Posts

Belajar Penginjilan dari Paulus (Pengajaran dari Kisah Para Rasul 17:16-34)

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Injil memang bersifat kekal dan universal. Kekal, karena sampai kapan pun manusia membutuhkan kebebasan dari belenggu dosa dan keselamatan dari hukuman ilahi. Injil akan selalu relevan dan tidak pernah ketinggalan zaman. Universal, karena kebutuhan terhadap kebebasan dan keselamatan ini menjadi milik semua orang. Tidak peduli siapa, darimana, bagaimana, dan di mana seseorang berada, Alkitab dengan jelas berkata: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23)”.

Pengakuan terhadap kekekalan dan universalitas Injil ini tidak berarti penolakan terhadap elemen temporal dan kultural dalam pemberitaan Injil. Kemasan dan strategi penginjilan harus disesuaikan dengan orang dan situasi. Beda orang, beda keadaan, beda pendekatan.

Begitu juga yang dilakukan oleh Paulus. Dia mendekati orang-orang Yahudi dengan cara yang berbeda dengan dia menghadapi orang-orang Yunani. Tatkala dia berada di depan orang-orang Yunani dia tidak mengutip ayat-ayat kitab suci maupun menunjukkan penggenapan nubuat-nubuat dalam kitab suci, walaupun apa yang dia katakan selaras dengan kitab suci. Pendengarnya mungkin tidak pernah mengetahui atau membaca kitab-kitab itu. Karena itu, Paulus menggunakan strategi yang berbeda.

Bagaimana Paulus memberitakan Injil kepada orang-orang di Athena? Apa yang kita bisa adopsi dan adaptasi ke dalam keadaan kita sekarang?

1. Mengenali keadaan dengan cermat (ayat 16-21)

Hal pertama yang dilakukan Paulus di Atena adalah mengamati kota itu. Dia mendapati begitu banyak penyembahan berhala di sana, sehingga hatinya merasa sedih (LAI:TB, ayat 16). Beberapa versi Inggris menerjemahkan kata “sedih” (paroxynomai) di sini dengan “tertekan” (RSV/NIV/NLT). Terjemahan yang lebih hurufiah adalah “terprovokasi” (ESV/NASB). Maknanya lebih berkaitan dengan kemarahan (1Kor. 13:5 “kasih itu tidak marah”; Yes. 65:3; Hos. 8:5) daripada kesedihan atau tekanan. Sikap hati yang marah atau jijik terhadap penyembahan berhala ini sangat lazim di antara orang-orang Yahudi yang menganut monoteisme secara ketat.

Apa yang ada di dalam hati perlu diekspresikan dengan hati-hati. Ada banyak cara untuk mengungkapkan kemarahan. Setiap ungkapan kemarahan harus memperhatikan keadaan.

Paulus memilih untuk menyalurkan isi hatinya melalui dialog (ayat 17 dialegomai, LAI:TB “bertukar pendapat”). Dia melakukannya ini pada tempat yang tepat, yaitu synagoge (untuk orang-orang Yahudi) atau pasar (untuk orang-orang Yunani). Dua tempat ini memang menjadi salah satu tempat strategis untuk menyampaikan pendapat. Tidak heran, ajarannya dengan cepat menarik perhatian banyak orang. Dia pun dibawa ke sidang Areopagus (ayat 19-20), entah dalam rangka diadili atau sekadar diminta pendapatnya.

Paulus juga cermat dalam mengamati pendengarnya. Dia mengetahui dengan baik bahwa penduduk Atena memiliki keterbukaan terhadap berbagai ajaran (ayat 21). Sikap ini tidak lepas dari posisi Atena sebagai kota pengetahuan. Banyak filsuf ternama lahir atau berkarya di sana. Keterbukaan ini merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Atena.

2. Menghargai keyakinan orang lain (ayat 22-23)

Di awal khotbahnya, Paulus menyebut penduduk Atena sebagai orang-orang yang “sangat beribadah kepada dewa-dewa” (deisidaimōn, ayat 22). Kata ini bisa bermakna positif (“relijius”, RSV/NASB/NIV) atau negatif (“percaya takhayul”, KJV). Dalam hal ini yang menjadi penentu arti adalah konteks. Karena pernyataan ini diucapkan oleh Paulus di awal khotbahnya dan keseluruhan khotbah juga tidak terlalu menyerang keyakinan mereka, kita sebaiknya menhgambil makna yang lebih positif. Paulus memang mengapresiasi hasrat relijius mereka.

Penduduk Atena bukan hanya relijius. Mereka sangat relijius (NRSV “extremely religious”). Hal ini ditunjukkan bukan hanya melalui satu hal, tetapi “dalam segala hal”(kata panta). Kita tidak tahu persis hal-hal apa saja yang dilihat oleh Paulus dan membuat dia mengambil kesimpulan seperti itu. Yang jelas, salah satu bukti kualitas relijius mereka adalah keberadaan mezbah yang diperuntukkan bagi illah yang tidak dikenal (ayat 23).

Bagi penganut politeisme, keberadaan mezbah seperti ini sangat bisa dipahami. Pada prinsipnya mereka ingin menyembah semua dewa. Namun, mereka juga tidak mengetahui jumlah pasti dari semua dewa yang ada. Sebagai upaya berjaga-jaga—supaya tidak ada satu dewa pun yang terabaikan dan menjadi marah—mereka mempersembahkan mezbah kepada dewa itu.

Apa yang mereka sembah tanpa mengenal, itulah yang ingin dikenalkan Paulus kepada mereka. Bukan berarti Paulus dan mereka menyembah allah yang sama. Bukan berarti tidak ada perbedaan konsep antara keduanya. Dalam konteks “allah-allah yang tidak dikenal oleh penduduk Atena”, Allah yang disembah oleh Paulus jelas masuk dalam kategori itu.

Penghargaan seperti ini terbilang luar biasa. Paulus sendiri memahami bahwa apa yang disembah mereka sebenarnya bukan allah (Gal. 4:8). Lebih jauh lagi, objek penyembahan itu adalah roh-roh jahat (1Kor. 10:20-21). Bagaimanapun, di mata mereka, objek penyembahan adalah allah/dewa. Paulus hanya memulai dari sana sebagai titik awal penginjilan.

3. Menggunakan penalaran sebagai pijakan bersama (ayat 25-26)

Dalam bagian ini Paulus memulai dengan konsep tentang Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Dua hal ini juga diamini oleh orang-orang Yunani yang relijius. Terlepas dari berapa banyak allah yang mereka percayai, semua percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemelihara.

Yang ditekankan oleh Paulus adalah implikasi dari konsep di atas. Jika Allah adalah Pencipta, maka Dia tidak dapat dibatasi oleh tempat (ayat 25). Dia lebih besar daripada semua tempat. Bagaimana Pencipta langit dan bumi dapat dibatasi pada mezbah atau kuil tertentu buatan manusia? Poin ini sebenarnya berakar dari Perjanjian Lama (1Raj. 8:27), tetapi Paulus sengaja tidak menggunakan kitab suci. Pada poin ini, penalaran saja sudah memadai.

Jika Allah adalah Pemelihara alam semesta, maka Dia tidak membutuhkan apapun di luar diri-Nya (ayat 25). Dia benar-benar bebas dalam arti yang sesungguhnya. Tidak ada keharusan dan kebutuhan dalam diri-Nya. Tanpa apapun Dia tetap sempurna dan utuh, karena itu, Allah tidak membutuhkan pelayanan manusia (bdk. Rm. 11:33-35). Konsep yang sama diajarkan oleh para pemikir Yunani (Aristobulus, Euripides, Heracles). Bagaimana mungkin Allah membutuhkan manusia sedangkan manusia sendiri menggantungkan diri pada Allah untuk nafas dan segala sesuatu dalam hidup ini?

4. Memahami dan memanfaatkan ajaran pihak lain (ayat 26-29)

Allah adalah Pemelihara semua manusia (ayat 24-25). Bagaimana Dia menunjukkan pemeliharaan tersebut? Di ayat 26-29 Paulus menerangkan lebih jauh tentang salah satu wujud pemeliharaan Allah atas alam semesta, yaitu asal-usul dan keberlangsungan umat manusia di bumi ini.

Allah menjadikan semua bangsa dari satu orang saja (ayat 26a). Dia juga yang menentukan batas kediaman dan musim bagi mereka (ayat 26b). Tidak terlalu jelas apakah musim di sini merujuk pada sejarah politis masing-masing negara atau musim yang berkaitan dengan alam (musim panen, iklim, dsb.). Manapun yang benar, poin yang ingin disampaikan adalah keterlibatan Allah secara langsung dalam pemeliharaan segala bangsa (bandingkan dengan ayat 24-25 yang masih terkesan konseptual).

Allah memiliki maksud di balik keterlibatan yang langsung ini. Allah ingin menunjukkan bahwa Dia tidak jauh dari manusia (ayat 27b), sehingga manusia seyogyanya bisa menemukan Dia (ayat 27a). Seberapa dekatkah Allah dengan kita? Paulus, mengutip beberapa pujangga (filsuf/pemikir) Yunani, berkata: “sebab di dalam Dia kita hidup, kita ada, kita bergerak” (ayat 28). Ungkapan yang sangat mirip diucapkan oleh Seneca, salah seorang penulis Yunani kuno: “Allah itu dekat dengan engkau, bersama engkau, dan di dalam engkau”. Beberapa penulis kuno lain pun mengajarkan konsep yang sama (misalnya: Dio Chrysostom, Epimenidies).

Manusia bisa sedekat itu dengan Allah sebab manusia adalah keturunan Allah (ayat 28). Konsep ini tidak asing bagi penduduk Atena. Konsep ini seringkali dikaitkan dengan Aratus atau Cleanthes. Dalam pikiran pendengarnya, Paulus mungkin sedang membicarakan tentang Zeus sebagai cikal-bakal semua manusia.

Kutipan-kutipan ini menyiapkan landasan bagi kritikan Paulus terhadap penyembahan berhala. Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka dalam banyak hal manusia mencerminkan Allah. Jikalau manusia bukan hanya terdiri dari aspek-aspek jasmaniah, apalagi Tuhan (ayat 29). Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka Allah pasti lebih besar daripada yang bisa dilakukan oleh manusia (mezbah, patung, kuil, dsb.).

5. Menjelaskan keunikan kekristenan (ayat 30-31)

Kritikan terhadap keyakinan penduduk Atena (ayat 22-29) bermanfaat untuk membuktikan bahwa semua manusia bersalah (ayat 30). Rasio menunjukkan betapa salahnya penyembahan berhala. Allah tidak boleh dan tidak dapat dibatasi oleh mezbah, kuil, atau patung. Keteraturan alam menyingkapkan bahwa Allah sebenarnya tidak jauh. Tetapi, mengapa manusia tidak mampu menemukan Dia? Kesalahan ini lebih ke arah kebebalan daripada kebodohan.

Jikalau manusia memang melakukan kesalahan, maka hukuman patut diberikan. Itu adalah keadilan. Pertanyaannya, apakah dengan memberikan hukuman maka kegagalan itu dapat diselesaikan? Tentu saja tidak! Pasti ada cara dan solusi lain.

Manusia memang gagal menemukan Allah, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Allah gagal untuk ditemukan. Sesudah membiarkan periode kebebalan cukup lama, Allah berintervensi langsung ke dalam sejarah (ayat 31). Allah menjadi manusia untuk menanggung kesalahan dan menggantikan kegagalan manusia. Kematian-Nya menyelesaikan persoalan dosa. Namun, upah dosa belum sepenuhnya dibereskan. Kebangkitan-Nya dari antara orang mati membuktikan bahwa upah dosa sudah diselesaikan.

Poin yang ingin ditegaskan Paulus di ayat 31 sangat mungkin terletak pada kebangkitan tubuh. Konsep ini sangat ditentang dalam budaya Yunani, karena tubuh dianggap jahat atau tidak sempurna. Melalui kebangkitan tubuh di dalam Kristus, aspek jasmaniah dan rohaniah manusia dipuaskan. Tubuh tidak sepenuhnya jahat dan tidak selamanya lemah. Tubuh tidak selalu menjadi penjara bagi jiwa-roh.

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang Penulis:
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Belajar Penginjilan dari Petrus (Pengajaran dari 1 Petrus 3:15-16)

“Sebagian orang berpikir bahwa membela kebenaran itu cuma melibatkan aspek substansi dan strategi. Materi dikuasai dan metode diikuti. Yang dipentingkan hanya pengetahuan yang mendalam dan pendekatan yang relevan.

Tanpa bermaksud meremehkan penguasaan materi dan manfaat suatu metode, kita perlu menegaskan bawa membela kebenaran membutuhkan lebih daripada dua hal itu.”

Ketika Rasa Takut Merasuk

Minggu, 25 November 2012

Ketika Rasa Takut Merasuk

Baca: Mazmur 56

Waktu aku takut, aku ini percaya kepada [Allah]. —Mazmur 56:4

Ketika putri saya berteriak, “Ibu, ada binatang!” Saya melihat ke arah yang ditunjuknya dan melihat seekor laba-laba terbesar yang pernah saya lihat, di luar dari yang dijual di toko hewan. Baik laba-laba itu dan saya tahu bahwa ia tidak boleh tinggal di dalam rumah kami. Namun, ketika saya berhadapan dengan binatang itu, saya tidak dapat maju selangkah pun untuk mendekat dan mengakhiri situasi yang menegangkan ini. Jantung saya berdetak kencang. Saya menelan ludah dan mencoba memberanikan diri. Namun tetap saja, ketakutan membuat saya tidak dapat bergerak.

Rasa takut memang berpengaruh kuat dan dapat membuat seseorang kehilangan logika berpikirnya dan membuahkan tindakan yang tidak masuk akal. Syukurlah, orang Kristen tidak perlu membiarkan rasa takut terhadap apa pun—baik orang, situasi, atau bahkan laba-laba—menguasai tindakan mereka. Kita dapat menyatakan, ”Waktu aku takut, aku percaya kepada [Allah]” (Mzm. 56:4).

Mengambil sikap melawan rasa takut seperti ini memang sejalan dengan perintah Alkitab yang berkata, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Ams. 3:5). Pengertian kita sendiri dapat membuat kita membesar-besarkan objek ketakutan kita dan mengecilkan kekuatan Allah. Ketika takut, kita dapat bergantung kepada pengertian dari Allah (Yes. 40:28) dan percaya pada kasih-Nya bagi kita yang “melenyapkan ketakutan” (1 Yoh. 4:18). Pada saat rasa takut merasuki hidup Anda, janganlah panik. Allah dapat dipercaya di tengah kegelapan. —JBS

Dalam tangan-Nya kuserahkan rasa takut yang menghantuiku,
Takut pada derita masa depan yang mungkin menimpa;
Dalam tangan-Nya kuserahkan keraguan yang mengusikku,
Dengan percaya penuh kepada-Nya aku tenang teduh. —Christiansen

Mempercayai kesetiaan Allah mengusir ketakutan kita.

Kisah Romansa

Selasa, 6 November 2012

Kisah Romansa

Baca: Rut 3:1-11

“Pada Naomi telah lahir seorang anak laki-laki”; lalu mereka menyebutkan namanya Obed. Dialah ayah Isai, ayah Daud. —Rut 4:17

Para janda dalam Alkitab sering kali hidup dalam kemiskinan. Itulah keadaan yang dialami Rut dan ibu mertuanya, Naomi, setelah mereka kehilangan suami mereka masing-masing. Namun Allah memiliki rencana untuk menyelamatkan mereka sambil melibatkan Rut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah rencana yang jauh lebih besar.

Boas, seorang pemilik tanah yang kaya raya, mengenali dan mengagumi Rut (Rut 2:5-12), tetapi ia terkejut ketika suatu malam ia terbangun dan menemukan Rut sedang berbaring di sebelah kakinya (3:8). Rut meminta Boas untuk “mengembangkan sayap” dari pakaiannya sebagai pernyataan bahwa sebagai kerabat dekat, Boas bersedia untuk menjadi penebusnya—“seorang kaum yang wajib menebus kami” (ay.9). Lebih dari sekadar memohon untuk dilindungi, Rut bermaksud meminta Boas untuk menikahinya. Boas pun setuju (ay.11-13; 4:13).

Mungkin ini bukan kisah romansa yang umumnya Anda baca. Namun keputusan Rut untuk mengikuti petunjuk Naomi (3:3-6) mengawali serangkaian peristiwa yang menempatkan Rut dalam rencana penebusan Allah! Pernikahan Rut dengan Boas melahirkan seorang putra, Obed, yang merupakan kakek dari Raja Daud (4:17). Beberapa generasi berikutnya, Yusuf lahir dalam silsilah keluarga itu, dan ia menjadi “ayah yang sah” dari anak Maria (Mat. 1:16-17; Luk. 2:4-5), yaitu Penebus kita, Yesus.

Rut mempercayai Allah dan mengikuti petunjuk Naomi meski hasil akhirnya masih belum pasti. Kita juga dapat mengandalkan Allah untuk memelihara kita ketika hidup ini tidak memberi kepastian. —CHK

Tuhan, beri kami kerendahan hati dan kepekaan untuk mendengar
nasihat dari orang-orang yang kami kasihi, yang juga mengenal-Mu.
Tunjukkanlah hal yang sepatutnya kami lakukan di masa-masa yang
tak pasti dan untuk mempercayai-Mu untuk hasil akhirnya. Amin.

Ketakutan menghalangi iman, tetapi kepercayaan menumbuhkan keyakinan.

Titanic II

Sabtu, 27 Oktober 2012

Titanic II

Baca: Yeremia 17:5-10

Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan! —Yeremia 17:5

Mark Wilkinson membeli sebuah kapal yang panjangnya 4,8 meter untuk aktivitas memancing dan rekreasi. Tampaknya ia bukan orang yang percaya takhayul, karena ia menamai kapalnya Titanic II, sama seperti nama kapal mewah malang yang menabrak gunung es dan tenggelam pada tahun 1912. Awalnya pelayaran perdana Titanic II dari pelabuhan di Dorset, Inggris, berjalan lancar. Namun ketika Wilkinson menempuh perjalanan pulang, kapalnya mulai kemasukan air. Tak lama kemudian ia ditemukan sedang berpegang erat pada sebuah tiang sambil menanti pertolongan. Konon Wilkinson berkata, “Betapa memalukannya, dan saya agak kesal dengan orang yang bertanya apakah saya telah menabrak gunung es.” Masih ditambah cerita dari seorang saksi mata yang mengatakan, “Itu bukan kapal yang sangat besar—kupikir sebutir es batu pun bisa menenggelamkannya!”

Kisah Titanic II ini cukup ironis. Namun ini juga membuat saya berpikir tentang Titanic yang asli dan bahaya dari keyakinan yang salah tempat. Para pembuat kapal lintas lautan itu merasa sangat yakin jika kapal yang mereka bangun tidak dapat tenggelam. Namun betapa salahnya keyakinan mereka! Yeremia mengingatkan kita: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan!” (Yer. 17:5).

Kita semua tergoda untuk mencari rasa aman kita pada sesama manusia atau materi. Betapa seringnya kita perlu diingatkan kembali untuk mengabaikan keyakinan yang salah tersebut dan datang kembali kepada Allah. Apakah Anda mengandalkan sesuatu yang lain selain Allah? —HDF

Saat kami mengandalkan-Mu, Tuhan,
Kami akan seperti pohon yang tumbuh
Di tepi air yang mengalir,
Menghasilkan buah dan berdiri teguh. —Sper

Orang yang mengandalkan Allah tidak akan pernah dikecewakan.

Masih Di Tangan Allah

Selasa, 9 Oktober 2012

Masih Di Tangan Allah

Baca: Ayub 1:13-22

Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut. —Ayub 1:22

Pada tahun pertama di seminari, seorang teman baru saya menceritakan kisah hidupnya kepada saya. Setelah ditinggalkan suaminya, ia membesarkan dua anak yang masih kecil seorang diri. Dengan penghasilan yang hanya sedikit di atas upah minimum, ia mengalami kesulitan untuk keluar dari jerat kemiskinan dan lingkungan yang berbahaya.

Sebagai seorang ayah, saya tersentuh oleh perhatiannya untuk anak-anaknya. Saya bertanya, “Bagaimana cara Anda menangani semua ini?” Ia terkejut dengan pertanyaan saya dan menjawab, “Kami melakukan semua yang bisa kami lakukan, dan saya harus menyerahkan semua itu ke tangan Allah.” Kepercayaan wanita ini kepada Allah di tengah berbagai pencobaan mengingatkan saya pada kepercayaan Ayub (1:6-22).

Setahun kemudian, wanita itu menelepon dan bertanya apakah saya dapat mendampinginya di rumah duka. Putranya tewas terkena peluru nyasar. Saya meminta Allah memberikan kepada saya kata-kata yang dapat menghiburnya dan meminta hikmat untuk tidak berusaha menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan.

Namun ketika mendampinginya pada hari itu, saya mengagumi sikapnya yang terus memberikan penghiburan kepada orang lain dan pada keyakinannya kepada Allah yang tak tergoyahkan oleh peristiwa yang menyedihkan ini. Sebelum kami berpisah, ia mengucapkan perkataan yang menjadi suatu pengingat yang menyentuh tentang kedalaman imannya: “Putra saya masih di tangan Allah.” Seperti Ayub, wanita ini “tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (ay.22).

Kita juga dapat membangun suatu iman yang tak tergoyahkan dengan cara berjalan bersama Tuhan setiap hari. —RKK

Indahnya damai yang kutemukan di dalam Yesus,
Damai yang tak terguncangkan kuasa apa pun,
Damai yang menjadikan Tuhan begitu berharga,
Damai yang tak terenggut oleh seorang pun. —Beck

Tak ada yang dapat menggoyahkan mereka yang aman di tangan Allah.

Tak Terduga Dan Tak Dikehendaki

Kamis, 7 Juni 2012

Tak Terduga Dan Tak Dikehendaki

Baca: Yakobus 4:13-17

Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” —Yakobus 4:15

Hidup ini penuh dengan kejutan— beberapa diantaranya membawa hidup ke arah yang tidak diinginkan. Saya masih ingat kerasnya badai yang menghantam keluarga kami beberapa dekade yang lalu ketika ayah saya kehilangan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Dengan rumah tangga dan anak-anak yang bergantung pada penghasilannya, itu adalah kenyataan pahit yang harus kami telan. Namun sebagaimana kehilangan pekerjaan itu tak terduga dan tak dikehendakinya, Ayah tetap yakin dapat mempercayakan masa depan kepada Allah.

Sebagai pengikut Yesus, kita harus mengakui bahwa ada hal-hal dalam hidup yang, saya sebut, “tak terduga dan tak dikehendaki”. Untuk membantu kita pada masa-masa itu, Yakobus 4:13-15 memberikan nasihat ini: “Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung; sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok . . . Sebenarnya kamu harus berkata: ‘Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.’” Tulisan Yakobus ini ditujukan kepada orang-orang yang sedang membuat rencana tanpa mengindahkan hak istimewa Allah untuk mengarahkan hidup mereka.

Apakah salah merencanakan masa depan? Tentu saja tidak. Namun, tidaklah bijaksana untuk melupakan bahwa Allah mungkin mengizinkan terjadinya sejumlah peristiwa yang “tak terduga dan tak dikehendaki” tetapi yang dipandang-Nya baik. Pada akhirnya, semua itu adalah demi kebaikan kita—bahkan ketika hal tersebut sulit kita pahami. Kita harus mempercayai Allah dan rencana-Nya bagi masa depan kita. —WEC

Ku tahu siapa yang pimpin
Hari depan hidupku
Semuanya oleh Tuhan
Terencana sempurna. —A. Smith
(Buku Lagu Perkantas, No. 354)

Kita mungkin tak tahu jalan di hadapan kita, tetapi kita dapat mempercayai Dia yang memimpin hari depan.