Posts

Jangan Berhenti di Kamu, Share It!

Sebuah cerpen karya Desy Dina Vianney, Medan

Hai, aku Rena. Aku baru aja lulus kuliah akhir tahun lalu, dan sekarang lagi berkutat dengan laptop dan email dalam rangka pencarian pekerjaan. Sahabatku, Sarah, hari ini akan mengikuti interview pertamanya. Kami mempersiapkannya bersama sepanjang malam tadi, mulai dari mencari tahu pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ditanyakan, sampai outfit mana yang harus dikenakannya hari ini. Akhirnya kami tertidur hampir lewat tengah malam dan bangun ketika alarm ponsel kami berbunyi bersamaan.

“Doain supaya interviewer-nya pengertian ya!” katanya tertawa kecil saat dia—untuk terakhir kalinya—memandang pantulan dirinya di cermin dinding kamar kos kami.

Aku yang sedang duduk menghadap laptop melirik, “Pengertian kalau kamu harus cepat balik buat nonton episode baru drakor-mu?” jawabku. Dia terkikik, “Iya, jadi nggak usah nanya banyak-banyak deh, langsung diterima aja.” Katanya tertawa, lalu menarik sepasang sepatu dari rak dan melambai, menghilang di balik pintu.

Tiba-tiba saja aku memikirkan Sarah. Aku bertemu dengannya di hari pertama daftar ulang fakultas 4 tahun lalu. Sekali melihat dan mendengarnya berbicara, aku tahu aku telah menemukan teman yang tepat. Kami akhirnya menjadi dekat, dan pada semester berikutnya kami memutuskan untuk tinggal bersama. Ia yang selalu mengingatkanku akan hampir semua hal-hal benar yang harus aku lakukan, mengingatkan ke gereja dan mengajakku mengikuti kelompok-kelompok PA di kampus, walaupun di semester pertama aku masih terus menolak.

Aku bukan anak yang malas ke sekolah minggu sejak kecil, dan bukan tipe orang yang malas untuk ibadah ke gereja, karena aku tahu itu hal yang baik untuk dilakukan dan memang suatu kewajiban sebagai orang Kristen. Tapi, jujur saja aku bukan tipe orang yang aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani, melayani, apalagi ikut dalam kelas-kelas Alkitab atau kelompok-kelompok PA. Aku merasa itu hal-hal yang terlalu rohani.

Jadi aku selalu punya 1001 alasan untuk menolak setiap kali dia mengajakku. Sedang kurang fit, tugas kuliah yang menumpuk, ada jadwal kerja kelompok, mau telfonan sama orang rumah, dan banyak alasan lainnya.

Tapi, Sarah tidak pernah terlihat kesal setiap kali aku menolak dan akan mengajakku lagi di waktu berikutnya. Jujur, aku salut padanya. Sekaligus merasa terusik. Apa sih yang ia imani sampai bisa setekun itu?

Beberapa hari setelah kami tinggal bersama, aku terbangun di suatu subuh dan melihat Sarah sedang duduk di kursi belajar dan berdoa dengan Alkitab di hadapannya. Pemandangan itu cukup menyentuh hatiku dan samar aku mendengar ia menyebut namaku–entah aku salah dengar. Tapi entah bagaimana aku merasakan hatiku hangat, dan aku menangis. Aku seperti sangat merindukan sesuatu, atau seseorang. Aku bangkit lalu berdoa dengan perasaan berbeda. Seolah-olah aku baru kali ini berdoa. Seolah-olah aku baru kali ini berbicara dengan Tuhan.

Hari itu aku mengiyakan ajakan Sarah untuk ikut ke kelompok PA yang diikutinya. Dia tersenyum hangat dan menggandeng tanganku. Kami pulang ketika hari sudah mulai gelap dan berjalan bersisian sampai akhirnya harus berlari-lari kecil karena hujan turun. Sesampai di kos, sebelum masuk ke kamar mandi dengan pakaian kuyup, dia sempat mengatakan, “Ren, dari sepanjang waktu kita saling mengenal, hari ini hari yang paling aku syukuri. I thank God for you.” katanya dengan mata berbinar dan nada yang sangat tulus, lalu kemudian menghilang di balik pintu.

Aku tersenyum, dia tidak tahu kalau sesungguhnya aku yang jauh lebih bersyukur untuk apa yang selama ini telah ia bagikan padaku lewat perhatiannya, ajakannya, dan cerita-ceritanya dalam melayani orang lain. Aku yang bersyukur ia tidak pernah menyerah untukku. Aku yang bersyukur memilikinya sebagai sahabat.

Momen itu adalah titik balik perjalanan imanku. Aku belajar membangun relasi dengan Tuhan yang selama ini hampa dan samar. Awalnya tidak mudah karena harus mengubah banyak hal dan kebiasaan, tapi alangkah pengertiannya Tuhan menempatkan Sarah disana. Ia yang membangunkan aku pagi-pagi untuk Saat Teduh, mengajakku bergantian membaca Alkitab, hunting buku-buku rohani, join dengan pertemuan Bible Study, mengikuti Kamp Rohani, pelatihan Penginjilan, sampai ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pelayanan. Seluruh hal-hal yang dulu bagiku adalah kegiatan-kegiatan yang “terlalu rohani”!

Suatu waktu saat kami berjalan bersisian menuju kos sepulang kuliah, Sarah bilang, “Iman itu bukan untuk disimpan atau dinikmati pribadi aja, tapi harus dibagikan. Kita juga pengen kan, orang lain merasakan sukacita yang kita rasakan? Terlebih lagi Tuhan. Jadi jangan sampai berhenti di kita ya!” katanya dengan lembut sama sekali tidak terkesan mengajari. Aku benar-benar memahami ucapannya dan mulai belajar membagikan iman juga dengan orang-orang sekitarku. Seperti Sarah, yang membagikannya padaku dengan alami, tanpa memaksa dan tanpa menyudutkan. Sealami persahabatan itu sendiri.

How great is God!

Ponselku berbunyi dan menyadarkanku untuk kembali ke dunia nyata. Nama Sarah tertera di layar. Kulirik jam di ponsel, sudah berjam-jam ternyata sejak Sarah berangkat tadi.

“Bukain pintu depan dong, aku lupa bawa kunci.”

Aku tertawa kecil, dengan semua yang aku sebutkan tadi tentang Sarah, tentulah membuat Sarah seolah-olah seperti sosok malaikat yang sempurna, bukan? Tapi tidak, Sarah tetaplah manusia biasa. Dan ia sangat pelupa untuk hal ini. Dan memang aku bukan membutuhkan malaikat, tapi seorang sahabat. Betapa memang Tuhan sangat mengerti.

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).

3 Teladan Produktivitas dari Tokoh Alkitab

Oleh Philip Roa
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Productivity Tips From 3 Bible Characters

Dunia digital membuat pekerjaan kita seolah tiada habisnya. Artikel dari American Psychological Association tahun 2022 mencatat statistik yang menyoroti tingkat kelelahan dan stres yang tinggi di semua industri.

Dari 1.500 orang yang disurvey, hasilnya:

  • Sekitar 19% mencatat kurangnya usaha dalam pekerjaan mereka.
  • Sekitar 26% merasa kurang berenergi.
  • Hampir 40% merasa kelelahan kognitif (lelah berpikir).
  • Lebih dari 30% berjuang dalam kelelahan emosional.
  • 44% merasa lelah secara fisik–meningkat hampir 40% dibandingkan tahun 2019.

Produktivitas, kelelahan, dan kejenuhan menjadi kata-kata yang tak asing dalam perbendaharaan bahasa di otak kita. Aku pun berpikir, inilah saatnya untuk menilai cara dan prinsip kerja kita berdasarkan kebenaran Alkitab. Kutemukan tiga tokoh yang menyelesaikan tugasnya sembari tetap mengupayakan kewarasan di dalam proses kerja yang berat.

1. Musa: Belajar untuk mendelegasikan tugas/meminta pertolongan

Kalau kamu merasa habis tenaga setelah ikut Zoom berjam-jam (meskipun pesertanya kurang dari 10 orang), coba bayangkan bagaimana Musa setiap hari berbicara kepada ribuan orang. Konteksnya, saat itu populasi bangsa Israel diperkirakan mencapai 2 juta jiwa, dan Musa menangani semua persilisihan mereka sendirian.

Mertua Musa, Yitro, melihat bahwa Musa pasti akan kewalahan (ayat 17-18), maka dia mengusulkan agar Musa memilih para pemimpin yang kepada mereka Musa dapat mendelegasikan tugas-tugasnya. Tujuan utamanya agar Musa dapat fokus pada perannya sebagai nabi dan pemimpin Israel.

Aku mengelola kelompok PA kecil yang terdiri dari delapan orang dan menurutku nasihat Yitro amat menolong. Dulu aku selalu memimpin setiap sesi dan mengoordinasikan segalanya sendirian, tapi aku telah belajar untuk membagi tugasku kepada mereka yang kulatih untuk menjadi pemimpin selanjutnya. Ketika aku memiliki orang lain yang mendukungku, itu tak hanya mengurangi stres, tapi juga melengkapi timku untuk bertumbuh. Sekarang aku punya dua murid yang juga memimpin kelompok komsel mereka sendiri, dan dua lainnya sedang belajar untuk mulai merintis.

Nasihat Yitro tidak cuma berlaku bagi para manajer atau kelompok komsel, tapi kepada setiap kita! Kalau kamu merasa kewalahan, bolehkah aku menyarankan beberapa tips di bawah ini?

  •  Jika kamu sudah bekerja, bicarakan pada atasanmu tentang beban kerjamu. Kamu bisa berikan usulan pribadimu tentang bagaimana kamu dapat bekerja lebih baik, atau mengatur ulang prioritas kerjamu. Cara ini lebih baik daripada kamu bersungut-sungut setiap hari tanpa mengomunikasikan permasalahan utamanya pada atasanmu.
  • Kalau kamu dapat kesempatan atau tanggung jawab baru, pertimbangkan juga untuk bertanya pada atasan/pemimpinmu apakah mungkin untuk berbagi tugas dengan anggota tim yang lain.
  • Kalau kamu merasa terjebak/stagnan dalam pekerjaanmu, mintalah nasihat dari anggotamu tentang bagaimana mengerjakan suatu tanggung jawab… terkhusus dari mereka yang sudah pernah menyelesaikannya.

Ingatlah, meminta tolong bukanlah tanda kelemahan (Pengkhotbah 4:9-10).

2. Paulus: Mengatasi kecemasan dengan menyerahkannya pada Yesus

Kamu butuh pola pikir yang benar untuk mengalahkan kebiasaan buruk yang mengarahkanmu pada bekerja berlebihan… atau sebaliknya: kurang berusaha! Riset-riset menunjukkan bahwa kecemasan bisa menurunkan performa kerja, tapi bisa juga mendorong seseorang untuk bekerja secara over. Kamu mungkin bekerja mati-matian, tapi tetap saja tidak maksimal kalau kamu mengerjakannya dengan cemas.

Kecemasan bicara tentang ketidaktahuan akan masa depan—di mana kita akan kerja dan apakah penghasilannya cukup, dan sebagainya. Alkitab mendorong kita untuk tidak khawatir akan apa pun juga, tetapi menyerahkannya dalam doa dan permohonan pada Allah (Filipi 4:6-7).

Selama beberapa waktu aku mendoakan Tuhan mencukupi kebutuhan finansialku agar aku dan pacarku bisa menikah. Kami tidak ingin meminta bantuan uang dari keluarga. Di masa ketika inflasi dan biaya hidup meningkat, aku butuh Tuhan untuk mengatasi kekhawatiranku akan tak punya cukup uang untuk biaya menikah nanti (juga untuk kehidupan berkeluarga kelak).

Syukurlah, doaku dijawab Tuhan. Aku naik jabatan setelah disahkan menjadi karyawan tetap. Ini meneguhkanku bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita ketika kita sungguh menyerahkan beban dan kekhawatiran kita pada-Nya.

Mudah bagi kita untuk menganggap klise apa yang tertulis di Filipi 4:6-7, tetapi coba membacanya dengan seksama dan perlahan. Ayat itu bicara tentang damai sejahtera Allah memelihara “hati dan pikiran” (ayat 7).

Damai-Nya melindungi kita dari pikiran-pikiran yang penuh kekhawatiran. Ketika kita tahu kita memiliki Bapa yang mengasihi, yang peduli dan mengasihi, kekhawatiran kita akan berkurang. Kita pun akan terbebas dari kecenderungan untuk bekerja terlalu keras dalam upaya untuk menjaga diri kita sendiri.

3. Yesus: Ketahui kapan harus beristirahat atau berhenti

Tahukah kamu bahwa Tuhan Yesus sendiri mempraktikkan kebiasaan kerja yang sehat dengan menolak orang di akhir hari kerja-Nya yang panjang? (Matius 14:22-23). Yesus memberi waktu agar diri-Nya dan murid-Nya beristirahat. Dalam keilahian-Nya, Yesus juga manusia seratus persen sehingga tubuh-Nya masih merasakan lelah, lapar, dan haus seperti kita.

Tanpa beristirahat, kita takkan bisa sungguh produktif. Artinya, istirahat berupa mengesampingkan sejenak tugas dan tanggung jawab untuk kegiatan yang sehat seperti tidur, rekreasi, dan waktu bersama Tuhan adalah bagian dari produktivitas juga.

Kita perlu mengatur batasan waktu kerja, terlebih bagi kita yang bekerja secara remote. Sudahi pekerjaanmu setelah jam kerja berakhir. Bagi mereka yang ada di posisi pimpinan juga dapat menginisiasi budaya kerja yang sehat dengan meneladankan jam masuk dan pulang yang tepat, agar tim kita pun mengikutinya. Bahkan untuk kelompok komsel, kita juga bisa menerapkannya.

Hal lain yang kupelajari ialah, jika sesuatu tidak sangat-sangat mendesak, aku bisa mengerjakannya di besok paginya. Selama bertahun-tahun aku kerja, aku juga belajar untuk mengatur waktu-waktuku dengan bijak, tidak mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam.

Saat kita bekerja untuk Tuhan, kita harus produktif dalam cara yang menunjukkan kesetiaan pada apa yang kita punya seperti talenta dan waktu. Tunjukkan juga bahwa dalam upaya kita, kita tidak melupakan istirahat dan menikmati buah dari usaha tersebut. Pengkotbah 3:13 berkata, adalah baik untuk makan, minum, dan menemukan kepuasan dalam pekerjaan kita—tak sekadar menghabiskan seluruh waktu kita buat kerja. Kepuasan adalah karunia Tuhan, dan marilah kita dengan senang hati menerimanya supaya hadir sukacita yang mendorong kita hidup lebih produktif.

Dua Hal yang Kupelajari dari Terhubung Kembali

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Siapa yang tidak familiar dengan kata reconnect?

Di masa serba daring seperti sekarang, kata itu sepertinya sering terdengar atau bahkan terucap oleh kita sendiri. Reconnect identik dengan jaringan internet yang sebelumnya terganggu atau bahkan terputus. Dalam Bahasa Indonesia, reconnect berarti terhubung kembali.

Seperti jaringan internet, tahun 2021ku dipenuhi oleh relasi yang terganggu atau bahkan terputus. Pandemi yang menyebabkan isolasi membuatku banyak menikmati waktu sendiri. Relasi dengan teman-teman persekutuan dan kuliah yang biasanya terjalin setiap hari terpaksa berhenti. Namun, sejak awal tahun ini, aku memberanikan diri kembali menghubungi beberapa pribadi dan rutin berkomunikasi hingga saat ini. Aku melakukan reconnect versiku.

Proses reconnect yang paling berarti buatku adalah dengan adik-adik kelompok kecilku. Sekitar 2 tahun lalu, aku memimpin kelompok kecil (KK), yaitu sebuah kelompok pendalaman Alkitab di sebuah sekolah asrama di Jakarta. Kelompok ini beranggotakan aku dan tiga orang siswa dari sekolah tersebut. Saat ini, siswa-siswa yang kupimpin sudah menduduki bangku kuliah di kota yang berbeda-beda. Satu dari mereka berkuliah di Depok, satu di Surabaya, dan satu lagi di Bandung, dan aku di Jakarta. Harapan awalku untuk terhubung kembali dengan mereka adalah untuk membangun persahabatan personal. Aku menghubungi satu persatu dari mereka via daring, dan tidak berharap akan adanya pertemuan kelompok mengingat lokasi dan kesibukan yang berbeda tentunya akan menyulitkan.

Dari komunikasi dengan ketiga adik kelompok kecilku tersebut, aku belajar dua hal yang membuatku sangat bersyukur kepada Tuhan.

Pertama, ternyata bukan hanya aku yang merasa sendirian.

Setiap pertemuanku dengan masing-masing dari mereka diawali dengan mereka yang berkata “Ya ampun, kangen banget, Kak”. Pembahasan kami kemudian dilanjutkan dengan cerita hidup di masa pandemi yang semuanya seringkali merasa sendirian. Seperti yang ku alami, mereka juga mengalami isolasi di masa pandemi ini. Mereka tidak bisa dengan mudah berkomunikasi dengan teman-teman yang biasa bersama mereka 24/7. Satu kesimpulan yang aku dapat dari pembicaraan dengan mereka adalah mereka juga merasa sendiri, bukan hanya aku yang merasakannya. Hal ini menyadarkanku bahwa setiap kita membutuhkan satu sama lain, yang membawaku pada poin dua.

Hal kedua yang kupelajari adalah meskipun sulit, kehadiran komunitas harus tetap diperjuangkan.

Kalimat yang juga muncul dalam obrolanku dengan masing-masing dari mereka adalah “Kangen rohkris banget, Kak.” Aku mengangguk, sebagai tanda setuju dengan mereka. Ketika masih berada dalam percakapan tersebut, aku tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Namun keesokan harinya, salah seorang dari mereka mengatakan “KK lagi apa kita, Kak?”. Aku sempat mengira dia hanya bercanda, mengingat aku tidak memiliki ekspektasi akan hal ini sebelumnya. Ternyata dia serius. Aku pun langsung menghubungi kedua adik yang lain untuk mengajak melanjutkan KK lagi, dan mereka sangat antusias! Salah satu dari mereka bahkan ada yang berkata “Plis banget lah kak yok, udah mohon-mohon ini mah.”

Apakah aku senang? Jawabannya iya. Tapi apakah aku langsung setuju? Tentunya tidak.

Saat ini aku adalah seorang karyawan swasta dan mereka adalah mahasiswa dari kampus yang berbeda-beda sehingga hal yang pertama terbayang olehku adalah sulitnya mengatur jadwal antara kami. Tapi kemudian aku teringat kembali bagian alkitab yang kami bahas dua tahun lalu dari Pengkhotbah 4:9-12: “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya! Juga kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas, tetapi bagaimana seorang saja dapat menjadi panas? Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.”

Bagian firman itu mengingatkan kembali tentang prinsip persahabatan yaitu tolong-menolong, saling membangun, dan saling menjaga. Masing-masing dari kami merasa sendirian, tapi kami tidak sendirian seorang diri. Lewat kelompok kecil, kami bisa kembali saling menjaga, tolong-menolong, dan saling membangun menuju keserupaan dengan Kristus. Aku-pun setuju dengan usulan mereka untuk kembali melanjutkan kelompok kecil ini. Memang kesulitannya sudah berada di depan mata, tapi kehadiran komunitas ini harus tetap diperjuangkan.

***

Hal ini menjadi salah satu peristiwa reconnect dalam hidupku yang membuatku tidak bisa tidak bersyukur kepada Tuhan. Aku semakin menyadari bahwa manusia memang diciptakan untuk terhubung. Terhubung dengan Tuhan, dan juga dengan sesama.

Untukmu yang juga mengalami gangguan atau putusnya relasi akibat pandemi atau apapun itu, mari berjuang untuk kembali terhubung dengan mereka. Karena lewat keterhubungan kembali, natur manusia dipenuhi dan kasih Tuhan terus terbagi.

Serunya Bertumbuh Sambil Memuridkan dalam Kelompok Mentoring

Oleh Meista Yuki Crisinta

Setiap orang butuh mentor. Sadar ataupun tidak, kita pasti membutuhkan seseorang yang bisa kita teladani hidupnya, orang yang dengan tulus dan setia membimbing kita untuk menjadi diri sendiri versi yang terbaik dalam perjalanan hidup kita di dunia ini, seseorang yang bisa membawa kita untuk semakin mengenal siapa Allah di dalam Yesus Kristus.

Di tahun 2020, teman kelompok kecilku (TKK) mengajakku untuk membentuk sebuah sistem mentorship dengan visi menolong para lulusan kampus (fresh graduate) dalam proses mencari pekerjaan. Proyek ini tercetus tatkala kami melihat kondisi pandemi yang menyebabkan proses mencari kerja sangat sulit. Singkat cerita, saat itu aku mencoba menjadi mentor dalam masa-masa percobaan proyek perdana kami. Aku “dipasangkan” dengan seorang mentee mahasiswi lulusan baru yang ingin mencari pekerjaan di bidang Ilmu Komunikasi.

Proses mentoring selama beberapa bulan berjalan baik, dan aku menemukan bahwa ternyata aku bersemangat dan senang mengerjakannya. Aku senang bisa membantu satu adik mentee tersebut menjawab berbagai kebingungan dan keraguan yang dia rasakan terkait dunia pekerjaan.

Entah ini sebuah kebetulan atau tidak—tapi aku yakin di dalam Tuhan tak ada yang kebetulan—di tahun yang sama aku tiba-tiba diminta melayani sebagai salah satu mentor di sebuah pembinaan mentoring yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga pelayanan mahasiswa Kristen. Pembinaan mentoring ini diadakan dengan melihat kondisi bahwa tidak sedikit mahasiswa yang kebingungan ketika mereka berada di semester akhir—dan ini memang fenomena yang wajar sekali terjadi. Bingung harus mengambil langkah apa selanjutnya setelah nanti mereka lulus kuliah. Oleh karena itu, dibentuklah kelompok-kelompok mentoring. Para mahasiswa tingkat akhir ini akan dibantu dan dibina oleh kakak-kakak alumni yang telah lebih dahulu merasakan bagaimana asam-manisnya dunia pekerjaan. Dalam kelompok mentoring tersebut juga para kakak alumni akan menceritakan kesaksian hidup mereka tentang perjalanan hidup bersama Tuhan menempuh banyak ketidakpastian ketika memasuki dunia kerja.

Mentor dalam pengertian menurut Oxford Learner’s Dictionaries artinya seseorang berpengalaman (konteks: dunia pekerjaan) yang menolong dan memberikan saran-saran kepada mereka yang belum berpengalaman/pengalamannya lebih sedikit, selama periode waktu tertentu. Darlene Zschech dalam bukunya yang berjudul The Art of Mentoring juga menuliskan:

“…seni menjadi mentor…bukanlah berkaitan dengan mengajarkan saya-ologi. Esensi dari kegiatan mentor adalah usaha membantu orang-orang mencapai potensi terbesarnya, sehingga mereka mampu mengetahui, mengapresiasi, dan menggunakan warisan iman yang besar yang tersedia dalam Kristus.”

Pengalaman menjadi mentor ternyata menjadi cara Tuhan untuk menaburkan benih-benih kasih di hatiku dalam memuridkan adik-adik mentee. Dalam anugerah dan kesempatan pelayanan yang Tuhan berikan, aku sungguh menikmati peranku sebagai mentor dan juga menikmati relasi pertemanan yang terjalin di antara kami. Di sini aku belajar bahwa ternyata penting untuk tetap mewariskan konsep nilai kerajaan Allah kepada generasi muda. Meskipun ada kesaksian hidup pribadi yang dibagikan selama kegiatan mentoring, aku belajar bahwa menjadi mentor bukanlah tentang “menjadi seperti saya”, tetapi menjadi semakin serupa dengan Kristus. Menjadi mentor rohani memiliki esensi dan peranan yang sama untuk menjadikan generasi muda sebagai murid Kristus; berkarakter seperti Kristus.

Jujur, aku pun mengakui ini tidak mudah untuk dijalani, karena terkadang aku juga masih sering mengkotak-kotakkan antara pekerjaan (area duniawi) dengan panggilan hidup (area rohani). Padahal, Allah berdaulat juga di dalam area pekerjaan, dan salah satu panggilan hidup yang Ia tetapkan buat murid-murid-Nya adalah bekerja (Kejadian 1:28). Sehingga yang menjadi tantangan ketika aku menjalankan peran sebagai mentor adalah bagaimana aku harus mengarahkan adik-adik mentee ini nantinya bisa (sedikitnya) memahami hidup dan diri mereka sendiri di dalam Tuhan. Memahami minat dan talenta, passion, peristiwa-peristiwa hidup di masa lalu yang membentuk mereka menjadi pribadi yang sekarang, mimpi mereka, dan lain-lain.

***

Tahun ini, aku kembali dianugerahkan kesempatan melayani sebagai mentor, dengan adik-adik mentee yang berbeda. Salah satu pelajaran yang aku nikmati sepanjang menjadi mentor dalam 2 tahun belakangan ini adalah bahwa jika kita sudah terlebih dahulu menikmati kasih Allah, menikmati penyertaan-Nya di dalam hidup kita, merasakan banyak sekali pertolongan Tuhan di masa-masa sulit, maka bagikan dan ceritakanlah itu. Kesaksian iman pribadi dalam perjalanan bersama Kristus bukanlah hal yang harus disimpan sendiri. Dalam hal ini, kegiatan pelayanan mentoring menjadi jalan yang Tuhan buka untukku membagikan cerita Kasih itu kepada adik-adik mahasiswa.

Kedua, hal yang aku pelajari lainnya adalah bahwa aku sebagai mentor pun ikut bertumbuh. Meskipun pembinaan ini ditujukan untuk adik-adik mahasiswa semester akhir, namun Firman yang dibagikan sepanjang pembinaan ternyata kembali mengingatkanku akan esensi dari pekerjaan menurut sudut pandang Allah. Aku mendapati bahwa meskipun aku berharap terjadi pertumbuhan rohani di dalam adik-adik mentee, ternyata Tuhan juga turut bekerja memberi pertumbuhan untuk kita yang berperan sebagai mentor.

Ketiga, menjadi seorang mentor bukan berarti kita harus “paling tahu segalanya”. Cukup menjadi diri sendiri sesuai dengan karunia dan talenta yang Tuhan anugerahkan. Saat hati kita rindu untuk memuridkan, jalani dan kerjakan sambil terus minta Tuhan untuk menyertai langkah kita sebagai mentor.

Adakah adik-adik atau generasi muda di sekelilingmu yang ingin kamu bagikan dan ceritakan tentang kasih-Nya yang nyata? Mungkin menjadi mentor rohani bisa menjadi salah satu cara yang unik dan menarik untuk membuka jalur pemuridan, sekaligus persahabatan di kalangan saudara seiman.

Dalam Segala Situasi, Bersekutu Itu Selalu Perlu

Oleh Frida Oktavia Sianturi, Pekanbaru

Sudah dua bulan sejak pandemi menghampiri kota Pekanbaru, aku dan adik KTB-ku (Kelompok Tumbuh Bersama) tidak pernah bertemu untuk PA (Pendalaman Alkitab) bersama. Biasanya aku mengunjungi mereka, tetapi kali ini tidak bisa. Mereka memutuskan pulang kampung saja karena perkuliahan mereka dilaksanakan secara daring.

Berbeda denganku, aku harus tetap berada di Pekanbaru. Aku tidak bisa pulang ke rumahku di kabupaten Rokan Hilir karena tetap harus masuk kerja. Pandemi ini pun belum ada tanda-tanda akan berakhir. Pertanyaan terus menghampiri: Kapan ya ini akan berakhir? Kapan ya aku bisa bertemu lagi dengan adik KTB-ku? KTB teman-temanku yang lain kebanyakan dilakukan via online. Aku pun menawarkan kepada adik-adik KTB-ku untuk KTB online.

Namun, respon mereka membuatku sedih.

“Aku tidak bisa kak, jaringan internet di kampungku susah.”

“aku tidak bisa kak, memori HPku tidak cukup untuk download aplikasi yang baru.”

“aku tidak bisa kak, paket internetanku terbatas. Uang jajan tidak diberikan karena aku saat ini di rumah”

Respons mereka membuatku bergumul di hadapan Tuhan. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Awalnya, aku memutuskan agar kami saling berbagi pokok doa saja supaya kami bisa tetap saling mendoakan di tempat kami masing-masing sekaligus kami jadi saling mengetahui kondisi satu sama lain.

Namun aku masih gelisah. Aku merenung bagaimana caranya agar adik-adikku juga tetap diperlengkapi oleh Firman Tuhan selama masa-masa karantina ini. Aku berdiskusi dengan teman sekamarku. Dia lalu memberiku saran untuk KTB via telepon saja. Opsi ini baik meskipun aku perlu mengeluarkan uang lebih untuk membeli pulsa. Untuk menelepon empat orang adik dan biasanya kami KTB bisa lebih dari tiga jam, tentu aku harus mengeluarkan uang yang lebih untuk beli pulsa.

Sebenarnya sulit bagiku untuk mengeluarkan uang lebih di tengah kondisi ini. Work From Home membuat kebutuhanku meningkat. Cicilan juga tetap harus dibayar, tetapi kepada Tuhan kuserahkan semua kesulitanku ini.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon mereka berempat dan mengajak mereka KTB via telepon. Tak hanya belajar firman, kami saling mengabari kondisi kami, berbagi pokok doa, dan saling menopang. Aku sangat bersyukur bisa kembali KTB bersama mereka meskipun kami tak bisa dekat secara fisik. Aku bersyukur kami bisa belajar firman Tuhan kembali. Dan aku jadi belajar, lewat kondisi ini sebenarnya tidak ada alasan bagi anak-anak Tuhan untuk tidak datang kepada-Nya. Kemajuan teknologi bisa dipakai-Nya sebagai sarana untuk kita tetap bertumbuh.

Aku teringat kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Ketika raja Nebukadnezar meminta mereka untuk menyembah patung emas dan memuja dewa, mereka menolaknya. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tetap memegang teguh kepercayaan mereka kepada Tuhan. Kesetiaan mereka berkenan kepada Tuhan, dan Tuhan meluputkan mereka dari panasnya perapian yang menyala-nyala (Daniel 3).

Kita mungkin tidak menghadapi ancaman seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, namun kita dapat meneladani kesetiaan mereka pada Tuhan. Dengan tetap terhubung bersama saudara seiman, kita dapat dikuatkan dalam menghadapi masa-masa sulit. Ibrani 10:24-25, berkata, “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat”.

Pandemi ini mungkin tampak mengerikan bagi kita, tapi janganlah kiranya kepercayaan kita kepada Tuhan menjadi padam. Pandemi ini tidak lebih besar dari pada Tuhan kita. Dalam situasi ini, kita hanya butuh hati yang mau taat belajar firman-Nya. Apa pun persoalan yang saat ini kita hadapi, biar kiranya kita melakukannya di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada kita.

Jika kita kesulitan mengakses persekutuan secara online, tetaplah bangun persekutuan pribadi kita melalui doa dan saat teduh. Atau, jika kita memiliki materi-materi lain seperti buku rohani, kita bisa membacanya sebab itu pun baik untuk pertumbuhan iman kita.

Baca Juga:

Berkat di Balik Pilihan yang Tampaknya Salah

Ketika pilihan yang kita ambil mengantar kita pada kegagalan, cobalah untuk melihat dari sudut pandang Allah. Segala hal dapat dipakai-Nya untuk membawa kebaikan bagi kita, selama kita bersedia untuk percaya.