Posts

3 Janji akan Harapan di Tengah Ketidakpastian

Oleh Ruth Lawrence
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Verses That Give Me Hope Amidst Uncertainty

Rasanya tidaklah berlebihan jika kita berkata tahun 2020 itu mengerikan. Jutaan orang di seluruh dunia merasakan dampak dari pandemi, entah mereka terinfeksi atau mengalami efek domino lainnya yang diakibatkan kebijakan-kebijakan untuk meredam laju penyebaran virus.

Kita semua pun mungkin sepakat bahwa tahun 2020 sangat tidak biasa—tahun yang dipenuhi dengan banyak kesulitan! Namun, jika seandainya pandemi Covid-19 tidak terjadi pun, kita tetap akan mengalami hari-hari yang buruk—rencana yang gagal, kehilangan, sakit, juga kesedihan.

Terlepas dari kesulitan yang mendera kita, satu hal lain yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Tidak ada yang tahu akan apa yang terjadi besok, sebagaimana kita pun tak tahu di Januari 2020 akan seperti apa pandemi ini merebak.

Ketidakpastian bukanlah keadaan yang nyaman. Aku tak suka mengalami kejutan. Aku ingin bisa mengendalikan sesuatu dan memprediksi keadaan. Tapi faktanya, aku tidak piawai dalam mengendalikan situasi yang tak terduga. Aku malah berpura-pura seolah itu tak pernah terjadi, seolah hidupku baik-baik saja. Tapi, aku mendapati bahwa itu bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi ketidakpastian.

Seiring aku merefleksikan bagaimana caraku menanggapi dunia yang penuh ketidakpastian, aku menemukan tiga ayat yang mengandung janji Allah, yang menolong kita menemukan kedamaian dari-Nya:

1. Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Tahun lalu, ketika aku sedang mempelajari Injil Yohanes, aku tersentak oleh diskusi antara Yesus dengan murid-murid-Nya menjelang waktu penyaliban. Yesus akan segera mengalami penderitaan yang tak terkatakan, tapi Dia masih meluangkan waktu untuk meyakinkan para murid dengan kata-kata-Nya yang penuh belas kasih.

Yesus tidak berkata kalau hidup para murid akan mudah. Faktanya, Yesus berkata bahwa mereka (juga kita) akan menghadapi kesengsaraan. Hal-hal buruk terjadi sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, dan sebagai orang Kristen, kita telah diberi tahu bahwa kita akan mengalaminya. Namun, kita punya alasan untuk berharap karena Yesus berkata, “kuatkanlah hatimu”. Ketika hati kita menjadi kelu karena kita merasa tak mampu menghadapi penderitaan—entah itu kesepian, kesakitan, atau kehilangan—Yesus berkata, “Jangan patah arang, kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.

Dengan Yesus di sisi kita, kita dapat berdiri teguh meskipun gelombang besar mendera kita. Yesus adalah kawan yang tidak sekadar berjalan di samping kita, Dia turut merasakan apa yang kita rasakan. Dia bukanlah Allah yang jauh, yang tak mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang sahabat atau dikhianati. Dia turun ke dunia dan menghidupi kehidupan yang dipenuhi sukacita sekaligus juga kesakitan. Yesus mengerti keadaan kita karena Dia sendiri telah melaluinya sebelum kita.

Kadang, ketika kita menghadapi masa-masa yang tidak pasti, emosi kita—takut, khawatir, bingung—bisa menenggelamkan kita dan membuat kita sulit berdoa. Ketika aku kehilangan kata-kata untuk berdoa pada Allah, aku bisa memulainya dengan mengakui keadaan yang tengah kulalui. Jujur di hadapan Allah menolongku untuk melihat keadaanku dalam terang yang baru—aku bisa mengarungi lautan yang bergelora karena Bapa Surgawi menyertaiku.

2. Jangan kamu menjadi lemah dan putus asa

“Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya kamu jangan menjadi lemah dan putus asa” (Ibrani 12:3).

Ketika Yesus mendekati momen-momen penyaliban-Nya, Dia tidak menganggap remeh apa yang akan dilalui-Nya. Dia berkata jujur akan betapa hati-Nya pedih. Tapi, lebih dari itu, Dia juga berbicara akan hal-hal baik yang akan terjadi setelah kematian-Nya. Dia memberitahu para murid bahwa Dia akan pergi tetapi datang kembali agar mereka mendapatkan sukacita yang kekal. Kepergian-Nya berarti Roh Kudus akan datang dan menolong, dan terutama, dari kematian-Nya kita dapat didamaikan dengan Allah.

Aku mendapati Ibrani 12 itu menarik dan menguatkan karena pasal tersebut menceritakan alasan mengapa Yesus menderita bagi kita. Kita diundang untuk melihat kehidupan Yesus dan bagaimana Dia membawa kita pada Allah Bapa, agar kita tidak tawar hati.

Sebagai manusia kita cenderung berfokus pada hal-hal negatif yang tampak di depan kita. Ketakutanku akan virus Covid-19 dan aturan pembatasan sosial adalah nyata. Tapi, kita bisa memilih agar ketakutan itu tidak jadi fokus pikiran kita. Kita bisa melihat hal-hal baik lainnya yang mendorong kita mengucap syukur.

Satu aktivitas yang memberi dampak positif bagiku adalah sebelum hari berakhir, aku akan mengingat kembali setidaknya tiga kebaikan yang terjadi sepanjang hari itu. Aku lalu mengucap syukur kepada Allah. Ketika aku melakukan ini, aku mendapati ternyata aku punya lebih dari tiga hal untuk kusyukuri. Tujuanku adalah agar fokusku bergeser, dari pikiran tentang “seandainya Tuhan berbuat ini dan itu”, menjadi kepada berkat-berkat apa saja yang Dia telah berikan dan janjikan bagiku.

3. Bedakan antara mana yang baik dan buruk

“Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan’. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Korintus 10:23).

Ayat terakhir yang kutemukan ini lebih dari sekadar pengingat. Di suratnya, Paulus menulis kepada jemaat Korintus tentang sikap mereka terhadap satu sama lain. Paulus mengingatkan, meskipun mereka tidak lagi terpisah oleh sekat aturan makan orang Yahudi, bertindak semena-mena untuk melakukan apa pun mereka yang inginkan bukanlah hal yang terbaik untuk dilakukan bagi saudara seiman.

Ayat ini membuatku berpikir bagaimana aku menyikapi orang lain ketika aku sedang bertemu teman-temanku. Saat ini, ketika pembatasan sosial gencar dilakukan, mungkin banyak orang akan menerima perintah ini. Tetapi, ketika kebijakan ini dilonggarkan, aku perlu berpikir matang bagaimana tindakanku nanti dapat berdampak bagi orang-orang di sekitarku. Aku mungkin tidak masalah untuk menjumpai teman-temanku secara tatap muka, tapi bagaimana jika tindakanku itu membuat orang lain khawatir? Aku perlu memikirkannya dengan bijak. Atau, semisal ketika aku berbelanja di supermarket, aku perlu memberi jarak fisik antara aku dengan antrean di depanku. Meskipun aku bukan termasuk orang yang parno, tetapi tidak dengan orang lain. Aku perlu juga menghargai mereka.

Aku perlu mengerjakan apa yang baik bagiku dan menghindari apa yang membawa keburukan. Bukan hanya untuk kesehatan mentalku, tetapi juga bagi perjalanan imanku. Apakah menghabiskan waktu bermedia sosial selalu lebih baik daripada membaca firman-Nya? Bagaimana jika aku menyerahkan kekhawatiranku kepada Tuhan daripada terus-menerus melihat tayangan berita?

Seiring aku berusaha mengubah kebiasaanku, aku terdorong untuk menyadari hal-hal kecil yang patut disyukuri, dan aku pun merasa diriku lebih positif.

Kesulitan dan ketidakpastian adalah bagian dari hidup setiap orang. Menyadari bahwa hal buruk terjadi dan kita merasa sedih karenanya adalah sikap yang wajar, tetapi kita juga bisa melihat pada hal-hal baik yang Tuhan izinkan terjadi. Tidak selalu mudah untuk mengubah pikiran kita kepada kasih dan berkat dari Allah, tetapi ketika kita bisa melakukannya, kita menemukan penghiburan dan harapan yang kekal.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Memaafkan yang Tak Termaafkan

Memaafkan adalah sebuah tindakan yang melibatkan proses rumit, yang untuk mengucapkannya kita perlu mengorek kembali segala memori dan luka hati. Lantas, bagaimana bisa kita memaafkan orang yang rasanya tidak termaafkan?

Apakah Kamu Takut Gelap?

Oleh: Phoebe C.
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: Are You Afraid of The Dark?)

Are-You-Afraid-of-the-Dark

Jujur saja, aku takut gelap. Aku tidak menyadari hal ini sebelumnya. Namun, belakangan aku mendapati bahwa ketika malam menjelang, aku merasa ada sesuatu (dan itu bukan anjingku) yang pelan-pelan mendekatiku dan hendak menyerangku.

Ketika akhirnya aku berhenti menyangkal perasaan itu dan berusaha menghadapinya dengan akal sehat, aku menemukan bahwa rasa takut tersebut berkaitan dengan beberapa potongan kelam dalam perjalanan hidupku. Aku tersadar bahwa mungkin yang kutakuti sebenarnya bukanlah kegelapan, tetapi sesuatu yang tidak kuketahui.

Apakah kamu pernah merasakan hal yang sama? Mungkin kamu pernah terbangun pada jam tiga dini hari mencemaskan tentang masa depan. Mungkin kamu bertanya, “Apa yang akan aku lakukan setelah lulus kuliah?” “Apa sebenarnya yang harus aku lakukan dengan hidupku?” “Akan jadi apa hidupku sepuluh tahun ke depan?”

Dalam Kejadian pasal 37-45, kita melihat bagaimana Allah menyertai Yusuf melewati peristiwa-peristiwa terburuk dalam hidupnya, mengubah tragedi menjadi kesempatan yang luar biasa. Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya ke Mesir, dijebloskan ke dalam penjara, namun pada akhirnya diangkat menjadi perdana menteri—sebuah posisi yang sempurna untuk menolong keluarganya melewati masa kelaparan.

Sebagai seorang pemuda yang menderita dalam perbudakan di negeri asing, Yusuf mungkin bertanya-tanya apakah Allah akan campur tangan. Hari-hari yang ia lalui mungkin terasa sangat menakutkan, karena ia tidak tahu masa depan seperti apa yang sedang menantinya. Namun kemudian, Yusuf menjadi orang yang jauh lebih dewasa, bijaksana, dan berkuasa. Ketika ia menengok kembali perjalanan hidupnya yang sarat dengan berbagai pengalaman yang sulit dan menakutkan, Yusuf tentulah menyadari betapa Allah telah menjaga dan memelihara hidupnya senantiasa.

Kisah Yusuf sangat menghibur dan menyemangatiku; aku melihat bagaimana Allah menunjukkan kuasa-Nya secara luar biasa dalam kehidupan anak-anak-Nya. Perlahan, aku belajar untuk melihat kehidupan seperti sebuah petualangan mendaki gunung bersama Allah, dan Dia menuntunku langkah demi langkah. Adakalanya pijakanku goyah dan aku kehilangan keseimbangan; adakalanya pemandangan yang kulihat sangat menakjubkan; adakalanya muncul kabut yang mengaburkan pandanganku dan aku tidak bisa melihat jalan di hadapanku. Namun, dalam semua situasi itu, aku tahu bahwa Allah akan selalu menuntun perjalananku. Dan, hal itu membuat ketidakpastian menjadi sesuatu yang (anehnya) menggairahkan.

Jika kamu sedang mengalami situasi yang serupa, pertanyaanku untukmu adalah: Daripada membiarkan rasa takut menguasaimu, maukah kamu membiarkan Allah membawamu ke dalam sebuah petualangan? Aku jamin, hidupmu tak akan pernah sama lagi!