Posts

Sesegera Mungkin, Buatlah Rencana Keuanganmu!

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Tahun 2020 sudah memasuki bulan kedua, tapi rasanya belumlah terlambat untuk bicara soal resolusi.

Dalam peribadatan tutup tahun serta awal tahun, gereja pun kerap menyuarakan pentingnya membuat resolusi. Namun, sadar atau tidak, gereja cenderung menekankan agar umat Kristen memiliki resolusi yang berfokus pada ritual peribadatan Kristiani. Contohnya, umat Kristen harus baca Alkitab setahun penuh di tahun yang baru, harus ikut satu pelayanan, dan lain-lain.

Tentu bukan hal yang salah untuk mengingatkan ritual yang terjadi dalam “altar,” tetapi gereja juga tidak boleh abai pada hal yang terjadi di “latar,” yaitu hal-hal yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, ada beberapa gereja yang merasa mendiskusikan seks, relasi, dan uang, adalah hal yang tabu. Padahal, nyatanya manusia kerap menghadapi permasalahan pada tiga topik tersebut.

Bicara soal uang, apakah kamu sudah melakukan perencanaan finansialmu sepanjang tahun ini?

Pentingnya apa sih?

Sebagai pelajar maupun pekerja, kita mungkin pernah atau kerap mengalami kondisi bangkrut—kondisi di mana kita kehilangan financial resources, alias bokek. Pada akhir bulan, biasanya orang tua kita mengirimkan uang bulanan, atau para pekerja mendapatkan gaji, tapi tak berselang lama, minggu kedua di bulan berikutnya isi dompet menipis. Dan ketika uang habis, mungkin ada dari kita yang ikut kegiatan gereja yang ada makan-makannya, ikut doa puasa (yang mungkin landasannya bukanlah pertobatan), kita pun minta uang ke orang tua, dan yang paling buruk ialah berutang kepada teman atau lewat pinjaman online.

Bukankah pengaturan keuangan yang buruk bisa mengindikasikan bahwa kita belum bertanggung jawab atas berkat materiil yang Tuhan titipkan bagi kita?

Perumpamaan tentang talenta, dalam Matius 25:14-30 maupun perumpamaan tentang uang Mina dalam Lukas 19:12-27 bisa menjadi asumsi bahwa Tuhan menuntut kita untuk bertanggung jawab atas hal-hal yang Dia titipkan pada kita. Talenta dan Mina, dalam beberapa perspektif teologi dapat diartikan sebagai karunia Roh, soft skill di mana Tuhan ingin menghasilkan jiwa-jiwa baru yang percaya pada-Nya. Namun, berkat materiil juga merupakan berkat yang tak bisa diabaikan, karena perihal keuangan juga berdampak langsung dalam kehidupan di masa kini. Maka, seharusnyalah seorang pelajar mampu mengelola kiriman bulanan yang dikirim oleh orang tua; begitu pun seorang pekerja harus mampu mengelola pendapatan yang dia terima.

Tantangan yang kita hadapi dalam mempertanggungjawabkan berkat materiil adalah gaya hidup masa kini yang impulsif dan konsumtif. Kita bisa membeli banyak hal lewat ragam aplikasi di gawai, mulai dari makanan, pakaian, barang elektronik, dan banyak lainnya. Hal-hal yang awalnya tidak terlalu diinginkan lambat laun jadi kebutuhan. Semisal harus beli boba atau kopi tiap hari. Fasilitas kredit pun makin mudah kita dapatkan, baik pinjaman kredit online maupun fitur pay later.

Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa merancang kehidupan finansial dengan baik?

Kuncinya adalah mencatat, agar kita bisa mengukur dan menghitung pengeluaran serta pendapatan dengan tepat. Kita bisa mendapatkan banyak aplikasi maupun program perihal merancang finansial di gawai kita. Kita juga bisa melakukannya dengan secarik kertas, yang dibagi menjadi dua kolom. Sisi kiri untuk pemasukan, sisi kanan untuk menulis pengeluaran. Dalam proses penulisan tersebut, kita bisa mulai dengan mengurutkan informasi nominal yang pasti dan stabil dari yang paling atas. Contohnya, pada sisi kiri, kita mencatat pemasukan berupa kiriman dari orang tua, gaji bulanan, atau pendapatan lainnya yang bersifat stabil; dan di bawahnya kita bisa melanjutkan dengan pemasukan yang fluktuatif, seperti hasil dari kerja sambilan.

Hal yang sama juga bisa diterapkan pada sisi kanan, untuk menuliskan pengeluaran. Dari atas kita menuliskan pengeluaran yang sifatnya wajib dan pasti, misal bayar uang kuliah, bayar uang kos, persepuluhan, bayar cicilan. Pada bagian bawahnya kita bisa mencatat pengeluaran yang sifatnya alokasi seperti kebutuhan pengembangan diri, kebutuhan entertainment. Kita pun bisa melanjutkan dengan menulis pengeluaran untuk biaya saving yang dialokasikan untuk investasi dan tabungan.

Tentu secara teoritis tampaknya mudah, tapi perlu usaha keras untuk mempraktikkan pencatatan keuangan ini. Sebagai umat Kristen, kita perlu melandasi perancangan finansial dengan pemahaman bahwa melalui harta tersebut, kita dapat memuliakan nama Tuhan, seperti tertulis dalam Amsal 3:9, “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu.”

Dalam usaha memuliakan Tuhan melalui berkat materiil yang kita miliki, tentunya dengan perencanaan yang matang pula, seperti tertulis dalam Lukas 14:28, “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuh menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?”

Selamat menikmati 2020 dengan resolusi finansial yang baik, kawan!

*Tulisan ini diadaptasi dari wawancara dengan Fenny Sutandi, seorang bankir dan Certified Financial Planner. Dapat didengarkan melalui podcast di sini.

Baca Juga:

Nafsu dalam Pacaran: Dosa Terselubung yang Tidak Kita Bicarakan

Selama masa-masa pacaran, kami bergumul dengan dosa yang amat kami sesali. Hanya teman yang paling dekat dan pemimpin di gereja kami yang tahu akan dosa itu: hawa nafsu. Ketika akhirnya kami mengalami konsekuensi dosa, barulah kami sadar dan bertekad untuk berbalik.

Aku Menemukan Kepuasan di Tengah Keterbatasan Keuangan

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Found Contentment In My Financial Limitation
Foto oleh Andrew Koay dan Joyce Lim

Di suatu hari Minggu di gereja, keponakanku yang berumur lima tahun dan keluarganya duduk di barisan kursi di depanku. Tiba-tiba, dia berbalik dan bertanya polos, “Tante Agnes, hari ini kamu ke gereja naik apa?”

Aku menjawabnya pelan, “Naik kereta.”

“Kenapa Tante tidak punya mobil? Papaku punya.”

Pertanyaan itu menyentakku. Apakah aku akan bilang kalau aku tidak mampu membeli mobil?

Aku tidak mau terkesan miskin, jadi akhirnya aku menjawab lagi, “Mobil itu bukan satu-satunya alat transportasi kok.” Aku tidak yakin apakah keponakanku mengerti, lalu ibunya menyuruhnya diam dan dia pun kembali mengikuti kebaktian.

Pertanyaan tentang mobil itu menggantung di benakku. Sekalipun memiliki mobil bisa membuat keluargaku lebih mudah dan nyaman kalau pergi tamasya—terutama dengan putra kecilku—suamiku dan aku tidak mampu membeli mobil itu.

Selama beberapa waktu, aku membenci fakta bahwa baik aku dan suamiku hanyalah pekerja yang mendapatkan gaji rata-rata, penghasilan kami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap bulan. Itu tidak adil. Mengapa Tuhan menahan kami dari kebebasan finansial dan hal-hal baik lainnya? Bukankah Dia berkata bahwa Dia akan memberikan yang baik (Matius 7:11) dan apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4)?

Namun, seiring aku semakin mengenal Tuhan lebih baik, aku menyadari bahwa sesungguhnya Tuhanlah harta terbesar yang pernah kumiliki. Aku lebih memilih untuk kehilangan semua kekayaan duniawiku daripada kehilangan pandanganku akan Tuhan dan keselamatan daripada-Nya.

Penghiburan Tuhan jauh lebih berharga daripada kekayaan

Ketika aku masih mudah dan lajang, aku menikmati kebebasan finansial. Aku suka berbelanja dan makan makanan enak. Kapan pun aku merasa stres karena bekerja, hal-hal itulah yang aku raih untuk mengalihkanku dari masalah-masalahku. Kupikir aku telah mengatasi masalahku dengan baik, dan setelah sedikit bersenang-senang, untuk sementara aku akan merasa lebih baik lalu aku pun melanjutkan hidupku.

Meskipun aku datang ke gereja, aku tidak membuka Alkitab untuk mencari penghiburan. Mungkin memiliki kebebasan finansial dan hidup nyaman membuatku merasa puas. Mungkin hatiku terlalu keras untuk mengizinkan firman Tuhan bertumbuh dalamku dan menolongku dewasa dalam iman. Seperti benih yang jatuh di antara semak berduri dalam perumpamaan tentang seorang penabur, hatiku terhimpit oleh kekhawatiran dunia (Matius 13:22).

Tapi empat tahun lalu, aku mengalami masa-masa yang berat dalam pernikahanku. Berbelanja, makan makanan enak, dan berapa pun jumlah uang tidak dapat menyelesaikan pertengkaran keluarga kami. Aku tidak bisa melihat jalan keluar. Di titik inilah kemudian Tuhan mengarahkanku kembali kepada firman-Nya.

Meskipun situasiku memburuk hari lepas hari, aku menemukan penghiburan dan damai dalam firman Tuhan bahkan saat aku sudah merasa tak berdaya lagi. Aku sadar bahwa Tuhan adalah yang sesungguhnya aku butuhkan. Seiring aku menanti dan meletakkan harapanku pada Tuhan, Dia menolongku dan suamiku untuk mengatasi masalah pernikahan kami.

Semangatku kepada Tuhan terus bertumbuh dan aku semakin rajin membaca Alkitab. Cara pandangku mengenai kekayaan pun mulai berubah. Aku tidak lagi melihatnya sebagai jawaban atas masalahku. Aku sadar bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber penghiburanku di saat-saat sulit. Oleh karena itu, aku bisa merasa puas dalam segala situasi, entah itu kaya atau miskin, karena keselamatanku tidak bergantung pada kekayaanku.

Namun, setelah aku dan suamiku berdamai, aku harus berkontribusi lebih untuk menanggung pengeluaran keluarga, dan kami pun lebih ketat dalam mengatur keuangan. Persembahan persepuluhan jadi sesuatu yang menguji iman kami, tapi Tuhan terus menunjukkan pemeliharaan dan anugerah-Nya. Dan yang paling penting, Tuhan mengajariku apa artinya berjalan dengan iman percaya dan bukan dengan pandangan sendiri (2 Korintus 5:7).

Terlepas dari pendapatan kami, kami punya tanggung jawab untuk mengelola keuangan kami dengan baik. Ketika aku masih sekolah, aku pernah diminta untuk menggalang dana untuk sebuah organisasi amal. Waktu itu aku belum jadi orang percaya, tapi aku memberikan sejumlah uang dari uang sakuku karena aku ingin menyenangkan guruku. Setelah itu, hatiku sakit karena uang yang kuberikan itu seharusnya bisa kugunakan untuk membeli sesuatu buat diriku. Meski aku bisa memberikan sejumlah uang, hatiku tidak tulus.

Hidup dalam kepuasan

Sekarang aku telah menjadi orang Kristen dan jauh lebih mengerti tentang apa artinya memberi untuk Tuhan. Aku tertantang untuk memberi lebih banyak lagi dan dengan hati yang tulus. Seperti yang tertulis dalam Matius 19:28-30, jika kita menanggalkan segala kenyamanan duniawi untuk mengikut Tuhan, kemudian pada hari di mana segalanya diciptakan baru, kita akan mendapatkan lebih banyak dan mewarisi kehidupan yang kekal. Inilah yang mengingatkanku untuk tidak hanya mencari kenyamanan yang sementara, tetapi untuk hidup dan memberi dengan perspektif kekekalan.

Tapi, selama aku aku masih tinggal di bumi ini, aku tidak terhindar dari godaan. Ketika aku melihat orang lain bisa membeli apapun yang mereka mau, aku masih bisa merasa sedikit iri. Karena aku bekerja di pusat bisnis, aku sering melihat orang-orang mengendarai mobil-mobil mewah. Kadang aku berharap bisa jadi seperti mereka. Tapi, ketika aku menyerahkan segala keinginanku pada Tuhan, aku sadar bahwa rencana-Nya untuk masing-masing kita itu berbeda. Dia membuat beberapa orang kaya, dan beberapa lainnya mendapat penghasilan rata-rata sepertiku. Tapi, terlepas dari status keuangan kita, selama kita memilih untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, Tuhan memanggil kita sebagai anak-anak-Nya.

Ketika aku mengetahui hal ini, aku merasa puas dengan keuanganku yang terbatas. Seperti Paulus, aku tahu rahasia untuk merasa puas dalam setiap situasi, entah itu dalam saat-saat kenyang atau lapar (Filipi 4:12). Aku dapat selalu bersyukur pada Tuhan karena Dia selalu memelihara dan memenuhi semua yang kubutuhkan (Matius 6:26).

Baca Juga:

Nenekku dan perempuan Nepal

Ketika berada di Nepal dulu, seorang perempuan mengatakan padaku dan temanku bahwa dia akan percaya Yesus kalau dia tidak perlu bekerja lagi. Waktu itu aku tak tahu harus menjawab apa, tapi kini, melalui teladan nenekku aku tahu bagaimana seharusnya aku merespons perempuan Nepal itu.

4 Tipe Pengguna Uang—Kamu Termasuk yang Mana?

Penulis: Ivan Kwananda Pangestu
Adaptasi dalam Bahasa Inggris: What Type of Spender Are You?

What-type-of-spender-are-you

Saya termasuk orang yang sangat irit soal uang. Saya tumbuh besar dalam keluarga yang pas-pasan secara ekonomi. Saya harus sangat disiplin menyimpan uang agar bisa membayar biaya sekolah. Uang menjadi sangat penting untuk memberi saya rasa aman dalam hidup ini.

Namun, melalui berbagai peristiwa, saya belajar bahwa uang bukanlah segala-galanya. Tuhan menunjukkan kepada saya bahwa yang memelihara hidup saya sesungguhnya bukanlah kemampuan saya menyimpan uang. Tuhanlah yang memelihara hidup saya—saya harus bergantung kepada-Nya, bukan kepada uang! Saya mulai belajar untuk melihat uang bukan sebagai penyelamat hidup saya, tetapi sebagai harta yang dipercayakan Tuhan untuk saya gunakan secara bijaksana. Beberapa tahun terakhir, saya mulai menjalankan “proyek memberi” di hari-hari khusus seperti Imlek, Valentine, dan Natal, untuk melatih diri saya dalam hal memberi. Saya menyiapkan beberapa amplop yang diisi dengan uang untuk saya berikan kepada orang yang membutuhkan.

Setiap kita tentu memiliki cara dan kebiasaan yang berbeda-beda dalam menggunakan uang. Biasanya hal ini dipengaruhi oleh kepribadian kita, nilai-nilai yang kita pegang, juga pola penggunaan uang yang ada dalam keluarga kita.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan, termasuk apa yang ada di dompet dan rekening tabungan kita (Mazmur 24:1). Dia menghendaki kita menjadi hamba yang baik dan setia dalam mengelola apa yang dipercayakan-Nya di tangan kita (Matius 25:21). Suatu hari kelak, Tuhan kita, Pemilik dari segala sesuatu, akan datang dan meminta pertanggungjawaban atas penggunaan sumber-sumber daya yang ada pada kita.

Untuk memuliakan Tuhan dengan harta kita (Amsal 3:9), saya mendorong kita semua untuk mulai dari hal yang sederhana: memperhatikan kebiasaan kita dalam menggunakan uang. Mengenali kekuatan dan kelemahan kita akan sangat menolong kita untuk menjadi pengelola yang baik dari apa yang Tuhan percayakan di tangan kita. Dengan sedikit bekal yang saya dapatkan saat kuliah manajemen keuangan, saya ingin membagikan beberapa saran praktis untuk 4 tipe pengguna uang yang sering saya jumpai.

1. Pemberi yang Murah Hati

Ini tipe orang yang suka menggunakan uang mereka untuk orang lain. Ia bahagia ketika uangnya bisa membuat orang lain tersenyum dan bersukacita. Ia suka mentraktir temannya, membelikan hadiah, serta berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan. Kebahagiaan orang lain membuatnya dua kali lebih bahagia.

Kekuatan: Murah hati adalah kualitas yang indah. Alkitab sendiri mengajar kita untuk murah hati, sama seperti Bapa kita yang murah hati (Lukas 6:36, Amsal 22:9, 2 Korintus 9:6; 1 Timotius 6:18). Pemberi yang murah hati dapat leluasa dipakai Tuhan menjadi jawaban doa bagi sesama yang membutuhkan, menolong orang lain merasa dihargai dan dikasihi di tengah dunia yang makin individualis.

Kelemahan: Karena mudah tergerak dengan kebutuhan orang lain, para pemberi yang murah hati seringkali kurang perhitungan dalam mengelola keuangannya. Mereka kesulitan untuk menabung secara teratur dan konsisten. Pemberi yang murah hati juga cenderung mudah frustrasi bahkan merasa bersalah bila tidak bisa memberi bagi orang lain. Akibatnya mereka bisa saja dimanfaatkan orang lain. Dalam kasus ekstrim, mereka bisa saja mengorbankan kebutuhan pribadi atau keluarga demi membantu orang lain yang membutuhkan.

Saran: Para pemberi yang murah hati perlu belajar membuat perencanaan keuangan yang lebih baik. Buatlah pos-pos pengeluaran yang spesifik, terutama untuk hal-hal yang rutin dan menjadi prioritas (misalnya untuk perpuluhan, persembahan, tabungan), dan latihlah diri untuk disiplin dalam melakukan apa yang sudah direncanakan. Jumlah yang lebih besar bisa dialokasikan untuk pos “pemberian”, namun ingatlah juga mengalokasikan jumlah yang cukup untuk ditabung (tabunglah minimal 10-20% dari total pemasukan). Dengan berdisiplin dalam perencanaan keuangan, para pemberi yang murah hati nantinya akan menemukan keleluasaan memberi yang lebih besar dan lebih membawa dampak bagi orang lain.

Para pemberi yang murah hati juga perlu memiliki kerendahan hati untuk mengakui keterbatasannya dan tidak memaksakan diri membantu orang lain secara finansial ketika situasinya memang tidak memungkinkan. Berdoalah, mohon Roh Kudus memberi kita kepekaan untuk dapat memberi dengan bijaksana, tidak asal memberi setiap kali kita merasa ingin melakukannya (Amsal 19:2-3).

2. Penyimpan yang Andal

Ini tipe orang yang sangat berhati-hati dan penuh perhitungan dalam menggunakan uang, bahkan bisa dibilang cenderung pelit (contohnya saya sendiri). Bagi mereka, setiap rupiah sangat berharga. Dengan cermat ia akan menyediakan uang dalam berbagai pecahan agar selalu bisa membayar dengan uang pas (tidak ada kesempatan bagi kasir untuk memintanya mendonasikan uang kembalian saat belanja).

Kekuatan: Tipe orang ini merencanakan penggunaan uangnya dengan cermat. Mereka bisa menyimpan uang dengan sangat baik. Sangat cocok mengambil peran sebagai bendahara organisasi untuk memastikan uang yang masuk tidak disalahgunakan.

Kelemahan: Penyimpan yang andal biasanya dianggap sebagai orang yang egois dan agak berlebihan dalam mengantisipasi kebutuhan. Jika tidak hati-hati, uang bisa menjadi berhala karena para penyimpan yang andal ini memberi nilai yang terlalu tinggi pada uang. Tipe ini sukar untuk memberi bagi orang lain, meskipun kebutuhan orang itu tampak jelas di depan mata.

Saran: Para penyimpan yang andal perlu melatih diri untuk memberi, karena Tuhan sendiri tidak menghendaki kita menutup mata terhadap mereka yang membutuhkan (Amsal 14:31; 28:27). Bersyukurlah atas apa yang dimiliki dan mulailah belajar memberi dengan tulus kepada orang-orang di sekitar kita (bisa mulai dengan jumlah yang kecil dulu). Ibrani 13:5 adalah bagian firman Tuhan yang perlu selalu diingat para penyimpan yang andal: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

3. Pembelanja yang Impulsif

Tipe berikutnya adalah orang-orang yang menggunakan uangnya secara impulsif. Artinya, cepat mengeluarkan uang sesuai dorongan hati, tidak ada perencanaan dan perhitungan yang matang. Ia sangat gampang berespons terhadap iklan, diskon, dan label bertuliskan “harga khusus”. Pembelian barang atau jasa yang ia lakukan lebih banyak dipicu oleh keinginan bukan kebutuhan.

Kekuatan: Pembelanja yang impulsif adalah orang-orang yang suka menikmati hidup. Mereka teman yang selalu asyik untuk diajak bersenang-senang (belanja, wisata kuliner, dan sebagainya). Mereka tidak menahan-nahan berkat yang mereka terima, berusaha memaksimalkan setiap kesempatan yang ada. Mereka bisa menjadi sumber informasi yang baik tentang tempat-tempat makan atau belanja yang sedang diskon.

Kelemahan: Berapa pun pendapatan yang dimiliki, biasanya di akhir bulan akan habis atau sedikit tersisa. Para pembelanja yang impulsif kurang memiliki proyeksi penggunaan uang jangka panjang. Mereka sangat mudah terjerat utang, apalagi bila memiliki fasilitas yang memudahkan mereka menggunakan uang seperti kartu kredit atau pinjaman lunak.

Saran: Para pembelanja yang impulsif harus melatih diri untuk membedakan yang namanya kebutuhan dan keinginan. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku benar-benar memerlukannya ataukah ini sebuah keinginan saja?” Bila sedang tidak ada kebutuhan penting, sebaiknya tidak jalan-jalan di area perbelanjaan, apalagi yang memajang label “harga khusus”, agar tidak tergoda untuk membeli hal yang tidak perlu. Buatlah daftar belanja yang terperinci sebelum pergi ke toko, dan tahan diri untuk tidak membeli barang-barang di luar daftar tersebut sekalipun harganya sedang murah. Ingatlah peringatan yang diberikan firman Tuhan, “Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang yang bebal memboroskannya” (Amsal 21:20).

4. Pengelola yang Hati-Hati

Ini tipe orang yang berhati-hati, selalu menghitung untung rugi sebelum menggunakan uang sesuai dengan situasi yang mereka hadapi. Biasanya mereka tahu bagaimana menggunakan uang pada waktu yang tepat untuk tujuan yang tepat, memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Kekuatan: Tidak ada uang yang digunakan sia-sia, setiap pengeluaran selalu diatur seefisien mungkin. Pengelola yang hati-hati biasanya akan banyak dihormati orang dan dimintai nasihat dalam hal keuangan.

Kelemahan: Orang yang cakap mengatur uang bisa menjadi manipulatif dan tidak tulus dalam memberi. Mereka ingin agar setiap penggunaan uang terukur hasilnya. Memberi untuk sesuatu yang belum jelas hasilnya (misalnya untuk pekerjaan misi, perintisan jemaat) adalah hal yang sulit mereka lakukan.

Saran: Pengelola yang hati-hati perlu belajar menumbuhkan empati kepada sesama. Latihlah diri memberi kepada orang yang tidak dikenal (misalnya: memberi tip kepada pelayan atau petugas keamanan di pertokoan, membayarkan uang bis untuk lansia yang bepergian sendiri), mereka yang tidak akan punya kesempatan membalas kebaikan itu. Mulailah berdoa dan memberi untuk pekerjaan misi sekalipun kita tidak bisa melihat hasilnya dalam jangka waktu yang pendek. Ingatlah apa yang diajarkan Yesus dalam Lukas 14:13-14, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”

Kiranya setiap penggunaan uang kita dapat memuliakan Tuhan dan menyatakan kasih-Nya kepada orang-orang yang Dia tempatkan dalam hidup kita.

4 Cara Mudah Mengenali Pengeluaran yang Berlebihan

Penulis: Ivan Kwananda Pangestu

DompetNoHoDamon via Foter.com / CC BY-NC-ND

Duit.. duit lagi.. masalah yang dasar dalam hidup ini. Perceraian suami istri atau pertemanan bisa karena duit.” Demikianlah sepenggal lirik lagu dari sebuah grup band Indonesia yang sempat populer beberapa tahun yang lalu. Pesannya sederhana, duit alias uang adalah sumber masalah mendasar dalam kehidupan.

Sebenarnya, uang adalah suatu alat tukar yang netral. Sumber permasalahan timbul dari cara kita mengelola dan menggunakan uang kita. Yesus juga menjelaskan berbagai macam bahaya jika kita memiliki sikap yang salah terhadap uang (Lukas 9:23-25; Lukas 12:13-21; Lukas 12:22-34). Uang akan mengendalikan dan menghancurkan kehidupan kita, jika kita tidak mengelola dan menggunakannya dengan baik.

Sama halnya sebuah penyakit dikenali dari gejala-gejalanya, demikian juga ketidaksehatan keuangan dapat didiagnosa dari tanda-tanda yang muncul di dalam penggunaan uang kita. Berikut adalah 4 tanda yang dapat dengan mudah kita perhatikan untuk mendeteksi penggunaan uang yang berlebihan dan tidak bijak. Empat tanda ini menjadi rambu-rambu peringatan untuk memperbaiki pengelolaan dan penggunaan uang kita.

1. Perhatikan rasio tabungan dibanding pendapatan kita

Rasio tabungan kita merupakan tanda pertama yang menunjukkan bahwa kita mengeluarkan uang secara berlebihan. Pada umumnya, seorang yang memiliki kondisi keuangan yang sehat dapat menyisihkan 10% atau lebih dari pendapatan atau uang saku yang diterima. Rasio tabungan dibanding pendapatan wajarnya adalah 1:10. Jika pendapatan kita 3 juta per bulan, setidaknya kita harus menabung minimal 300 ribu setiap bulannya. Seorang yang boros akan membelanjakan uangnya sepanjang bulan dan menabung sisanya saja. Biasanya sisa uang ini tidak mencapai 10% atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini jelas tidak baik. Kita harus berusaha menabung dengan tertib, setidaknya 10% dari pendapatan kita. Untuk memulai disiplin menabung, kita bisa ikut dalam tabungan rutin autodebet yang ditawarkan oleh beberapa bank. Hal ini dapat sangat membantu kita untuk mendisiplin diri dan memiliki rasio tabungan yang sehat.

2. Perhatikan perubahan gaya hidup kita di awal dan akhir bulan

“Awal bulan makan di restoran; tengah bulan makan di kaki lima; akhir bulan makan Indomie.” Tampaknya ini adalah hal yang biasa terjadi, namun sebenarnya ini adalah cerminan dari keadaan keuangan yang tidak diatur dengan baik. Terjadinya perbedaan gaya hidup di awal dan akhir bulan disebabkan kita seringkali terlalu banyak pengeluaran di awal bulan. Sebaiknya, tetapkan gaya hidup standar sesuai kondisi keuangan kita dan jalanilah sepanjang bulan dengan gaya hidup yang konsisten.

3. Perhatikan seberapa konsisten kita memberikan persembahan

Sebagai orang Kristen, kita memiliki kewajiban untuk memberi perpuluhan setiap bulan dan persembahan setiap minggu (Imamat 27:30; 2 Tawarikh 31:6; Maleakhi 3:10; Matius 23:23; Lukas 11:42). Perpuluhan dan persembahan merupakan wujud komitmen kita mendukung pelayanan Tuhan dan ungkapan syukur atas berkat yang Tuhan percayakan pada kita. Seorang yang menggunakan uang dengan berlebihan akan memberikan perpuluhan dan persembahan dengan jumlah yang tidak konstan. Di awal bulan, ia bisa memberi persembahan dalam jumlah yang besar, namun ia mengurangi jumlah persembahan di akhir bulan karena keuangan yang terbatas. Sebaiknya, kita menetapkan jumlah yang pasti untuk perpuluhan bulanan dan persembahan setiap minggunya dan kita memberikannya dengan disiplin.

4. Perhatikan apakah kita punya cukup dana untuk pengeluaran tak terduga

Di dalam mengelola keuangan kita, kita juga perlu mempertimbangkan adanya pengeluaran tak terduga setiap bulannya. Pengeluaran tak terduga bisa bermacam-macam, seperti pembayaran ganti rugi ketika terjadi kecelakaan, membayar dokter jika sakit, membeli obat, memberi angpao untuk undangan pernikahan yang mendadak, mengganti ban motor yang sudah rusak, dan lain sebagainya. Kita perlu mengalokasikan dana untuk pengeluaran tak terduga. Seorang yang menggunakan uang dengan berlebihan tidak akan memiliki uang yang tersedia untuk pengeluaran-pengeluaran tersebut. Jika terjadi seperti ini, biasanya dana tabungan akan dikorbankan untuk pengeluaran-pengeluaran tak terduga ini.

Memantau Kesehatan Penggunaan Uang Kita

Pada akhirnya untuk mengetahui kesehatan pengeluaran setiap bulannya, kita memerlukan tolok ukur yang disebut budgeting atau rencana anggaran. Rencana anggaran adalah rancangan perincian pengeluaran bulanan, di mana kita membagi penghasilan kita ke dalam akun-akun pengeluaran yang spesifik, seperti perpuluhan, persembahan, tabungan, makanan, pakaian, transportasi, dana tak terduga, dan lain sebagainya. Dengan membuat rencana anggaran, kita memiliki perencanaan pengeluaran yang tetap untuk dijalankan setiap bulannya. Hal ini juga dapat menjadi standar untuk mengevaluasi pengeluaran yang telah kita lakukan setiap bulan. Dengan demikian kita dapat terhindar dari pengeluaran-pengeluaran yang berlebihan dan tidak terkendali oleh karena tidak adanya perencanaan dan evaluasi yang baik. Rencana anggaran dapat membuat kita memiliki rasio tabungan yang baik, memiliki gaya hidup yang konstan, memberi perpuluhan dan persembahan dengan tertib, serta memiliki cadangan uang untuk pengeluaran-pengeluaran tak terduga.

Mari kita mengelola keuangan kita dengan baik dan bertanggungjawab, karena hal ini memberi banyak kemudahan bagi kehidupan kita dan menyenangkan hati Tuhan di surga. Muliakan TUHAN dengan hartamu (Amsal 3:9)!