Posts

Gently Reminder Buat Kamu Hari Ini

Untuk mengawali tahun yang baru ini, kiranya firman Tuhan berikut dapat menjadi harapan dan semangat baru untuk kita semua. Amin. 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kataku vs Kata Tuhan

Apa yang kita pikirkan dan tanamkan dalam hati, lalu kita “luapkan”, dapat menggambarkan siapa kita bagi sesama, terlebih bagi Tuhan.

Yuk, sebelum bertutur kata maupun bertindak, selaraskan lebih dulu hati dan pikiran kita dengan firman Tuhan 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hai Si Overthinking, Belajarlah dari Burung-Burung di Langit

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“Lu kerjaannya overthinking mulu.”

Kata-kata seperti itu cukup sering diberikan kepadaku. Entah mengapa, namun aku memang suka memikirkan banyak hal yang padahal belum tentu terjadi. Kadang aku bertanya-tanya, apakah salah kalau aku suka memikirkan hal yang jauh di masa mendatang? Bukannya lebih baik kita memikirkan hal-hal tersebut sekarang supaya kita punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkannya? Aku bukannya takut tetapi merasa harus lebih waspada saja, pikirku.

Pemikiran itu mendorongku untuk mengisi hari-hariku sebagai mahasiswa dengan belajar keras, maksudku supaya aku bisa mempersiapkan masa depan sebaik mungkin. Tapi, usaha yang didorong oleh rasa takut itu rasanya memang tidak enak. Bukannya puas karena sudah mempersiapkan sesuatu, aku malah masih saja berpikir kalau aku tertinggal jauh dari orang lain. Melihat orang lain yang mampu memperoleh segudang prestasi membuat aku lagi-lagi rendah diri dan merasa belum berusaha lebih keras. Aku mencoba mengikuti berbagai perlombaan, berharap bisa seperti temanku yang mampu berprestasi. Namun, tetap saja aku tidak bisa seperti dia. Lagi-lagi pikiran tentang masa depan menghantuiku. Kalau begini, aku mau jadi apa nantinya?

Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya belum pasti jawabannya membuat kepalaku pusing tiap malam. Kekhawatiran, kecemasan, benarkah aku mengalaminya? Atau seperti yang aku katakan, aku hanya sedang waspada dan mempersiapkan masa depan?

Suatu pagi, ketika aku hendak menuju kampus, di balik pepohonan rindang aku melihat beberapa ekor burung berkicauan. Aku mengamatinya sejenak, lalu burung-burung itu pergi bersamaan, membentuk suatu formasi di langit pagi, kemudian terbang melesat. Sejenak aku kagum, namun aku pun bergegas pergi agar tidak terlambat masuk kelas. Di sore harinya, aku hendak pulang dari kampus dan melewati tempat yang sama yang kulewati di pagi hari. Kemudian aku mendengar kicauan burung, lalu aku melihat di langit formasi yang sama seperti yang tadi pagi burung-burung itu lakukan. Aku memperhatikan bagaimana sekawanan burung terbang dengan formasi yang indah di langit, kemudian hinggap di antara pepohonan rindang dan masuk ke dalam sarangnya. Entah mengapa, pemandangan itu membuat hatiku menghangat dan rasanya tenang.

Pengalaman sederhana ini meneguhkanku bahwa Tuhan sedang berbicara. Melihat bagaimana burung-burung tersebut pergi dari sarangnya untuk mencari makanan di pagi hari, kemudian pulang kembali ke sarangnya di sore hari setelah mendapatkan makanan, dan begitu setiap harinya. Burung-burung tersebut memang tidak memiliki otak secerdas manusia, namun mereka tidak pernah khawatir tentang apa yang akan terjadi di esok hari, tentang apakah makanan mereka tersedia di esok hari. Yang mereka tahu di pagi hari mereka akan terbang ke tempat di mana mereka menemukan makanan, kemudian pulang kembali ke sarangnya. Jika makanan tidak ada di satu tempat, masih banyak tempat yang dapat mereka datangi, jadi mengapa harus khawatir?

Sejenak itu membuatku menyadari betapa pikiranku begitu sempit daripada burung-burung tersebut yang bahkan tidak lebih pintar dari manusia.

Cerita tentang aktivitas burung-burung juga mengingatkan kita pada firman Tuhan di Matius 6:26, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukanlah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”

Kita memang perlu memikirkan masa depan, namun hendaknya kita tidak menjadikan pemikiran itu sebagai alasan untuk memaksakan diri, bahkan tidur pun menjadi tidak tenang. Amsal 23:18 berkata, “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.”

Jika Tuhan sendiri sudah berjanji demikian, mengapa kita masih saja khawatir akan masa depan? Hidup itu bukan perlombaan di mana kita harus berlari secepat mungkin untuk meraih masa depan yang indah. Tuhan sudah menetapkan anak-anak-Nya sebagai pemenang. Pemenang bukan tentang siapa yang paling cepat mencapai garis finish, namun tentang siapa yang mampu melewati segala rintangan dan bertahan hingga pada akhirnya ia berhasil mencapai tujuan hidupnya. Seperti bunga di taman yang mekar pada waktunya, demikian pula kita akan memperoleh sesuatu yang indah itu pada waktunya. Tidak masalah jika prosesnya lama, toh semua bunga juga memiliki waktu yang berbeda untuk memperlihatkan mahkotanya. Bukan tentang seberapa cepat waktu mekarnya, namun tentang keindahan yang ditunjukkannya ketika waktunya tiba.

Semua hal di dunia ini ada waktunya. Apakah dengan overthinking akan membuat hari esok jadi lebih baik atau membuat kita mengetahui bagaimana masa depan kita?

Aku akhirnya menyadari, overthinking tidak akan membantu kita untuk mempersiapkan segala hal dan mencapai masa depan yang indah. Overthinking justru menjadi penghambat untuk kita menjalani hidup dan malah menyakiti diri kita dengan pikiran-pikiran tentang hal yang belum tentu terjadi. Tuhan sendiri sudah meyakinkan kita untuk tidak perlu khawatir akan apa pun yang akan terjadi di masa depan.

Bukankah sudah seharusnya kita percaya pada-Nya?

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Oleh Marta Ferreira
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Trade Your Worries For God’s Peace

Kupikir aku adalah orang yang punya ingatan bagus. Orang-orang sering berkata, “Ingetin aku ya….”. Tapi sekarang, aku terkejut karena betapa mudahnya aku melupakan apa yang seharusnya amat penting—siapa Tuhanku—ketika perasaan insecure dan kebohongan menghampiri pikiranku.

Ketika gelombang pandemi pertama kali menjangkau negaraku, Inggris dan kami menjalani lokcdown, aku berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Lalu, ketika kebijakan karantina skala besar dicabut dan aku mulai menata rutinitasku lagi, rupanya wilayah tempat tinggalku harus menjalani sekali lagi lockdown. Seketika perasaan senang dan bebas terbenam kembali.

Aku orang yang suka bersosialisasi dan menikmati pertemuan dengan orang-orang sepanjang minggu, dan betapa senangnya aku ketika bisa beraktivitas secara normal kembali. Tapi, sekarang aku tidak bisa lagi mengikuti ibadah daring bersama dua temanku di rumah, atau pergi nongkrong di akhir minggu dengan rekan gereja. Yang kulihat adalah: aku akan kembali terisolasi.

Menemukan harapan di tengah kesuraman

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Pagi itu, aku tidak mampu mengendalikan perasaanku dan pikiranku dengan cepat dipenuhi ketakutan. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman. Sebuah doa yang kunaikkan dalam ketakutan, bukan rasa percaya.

Namun, saat aku mulai berdoa, secercah cahaya muncul perlahan di tengah badai pikiranku. Untuk setiap kekhawatiranku, aku mulai mengingat ayat-ayat Alkitab. Semakin aku berdiam dalam pikiran yang tenang, lebih banyak inspirasi dari Alkitab yang kuingat. Aku pun kembali teringat akan siapa Bapa dan firman-Nya. Hatiku tak lagi bergejolak, kendati pikiranku masih terasa kalut. Ada setitik kedamaian yang mulai kurasa.

Ratapan 3:21-25 berkata:

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
Selalu baru tiap pagi;
Besar kesetiaan-Mu!
“Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

Kitab Ratapan dipenuhi jeritan hati dari nabi Yeremia yang melihat Israel, bangsanya dihancurkan dan dijarah oleh bangsa asing. Yeremia sudah mencoba memperingatkan Israel berkali-kali bahwa Tuhan memanggil mereka untuk kembali dan percaya hanya pada Allah, tetapi Isral mengabaikan seruan itu.

Namun, terlepas dari kondisi kehancuran tersebut, Yeremia tetap menaruh harapan. Meskipun di sekelilingnya hanya ada kesuraman, dia tetap memiliki harapan. Mengapa? Karena Yeremia mengetauhui siapa Allah—harapan kepada-Nya tidaklah tergantung pada keadaan dunia yang berubah-ubah, tetapi kepada Allah yang kasih dan kedaulatan-Nya senantiasa tetap. Allah yang berdaulat dan telah berjanji untuk menyambut siapa saja yang mencari dan berpaling pada-Nya. Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Hari itu aku diingatkan kembali bahwa harapan kita terletak pada Allah yang sama. Bagiku, itu artinya aku bisa tetap berharap sekalipun pada kenyataannya semua usaha untuk menekan laju penyebaran virus tidak berhasil. Aku bisa tetap punya harapan meskipun aku harus mengalami lockdown kembali, atau meskipun aku khawatir kalau hari-hariku di depan akan menjadi kelam. Seperti nabi Yeremia, kendati keadaan di sekelilingnya suram, aku tahu aku bisa tetap punya harapan. Aku hanya perlu membangkitkan ingatanku akan apa yang menjadi alasanku untuk berharap.

Cara-cara untuk mengingat kembali kebaikan Allah

Kabar baiknya adalah, Tuhan tahu betapa kita ini pelupa. Karena itu, Dia memberi kita instruksi dalam Ulangan 6:6-9 agar umat-Nya menjaga perintah-perintah-Nya dalam hati mereka dengan cara membicarakannya dengan orang-orang di sekitar, menuliskannya di depan pintu, dan mengingatnya senantiasa.

Perintah Allah adalah tanda dari kasih-Nya. Mengaplikasikan apa yang Allah perintahkan pada umat Israel di masa lampau dapat menolong kita mengingat dan berharap pada janji-Nya. Inilah tiga cara sederhana untuk mempraktikkan Ulangan 6:6-9:

1. Arahkan orang lain pada kebenaran dengan kata-kata sederhana

Kita bisa mengingatkan teman-teman atau orang terdekat kita dengan cara mengirimkan mereka chat atau pesan yang berisikan hikmat Alkitab.

Di hari ketika aku mendapat kabar tentang lockdown kedua, kiriman ayat dan doa dari temanku memberikan perbedaan yang signifikan buatku.

2. Kelilingi dirimu dengan firman Tuhan

Aku menuliskan beberapa ayat dan menempelnya di dinding, atau menjadikannya sebagai lockscreen ponselku. Aku memilih ayat-ayat yang menolongku untuk berfokus pada-Nya.

3. Fokuskan pandanganmu pada kebenaran

Meskipun aku sudah mengelilingi diriku dengan banyak ayat, itu tidak berarti aku selalu membaca dan mengaplikasikan maksud ayat tersebut. Namun, ayat-ayat itu selalu menolongku untuk mengingat Allah dan merasa terhibur ketika aku mulai tergoda untuk khawatir.

Banyak kesempatan selama lockdown kedua ini, ketika aku merasa putus asa, merindukan teman-teman, atau aku berkeluh-kesah, gambaran visual dari 1 Tesalonika 5:16-18 datang ke benakku. Aku meminta agar Tuhan menolongku “bersukacita senantiasa, tetap berdoa, dan mengucap syukur dalam segala keadaan”. Saat aku berdoa, aku menyadari ada perubahan cara pandangku. AKu menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani hari-hariku dengan sukacita dan mulai memperhatikan kebutuhan orang lain.

Menulis ayat-ayat dan menempelkannya di dinding adalah baik, tetapi yang paling penting adalah Allah sendiri memberikan Roh-Nya untuk tinggal bersama kita. Roh itu menolong kita untuk berdoa (Roma 8:26-27) di dalam kelemahan kita, dan Roh jugalah yang memimpin pikiran kita kepada kebenaran yang perlu kita ingat. Kesetiaan Tuhan tak hanya terlihat dari apa yang kita baca di Alkitab, tapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah kita lalui. Dia akan menolong kita memilih pemahaman yang benar akan pencobaan, dan mengingatkan kita akan harapan yang kekal, yang tidak akan mengecewakan kita.

Sekarang aku tidak sedang berkata kalau aku telah berhasil mengatasi kekhawatiranku dengan sempurna, tapi pengalaman ini menolongku untuk lebih percaya diri dalam melangkah. Aku masih terjebak dalam lockdown dan banyak hal tetap terasa berat, tetapi aku tahu Tuhan campur tangan dan mampu memberiku damai sejahtera. Aku berdoa agar Tuhan menguatkanku dan menolongku untuk selalu mengingat siapa Dia. Aku percaya Dia akan melakukannya tak cuma untukku, tapi juga kepada setiap orang yang meminta pada-Nya, sebab Tuhan adalah setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Impian Suksesku Kandas

Kondisi pandemi membuat pekerjaanku terguncang, tetapi aku percaya Tuhan tidak tidur, dan melalui kuasa-Nya yang tidak terbatas, Dia menerbitkan kembali sinar harapan yang telah padam kepada orang-orang yang terdampak pandemi.

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Oleh Kristle Gangadeen, Trinidad and Tobago
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Weapons For Battling Anxiety In Difficult Seasons

“Rasanya seluruh hidupku telah hancur.”

Rasa putus asa tertulis di halaman-halaman buku harianku. Aku bingung, gelisah, dan frustrasi. Semua gelombang emosi itu membanjiriku sekaligus.

Dua tahun terakhir begitu menantang buatku. Aku kembali ke rumahku di kampung halaman, ketidakpastian akan tujuan hidup dan langkah karier selanjutnya, kebingungan apakah aku akan menganggur atau tidak, dan sekarang, relasiku yang berakhir dengan tiba-tiba.

Aku merasa buta, bingung, dan tertinggal, meski aku tetap berjuang untuk bertahan ketika gelombang demi gelombang kekhawatiran semakin menjeratku.

Sejujurnya kurasa Tuhan seperti mempermainkanku. Aku percaya pada-Nya ketika aku meninggalkan bisnis yang kurintis. Aku percaya pada-Nya untuk mengarahkan langkahku kepada tujuan. Dan, aku percaya pada-Nya ketika aku berdoa dengan sungguh untuk menjalin relasi dengan kekasihku.

Namun, semuanya tampak hancur berantakan.

Dalam kehancuranku, aku coba tetap mengungkapkan segala ketakutanku akan masa depan kepada Dia yang mendengarkan doa-doa kita dan melihat air mata kita (2 Raja-raja 20:5). Kubuka Alkitabku untuk mendapati penghiburan dan harapan.

Lalu, garis pembatas antara harapan dan khawatir pun tergambar di benakku. Aku harus memilih untuk memihak ke mana: janji Tuhan atau tipu muslihat dari si jahat.

Peperangan dalam pikiran itu sungguh nyata. Sekarang saatnya untuk angkat senjata dan menghadapinya.

Jika kamu juga berjuang menghadapi kekhawatiran seiring kamu menjalani masa-masa yang sulit, ikutlah bersamaku mempraktikkan empat jurus ini, agar kita dapat menang dalam Kristus.

Jurus #1: Ingatlah kasih setia Tuhan

“Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibrani 10:23).

Alkitab berulang kali menunjukkan kesetiaan Allah. Dia setia ketika menepati janji akan keturunan yang diberikan-Nya pada Abraham dan Sara; Dia setia ketika memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Perjanjian; Dia setia ketika memberkati Hana dengan seorang anak laki-laki; Dia pun setia ketika memberikan Juruselamat bagi dunia.

Ketika aku mendapati diriku bertanya, “Berapa lama, Tuhan?”, dan kekhawatiran menyergap hatiku, kuingatkan kembali diriku bahwa Tuhan setia pada janji-Nya. Di tahun-tahun yang lampau Tuhan telah menunjukkan kesetiaan, penyertaan, perlindungan, dan penghiburan bagiku.

Bagaimana mengaplikasikannya: Luangkan beberapa waktu untuk menuliskan kesetiaan Tuhan di masa-masa lalumu dan renungkanlah itu. Kamu akan melihat bahwa Tuhan sungguh baik dan dapat dipercaya.

Jurus #2: Bersukacitalah dan pujilah Tuhan

Raja Daud mengalami banyak masa sulit sepanjang hidupnya. Contohnya: ketika Saul berupaya untuk membunuhnya, Daud harus melarikan diri (1 Samuel 20-27). Lalu, anaknya sendiri mengkhianatinya (2 Samuel 15). Tapi, dalam segala kondisi, Daud tetap memilih bersukacitan dan memuji Tuhan.

Di Mazmur 22, Raja Daud memulainya dengan mengungkapkan ratapan dari hati yang pedih kepada Tuhan. Namun di akhir mazmurnya, Daud menaikkan pujian bagi Tuhan. Dia memuji Tuhan dalam penderitaannya karena dia percaya pada-Nya.

Jika Daud bisa membawa semua beban dan perasaannya pada Tuhan, artinya kita pun bisa melakukannya! Mengungkapkan isi hati pada Tuhan jauh lebih mudah daripada chat atau menelpon teman. Kita bisa berbicara dari hati ke hati dengan Tuhan kapan pun.

Tapi, janganlah kita berhenti sampai di sini saja. Iman dan kekuatan kita diperbaharui lewat pujian, seiring fokus kita bergeser dari masalah kita menuju kebesaran Tuhan.

Bagaimana mengaplikasikannya: Gunakan suaramu untuk memuji Tuhan. Temukan atau buatlah daftar lagu puji-pujian di ponselmu. Menyanyilah bagi Tuhan di rumahmu, di mobilmu, di manapun.

Jurus #3: Mengucap syukur

Hidup tak selalu manis seperti sepotong kue bolu, tetapi setiap harinya Tuhan memberikan kita banyak hal untuk kita mengucap syukur.

1 Tesalonika 5:18 berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”

Berfokus pada apa yang tidak kita punya, yang tidak kita capai, atau apa yang telah hilang, bisa membawa kita kepada kepahitan, kebencian, dan ketidakpuasan. Mengubah fokus kita kepada berkat-berkat yang kita miliki bisa menolong kita menyingkirkan kegelapan dan menggantinya dengan cahaya kebenaran. Dan kebenarannya adalah: kita diberkati dengan berlimpah.

Sejak aku mulai menulis hal-hal yang bisa kusyukuri di buku harianku, aku tak lagi mendapati ada hari-hari di mana aku tak tahu hal apa yang bisa kusyukuri.

Janganlah kita asal-asalan menjalani hari. Jika kita punya makanan untuk dimakan, baju untuk dikenakan, dan kasur untuk tidur, baiklah kita mengucap syukur.

Bagaimana mengaplikasikannya: Buatlah daftar ucapan syukur, bisa di buku tulis atau catatan di ponsel. Berkomitmenlah untuk menuliskan setidaknya satu hal yang bisa kamu syukuri setiap harinya. Setelah beberapa waktu, coba evaluasi ulang.

Jurus #4: Merenungkan firman Tuhan dan temukanlah harapan

Sungguh suatu penghiburan karena kita bisa percaya bahwa firman-Nya itu benar, terlepas dari apa pun yang kita rasakan dan lihat (Yesaya 55:11).

Mazmur Daud menguatkan kita dalam masa-masa sulit dan masa-masa penantian. Beberapa mazmur favoritku adalah Mazmur 25:3, 27:13, 34:10, 34:18, 37:4, dan 46:1.

Satu ayat yang kupegang teguh dalam masa-masa sulitku diambil dari Keluaran 14:14 versi BIS:

“TUHAN akan berjuang untuk kamu, dan kamu tak perlu berbuat apa-apa.”

Ayat di atas adalah pesan Tuhan kepada bangsa Israel ketika mereka terjebak di tepi Laut Merah, padahal tentara Firaun semakin dekat dengan mereka. Dan, pesan itu jugalah yang masih berlaku bagi kita di masa kini. Ketika kita merasa kewalahan dan tak sabar, ingatlah janji-Nya itu.

Bagaimana mengaplikasikannya: Temukan ayat Alkitab yang berisi janji Tuhan dan renungkanlah itu. Kamu bisa jadikan ayat itu wallpaper di ponselmu, atau tulis lalu tempelkanlah di dindingmu.

Masa-masa sulit dalam hidupku masih berlangsung, tetapi roh yang menghadirkan damai sejahtera telah menolongku untuk menang mengatasi kekhawatiran di hati dan pikiranku (Filipi 4:6-7).

Kita memang tak tahu bagaimana masa depan kita, tapi jika kita mengenal Yesus, kita tahu siapa yang memegang masa depan itu. Kita bisa percaya dan teguh bahwa Dia yang memulai pekerjaan baik di dalam kita adalah setia, dan Dia jugalah yang akan memampukan kita menyelesaikannya (Filipi 1:6).

Baca Juga:

Menang Atas Dosa Favorit

Dosa itu menawarkan atau mengiming-imingi kita dengan suatu kenikmatan. Salah satu contohnya adalah dosa seksual. Makin kita terpikat, makin kita terjerat.

Ketika Aku Divonis Sakit Oleh Pikiranku Sendiri

Oleh Mary Anita, Surabaya

Hari-hari ini media mana saja membahas COVID-19 tanpa henti, bak seorang artis yang viral mendunia. Setiap hari aku membaca berita, mencari tahu update terkini. Namun, lama-lama kebiasaan ini rupanya melemahkan iman percayaku.

Awal bulan ini, aku mendapat kabar bahwa ayah dari temanku meninggal karena terjangkit COVID-19. Padahal, beliau dikenal sebagai seorang yang pola hidupnya sehat. Kabar ini membuatku semakin cemas. Virus ini terasa sangat nyata, dia siap mengancam siapa pun tanpa pandang bulu.

Suatu malam, saat aku hendak tidur, pikiranku melayang-layang. Aku ingat berita yang kubaca sebelumnya bahwa COVID-19 lebih rentan menyerang orang yang punya riwayat sakit paru-paru. Tahun 2016, aku pernah mengalami sakit pneumonia akut (aku pernah menuliskan kesaksiannya di sini). Bagaimana bisa aku tenang-tenang saja kalau begitu. Bagaimana jika penyakit pneumonia itu berulang? Sederetan pikiran buruk pun terus berlanjut dan berkecamuk di benakku.

Aku makin cemas tak karuan. Saat itu pula aku merasa sakit tiba-tiba. Awalnya sekujur tubuhku terasa pegal, lalu berlanjut jadi menggigil di sekujur kaki dan telapak tanganku. Sekitar jam setengah 2 pagi, perutku mual. Aku bangun, lalu memakai jaket. Dalam kecemasanku, aku berdoa, “Tuhan Yesus, tolong aku.” Tiga detik berselang, aku muntah sejadi-jadinya. Kucek suhu badanku dan hasilnya membuatku syok. Aku demam tingg, 37,8 derajat!

Ibuku terbangun dan menghampiriku. Dia memberiku obat penurun panas sembari mengajakku tetap tenang dan berdoa bersama. Kami menyanyi, menyembah Tuhan. Dalam keadaanku yang lemah dan pikiran yang kacau, Tuhan sepertinya dengan lembut menyadarkanku. Aku teringat pada suatu ayat:

“Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Matius 6:22-23).

Aku sadar, akhir-akhir ini aku lebih banyak mongonsumsi berita-berita yang akhirnya membuatku takut daripada mengutamakan kebenaran firman Tuhan. Waktuku untuk membaca update terkait virus lebih sering daripada waktuku berdoa dan merenungkan firman-Nya. Tanpa kusadari, kecemasan menguasaiku dan mengakibatkan tubuhku ikut lemah. Benar bahwa semua kabar buruk yang terjadi sekarang ini adalah fakta, tapi ada fakta yang lebih besar dan benar, yaitu Tuhan Yesus, sang Terang sejati yang selalu menyertai dan berkuasa dalam diri setiap orang percaya.

Dalam doaku, aku memohon ampun pada Tuhan karena alih-alih mempercayakan hidupku dalam kendali-Nya, aku malah membuka celah membiarkan kecemasan menguasai pikiranku. Kecemasan itu ibarat berhala yang pelan-pelan mengeser posisi Tuhan di hidupku.

Setelah tiga jam berselang, kami kembali berdoa. Suhu tubuhku berangsurturun dan aku merasa lebih baik. Siang harinya, puji Tuhan aku pulih sepenuhnya. Aku bersyukur pada Tuhan karena melalui hal ini, Dia mengingatkanku akan pentingnya menjaga tubuh kita yang sejatnya adalah bait Allah (1 Korintus 3:16). Aku belajar untuk lebih bijak menyelaraskan setiap yang kubaca, dengar, dan pikirkan, dengan kebenaran firman Tuhan.

Dunia akan selalu menawarkan berita dan beragam kejadian buruk setiap harinya. Rasa takut dan cemas itu manusiawi, terutama di masa-masa yang berat seperti sekarang. Namun, bukan berarti kita perlu takut dan cemas berlarut-larut. Kita bisa melawannya dengan berdoa dan mengingat semua kebaikan Tuhan dalam hidup kita, seraya tetap waspada.

Kiranya damai sejahtera-Nya yang sempurna memenuhi kita sekalian.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Filipi 4:8-9).

Baca Juga:

Tuhan Tahu Aku Butuh Penyakit Ini Agar Aku Berbalik Kepada-Nya

Suatu hari, aku menderita demam tinggi, batuk parah, dan sesak nafas saat terbangun dari tidurku. Semua gejala ini terus terjadi sepanjang minggu. Ketika aku pergi ke dokter, dokter memintaku untuk melakukan X-ray. Kemudian diketahuilah bahwa aku menderita pneumonia akut. Aku langsung diopname di rumah sakit dan diberikan pengobatan.

Jangan Hidup dalam Kekhawatiran

Oleh Yulinar Br. Bangun, Tangerang

Di ibadah yang kuikuti beberapa minggu lalu, ada lagu yang mengusik hatiku. Lagu ini ditulis oleh Ira Forest Stanphill, yang berjudul “I Know Who Holds Tomorrow”. Berikut ini sepenggal liriknya:

Many things about tomorrow
I don’t seem to understand
But I know who holds tomorrow
And I know who holds my hand

Bukan tanpa alasan mengapa lagu ini liriknya mengusikku. Lagu ini ini seperti jawaban, sekaligus tamparan buatku. Aku mahasiswa penerima beasiswa di sebuah kampus Kristen, sekarang aku tinggal menunggu wisuda. Aku bersyukur bisa menyelesaikan studiku dengan baik, tapi aku bingung dengan persiapan wisuda dan masuk dunia kerja nanti. Aku kepikiran dengan segala biaya yang perlu dikeluarkan: untuk cari kerja,untuk biaya tinggal di kota perantauan, dan sebagainya. Biaya ini tentu akan jadi beban buat keluargaku.

Aku memikirkan beberapa opsi, tapi aku malah jadi berdebat dengan orang tuaku. Apa yang menurutku baik ternyata tidak searah dengan pemikiran mereka. Aku ingin berhemat. Saat nanti diterima kerja, di bulan pertama kan aku belum mendapatkan gaji. Tapi, mereka malah ingin memberiku uang karena mereka ingin menenangkanku dan bersyukur karena aku tidak membebani mereka dengan biaya studi.

“Nak, pasti ada rezekinya. Tuhan pasti kasih jalan.” Percakapan kami berakhir dengan kalimat ini, kalimat sederhana yang mencerminkan keyakinan orang tuaku akan pemeliharaan Tuhan.

Jika ditelisik, masalahku adalah kekhawatiran akan hal-hal yang belum terjadi. Aku khawatir kalau orang tuaku nanti kesulitan finansial. Tapi, apakah kekhawatiran inilah yang jadi masalah utama? Dari konselingku, aku mendapati kalau khawatir hanyalah masalah yang tampak di permukaan saja. Akar dari khawatir adalah meragukan Tuhan, yang berujung pada mengandalkan diri sendiri.

Khawatir bukanlah pergumulan yang kualami sendiri, atau dialami oleh manusia zaman ini saja. Dari masa ke masa, khawatir senantiasa hadir dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam Injil Matius, Yesus menekankan, “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (Matius 6:27). Rasul Paulus juga menegaskan, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6).

Ketika keluar dari Mesir, bangsa Israel juga mengalami kekhawatiran. Meski Allah telah menyertai mereka dengan membelah Laut Teberau (Keluaran 14:15-31), mereka tetap saja khawatir dan bersungut-sungut. Namun, Allah tetap setia. Allah memelihara bangsa Israel dengan memberi mereka makanan berupa roti mana (Keluaran 16:4), melindungi mereka dengan tiang api dan tiang awan (Keluaran 14:19-2), serta memberi mereka mata air untuk diminum (Keluaran 15:22-27).

Penggalan lagu di awal tulisan ini membawaku kepada refleksi mendalam. Aku lahir dan besar di keluarga Kristen, kuliah di kampus Kristen, ikut ibadah di gereja, berdoa, memuji Tuhan. Tapi, seberapa sungguh aku mengimani itu semua?

Jika aku melihat perjalanan hidupku ke belakang, Tuhan selalu mencukupiku. Dia setia memelihara sampai ke titik ini. Dia izinkan aku menerima beasiswa. Lantas, mengapa aku harus khawatir untuk masa depanku jika Dia telah membuktikan kesetiaan-Nya. Mendapati fakta ini, aku jadi sangat malu.

Sebagai manusia yang tidak bisa mengetahui dengan jelas bagaimana masa depan, kita rentan jatuh dalam godaan kekhawatiran. Kita khawatir akan karier, jodoh, usia, keluarga, keuangan, dan lainnya. Alih-alih membiarkan khawatir itu memenuhi isi pikiran kita, kita dapat menaikkannya kepada Tuhan dalam doa. Izinkanlah Tuhan bekerja dalam kekhawatiran kita, izinkanlah hati kita untuk percaya dan taat pada cara kerja Tuhan.

Ketika kekhawatiran datang, izinkanlah kembali hati kita untuk percaya pada kesetiaan-Nya. Tuhan tak menjanjikan hidup kita bebas rintangan dan penderitaan, tetapi Dia berjanji setia menyertai.

I don’t worry o’er the future
For I know what Jesus said
And today I’ll walk beside Him
For He knows what is ahead

Many things about tomorrow
I don’t seem to understand
But I know who holds tomorrow
And I know who holds my hand

Baca Juga:

Ibadah Online, Salah Satu Kontribusi Gereja Redakan Pandemi COVID19

Apakah ibadah boleh ditiadakan hanya gara-gara sebuah wabah? Perlukah ibadah konvensional (secara tatap muka) tetap dipertahankan? Bagaimana pandangan Alkitab tentang hal ini?

Virus Corona: Takut itu Manusiawi, Tapi Jangan Biarkan Kepanikan Menguasai

Oleh Daniel Ryan Day, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Coronavirus Pandemic: I’m Afraid, And I Don’t Even Know Why

Sebulan terakhir aku merasa biasa-biasa saja. Aku malah membuat beberapa lelucon dan video pendek mengolok-olok orang-orang yang takut dengan virus corona. Tapi, sekarang pertandingan olahraga ditunda, presiden berpidato mendadak dan serius, rumor-rumor beredar kalau perusahaanku akan tutup sementara, penerbangan-penerbangan akan dibatalkan, kampus-kampus mulai kuliah online, dan larangan bepergian ke banyak negara diberlakukan.

Kemarin malam, kepanikan segera menyebar setelah gubernur di tempat tinggalku meminta semua sekolah ditutup selama tiga minggu penuh. Paginya, aku bangun dengan informasi tiga orang positif terkena virus di kota tempat tinggalku.

Semua kabar itu merasuk ke benakku. Aku jadi sakit kepala. Otakku terus berpikir, “Gimana kalau?”. Sekarang, aku 100 persen bisa berkata…

Aku takut, dan aku sendiri tidak tahu kenapa!

Apakah karena anak-anakku akan sakit? Atau mungkin aku yang terjangkit? Atau karena pekerjaanku jadi terancam? Atau karena aku tidak bisa nonton pertandingan basket NBA? Atau, karena aku ikut merasakan histeria ketakutan yang juga dirasakan orang-orang sejak Januari? Atau, karena semuanya itu menumpuk di satu momen?

Aku tahu hidupku masih muda, tapi aku belum pernah merasakan pengalaman seperti ini sebelumnya. Miliaran dolar hilang akibat kerugian ekonomi. Pemerintah melarang pertemuan di atas 100 orang. Industri-industri utama terhenti. WHO sudah mendeklarasikan pandemi global. Dan sekarang, semua orang yang kutahu (termasuk aku) tidak bisa berhenti membicarakan virus ini. Ia dibicarakan di mana-mana: di depanku, di depanmu, di depan siapa pun, selama 24 jam 7 hari.

Aku menebak, mungkin kamu juga merasa takut. Atau, kamu cuma “mengamati”.

Jadi, bagaimana seharusnya?

Mungkin ini momen yang tepat buat kita mengambil waktu sejenak. Tarif nafas. Hembuskan. Tenang dan fokuskan diri pada salah satu halaman yang kita tak asing dalam Alkitab:

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:6-7).

Langkah pertama: naikkanlah doa

Kita bisa bilang pada Tuhan kalau kita memang takut, dan kita tak tahu kenapa. Kita bisa menuliskan hal-hal buruk yang mungkin menurut kita bisa terjadi dan meminta Tuhan untuk menguji hati kita mengapa kita merasa gundah. Alih-alih panic buying atau share banyak informasi yang tidak jelas di media sosial, kita bisa berhenti untuk berdoa, mendekat pada Pertolongan yang Sejati.

Langkah kedua: ucapkanlah syukur

Kitab Filipi tidak cuma bilang bahwa kita perlu menyampaikan kekhawatiran pada Tuhan, tapi sampaikanlah kekhawatiran itu dengan ucapan syukur. Kita bisa melihat kembali hari-hari kita dahulu dan memuji-Nya atas kebaikan yang disediakan-Nya bagi kita sampai saat ini. Mengucap syukur mendorong kita untuk melihat kesetiaan Tuhan, sehingga kita dapat percaya bahwa Dia pun memegang masa depan kita.

Langkah ketiga: bacalah Mazmur

Mazmur 27 bisa jadi bagian yang baik untuk memulai. Lihatlah bagaimana para pemazmur bergumul dengan hal-hal yang terjadi di luar kendali mereka, tapi lihatlah juga berapa kali mereka kembali memuji Allah karena pertolongan-Nya.

Langkah keempat: carilah cara untuk melayani orang lain

Ingatkah kisah tentang Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta? Pengikut Kristus sepanjang sejarah telah menunjukkan kasih dan perhatian yang sama seperti yang Yesus lakukan. Virus corona adalah salah satu kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kasih itu.

Kita bisa memulainya dengan menanyakan kabar teman kita dan menyemangatinya. Jika kamu mengenal seseorang yang berisiko, atau berada di area rawan, cobalah hubungi mereka dan tanyakan bila ada hal yang dapat kamu bantu. Dan, jika kamu mengenal orang-orang yang tak mampu pergi ke luar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, kamu bisa membelikan makanan-makanan beku yang bisa mereka simpan di rumah dan konsumsi dengan cepat (Tapi, yakinkan dulu bahwa dirimu tidak terjangkit virus). Yang paling penting, tanyalah Tuhan apa yang Dia ingin kamu lakukan dan ikutilah pimpinan-Nya.

Langkah kelima: tetaplah bergerak

Bagian ini adalah poin yang kutambahkan secara personal. Kamu tidak akan menemukannya di Alkitab, tapi inilah yang menolongku. Jika selama masa social distancing atau pembatasan sosial kamu merasa stres, kamu bisa berjalan-jalan di rumahmu, melakukan olahraga kecil, atau sekadar pemanasan.

Lima langkah sederhana ini tidak dapat mengentaskan virus corona, juga bukanlah obat untuk menuntaskan khawatirku dan khawatirmu. Kekhawatiran akan datang kembali, tapi ketika ia datang, kita bisa mengulangi langkah-langkah ini lagi. Kitab Filipi berjanji, ketika kita membawa kekhawatiran kita kepada-Nya, damai sejahtera Allah yang melampaui segala akan akan memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus.

Beberapa tahun lalu aku pernah kewalahan karena pekerjaanku. Aku berdiri di tepi pantai dan berdoa seraya melihat ombak. Aku sadar, ombak-ombak itu cukup besar untuk berpindah-pindah, dan tiba-tiba sepenggal lirik lagu mengalun di benakku. Lagu yang muncul saat itu rasanya lagu yang cocok pula untuk situasi kita hari ini:

Kiranya ombak kedamaian dari Allah menerpaku
Membawaku ke tempat di mana seharusnya aku berada

Kedamaian Allah berkuasa untuk memindahkan kita dari tempat yang penuh rasa khawatir, kepada tempat yang penuh percaya. Ini tidak berarti kita tidak akan takut lagi, tapi kita dapat menempatkan ketakutan kita pada konteks yang tepat, ketakutan yang membawa kita mendekat pada Tuhan yang mengasihi kita.

Baca Juga:

Aku Lupa, Yesus Juga Kawanku

Yesus tahu betapa mudahnya kita terjebak dalam kewajiban-kewajiban agamai ketimbang dalam relasi. Aku pun begitu. Aku melayani-Nya tapi tak merasa dekat dengan-Nya.

Pergumulanku Melawan Pikiran-pikiran Negatif

Oleh Kim Cheung
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Daily Struggle Against Negative Thoughts

Aku pernah berada di suatu masa ketika emosiku seperti roller coaster. Emosiku bisa naik begitu tinggi dan terjatuh begitu kelam hanya dalam satu hari.

Di hari-hari biasa, ketika aku bangun disambut dengan mentari pagi yang cerah dan hangat, mood-ku pun bagus. Aku merasa hidupku keren dan cerah. Aku bahkan membeli sekuntum bunga untuk menghiasi kamarku. Namun, perasaan bahagia ini tidak bertahan lama. Di siang hari, aku merasa down dan menganggap hidupku tidak berarti dan melelahkan. Tanyakanlah padaku alasan mengapa aku bisa berubah drastis, aku sendiri pun tidak tahu jawabannya. Bisa jadi hanya karena hal kecil yang membuatku frustrasi, atau ketidakberdayaanku mengendalikan perasaan hari itu.

Perasaan yang berubah-ubah itu pernah aku alami hampir setiap hari. Perasaan dan pikiran negatif itu menghujaniku seperti badai, meninggalkanku lemah dan tak berdaya. Kupikir aku bisa begitu karena badanku lelah, jadi aku mencoba tidur lebih awal. Jika aku tidak bisa tidur, aku coba mengobrol dengan temanku. Tapi, obrolan itu bukannya menguatkan, malah membuatku dan temanku sama-sama merasa depresi.

Hal paling buruk yang terjadi akibat ketidakstabilan emosi ini adalah aku jadi sulit berkonsentrasi pada firman Tuhan. Di momen seperti itu, aku menyerah membaca Alkitab. Paling-paling aku hanya meminta temanku untuk mendoakanku. Seringkali aku pun merasa bersalah.

“Bukankah kamu bisa menemukan sukacitamu di dalam Tuhan? Kok kamu masih saja merasa tertekan?”

Aku pun menegur diriku sendiri. “Lihat dirimu! Kamu begini karena kehidupan rohanimu tidak baik!” Kalimat-kalimat ini bukannya menolongku, malah membuatku terjebak makin dalam di pusaran pikiran-pikiran negatif.

Kondisi seperti ini adalah pekerjaan Iblis yang menyerangku di titik terendahku. Kondisi ini juga seperti sebuah siklus yang akan terus terulang dan membuatku lemah tak berdaya seperti seekor domba yang menanti disembelih.

Suatu hari, aku memutuskan sudah cukup aku berkubang dalam kondisi seperti ini. Jelas bagiku bahwa Tuhan memberitahuku untuk percaya dan bersandar kepada-Nya. Firman-Nya mengatakan kita harus mengenakan senjata Allah, barulah kita bisa berdiri teguh melawan serangan-serangan si jahat (Efesus 6:10-11). Aku memutuskan untuk tidak menjadi korban dari mengasihani diri sendiri. Aku mau mengenakan pedang Roh dan melawan balik (Efesus 6:17). Inilah beberapa hal praktis yang telah menolongku:

Meraih kemenangan dengan doa

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:6-7).

Ayat ini menguatkanku dan menolongku untuk berani berkomitmen. Aku tidak akan menghindari doa. Aku tidak akan bersembunyi dari pikiran-pikiran pesimisku atau menyangkali bahwa aku mengalaminya, melainkan aku akan mengakui bahwa keenggananku untuk berdoa itu dikarenakan perasaan-perasaanku sendiri dan aku perlu pertolongan Roh Kudus untuk menenangkan hatiku. Ketika perasaan-perasaan negatif menggangguku, aku memanggil nama Yesus dan mengusir semua perasaan negatif itu keluar dari hatiku.

Aku secara pribadi mendapati doa-doa itu begitu menolong. Tuhan memberiku penghiburan dan damai sejahtera. Aku juga akhirnya bisa menyadari bahwa ketika aku merasa sulit berdoa, itu karena aku memanggul sendiri semua bebanku, aku tidak meletakkannya di hadapan Tuhan. Aku belajar bahwa di tengah masa-masa sulit, satu hal yang kita perlu minta adalah supaya Tuhan mengubahkan hati kita.

Merenungkan firman Tuhan

Setelah Roh Kudus melenyapakn semua pikiran negatif dari dalam diriku, aku memerlukan sesuatu untuk mengisi hatiku. Aku membutuhkan firman Tuhan untuk mengisi tiap relung hatiku.

Aku mulai membaca Alkitab, meluangkan waktu untuk merenungkannya. Aku ingin firman-Nya tertanam kuat dalam hatiku.

Filipi 4:13 mengatakan segala perkara dapat ditanggung di dalam Kristus yang memberi kekuatan kepadanya. Dalam Wahyu 21:3-4, Yohanes mengingatkan kita tentang surga dan bumi yang baru yang kelak akan menyambut kita: “Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata merek, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”

Membaca ayat-ayat itu memberiku penghiburan yang luar baisa. Melalui merenungkan firman Tuhan, aku bisa mengerti maksud-maksud Tuhan lebih jelas dan aku bisa berdiri lebih teguh dalam kebenaran.

Memiliki waktu teratur bersama Tuhan

Aku percaya persekutuan pribadi dengan Tuhan setiap hari itu penting dan tidak boleh diabaikan. Kita perlu menetapkan suatu waktu yang rutin setiap hari untuk membaca Alkitab.

Aku mengakuki kalau aku bukan orang yang bisa bangun pagi. Jadi, aku menjadikan waktu di malam hariku untuk membaca firman Tuhan. Belakangan ini, aku juga melatih diriku untuk lebih jain berdoa. Aku menggunakan sebuah buku kecil sebagai catatan doaku. Aku juga mendoakan orang-orang lain secara personal.

Memiliki waktu yang rutin dan teratur bersama Tuhan setiap hari telah menolongku untuk bertumbuh secara rohani. Waktu-waktuku bersama-Nya telah mengajariku bahwa hanya ketika kita memiliki relasi yang intim dan personal dengan Tuhan, kita bisa melawan setiap godaan dan tidak terjerat dalam pikiran atau perasaan yang negatif.

Jika kamu mendapati dirimu seperti aku yang dulu, aku mau menantangmu untuk tidak takut karena Yesus telah terlebih dulu mengalahkan segalanya—bahkan kematian—untuk kita. Jagalah dirimu dari tipu daya Iblis dan kenakanlah senjata Allah untuk melawannya.

Kiranya kita belajar untuk selalu bersandar kepada-Nya dan menjadi kuat di dalam Tuhan.

Baca Juga:

Apakah Orang Kristen Dapat Mengalami Gangguan Mental?

Kita perlu menyadari bahwa orang-orang Kristen yang mengalami gangguan mental adalah riil. Begitu pula dengan iman mereka kepada Yesus Kristus.