USG, kontrol gula, kontrol gigi, yang kerap kita maupun orang tua kita lakukan secara berkala. Mental kita pun perlu diperiksa juga, tentu dengan kesadaran bahwa kita mengasihi diri kita, sebagaimana Allah juga telah mengasihi diri kita.

Dengan kondisi mental kita yang baik, didukung juga oleh kondisi fisik dan spiritual yang baik, aku yakin bahwa kita jauh lebih optimal memuliakan nama Tuhan lewat berbagai aspek hidup kita. Dan bagi kamu yang merasa sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, it’s okay to not be okay. Datanglah ke tenaga ahli, dan saya juga turut berdoa bagi kamu. God bless us!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Meneladani Sang Konselor Sejati

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Lebih cantik, lebih pintar, lebih kaya—bagiku, itulah yang disebut sebagai kelebihan. Namun, bagi orang lain, aku memiliki kelebihan yang berbeda dari apa yang kupahami sebagai kelebihan. Padahal, apa yang dianggap orang lain sebagai kelebihanku sepertinya adalah hal yang biasa dan dimiliki oleh banyak orang: mendengarkan dan mendoakan.

Ketika menerima kata-kata pujian tentang kedua hal itu dari orang lain, aku hanya tersenyum tipis dan kadang menjawab dengan, “Ah, masa?” atau “Amin…”. Aku merespon dengan cara seperti itu bukan karena merasa senang dipuji, tetapi karena aku merasa belum sepenuhnya menjadi seorang pendengar dan pendoa yang baik.

Seringkali keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitarku juga menyampaikan bahwa mereka sangat tersentuh dengan kata-kata yang kuucapkan dalam doaku. Mereka bilang, aku adalah pendoa yang baik. Namun, lagi-lagi aku merasa apa yang kulakukan adalah hal yang biasa-biasa saja, karena setiap orang bisa berdoa dan setiap kata yang disampaikan dalam doa tidak ada yang salah. Sikap hati saat berdoa adalah hal yang terpenting.

Aku sangat sering mendengarkan curhat dari orang lain, baik orang yang sudah maupun baru kukenal. Entah mengapa, mereka yang baru saja mengenalku bisa langsung merasa nyaman untuk bercerita kepadaku, bahkan meminta aku untuk mendoakan mereka.

Suatu malam, aku merasakan ada yang berbeda saat sedang mendengarkan curhatan seorang junior di kampusku dulu. Usai kami berbincang lewat WhatsApp, aku membaca kembali setiap kata dan kalimat yang kusampaikan. Aku tersenyum dan merenung, “Tuhan, kenapa aku bisa menyampaikan hal ini ya?”. Aku juga teringat bahwa setiap kali ada orang yang bercerita kepadaku, baik langsung maupun lewat media sosial, mereka selalu menyampaikan, “bawa aku dalam doamu setiap hari”. Aku mulai merenung, apakah mendengarkan dan mendoakan memang dua hal yang Tuhan karuniakan bagiku?

Aku teringat pada pengalamanku ketika mengikuti konseling. Sebuah konseling terdiri dari dua pihak, yaitu konselor dan konseli (atau klien). Konselor mampu menolong konseli untuk menyampaikan masalah yang sedang ia hadapi serta memberikan solusi agar si konseli bisa pulih dan kembali melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan baik.

Malam itu juga aku mendapati sebuah jawaban bahwa hanya karena pertolongan dari Yesus Kristus, Sang Konselor Sejati, aku dimampukan untuk mendengarkan dan mendoakan orang lain. Sang Konselor Sejati terlebih dahulu memulihkan hidupku dengan berbicara lewat firman-Nya dalam Alkitab dan memberiku kekuatan lewat doa, sehingga aku dimampukan untuk menjadi konselor bagi orang lain.

Untuk menjadi konselor yang baik bagi orang-orang di sekitar kita, tentunya kita harus terlebih dahulu memiliki relasi yang intim dengan Sang Konselor Sejati. Mendengar suara-Nya dan mengenal kehendak-Nya adalah hal utama yang harus selalu kita kejar hari demi hari. Tuhan sendiri yang akan memampukan kita untuk menjalani panggilan-Nya dalam hidup kita, yaitu untuk menjadi ‘konselor-konselor’ Ilahi.

Mendengarkan dan mendoakan—dua cara sederhana yang bisa dilakukan untuk menyatakan kasih Yesus kepada sesama. Kita dapat menolong orang lain dengan mengajak mereka datang kepada Yesus, Sang Konselor Sejati yang memberi kelegaan.

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).

Baca Juga:

Terlalu Fokus Pelayanan Membuatku Lupa Siapa yang Kulayani

Kupikir jalan hidup yang kuambil sudah tepat—menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan pelayanan. Tapi, kemudian aku sadar bahwa ada yang keliru dalam motivasiku melayani-Nya.

Aku Mengalami Bipolar Mood Disorder, Namun Aku Bersyukur

Oleh Febriani*

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mazmur 139 : 14).

“Tuhan itu baik.”

Kalimat itu rasanya sudah terlalu sering kudengar. Namun, membutuhkan waktu seumur hidupku untuk benar-benar memahami dan menghidupi kebenaran itu. Setelah berhasil melewati setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku dan menyaksikan pekerjaan tangan-Nya, akhirnya saat ini aku bisa benar-benar mengatakan kalimat itu dari hatiku, tidak hanya dengan mulut. Hal itu pun bisa terjadi karena kebaikan-Nya.

Aku dapat merasakan kebaikan dan anugerah Tuhan dengan begitu nyata ketika aku bisa merasa “stabil”. Terdengar aneh, memang. Tetapi bagiku, ini sungguh luar biasa.

Pergumulanku dengan bipolar mood disorder

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat berada di sebuah situasi di mana aku benar-benar tidak dapat mengendalikan diriku. Saat itu, aku menangis tidak terkendali sampai melukai diriku sendiri. Hal yang terlintas di benakku hanyalah betapa aku sangat membenci diriku sendiri, dan aku ingin segera mengakhiri hidupku. Keadaan ini membuat orang-orang terdekatku mengkhawatirkanku. Aku tidak sadar dan tidak benar-benar mengerti apa yang baru saja terjadi, aku sudah berada di rumah sakit ketika aku terbangun.

Ketika kesadaranku mulai kembali, aku mendengar dokter memberi diagnosis. “Depresi”, katanya. “Kalau seperti ini lagi, tolong pasien jangan dibawa ke rumah sakit ini, tetapi ke rumah sakit jiwa atau dokter kejiwaan.”

Kalimat itu membuat keluargaku sangat terpukul, terutama kedua orang tuaku. Kenyataan bahwa anaknya mengalami depresi mungkin sulit mereka terima, karena selama ini aku ingin orang melihatku seakan baik-baik saja. Mereka tidak pernah tahu apa yang kusembunyikan dari mereka. Aku memendam semua beban dan kepedihanku dalam-dalam. Namun bagaimanapun aku berusaha, aku tidak cukup tangguh untuk menyimpan semua itu sendirian. Akhirnya, semuanya pun meledak.

Mengetahui hal itu, papa dan mamaku meminta bantuan hamba Tuhan di gereja kami untuk memberiku pelayanan konseling. Melalui konseling selama beberapa bulan, aku dipulihkan. Selapis demi selapis, luka dan selubung dalam diriku Tuhan singkapkan. Aku mulai mengenal diriku seutuhnya.

Aku juga menyadari sebuah keadaan yang dapat dikatakan sebagai kenyataan yang aneh. Aku memiliki orang tua dan keluarga yang cukup baik, tetapi kasih sayang dari mereka yang terlalu besar sampai menjadi overprotective terhadapku justru menimbulkan luka dan kepahitan yang tidak kusadari telah menumpuk dan membentuk diriku yang seperti sekarang ini. Papaku yang terlalu melindungi, mengekang, dan mendidikku dengan keras, membuatku tidak dapat merasakan kasihnya kepadaku. Aku tumbuh dengan sebuah pemikiran bahwa papa tidak mengasihiku. Konsep tentang seorang papa yang seperti ini membuatku tidak percaya bahwa Allah Bapa mengasihiku.

Ternyata, gambar diriku rusak. Dokter dan konselorku menyebutnya dengan “pecahnya diri dan kepribadian”-ku. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa aku telah sakit.

Proses menuju pulih

Sebenarnya, konselorku sudah mengenal dan melayaniku cukup lama karena beliau adalah pembimbing gereja kami semenjak aku remaja. Saat-saat aku mengalami depresi yang adalah titik terendah dalam hidupku, beliau pun terus setia melayani dan menolongku. Beliau juga sempat curiga, mengapa aku bergumul di masalah yang sama selama bertahun-tahun, seperti mengalami mood swing yang tidak terkendali. Tidak hanya beliau, ternyata selama ini keluargaku juga bingung dengan diriku yang bisa tiba-tiba sangat bahagia, tetapi beberapa jam kemudian menjadi sangat sedih dan penuh kemarahan.

Konselorku pun mendorongku untuk memeriksakan diri ke dokter. Aku sendiri menyadari bahwa aku sangat lelah akan mood swing yang tidak terkendali. Setelah berdoa dan bergumul, akhirnya aku didampingi konselorku untuk menemui seorang dokter.

Aku positif mengalami bipolar mood disorder. Meskipun telah merasakan serangkaian gejalanya selama bertahun-tahun, aku mengira apa yang kualami adalah sesuatu yang normal dan umum dialami oleh banyak orang. Rupanya, aku membutuhkan pengobatan dan penanganan khusus.

Aku sudah terlalu lelah dengan mood-ku yang begitu mudah berubah-ubah dan mempengaruhi hidupku. Aku sudah berusaha begitu banyak hal dan memohon Allah Roh Kudus untuk menguasaiku. Namun, terus ada saat-saat di mana aku masih saja berkutat di masalah yang sama, dan ini terasa sangat melelahkan.

Pil-pil ini, psikiater, rumah sakit, dan dokter spesialis kejiwaan—semua ini merupakan hal yang sangat tabu dan mengerikan untukku beberapa bulan yang lalu. Namun, tidak ada kata yang dapat mengungkapkan rasa syukurku ketika saat ini Bapa yang baik memampukanku untuk dapat menerima kenyataan bahwa ternyata aku adalah seseorang dengan bipolar mood disorder, yang membutuhkan pertolongan lebih dari konseling. Aku membutuhkan penanganan dari dokter dan obat-obatan untuk membuat pulih.

Mengapa baru sekarang, setelah 32 tahun aku hidup, seakan aku harus memulai menata diriku dan hidupku dari awal? Mengapa aku mengalami ini? Kenapa Tuhan membuatku dengan bipolar seperti ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak lagi memerlukan jawaban. Sebab sekarang yang ada bagiku, hanya ucapan syukur pada-Nya. Aku mau berserah dan percaya penuh pada rencana-Nya bagiku yang tidak pernah berlaku buruk dan tidak pernah bertujuan untuk mencelakakanku. Ia Allah yang ingin memulihkanku dan mengerjakan rencana indah-Nya bagiku dengan cara-Nya, waktu-Nya, dan di dalam kehendakNya. Ia Bapaku yang kekal, Pribadi terbaik yang mengerti dan mengasihiku.

“Aku bukan sebuah kesalahan. Aku ini anak kesayangan-Nya dan alat kemuliaan-Nya.”

Mari kita bersama-sama meneguhkan kembali identitas kita di dalam Tuhan, bahwa kita diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa-Nya. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua. Amin.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Setahun Mencari Pekerjaan, Tuhan Akhirnya Menjawab Doaku

Saat masih duduk di bangku kuliah, aku pernah berpikir bahwa hidup akan terasa mudah dan indah setelah selesai kuliah. Lulus dengan nilai bagus, lalu diterima di perusahaan besar di Jakarta. Namun, impianku justru pupus begitu saja.

Hikmat Orang Banyak

Minggu, 28 Juli 2013

Hikmat Orang Banyak

Baca: 1 Korintus 1:18-25

Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada. —Amsal 11:14

Deskripsi online tentang buku The Wisdom of Crowds (Hikmat Orang Banyak) menyatakan, “Dalam buku yang memukau ini, kolumnis bisnis dari mingguan New Yorker, James Surowiecki, membedah ide sederhana yang sering terabaikan: Sekelompok besar orang terbukti lebih cerdas daripada sekelompok kecil kaum elit, sehebat apa pun kelompok elit ini—kelompok besar ini lebih baik dalam memecahkan masalah, mendorong inovasi, mengambil keputusan yang bijak, bahkan memprediksi masa depan.”

Si penulis memakai beragam hal, mulai dari budaya populer sampai ranah politik, untuk menyajikan satu pemikiran dasar: Sering terjadi, kebenaran ditentukan oleh suara terbanyak. Ini adalah suatu teori menarik, yang bisa saja diperdebatkan selama masa-masa pemilu atau pada saat kontestan favorit kita tersingkir dari suatu kontes di televisi.

Meski Alkitab menegaskan bahwa hikmat orang banyak belum tentu bisa diandalkan dan bahkan bisa saja membahayakan (Mat. 7:13-14), ada cara lain dimana hikmat bersama bisa juga bermanfaat. Di Amsal 11:14 tertulis, “Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada.” Salah satu keuntungan berada di dalam tubuh Kristus adalah kita bisa saling menolong—salah satunya adalah bekerja sama untuk mencari hikmat Allah. Dengan bergandengan tangan demi mencapai tujuan yang Allah kehendaki, kita memperoleh keyakinan dalam kebersamaan yang diberikan-Nya dan menerima hikmat-Nya yang memampukan kita dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. —WEC

Abadi, tak nampak, Yang Maha Esa,
Yang tak terhampiri terang takhta-Nya,
Yang dalam Putra-Nya telah dikenal,
Bagi-Nyalah hormat dan kuasa kekal. —Smith
(Pelengkap Kidung Jemaat, No. 1)

Cara terbaik untuk mencari hikmat Allah adalah dengan mencarinya bersama-sama.