Posts

Sukacita dan Keadilan

Minggu, 5 November 2017

Sukacita dan Keadilan

Baca: Mazmur 67

67:1 Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi. Mazmur. Nyanyian.

67:2 Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya, Sela

67:3 supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa.

67:4 Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah; kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu.

67:5 Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai, sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi. Sela

67:6 Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah, kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu.

67:7 Tanah telah memberi hasilnya; Allah, Allah kita, memberkati kita.

67:8 Allah memberkati kita; kiranya segala ujung bumi takut akan Dia!

Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi. —Mazmur 67:5

Sukacita dan Keadilan

Pada suatu pelayanan di Asia, saya terlibat dalam dua percakapan yang sungguh membuka wawasan saya dalam rentang beberapa jam. Pertama, seorang pendeta menuturkan bagaimana selama sebelas tahun ia dipenjara, sebelum akhirnya dibebaskan, karena kasus pembunuhan yang tidak dilakukannya. Lalu, sekelompok keluarga menceritakan bagaimana mereka telah menghabiskan banyak uang untuk meloloskan diri dari penganiayaan di tanah air mereka. Namun, mereka justru dikhianati oleh orang yang mereka andalkan. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun tinggal di pengungsian, mereka pun bertanya-tanya kapan mereka akan mendapatkan tempat tinggal yang tetap.

Dalam kedua kasus itu, keadaan pihak yang menjadi korban diperparah dengan tiadanya keadilan. Itulah salah satu bukti dari kebobrokan dunia ini. Namun, tiadanya keadilan bukanlah kondisi yang akan berlangsung selamanya.

Mazmur 67 menyerukan kepada umat Allah untuk memperkenalkan Allah pada dunia kita yang menderita. Usaha mereka akan membuahkan sukacita, yang tidak hanya muncul sebagai respons terhadap kasih Allah tetapi juga karena keadilan-Nya. “Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai, sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi” (ay.5).

Meskipun para penulis Alkitab memahami bahwa keadilan merupakan unsur kunci dari kasih Allah, mereka juga menyadari bahwa hal itu baru akan terwujud sempurna di masa mendatang. Sebelum masa itu tiba, di dunia yang marak dengan ketidakadilan ini, kita dapat menuntun orang lain untuk berharap pada keadilan Allah yang kudus. Kelak dalam kedatangan-Nya, Allah akan mewujudkan “keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir!” (Am. 5:24). —Bill Crowder

Allah Bapa, tolonglah kami untuk mengusahakan keadilan-Mu di mana pun kami berada, sembari menanti harinya kelak Engkau memulihkan segala sesuatu.

Usahakanlah keadilan dan mohonkanlah belas kasihan.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 34-36; Ibrani 2

Lolos dari Masalah

Senin, 10 Juli 2017

Lolos dari Masalah

Baca: Kejadian 4:1-12

4:1 Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN.”

4:2 Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani.

4:3 Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan;

4:4 Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu,

4:5 tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.

4:6 Firman TUHAN kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?

4:7 Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”

4:8 Kata Kain kepada Habel, adiknya: “Marilah kita pergi ke padang.” Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia.

4:9 Firman TUHAN kepada Kain: “Di mana Habel, adikmu itu?” Jawabnya: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?”

4:10 Firman-Nya: “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah.

4:11 Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu.

4:12 Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi.”

Karena iman [Habel] masih berbicara, sesudah ia mati. —Ibrani 11:4

Lolos dari Masalah

Pada Juni 2004, dalam sebuah galeri seni di Vancouver, Beckie Scott, pemain ski lintas alam asal Kanada, menerima medali emas Olimpiade. Itu bukanlah hal yang lazim karena Olimpiade Musim Dingin telah berlangsung pada tahun 2002 di Utah. Dalam ajang itu, Scott meraih medali perunggu, tetapi dua atlet yang mengunggulinya harus didiskualifikasi dua bulan kemudian karena ketahuan menggunakan obat terlarang.

Pemberian medali emas itu memang baik, tetapi Scott kehilangan kesempatan selamanya untuk berdiri di atas podium penyerahan medali sambil mendengarkan lagu kebangsaan negaranya dikumandangkan. Ketidakadilan itu tak mungkin diperbaiki.

Ketidakadilan dalam bentuk apa pun mengusik rasa keadilan kita, dan pastilah ada banyak kesalahan yang lebih besar daripada kehilangan hak meraih medali emas. Ketidakadilan terbesar dapat kita lihat dalam kisah Kain dan Habel (Kej. 4:8). Sekilas kelihatannya Kain dapat lolos dari masalah setelah membunuh adiknya. Lagipula, Kain menjalani hidup dengan sejahtera, bahkan berhasil mendirikan sebuah kota (ay.17).

Namun, Allah sendiri kemudian menegur Kain. Dia berfirman, “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah” (ay.10). Dalam Perjanjian Baru, Kain dijadikan contoh yang harus dihindari (1Yoh. 3:12, YUD. 1:11). Namun, tentang Habel, kita membaca, “Karena iman Habel masih berbicara, sesudah ia mati” (Ibr. 11:4).

Allah sangat peduli pada keadilan, pada tegaknya kebenaran, dan pada hak-hak kaum yang lemah. Pada akhirnya, tidak akan ada ketidakadilan yang dibiarkan-Nya. Sebaliknya, segala perbuatan yang kita lakukan dalam iman kepada Allah tidak dianggap sia-sia oleh-Nya. —Tim Gustafson

Bapa, seperti doa yang diajarkan Anak-Mu, kami memohon untuk kebaikan dari dunia yang rusak ini, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu. Terima kasih karena Engkau telah menebus kami.

Dosa tidak akan dihakimi dengan cara kita, tetapi dengan cara Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 41-42 dan Kisah Para Rasul 16:22-40

Berdiam Diri

Kamis, 22 Juni 2017

Berdiam Diri

Baca: Habakuk 1:1-4; 2:20

1:1 Ucapan ilahi dalam penglihatan nabi Habakuk.

1:2 Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?

1:3 Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi.

1:4 Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.

2:20 Tetapi TUHAN ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!

Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar? —Habakuk 1:2

Berdiam Diri

Ayam berhamburan ketakutan ketika truk-truk yang membawa bantuan melewati gubuk-gubuk lapuk di kampung itu. Anak-anak yang bertelanjang kaki hanya bisa menatap. Jarang ada kendaraan melintas di jalanan yang mirip kubangan itu.

Tiba-tiba, konvoi kendaraan itu melihat sebuah rumah besar berpagar tinggi. Itulah rumah walikota— walaupun ia sendiri tidak tinggal di sana. Masyarakatnya kekurangan kebutuhan pokok, sementara ia berfoya-foya di tempat lain.

Kita marah melihat ketidakadilan seperti itu. Seorang nabi Allah juga. Ketika Habakuk melihat penindasan merajalela, ia bertanya, “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar?” (Hab. 1:2). Namun, Allah selalu mengindahkan, dan Dia berkata, “Celakalah orang yang menggaruk bagi dirinya apa yang bukan miliknya . . . yang mengambil laba yang tidak halal untuk keperluan rumahnya” (2:6,9). Penghakiman segera datang!

Kita mungkin lega melihat Allah menghakimi orang lain, tetapi satu hal penting dalam kitab Habakuk membuat kita harus merenung: “Tuhan ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!” (Hab. 2:20). Segenap bumi. Yang tertindas dan yang menindas. Ketika rasanya Allah sedang berdiam diri, adakalanya kita hanya bisa memberikan respons . . . dengan berdiam diri!

Mengapa berdiam diri? Karena kita bisa saja mengabaikan kekurangan rohani kita sendiri. Berdiam diri membuat kita menyadari keberdosaan kita di hadapan Allah yang kudus.

Habakuk belajar mempercayai Allah, dan kita juga dapat melakukannya. Kita tidak tahu segala jalan-Nya, tetapi kita tahu Dia baik. Tiada sesuatu pun di luar kendali dan waktu-Nya. —Tim Gustafson

Tuhan, saat masalah menerpa, kami dapat berdoa seperti Habakuk, “Ya Tuhan, kudengar kabar tentang perbuatan-Mu, maka rasa khidmat memenuhi hatiku. Kiranya perbuatan besar itu Kauulangi dan Kaunyatakan di zaman kami ini.” —(Hab. 3:2 BIS)

Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak mengertinya. —Amsal 29:7

Bacaan Alkitab Setahun: Ester 6-8 dan Kisah Para Rasul 6

Ketika Temanku Menjadi Tersangka Kasus Pembunuhan

ketika-temanku-menjadi-tersangka-kasus-pembunuhan

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend is Suspected of Rape and Murder

6 Maret 2016

Aku baru akan pergi tidur; waktu menunjukkan hampir jam 11 malam. Seperti biasa, aku memeriksa ponselku untuk terakhir kalinya sebelum tidur. Teman baikku, Linda, baru saja mengirimiku serentetan pesan.

Apa yang akan kubaca adalah sesuatu yang mengerikan dan menghancurkan hati.

Pesan itu berbunyi: “Jo … sebuah kasus besar baru saja terjadi di Siem Reap dan foto laki-laki itu mirip Kosal … Kosal terlibat dalam sebuah kasus pemerkosaan…”

Kosal. Pemerkosaan. Kedua kata itu begitu tidak masuk akal ketika digabungkan. Aku pun membaca lagi pesan yang dikirimkan Linda tentang bagaimana dia melihat sebuah posting di Facebook yang dibagikan oleh beberapa pemuda Kambodia yang kami kenal ketika kami mengadakan perjalanan misi ke negara itu beberapa waktu lalu. Posting itu dilengkapi dengan sebuah foto seorang laki-laki berusia 25 tahun, seorang yang telah kami kenal selama 6 tahun.

Ketika Linda memasukkan tulisan dalam bahasa Khmer tersebut ke dalam Google Translate, terdapat beberapa kata yang muncul dari hasil terjemahannya: “pemerkosaan”, “pembunuhan”, “gadis berusia 11 tahun”, dan “Kosal”. Dia kemudian mengkonfirmasikan hal itu dengan seorang pemimpin gereja lokal, dan mendapati bahwa Kosal telah dituduh memerkosa dan membunuh seorang gadis berusia 11 tahun.

Itu bagaikan aku menerima kabar dukacita dari temanku. Atau bahkan lebih buruk. Perutku terasa sakit dan jantungku berdegup kencang ketika aku memikirkan apa yang baru saja kubaca. Kosal? Tidak mungkin. Wajahnya yang sedang tersenyum langsung melintas di pikiranku.

Kami baru bertemu Kosal dalam perjalanan misi terbaru kami ke Siem Reap, Kambodia. Itu adalah perjalananku yang kelima, dan perjalanan Linda yang ketujuh. Segalanya baik-baik saja saat itu. Hal apa yang membuat segalanya menjadi begitu buruk hanya dalam waktu empat bulan? Apa yang membuatnya melakukan tindakan yang mengerikan itu? Bagaimana keluarganya menanggapi berita ini? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku, namun tak ada jawaban yang kutemukan. Aku ingin menanyakan teman-temanku di Kambodia namun saat itu sudah terlalu malam. Aku merasa tidak berdaya dan tidak berguna.

Aku tidak dapat tidur nyenyak malam itu. Aku hanya tidak dapat percaya bagaimana seorang yang lemah lembut seperti Kosal dapat terlibat dalam kasus pembunuhan yang begitu keji.

Aku bertemu Kosal enam tahun lalu—ketika aku pertama kali pergi ke Kambodia—dalam sebuah sesi Pendalaman Alkitab yang diadakan oleh tim perjalanan misi gerejaku di Singapura untuk para pemuda di desa Pouk di Siem Reap. Pemalu, sopan, dan sederhana, Kosal diperkenalkan kepada kami sebagai seorang kerabat dari seorang pemimpin gereja lokal dalam komunitas tersebut.

Kosal yang saat itu berusia 18 tahun adalah salah satu dari beberapa orang non-Kristen yang hadir dalam sesi malam itu. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika salah satu rekanku membagikan Injil kepadanya melalui seorang penerjemah. Malam itu, dia menanyakan banyak pertanyaan yang dijawab dengan sabar oleh temanku. Beberapa bulan kemudian, kami mendapat kabar bahwa Kosal menerima Tuhan dan mengikuti kelas bahasa Inggris secara rutin.

Berikutnya, kami bertemu Kosal setiap kali kami melakukan kunjungan balik dan mengadakan program-program untuk para pemuda dan anak-anak. Dia telah menjadi seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah di desanya dan melayani secara aktif dan rutin di gereja. Karena dia kini semakin mengerti bahasa Inggris, kami dapat berkomunikasi lebih banyak dengannya. Dia masih pemalu, namun dia kini sudah bisa bercanda dan mengolok kami ketika kami mencoba berbicara dalam bahasa Khmer.

Bertemu dia kembali dalam perjalanan misi kami yang terakhir adalah bagikan bertemu seorang teman lama. Pertemuan itu menghangatkan hati kami. Kami begitu senang melihat pertumbuhannya. Dia telah menjadi salah satu pemimpin kunci dari para pemuda di desa Pouk dan sangat terkenal dan dipandang baik oleh komunitas di sana. Selama dia mengajar, murid-muridnya akan berpartisipasi secara aktif. Setelah kelas selesai, mereka akan berkumpul mengitarinya untuk bermain. Itu adalah bukti bagaimana dia begitu peduli dengan mereka dan bagaimana mereka menikmati kehadiran Kosal.

Itulah yang membuat berita ini menjadi begitu mengagetkan. Mengapa Kosal melakukan pemerkosaan dan pembunuhan—apalagi korbannya adalah muridnya sendiri, seperti yang kemudian kami ketahui? Kosal berulang kali menyatakan bahwa dia tidak bersalah, namun para pemimpin gereja lokal, yang mengabari kami secara rutin, memberitahu kami bahwa polisi mempunyai bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa dia adalah pelakunya.

Beberapa hari berikutnya, kami mengetahui bahwa Kosal, yang merupakan tetangga gadis tersebut, menjadi seorang tersangka karena dia berada di tempat kejadian perkara saat itu. Hari itu, bibi gadis itu baru saja kembali dari pasar dan menemukan diri gadis itu tergantung di jendela dengan kabel televisi, terlihat seperti sebuah bunuh diri. Kosal, yang mendengar teriakan minta tolong sang bibi, berlari untuk membantu memotong kabel tersebut. Polisi tiba di TKP tak lama kemudian. Setelah memeriksa tubuh gadis itu, mereka menyimpulkan bahwa korban telah diperkosa dan kemudian dibunuh. Tidak ada hal detail yang dibagikan pada saat tersebut. Tidak dijelaskan juga bagaimana polisi menentukan Kosal sebagai pelaku perbuatan tersebut.

Yang kami tahu hanyalah dia ditangkap di tempat dan tes DNA kemudian dilakukan untuk menentukan apakah dia bersalah atau tidak. Kami diberitahu bahwa hasilnya akan keluar dalam waktu 10 hari. Jika dia terbukti bersalah, kemungkinan besar dia akan dipenjara seumur hidup.

Kami pun menunggu. Tapi bukan 10 hari. Kami harus menunggu sekitar 10 minggu sampai akhirnya kami mengetahui kebenaran di balik kasus ini.

Selama waktu tersebut, Kosal ditahan di penjara dan kami tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan meminta kabar terbaru dari para pemimpin. Aku memikirkan betapa Kosal mungkin merasa kesepian dan ketakutan, dan para pemimpin juga merasa kecewa karena harus menghadapi fakta bahwa salah satu anggota mereka menjadi tersangka kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Begitu menyakitkan bagi kami mengetahui bahwa kami tidak dapat menawarkan bantuan apa-apa selain kata-kata penguatan dan berjanji kepada mereka bahwa kami juga turut mendoakan Kosal.

21 April 2016

Ketika segala hal terlihat begitu gelap, secercah harapan muncul. Hasil tes DNA akhirnya keluar dan hasilnya negatif! Kosal tidak bersalah. Dia terlibat dalam kasus ini hanya karena dia berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.

Rasa sukacita dan lega memenuhi hatiku ketika salah seorang pemimpin gereja lokal memberitahu kami tentang hasil tes tersebut. Pada saat yang sama, aku merasa kesal—karena Kosal telah diperlakukan dengan tidak adil—dan simpati yang dalam terhadapnya ketika aku memikirkan tentang penderitaan emosi dan psikologis yang dihadapinya dalam beberapa bulan terakhir. Namun, aku juga bersemangat karena mengetahui bahwa penderitaan Kosal akan segera berakhir.

Sayangnya, sukacita kami tidak bertahan lama.

Kami diberitahu bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Kosal tidak akan dilepaskan dari penjara karena hakim menolak permintaan ditutupnya kasus itu. Kecuali para pemimpin gereja lokal bersedia membayar suap, Kosal akan tetap ditahan di penjara setidaknya untuk setahun ke depan untuk kejahatan yang tidak dia lakukan.

Itu menjadi sebuah pukulan bagi para pemimpin gereja lokal, yang telah bekerja tanpa mengenal lelah untuk membuktikan bahwa Kosal tidak bersalah. Mereka menjadi sangat marah dan tidak terima. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa itu sama saja dengan “menculik secara legal dan meminta tebusan”. Namun di tengah situasi yang sepertinya mustahil, mereka menolak untuk menggunakan cara yang tidak benar. Mereka memutuskan untuk berjuang untuk melepaskan Kosal dengan cara-cara yang benar.

Selama beberapa bulan berikutnya, para pemimpin itu berusaha keras untuk mengajukan banding kepada pengadilan yang lebih tinggi, meskipun mereka telah diberitahu bahwa hal itu sia-sia saja. Gereja lokal juga bersatu dalam solidaritas untuk berdoa bagi Kosal dan keluarganya. Dan Tuhan menjawab doa mereka dengan cara yang tidak terbayangkan: Di tengah tragedi yang tidak masuk akal ini, kedua orang tua Kosal dan dua adik perempuannya mulai pergi ke gereja.

Jelas sekali bahwa Tuhan tidak melupakan Kosal dan keluarganya. Dan itu baru awalnya saja.

2 September 2016

4 bulan kemudian, kami mendengar kabar yang telah lama kami nanti-nantikan. Pada tanggal 2 September, Kosal akhirnya dibebaskan dari penjara. Setelah melalui 6 bulan penderitaan di dalam penjara untuk kejahatan yang tidak dilakukannya, dia akhirnya bebas.

Sore itu juga ketika Kosal dibebaskan, aku melihat sebuah foto di Facebook yang menunjukkan Kosal yang sedang makan malam bersama dengan beberapa pemimpin gereja lokal. Dia tersenyum dan keadaannya terlihat baik. Itu adalah sebuah foto yang indah yang menunjukkan kesetiaan, pemulihan, dan kasih Tuhan.

* * *

Sudah hampir dua bulan sejak Kosal dibebaskan dari penjara. Dia masih belum pulih sepenuhnya dari penderitaannya selama di penjara: dia masih mengalami mimpi buruk, dan seringkali tidak dapat tidur. Tapi ada satu hal baik yang terlihat. Seluruh keluarga Kosal kini menerima Yesus dalam hidup mereka. Beberapa minggu yang lalu, seluruh keluarga Kosal memberikan kesaksian di gereja tentang anugerah dan kebaikan Tuhan.

Ketika aku melihat kembali keseluruhan kisah ini, hatiku dipenuhi oleh sukacita dan rasa syukur karena aku melihat bagaimana Tuhan menjawab doa anak-anak-Nya. Dia tidak hanya menyelamatkan Kosal, keluarganya, dan komunitasnya dari masa-masa yang sulit ini, tapi juga Dia melakukan sebuah pekerjaan yang indah dengan membawa seluruh keluarganya kepada Kristus. Kisah Kosal adalah sebuah kesaksian tentang kesetiaan Tuhan kepada anak-anak-Nya (Roma 8:28), dan kisah inilah yang akan aku ingat ketika aku menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupanku.

Aku berdoa agar Kosal terus bersaksi tentang kebaikan Tuhan. Bagi Tuhanlah kemuliaan sampai selama-lamanya!

Baca Juga:

Aku Tidak Memilih untuk Menjadi Gay

Aku pertama kali menyadari bahwa aku mempunyai perasaan-perasaan ini ketika aku mulai memasuki masa puber ketika aku SMP. Aku merasa tertarik dengan seorang laki-laki di kelasku. Saat mulai kuliah, aku juga terkagum-kagum dengan seorang teman laki-laki di kampusku. Itulah saat di mana aku mengindentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”.

Baca kesaksian Raphael selengkapnya dalam artikel ini.

Siapa yang Kamu Bela?

Minggu, 7 Agustus 2016

Siapa yang Kamu Bela?

Baca: Markus 10:13-16

10:13 Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.

10:14 Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.

10:15 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”

10:16 Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.

Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah. —Roma 5:6

Siapa yang Kamu Bela?

Ketika Kathleen dipanggil maju oleh guru bahasanya untuk menguraikan sebuah kalimat, ia menjadi panik. Sebagai murid pindahan baru, Kathleen belum mempelajari tata bahasa sampai sejauh itu. Seisi kelas pun menertawainya.

Seketika itu juga sang guru berbicara dan membela Kathleen. “Suatu hari nanti, ia akan menulis lebih baik daripada kalian semua!” tegasnya. Bertahun-tahun kemudian, Kathleen mengingat momen tersebut dengan penuh syukur: “Sejak hari itu, aku berusaha menulis sebaik mungkin, seperti yang beliau harapkan.” Akhirnya, pada tahun 2010, Kathleen Parker menerima anugerah Hadiah Pulitzer untuk tulisannya.

Seperti halnya guru Kathleen, Yesus membela kaum yang lemah dan tidak berdaya. Ketika murid-murid-Nya mencegah anak-anak mendekati diri-Nya, Yesus pun marah. “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku,” kata-Nya, “jangan menghalang-halangi mereka” (Mrk. 10:14). Dia menjangkau kelompok etnis yang dibenci, saat menjadikan orang Samaria yang baik hati sebagai pahlawan dari perumpamaan-Nya (Luk. 10:25-37) dan menawarkan harapan yang sejati kepada wanita Samaria yang sedang gundah di sumur Yakub (Yoh 4:1-26). Ia melindungi dan mengampuni seorang wanita yang terjerat dalam perzinahan (Yoh 8:1-11). Dan walaupun kita sama sekali tidak berdaya, Kristus menyerahkan nyawa-Nya bagi kita semua (Rm. 5:6).

Dengan membela kaum yang lemah dan terpinggirkan, kita memberi kesempatan bagi mereka untuk menyadari potensi mereka. Kita menunjukkan kepada mereka kasih yang sejati, dan dengan cara yang sederhana tetapi berarti, kita mencerminkan isi hati Yesus yang terdalam. —Tim Gustafson

Bapa, tolong aku mengenali siapa saja yang butuh pembelaanku. Ampunilah aku karena sering berpikir bahwa masalah mereka bukanlah urusanku. Tolonglah aku untuk mengasihi orang lain seperti Engkau mengasihi mereka.

Mustahil mengasihi Kristus tanpa mengasihi orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 72-73; Roma 9:1-15

Artikel Terkait:

Bagaimana Aku Akhirnya Memahami Orangtuaku

Aku tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain, tetapi sebenarnya aku sendiri suka membanding-bandingkan diriku dengan orang lain, membanding-bandingkan orangtuaku dengan orangtua teman-temanku—inilah salah satu hal yang disadari Chien Chong ketika melihat kembali kehidupannya di dalam keluarga.
Yuk baca kesaksiannya di dalam artikel ini.

Hanya Bisa Mati Sekali

Minggu, 29 Mei 2016

Hanya Bisa Mati Sekali

Baca: Matius 10:26-32

10:26 Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui.

10:27 Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.

10:28 Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.

10:29 Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu.

10:30 Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya.

10:31 Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.

10:32 Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga.

Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa. —Matius 10:28

Hanya Bisa Mati Sekali

Lahir sebagai budak dan diperlakukan dengan buruk di masa mudanya, Harriet Tubman (hidup sekitar tahun 1822-1913) menemukan secercah pengharapan dalam kisah-kisah Alkitab yang diceritakan ibunya. Kisah tentang pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Firaun menunjukkan kepadanya tentang Allah yang menghendaki kebebasan bagi umat-Nya.

Harriet sendiri menemukan kebebasan dari perbudakan dengan cara menyusup ke wilayah perbatasan Maryland. Namun, ia belum merasa tenang karena tahu masih ada begitu banyak orang yang terperangkap dalam perbudakan. Maka ia pun memimpin lebih dari selusin upaya penyelamatan untuk membebaskan para budak yang lain, tanpa mempedulikan bahaya yang akan dihadapinya. “Toh aku hanya bisa mati sekali,” katanya.

Harriet mengenal kebenaran dari pernyataan: “Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa” (Mat. 10:28). Yesus mengatakan hal itu ketika Dia mengutus murid-murid-Nya dalam misi pertama mereka. Dia tahu bahwa mereka akan menghadapi bahaya, dan tidak semua orang akan menerima mereka dengan baik. Jadi mengapa Dia tetap membiarkan para murid menghadapi risiko itu? Jawabannya ditemukan di pasal sebelumnya. “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (9:36).

Ketika Harriet Tubman tidak melupakan sesamanya yang masih terperangkap dalam perbudakan, ia mencontohkan Kristus, yang tidak melupakan kita ketika kita terperangkap dalam dosa-dosa kita. Teladan keberaniannya menginspirasi kita untuk mengingat orang-orang yang masih membutuhkan harapan di dunia ini. —Tim Gustafson

Kiranya kami menemukan kedamaian dan tujuan hidup kami di dalam-Mu, Tuhan, dan menceritakan tentang-Mu kepada orang lain.

Kebebasan sejati diperoleh ketika kita mengenal dan melayani Kristus.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 7-9; Yohanes 11:1-29

Artikel Terkait:

6 Cara Pandang Baru Tentang Kebebasan

Pernahkah kamu merasa terpenjara oleh peraturan? Apa makna kebebasan sejati bagimu? Berikut 6 cara pandang baru tentang kebebasan yang dibagikan oleh Jonathan.