Posts

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Gambar diambil dari screenshot video
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 疫情蔓延的当下,我们的盼望在哪里?

Waktu terasa berjalan amat lambat belakangan ini.

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Ini adalah hari ketiga perayaan Tahun Baru Imlek (27 Januari 2020)—waktu di mana kami seharusnya sibuk mengunjungi sanak famili dan teman-teman. Namun kenyataannya, kami hanya terduduk di rumah sambil terus memantau keadaan terkini dari media sosial tentang penyebaran virus Corona. Bahkan hanya untuk turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Delapan hari telah berlalu sejak media resmi mulai memberitakan penyebaran virus Corona. Ketika aku pertama melihat beritanya di 20 Januari, kupikir ini bukan masalah serius. Aku malah janjian dengan dua temanku yang baru pulang dari Eropa untuk bertemu merayakan tahun baru Imlek. Namun hari ini, semua janji pertemuan telah kubatalkan. Aku sudah bersiap tidak meninggalkan rumah atau mengunjungi siapa pun selama dua minggu ke depan.

Virus Corona menyebar lebih cepat dari yang dibayangkan. Hanya semalam, kemudian dikonfirmasi bahwa virus itu dapat menular dari manusia ke manusia. Semua masker ludes. Kota Wuhan bak kota mati. Supermarket kosong… Rumor dan berita-berita yang tidak jelas bertebaran ke mana-mana, membuat orang semakin takut. Berselancar di media sosial, update berita terbaru muncul hampir tiap detik. Namun, berapa jumlah sebenarnya orang yang tertular tidak ada angka yang valid. Berapa orang yang sudah meninggal? Berapa orang yang sungguh terinfeksi? Tidak ada yang tahu pastinya.

Hanya beberapa hari lalu, aku masih bisa melihat banyak orang di jalanan, tapi hari ini, jalanan kosong, kotaku seperti kota hantu. Hampir semua orang panik, dan orang-orang tua mulai berdiskusi tentang seberapa mengerikannya virus itu.

Kami tidak tahu seberapa berbahayanya virus Corona. Beberapa ahli dari Hong Kong mengindikasikan bahwa kekuatan virus kali ini 10 kali lebih kuat daripada SARS, sementara beberapa ahli lain mengatakan bahwa wabah kali ini tidak separah yang dulu. Saat ini, asal mula virus belum terkonfirmasi (meski ada yang bilang bermula dari pasar hewan di Wuhan). Spekulasi lainnya mengatakan periode inkubasi virus bisa berlangsung sampai 14 hari, dan virus ini bisa menyebar juga selama masa inkubasi—semua hal ini menambah ketakutan dan kepanikan.

Dua hari lalu, aku melihat temanku membagikan bagaimana kondisi sebenarnya di banyak rumah sakit di Wuhan, dan hatiku tersayat. Rumah sakit di sana dijejali orang-orang sakit yang tak terlayani. Para dokter dan suster tak punya perlindungan yang cukup atau pun masker, dan mereka tidak bisa beristirahat sewajarnya, bahkan hanya untuk makan siang pun sulit. Suplai makanan terbatas. Para pekerja medis kelelahan karena beban kerja mereka melonjak tajam, dan hanya bisa makan sehari sekali—itu pun hanya mie instan. Dan, para suster di sana berlinangan air mata.

Hatiku berduka. Rasanya tak sanggup buatku menonton berita di TV. Bagaimana bisa seseorang tak bersedih menghadapi situasi ini? Selain berdoa, rasanya tak ada hal lain yang bisa kami lakukan.

Siang hari ini, aku mendengar dua kenalanku, orang Kristen di Wuhan, mengalami demam. Besar kemungkinan mereka telah terinfeksi virus Corona. Hatiku semakin berat. Bagaimana kelak masa depan? Akankah virus ini menjadi bencana dunia? Apakah ini sungguh kiamat? Deretan pertanyaan ini membuatku semakin khawatir dan tak berdaya.

Namun, saat ini dunia hanya mampu memberikan jawaban berupa kepanikan dan putus asa, padahal yang sejatinya dibutuhkan adalah harapan yang teguh. Ketika kita harap-harap cemas akan bagaimana obat dan vaksin untuk mengentaskan wabah ini, apakah kita juga sebagai anak Tuhan kehilangan harapan dan putus asa? Jika harapan kita hanya disandarkan pada hal lahiriah, apakah bedanya kita dengan mereka yang tidak percaya? (Roma 8:24).

Ketika kita diselimuti kepanikan dan putus asa, kita seharusnya berpegang lebih erat kepada Tuhan dan firman-Nya. Hanya Tuhanlah harapan kita. Kiranya kebenaran-kebenaran ini menguatkan kita:

Tuhan memegang kendali

Meskipun situasi tampaknya mengerikan, hal yang teramat pasti adalah Tuhan kita memegang kendali. Meskipun Si Jahat ingin mencuri dan melenyapkan kehidupan, Tuhan tetap memegang kendali penuh. Tanpa seizin-Nya, tak ada satu hal pun dapat terjadi. Jika Tuhan tidak mengizinkan, sehelai rambut di kepala kita pun takkan jatuh ke tanah (Lukas 12:6-7). Ketika aku berpegang pada kebenaran ini, aku merasa terhibur.

Tuhan tidak pernah meninggalkan kita

Tuhan telah berjanji bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Bahkan di tengah pencobaan dan kesakitan, Tuhan senantiasa beserta kita. Dan, Dia pun akan menyelamatkan kita pada akhirnya (Yohanes 6:37).

Karena aku tahu Dia ada bersama kita, kita tidak perlu takut atau khawatir (Matius 10:28). Meskipun virus ini mengerikan, Pencipta surga dan bumi ada bersama kita, dan kita mampu beroleh damai sejahtera.

Tuhan akan memberikan jalan keluar

Ketika kita merasa takut dan panik karena kabar-kabar yang terus berdatangan, marilah kita berpegang teguh pada janji Tuhan. Tuhan tidak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita (1 Korintus 10:13). Dia akan memberikan jalan keluar supaya kita mampu mengatasinya.

Hendaknya kita pun senantiasa berdoa. Meskipun banyak gereja di Tiongkok membatalkan kegiatan mereka demi keamanan, kami masih bisa berkumpul dengan keluarga dan berdoa. Ketika aku mempelajari Lukas 4:17-22 siang ini, aku sekali lagi menyadari apa sesungguhnya Injil itu.

Injil yang Yesus Kristus wartakan adalah tentang keselamatan kita. Namun, sebagai pendosa, kita lebih tertarik kepada kedagingan kita. Aku menyadarinya sedari berita tentang wabah virus Corona merebak, aku begitu terpaku pada notifikasi di ponselku, terus merefresh berita-berita terbaru. Tapi, banyak berita yang kubaca rupanya malah hoaks dan tak berdampak apa-apa selain menambah panik. Mengapa aku tidak meluangkan lebih banyak waktuku untuk berdoa dan berpegang pada firman-Nya lebih lagi?

Aku mengajakmu untuk bersama-sama mendoakan kota Wuhan dan orang-orang yang terinfeksi di Tiongkok dan seluruh dunia. Menemukan pengobatan untuk virus Corona adalah baik, tetapi itu hanya menyelesaikan penderitaan secara fisik. Tidakkah kita juga berfokus mendoakan agar mereka yang belum mengenal Kristus dapat mengenal-Nya dan beroleh keselamatan yang kekal?

Kiranya Tuhan menguatkan hati kita, teruntuk bagi kami di Tiongkok yang harus mendekam di rumah kami masing-masing. Kiranya kita semakin mengenal Tuhan, demikian juga dengan orang-orang di Tiongkok.

Tuhan masih memegang kendali. Janji Tuhan tak pernah gagal. Kehendak-Nya dinyatakan di atas bumi.

“Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir” (1 Petrus 1:5).

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

Pergumulanku Melawan Pikiran-pikiran Negatif

Oleh Kim Cheung
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Daily Struggle Against Negative Thoughts

Aku pernah berada di suatu masa ketika emosiku seperti roller coaster. Emosiku bisa naik begitu tinggi dan terjatuh begitu kelam hanya dalam satu hari.

Di hari-hari biasa, ketika aku bangun disambut dengan mentari pagi yang cerah dan hangat, mood-ku pun bagus. Aku merasa hidupku keren dan cerah. Aku bahkan membeli sekuntum bunga untuk menghiasi kamarku. Namun, perasaan bahagia ini tidak bertahan lama. Di siang hari, aku merasa down dan menganggap hidupku tidak berarti dan melelahkan. Tanyakanlah padaku alasan mengapa aku bisa berubah drastis, aku sendiri pun tidak tahu jawabannya. Bisa jadi hanya karena hal kecil yang membuatku frustrasi, atau ketidakberdayaanku mengendalikan perasaan hari itu.

Perasaan yang berubah-ubah itu pernah aku alami hampir setiap hari. Perasaan dan pikiran negatif itu menghujaniku seperti badai, meninggalkanku lemah dan tak berdaya. Kupikir aku bisa begitu karena badanku lelah, jadi aku mencoba tidur lebih awal. Jika aku tidak bisa tidur, aku coba mengobrol dengan temanku. Tapi, obrolan itu bukannya menguatkan, malah membuatku dan temanku sama-sama merasa depresi.

Hal paling buruk yang terjadi akibat ketidakstabilan emosi ini adalah aku jadi sulit berkonsentrasi pada firman Tuhan. Di momen seperti itu, aku menyerah membaca Alkitab. Paling-paling aku hanya meminta temanku untuk mendoakanku. Seringkali aku pun merasa bersalah.

“Bukankah kamu bisa menemukan sukacitamu di dalam Tuhan? Kok kamu masih saja merasa tertekan?”

Aku pun menegur diriku sendiri. “Lihat dirimu! Kamu begini karena kehidupan rohanimu tidak baik!” Kalimat-kalimat ini bukannya menolongku, malah membuatku terjebak makin dalam di pusaran pikiran-pikiran negatif.

Kondisi seperti ini adalah pekerjaan Iblis yang menyerangku di titik terendahku. Kondisi ini juga seperti sebuah siklus yang akan terus terulang dan membuatku lemah tak berdaya seperti seekor domba yang menanti disembelih.

Suatu hari, aku memutuskan sudah cukup aku berkubang dalam kondisi seperti ini. Jelas bagiku bahwa Tuhan memberitahuku untuk percaya dan bersandar kepada-Nya. Firman-Nya mengatakan kita harus mengenakan senjata Allah, barulah kita bisa berdiri teguh melawan serangan-serangan si jahat (Efesus 6:10-11). Aku memutuskan untuk tidak menjadi korban dari mengasihani diri sendiri. Aku mau mengenakan pedang Roh dan melawan balik (Efesus 6:17). Inilah beberapa hal praktis yang telah menolongku:

Meraih kemenangan dengan doa

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:6-7).

Ayat ini menguatkanku dan menolongku untuk berani berkomitmen. Aku tidak akan menghindari doa. Aku tidak akan bersembunyi dari pikiran-pikiran pesimisku atau menyangkali bahwa aku mengalaminya, melainkan aku akan mengakui bahwa keenggananku untuk berdoa itu dikarenakan perasaan-perasaanku sendiri dan aku perlu pertolongan Roh Kudus untuk menenangkan hatiku. Ketika perasaan-perasaan negatif menggangguku, aku memanggil nama Yesus dan mengusir semua perasaan negatif itu keluar dari hatiku.

Aku secara pribadi mendapati doa-doa itu begitu menolong. Tuhan memberiku penghiburan dan damai sejahtera. Aku juga akhirnya bisa menyadari bahwa ketika aku merasa sulit berdoa, itu karena aku memanggul sendiri semua bebanku, aku tidak meletakkannya di hadapan Tuhan. Aku belajar bahwa di tengah masa-masa sulit, satu hal yang kita perlu minta adalah supaya Tuhan mengubahkan hati kita.

Merenungkan firman Tuhan

Setelah Roh Kudus melenyapakn semua pikiran negatif dari dalam diriku, aku memerlukan sesuatu untuk mengisi hatiku. Aku membutuhkan firman Tuhan untuk mengisi tiap relung hatiku.

Aku mulai membaca Alkitab, meluangkan waktu untuk merenungkannya. Aku ingin firman-Nya tertanam kuat dalam hatiku.

Filipi 4:13 mengatakan segala perkara dapat ditanggung di dalam Kristus yang memberi kekuatan kepadanya. Dalam Wahyu 21:3-4, Yohanes mengingatkan kita tentang surga dan bumi yang baru yang kelak akan menyambut kita: “Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata merek, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”

Membaca ayat-ayat itu memberiku penghiburan yang luar baisa. Melalui merenungkan firman Tuhan, aku bisa mengerti maksud-maksud Tuhan lebih jelas dan aku bisa berdiri lebih teguh dalam kebenaran.

Memiliki waktu teratur bersama Tuhan

Aku percaya persekutuan pribadi dengan Tuhan setiap hari itu penting dan tidak boleh diabaikan. Kita perlu menetapkan suatu waktu yang rutin setiap hari untuk membaca Alkitab.

Aku mengakuki kalau aku bukan orang yang bisa bangun pagi. Jadi, aku menjadikan waktu di malam hariku untuk membaca firman Tuhan. Belakangan ini, aku juga melatih diriku untuk lebih jain berdoa. Aku menggunakan sebuah buku kecil sebagai catatan doaku. Aku juga mendoakan orang-orang lain secara personal.

Memiliki waktu yang rutin dan teratur bersama Tuhan setiap hari telah menolongku untuk bertumbuh secara rohani. Waktu-waktuku bersama-Nya telah mengajariku bahwa hanya ketika kita memiliki relasi yang intim dan personal dengan Tuhan, kita bisa melawan setiap godaan dan tidak terjerat dalam pikiran atau perasaan yang negatif.

Jika kamu mendapati dirimu seperti aku yang dulu, aku mau menantangmu untuk tidak takut karena Yesus telah terlebih dulu mengalahkan segalanya—bahkan kematian—untuk kita. Jagalah dirimu dari tipu daya Iblis dan kenakanlah senjata Allah untuk melawannya.

Kiranya kita belajar untuk selalu bersandar kepada-Nya dan menjadi kuat di dalam Tuhan.

Baca Juga:

Apakah Orang Kristen Dapat Mengalami Gangguan Mental?

Kita perlu menyadari bahwa orang-orang Kristen yang mengalami gangguan mental adalah riil. Begitu pula dengan iman mereka kepada Yesus Kristus.

Saat Kehidupan Menjelang Kesudahannya

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 清明特輯 | 在生命的盡頭,誰可以拉住你的手(有聲中文)

Nenekku terbaring tak berdaya di tempat tidur. Nafasnya terengah-engah dan sesekali dia mengerang karena merasa sakit dan tidak nyaman. Wajahnya yang keriput menunjukkan usianya yang tua.

Aku terduduk di sampingnya, tak sekalipun tatapanku lepas darinya. Dengan semua kekuatannya, Nenek membuka matanya dan menatap lurus ke arahku.

“Nenek lapar?” tanyaku. Nenek menjawabku dengan keheningan; dia tidak lagi punya kekuatan untuk berbicara.

Tiga minggu telah berlalu sejak Nenek pulang dari rumah sakit. Jika ditotal sejak hari pertama Nenek dirawat di rumah sakit, sudah 17 hari dia tidak memakan makanan keras apapun. Tidak pernah terpikirkan olehku kalau dia akan menjadi sangat lemah.

Terlepas dari fakta bahwa Nenek telah berusia 92 tahun dan pernah memiliki riwayat penyakit jantung, kesehatannya selalu prima. Dia tidak butuh banyak pertolongan dalam kesehariannya; dia makan dan tidur teratur setiap hari, dia pun tampak lebih sehat dan muda jika dibandingkan dengan para lansia lainnya yang bahkan usianya lebih muda dari dia. Selain itu, dia juga selalu memiliki pandangan yang positif tentang kehidupan (tidak seperti teman-temannya) dan sering mengatakan kalau dia harus hidup dengan baik supaya bisa terus mengikuti perkembangan dunia sekarang.

Namun, saat ini dia terbaring sekarat untuk menghadapi masa-masa terakhir dalam hidupnya. Dia terlihat sangat kesakitan. Di balik pembawaanku yang tenang, perasaanku jadi campur aduk, dan aku pun bertanya: Bagaimana aku bisa menghibur Nenek dan membuatnya merasa sedikit lega di tengah situasi ini?

Aku dengan cepat menemukan jawabannya—tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain berdoa.

Di titik ini, Nenek dengan lembut mengulurkan tangannya dan memegangku. Meski tangannya lemah, tapi terasa hangat. Aku berdoa di dalam hati: Tuhan, Engkau ada bersamanya. Tolong, berikanlah dia penghiburan dengan kehadiran-Mu. Hanya Engkau yang dapat memberinya penghiburan yang sejati… Setelah beberapa saat, Nenek sepertinya tertidur; wajahnya tampak damai. Perlahan-lahan aku melepaskan tanganku darinya dan berdoa supaya Tuhan sajalah yang memegang dan menguatkannya.

Ini adalah pengalaman pertamaku menyaksikan seseorang berjuang di momen terakhir kehidupannya. Kematian adalah peristiwa yang suatu saat nanti pasti akan kita alami, namun yang jadi pertanyaannya adalah: Siapakah yang akan menemani kita kelak di jalan yang panjang dan sepi ini?

Aku teringat akan sesuatu yang beberapa tahun lalu menegurku: Kita semua datang ke bumi ini sendirian dan suatu saat akan pergi dengan cara yang sama—sendirian. Meskipun terdengar pesimis, tapi itulah kenyataan yang harus benar-benar kita hadapi. Keluarga dan teman-teman kita hanya bisa menemani kita di saat-saat terakhir kita di bumi, dan tidak mungkin bagi siapa pun untuk menemani kita ke perjalanan setelah kematian.

Dan inilah yang membuat banyak orang putus asa. Kematian menjadi sesuatu yang paling ditakuti oleh banyak orang—pikiran bahwa kita harus menghadapi rasa takut yang paling dalam dan gelap itu sendirian!

Namun, puji Tuhan karena aku menemukan harapan di dalam Kristus. Karena Tuhan selalu beserta kita, tidak ada satu pun momen dalam hidup kita di mana kita sendirian. Tuhan ada bersama kita di gunung-gunung ataupun lembah-lembah kehidupan. Daud berkata dalam Mazmur 23:4, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.”

Dan, di atas segalanya, Yesus telah menang atas kematian, seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 15:55, “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” Kita tidak lagi menghadapi ketidaktahuan dan keputusasaan setelah kita mati, tetapi kita beroleh kehidupan. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Inilah yang menunjukkan besarnya kasih Allah bagi kita—Dia selalu bersama kita dan Dia ingin membawa kita kepada kehidupan yang baru.

Semakin aku berpikir tentang hal ini, semakin aku menyadari bahwa kita baru dapat mengerti kehadiran Allah sepenuhnya ketika hidup kita hampir berakhir, karena di titik inilah kita tidak dapat bergantung kepada siapapun dan apapun lagi selain Allah. Hanya di kesepian kita yang paling dalamlah kita bisa menemukan bahwa hanya Tuhanlah yang pasti dan Dialah batu perlindungan di mana kita dapat menempatkan kepercayaan kita.

Hanya Dia yang dapat memberikan kita penghiburan sejati dan pertolongan di masa-masa tergelap. Hanya Allah yang akan bersama dengan kita selamanya—semua hal lainnya hanyalah sementara dan akan berlalu.

Aku mengucap syukur pada Allah karena aku tidak pernah sendirian dalam menyelesaikan perjalananku di dunia ini. Jadi, selama waktu-waktuku hidup, aku mau hidup dengan kepercayaan penuh pada kasih setia-Nya dan menyandarkan hidupku pada-Nya, batu perlindunganku yang kokoh.

Ya Tuhan Yesus, peganglah tanganku erat-erat.

Baca Juga:

Tetap Beriman di Tengah Kecelakaan

Brakk! Kereta yang kutumpangi mengalami kecelakaan. Suasana panik dan yang bisa kulakukan hanyalah tertunduk dan berdoa.

Mengapa Aku Selalu Menolak Pertolongan dari Orang Lain

mengapa-aku-selalu-menolak-pertolongan-dari-orang-lain

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 只付出不接受的做法真的是上帝喜悦的么?

Beberapa hari yang lalu saat sedang makan malam, ayahku berkomentar tentang zaman yang telah banyak berubah. Dulu, biasanya atasan-atasan di tempat kerja itu peduli dengan pekerja di bawahnya. Ketika kakekku bekerja di sebuah perusahaan arsitektur, manajernya selalu mengunjungi keluarganya setiap tahun baru Imlek sambil membawa serta sejumlah uang dan menanyakan apakah keluarga kami membutuhkan sesuatu untuk dibantu.

Suatu ketika keluarga kami membutuhkan bantuan untuk membangun sebuah rumah, lalu manajer itu mengirimkan beberapa orang pekerja bangunan untuk menolong kami. Awalnya kakekku menolak bantuan itu. Bagi orang-orang pada masa itu, menerima pertolongan dari orang lain itu dianggap bisa menghilangkan “harga diri”.

Aku pikir keadaan hari ini pun tidak banyak berubah. Ada banyak orang yang ingin menolong orang lain tapi dirinya sendiri tidak mau ditolong.

Banyak dari kita diajar untuk tidak hidup egois. Kita diajar untuk memiliki hati yang tulus menolong tanpa mengharapkan balasan, dan itu sungguh mulia. Dulu aku juga berpikir seperti itu. Ketika aku masih sekolah, aku dengan senang hati menolong teman sekelasku. Tapi, sangat sulit bagiku ketika aku harus meminta pertolongan dari orang lain. Prinsip ini terus kupegang bahkan sampai aku lulus sekolah. Sebenarnya di lubuk hatiku terdalam aku tahu kalau aku butuh pertolongan. Namun aku tidak mau meminta pertolongan itu. Dan, ketika ada orang lain yang menawarkan pertolongan untukku dengan tangan terbuka, aku malah sulit untuk menerimanya.

Haruskah kita berlaku seperti itu? Apakah Tuhan berkenan jika kita menolong orang lain tapi kita sendiri tidak mau ditolong?

Tuhan mengajar kita untuk saling menanggung beban satu sama lain (Galatia 6:2). Alkitab juga mengingatkan kita bahwa di dalam Kristus kita semua adalah satu tubuh (1 Korintus 12:12-27). Tolong menolong baru bisa terjadi ketika ada dua pihak yang saling terlibat. Jika setiap orang menolak untuk ditolong, lalu siapa yang bisa kita tolong? Bagaimana kita bisa hidup dalam satu tubuh Kristus?

Ada rasa gengsi di balik penolakan pertolongan

Tuhan mau supaya kita menerima dan memberi dengan sukacita. Jadi, mengapa ada orang-orang yang sangat sulit untuk menerima? Kalau kamu bertanya padaku, aku akan menjawab kalau kesulitan itu terjadi karena rasa gengsi.

Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan-kelemahan kita. Dan salah satu yang kita lakukan agar kelemahan itu tidak dilihat orang adalah meninggikan ego dengan tidak mau menerima pertolongan orang lain. Aku menyadari hal ini ketika aku mulai berpikir lebih dalam tentang esensi dari memberi dan menerima. Rasa gengsiku adalah kelemahanku dan alasan utama di balik prinsipku untuk tidak mau menerima pertolongan.

Mempercayai Tuhan itu sulit ketika kamu menolak untuk ditolong

Kita sulit untuk mempercayai Tuhan seutuhnya ketika kita hanya mau memberi tanpa mau menerima. Tuhan mau supaya kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan yang rapuh. Dan dari situlah kita bisa menanggalkan segala beban kita kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya. Rasul Paulus mengatakan, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat“ (2 Korintus 12:9-10). Bagaimana kita dapat berserah dan percaya kepada Tuhan seutuhnya jika kita menolak pertolongan dan bersandarkan hanya pada diri kita sendiri? Kita tidak bisa mengenal Tuhan seutuhnya jika kita tidak mengakui kerapuhan kita.

Aku ingat suatu masa ketika aku mengikuti sebuah persekutuan dengan beban hidup yang begitu berat. Saat itu aku merasa lelah dan tak sanggup lagi menanggung beban hidupku, tapi aku berpura-pura seolah aku baik-baik saja. Ketika tiba giliranku untuk membagikan kesaksian, aku berencana hanya akan berbicara hal-hal kecil saja. Namun, suara hati kecilku mengingatkanku kalau aku perlu datang di hadapan Tuhan dalam kebenaran. Hatiku luluh, aku menangis di depan teman-teman seimanku dalam Yesus. Aku mengakui bahwa aku butuh ditolong. Aku mengakui kalau aku tidak bisa mengandalkan kekuatanku sendiri.

Aku mengucap syukur karena Tuhan menegurku, mengizinkanku untuk melihat bahaya dari memupuk gengsi, dan mengizinkan aku untuk kembali membentuk imanku lewat persekutuan. Sekarang aku sering datang di hadapan Tuhan dalam keadaan tidak berdaya, memohon pertolongan-Nya. Aku tahu kalau aku tidak punya apa-apa. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika bukan karena kekuatan Tuhan, setiap langkah yang kuambil tentu terasa sulit.

Aku juga mencari pertolongan dari saudara-saudara seiman dalam Kristus. Ketika masalah-masalah kehidupan menghampiriku, aku tidak hanya meminta mereka berdoa untukku, tapi aku juga meminta nasihat dari mereka. Kasih dan pertolongan dari saudara-saudara seiman telah memberkatiku dan menolongku untuk merasakan kasih setia Tuhan. Aku juga merasakan hubungan yang dekat dengan sesama anggota tubuh Kristus.

Terimalah pertolongan itu dengan sukacita

Ketika aku melepaskan segala gengsiku, tentu aku merasa lebih bebas. Aku bisa menerima pertolongan dari orang lain dengan sukacita. Aku tahu kalau aku punya kelemahan dan bukanlah manusia yang sempurna. Tapi, ketika aku berserah sepenuhnya kepada Tuhan, Dia yang memegang kendali atas hidupku. Ketika aku menaati kehendak-Nya maka di dalam kelemahankulah kuasa Tuhan akan dinyatakan.

Saudara-saudaraku dalam Kristus, Tuhan mau supaya kamu juga mendapatkan kebebasan ini. Apakah kamu mau untuk menanggalkan rasa banggamu supaya Tuhan bisa berkuasa?

Baca Juga:

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.

Mengapa Aku Memutuskan untuk Mengendalikan Lidahku

mengapa-aku-memutuskan-untuk-mengendalikan-lidahku

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 你们都去健身了,我准备制伏口舌

Aku adalah orang yang lugas dan suka berbicara blak-blakan. Kalau mood-ku sedang bagus, aku akan berbagi rasa senangku dengan orang lain. Tapi, jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencanaku dan membuat mood-ku jadi jelek, orang lain juga harus tahu apa yang menjadi keluhanku itu.

Sejak lama, ketika aku merasa kecewa, aku akan mengeluh dan menyalahkan diriku sendiri. Dulu, ketika kecewa itu datang aku sering menanggapinya dengan melontarkan candaan kalau aku akan “menusuk diriku dengan pisau”. Awalnya kupikir candaan itu keren.

Aku tidak pernah merasa ada yang salah dengan setiap kata-kata yang kuucapkan sampai aku mulai mengerti bahwa perkataan kita memiliki kuasa. Alkitab memberitahu kita kalau “hidup dan mati dikuasai lidah,” (Amsal 18:21). Jika kita melihat kembali ke proses ketika dunia diciptakan, Allah menciptakan segalanya dengan kata-kata-Nya. Allah berkata, “Jadilah terang”—dan jadilah terang itu. Ada kuasa yang teramat besar dalam kata-kata Allah. Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:27), mungkin karena itulah Alkitab mengatakan kalau lidah kita memiliki kuasa atas hidup dan mati.

Lama-kelamaan aku mulai menyadari kalau kata-kata yang sering kukatakan itu berdampak tak hanya buatku sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekelilingku. Dulu aku sering mengatakan kalau aku tidak ingin hidup lebih dari usia 40 tahun dan aku adalah seorang yang depresi. Waktu itu aku tidak menyadari kalau kata-kata itu seolah menjadi kutukan atas diriku sendiri.

Ketika kita tidak bijak dalam berkata-kata, di situlah kita membuka celah untuk Iblis menanamkan pengaruhnya dalam hidup kita. Pengaruh itu semakin kuat ketika kita mulai bergosip, mengeluh, berbohong, dan sebagainya. Tentu banyak dari kita tahu betapa sulitnya mengendalikan lidah kita, namun seringkali kita malah berkata-kata tanpa memikirkan dampaknya terlebih dahulu—sehingga kita menyesal kemudian. Mungkin itulah yang menjadi penyebab kita tidak mengalami pertumbuhan rohani.

Alkitab mengatakan, “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya” (1 Petrus 3:10-11).

Aku menjadikan ayat Alkitab itu sebagai pengingatku supaya aku lebih bijaksana dalam berkata-kata. Ketika aku coba untuk mengintrospeksi diriku sendiri, aku menyadari kalau di dalam pikiranku ada banyak sekali kata-kata yang bersifat merusak. Seringkali aku kehilangan kendali atas emosiku sehingga aku terjebak dalam kekhawatiran dan rasa depresi. Kata-kata yang kuucapkan telah menyakitiku dan juga orang lain. Aku menegur diriku kembali. Aku merasa tidak layak menjadi seorang Kristen. Bahkan aku merasa sangat malu untuk menghadap Tuhan.

Ketika aku memutuskan untuk mengendalikan lidahku, ada banyak cobaan yang menggodaku untuk kembali ke cara hidupku yang lama. Namun, dengan segera aku akan mengingatkan diriku sendiri supaya tidak jatuh ke dosa yang sama dan mencari cara lain yang lebih baik untuk mengungkapkan hal yang ingin kukatakan. Hal ini menolongku untuk menghindari konflik yang tidak perlu dan mengontrol emosiku.

Dulu aku sering terlibat perang mulut dengan ayahku hingga aku mulai melatih diriku untuk lebih bijak berkata-kata. Setiap kali kami berbicara, suasana menjadi tegang dan hal kecil sekalipun dapat membuat kami segera terlibat konflik. Ayahku itu memang cerewet dan tak jarang perkataannya seringkali membuat urat sarafku naik dan aku ingin membalasnya dengan berkata, “Berisik!” atau “Lebih baik aku pergi dari sini sekarang!” Perang kata-kata yang terjadi di antara kami tentunya telah menyakiti hati satu sama lain.

Sejak aku belajar untuk lebih bijak dalam berkata-kata, kini aku bisa berbicara lebih santai kepada ayahku, bahkan aku bisa menyemangatinya juga. Karena kasih Tuhan, sekarang aku dan ayahku bisa menikmati hubungan yang harmonis.

Aku belajar untuk menjadi teladan bagi orangtuaku ketika mereka berkata-kata kasar. Aku mendorong mereka untuk tidak berkata-kata kasar supaya itu tidak dijadikan celah oleh Iblis untuk menanamkan pengaruhnya di hidup kita. Sekarang, aku telah melihat banyak perubahan positif dalam setiap perkataan yang diucapkan oleh orangtuaku. Bahkan ketika kami memiliki waktu luang, kami meluangkan waktu untuk berdoa dan mempelajari Alkitab bersama-sama.

Mengendalikan lidah kita mungkin terdengar sebagai pekerjaan yang sulit, tetapi ingatlah bahwa kita memiliki Roh Kudus yang memampukan dan sanggup menolong kita. Roh Kudus itu tidak hanya mendorong kita untuk berbuat baik, tapi juga memampukan kita untuk mewujudkan perbuatan itu. Jadi, apa yang harus kita lakukan adalah memiliki kemauan untuk berubah dan berdoa supaya Roh Kudus menguatkan kita. Di dalam Kristus, kita sudah menang!

Baca Juga:

Mengapa Aku Senang dengan Status Singleku

“Waktu aku masih kecil, aku lihat orang dewasa pacaran. Waktu aku dewasa, aku lihat anak kecil pacaran.” Begitulah isi tulisan yang kutemukan dalam sebuah meme saat aku sedang asyik menjelajah timeline Instagram-ku. Apa yang baru saja kulihat itu membuatku tertawa. Ya, sampai hari ini aku belum pernah berpacaran sama sekali.