Posts

Ketakutan yang Salah

Oleh Nicholas, Jakarta 

Dalam menjalani hidup ini, tentu kita akan menghadapi peristiwa-peristiwa sulit—peristiwa yang membuat kita meneteskan air mata, atau membuat kita berteriak, “Tuhan, kenapa ini terjadi?” 

Tahun 2019 lalu, papaku terkena serangan strok. Peristiwa ini mengguncang keluargaku dan tak mudah untuk kami hadapi, apalagi papa selama ini menjadi tulang punggung. Selain kehidupan ekonomi keluarga kami bergejolak, wacana untuk bercerai pun muncul. Pada saat itu, aku bertanya pada Tuhan, “Kenapa papa harus terkena strok?” 

Pertanyaan itu lantas mengingatkanku pada peristiwa dalam Alkitab. Injil Markus 4:35-41 bercerita tentang murid-murid Yesus yang juga mengalami peristiwa sulit. Di ayat 37, mereka sedang menghadapi taufan yang sangat dahsyat, yang membuat mereka berada dalam situasi antara hidup dan mati. Kekalutan dalam taufan itu menjadi semakin jelas ketika murid-murid bertanya kepada Yesus, “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (ayat 38). 

Alkitab tidak mencatat ada kalimat langsung yang Yesus ucapkan untuk menjawab pertanyaan para murid, tetapi Alkitab mencatat bahwa Yesus merespons dengan bangun lalu menghardik angin itu. Seketika danau pun menjadi tenang (ayat 39). Barulah di ayat 40 Yesus mengajukan pertanyaan, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” 

Ketakutan yang dialami para murid sejatinya adalah ketakutan yang juga dialami oleh kita semua sebagai manusia berdosa. Ketika menghadapi kesulitan, seringkali kita merasa takut. 

Namun, apakah takut itu salah? 

Menurutku, takut itu tidaklah salah karena takut adalah hal yang alamiah terjadi sebagai respons manusia. Sebelum Yesus menghadapi penyaliban, Yesus pun mengalami ketakutan. Matius 26:37 mencatat, “Mulailah Ia merasa sedih dan gentar”. 

Memang, takut adalah sikap yang tidak salah, akan tetapi jika ketakutan itu membawa kita untuk tidak mempercayai Allah, di situlah takut menjadi salah. Oleh karena itu, ketika Yesus melontarkan pertanyaan Dia tidak hanya berhenti di kata “takut” saja. Dia mengajukan pertanyaan lanjutan, “Mengapa kamu tidak percaya?” 

Jika kita melihat teks paralel, kita akan menemukan yang sama: Matius 8:26, “Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?”; Lukas 8:25, “Di manakah kepercayaanmu?” 

Pada saat Yesus berada di taman Getsemani, Yesus memang merasa takut, tapi Dia tidak membiarkan ketakutan itu memimpin kehidupan-Nya. Yesus tetap percaya kepada Bapa dan menyerahkan semuanya kepada Bapa. Yesus berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39). Yesus menutup doanya dengan menyerahkan diri-Nya pada kehendak Bapa. 

Kembali pada kisahku, ketika aku diperhadapkan dengan peristiwa papa terkena strok, aku mengalami ketakutan seperti para murid. Aku meragukan kuasa Tuhan. Aku tidak percaya pada Allah. Namun, di dalam keraguan itu, Tuhan tidak meninggalkanku. Di dalam ketidakpercayaan murid-murid, Yesus tidak pernah meninggalkan mereka. Yesus tetap menolong murid-murid-Nya. 

Melalui peristiwa sulit, murid-murid jadi mengenal lagi siapa Yesus. Di dalam ayat 41 tertulis, “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?”

Di dalam pertanyaan di atas terkandung juga pernyataan. Murid-murid mengakui bahwa Yesus juga berkuasa atas alam. Tuhan mengizinkan adanya taufan supaya murid-murid mengenal bahwa Yesus juga berkuasa atas alam semesta. 

Pasca papa terkena strok, emosinya menjadi tidak stabil. Dia jadi sering marah dan melontarkan kata-kata yang kurang enak didengar. Akibatnya, adikku jadi benci kepada papa. Dia tidak mau mengajak papa bicara, bahkan dia pun tak mau makan makanan yang papa belikan. Kebencian ini terjadi selama berbulan-bulan dan aku hanya bisa pasrah. Aku sudah menasihatinya, tapi tak digubris. Hingga pada suatu ketika, adikku berubah 180 derajat. Dia jadi peduli pada papa dan aku tak tahu apa yang menyebabkannya berubah. Yang aku tahu pasti, Tuhanlah yang mengubahkan sikap hati adikku. Melalui peristiwa papa terkena strok, aku mengenal bahwa Allah sanggup mengubah hati seseorang. 

Di akhir perenunganku ini, izinkan aku melontarkan dua pertanyaan:

Apakah peristiwa sulit yang kita alami membawa kita untuk tidak percaya pada Tuhan?

Allah seperti apakah yang kita temukan dalam peristiwa sulit yang kita alami? 

 

Ketika Ketakutanku Direngkuh-Nya

Oleh Paramytha Magdalena

Takut, cemas, dan stres sebenarnya adalah kondisi wajar yang pasti dialami setiap orang. Namun, beberapa waktu terakhir ini, ketakutan yang kualami rasanya tidak terkendali. Ketakutan itu tak cuma perasaan yang berkecamuk di hati, tetapi juga mempengaruhi apa yang kulakukan.

Kucoba merenung, mengambil waktu untuk mencari tahu dan mengingat kembali beberapa kejadian yang pernah membuatku merasa sangat takut. Kehilangan orang yang kukasihi, kehilangan dukungan dan merasa tidak diterima oleh orang-orang sekitar, tidak mendapat pekerjaan sesuai bidangku, dan ketakutanku yang terbaru adalah takut akan kematian.

Saat aku memikirkan segala ketakutan itu membuat tubuhku merespons dengan jantung yang berdegup kencang dan sering merasa lelah. Bahkan sehari-hari aku aku merasa hidup seperti orang mati, hilang arah dan penuh kebingungan. Aku berdoa tapi seperti tidak ada jawaban dan ketenangan. Aku mencari hiburan dan mengalihkan pikiran melalui sosial media, tapi sifatnya hanya sementara. Begitu juga saat aku menceritakan ini kepada pasanganku, leganya hanya sesaat. Takut dan cemas pun kembali datang.

Sampai suatu ketika, aku iseng membuka YouTube untuk mencari resep membuat roti. Namun, di beranda malah muncul khotbah dari seorang pendeta muda. Lalu aku menonton khotbah itu dan kurasa lewat inilah Tuhan mengingatkanku.

Dalam khotbahnya, sang pendeta menuturkan akan dua sumber ketakutan. Pertama, ketakutan dan kecemasan dapat terjadi karena aku merasa hidup ini adalah milikku sendiri, bukan milik Tuhan. Ketika aku merasa hidupku dan orang-orang terdekatku adalah milikku, itu membuatku berusaha keras untuk mengendalikannya, tapi yang terjadi malah semakin kacau. Semakin keras aku berusaha mengendalikan, malah semakin sering aku mengalami hal-hal yang sulit terkendali. Hasilnya: stres, dan takut yang semakin menjadi-jadi.

Sumber ketakutan yang kedua adalah karena aku ingin selalu terlihat baik di mata Tuhan dan sempurna di mata orang lain. Pemikiran ini membuatku takut bila dosa dan kelemahanku mengurangi penerimaan Tuhan atasku, juga orang-orang di sekitarku. Mengupayakan yang terbaik bagi Tuhan memang adalah suatu keharusan, tapi ketika itu kulakukan tanpa melibatkan-Nya, akhirnya aku hanya mengandalkan kekuatanku sendiri. Tuhan Yesus berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).

Frasa terakhir dari sabda Yesus tersebut terasa menegur, mendapat ketenangan adalah hasil ketika kita memikul kuk dan belajar pada-Nya. Aku merasa sering gagal dan jatuh bangun dalam mengikut-Nya. Motivasiku untuk taat adalah agar aku terlihat baik dan terhindar dari kejadian buruk bahkan dari kematian, tapi ini bukanlah yang Tuhan mau. Tuhan ingin aku paham bahwa ketika aku mengikut dan taat pada-Nya, tujuan utamanya bukanlah agar aku terhindar dari kejadian-kejadian buruk. Dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, siapa pun bisa saja mengalami kejadian buruk, tapi yang menjadi pembeda ialah ketika kita berjalan bersama Dia, kita tidak pernah ditinggalkan (Ibrani 13:5). Tuhan pun tidak risih dan anti dengan segala kelemahan maupun jatuh bangunku. Dia adalah pribadi yang setia dan kasih. Dia menerima, membimbing dan menjadikanku layak di hadapan-Nya bukan karena apa yang aku perbuat, tetapi karena kasih karunia saja.

Segala trauma dan kejadian buruk yang pernah kulalui masih menyisakan peluang untuk ketakutan itu hadir dalam hidupku, tapi Tuhan sanggup merengkuh semua ketakutan itu dan mengubahnya menjadi proses yang membentuk keberanian dan iman percayaku pada-Nya.

Sampai sekarang aku masih berjuang dengan rasa takut dan cemas ini. Setiap rasa takut dan cemas itu datang seolah menjadi alarmku bahwa aku harus kembali meletakkan fokus kepercayaanku pada-Nya. Karena hanya dalam hadirat-Nya ada damai sejahtera yang melampaui segala akal (Filipi 4:7).

Baca Juga:

Cerpen: Bekerja Sama dalam Perbedaan

Darahku berdesir cepat mengingat isi pikiranku sebelumnya. Beberapa kali aku kesal dengan teman-teman guru yang kurang mahir menggunakan laptop. Tidak jarang aku menganggap mereka enggan atau malas mempelajarinya.

Tempat Aman yang Palsu

Rabu, 25 September 2019

Tempat Aman yang Palsu

Baca: Markus 1:9-15

1:9 Pada waktu itu datanglah Yesus dari Nazaret di tanah Galilea, dan Ia dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes.

1:10 Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya.

1:11 Lalu terdengarlah suara dari sorga: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”

1:12 Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun.

1:13 Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia.

1:14 Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah,

1:15 kata-Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”

Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil! —Markus 1:15

Tempat Aman yang Palsu

Ketika anjing kami Rupert masih kecil, ia sangat takut pergi ke luar rumah. Saya sampai harus menyeretnya untuk bisa mengajaknya berjalan-jalan di taman. Suatu hari, setelah sampai di taman, dengan bodohnya saya melepaskan Rupert dari talinya. Ia langsung lari terbirit-birit, kembali ke rumah, ke tempat amannya.

Pengalaman itu mengingatkan saya kepada seorang laki-laki yang pernah saya jumpai di pesawat, yang meminta maaf kepada saya begitu pesawat bersiap untuk terbang di landas pacu. “Maaf, saya pasti akan mabuk di sepanjang penerbangan,” katanya. “Sebenarnya kamu tidak mau mabuk, bukan?” tanya saya. “Memang saya tidak mau,” jawab lelaki itu, “tetapi saya tidak bisa lepas dari minuman anggur.” Akhirnya ia memang mabuk, dan yang paling menyedihkan adalah ketika sang istri memeluknya ketika mereka turun dari pesawat, tetapi setelah mencium bau napasnya, ia mendorong suaminya jauh-jauh. Minuman telah menjadi pelariannya, suatu tempat aman yang palsu.

Yesus memulai misi-Nya dengan berkata, “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (mrk. 1:15). “Bertobat” berarti mengubah haluan. “Kerajaan Allah” adalah kekuasaan Allah yang penuh kasih atas hidup kita. Daripada berlari ke tempat-tempat yang menjerat kita, atau dikuasai oleh rasa takut dan candu yang merusak, Yesus menyatakan bahwa kita dapat dikuasai oleh Allah sendiri, yang dengan kasih-Nya membawa kita kepada kemerdekaan dan hidup baru.

Kini Rupert sangat senang pergi ke taman. Saya harap laki-laki yang saya jumpai tadi juga mengalami sukacita dan kemerdekaan sejati, serta meninggalkan tempat amannya yang palsu. —Sheridan Voysey

WAWASAN
Mengapa Yesus datang kepada Yohanes untuk dibaptis? (Markus 1:9). Markus mencatat bahwa Yohanes memberitakan, “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu“ (ay.4), dan Matius mencatat bahwa Yohanes membaptis “dengan air sebagai tanda pertobatan” (3:11). Yesus adalah satu-satunya manusia tak berdosa yang pernah hidup di bumi, artinya Dia tidak membutuhkan pertobatan atau pengampunan. Jadi, untuk apa Dia dibaptis? Sebagian orang menafsirkan bahwa baptisan Kristus merupakan pernyataan bahwa Dia mengambil bagian dalam/menyamakan diri dengan umat manusia yang berdosa. Sebagian lain mengatakan bahwa baptisan tersebut mengukuhkan pelayanan-Nya. Mungkin, dengan itu, Yesus menyatakan diri-Nya sama dengan manusia dalam hal penundukan diri kepada Allah dan kehendak Bapa. Itulah arti pengakuan dosa—seperti yang diperbuat oleh orang-orang yang dibaptis, yakni berserah diri kepada Allah. Dengan memberi diri dibaptis, Yesus melakukan hal yang sama. —J.R. Hudberg

Adakah tempat aman yang palsu yang kamu datangi saat kamu merasa ketakutan atau tertekan? Bagaimana kamu akan meninggalkannya hari ini agar kamu menyerahkan diri kamu di bawah kedaulatan Allah yang membawa kemerdekaan?

Tuhan Yesus, ampunilah aku karena aku sering mencari kebahagiaan di luar Engkau. Kini aku meninggalkan hal-hal tersebut dan menyerahkan hidupku kepada-Mu. Bawalah aku kepada kemerdekaan sejati.

Bacaan Alkitab Setahun: Kidung Agung 6-8; Galatia 4

Handlettering oleh Christa Brilian

Aku Tidak Takut Bahaya

Selasa, 10 September 2019

Aku Tidak Takut Bahaya

Baca: Mazmur 23

23:1 Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.

23:2 Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;

23:3 Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.

23:4 Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.

23:5 Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.

23:6 Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.

Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku. —Mazmur 23:4

Aku Tidak Takut Bahaya

Pada tahun 1957, Melba Pattillo Beals terpilih menjadi salah satu dari sembilan siswa kulit hitam pertama yang boleh bersekolah di Central High School, sebuah sekolah di Little Rock, Arkansas yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi siswa kulit putih. Dalam memoarnya yang terbit di tahun 2018, I Will Not Fear: My Story of a Lifetime of Building Faith under Fire (Aku Takkan Takut: Perjuangan Hidupku Membangun Iman di Bawah Tekanan), Beals mengungkapkan kisah memilukan tentang perjuangannya menghadapi ketidakadilan dan pelecehan yang ditanggungnya dengan berani setiap hari sebagai siswa berusia lima belas tahun.

Namun, ia juga menulis tentang imannya yang teguh kepada Allah. Di saat-saat tergelapnya, ketika ketakutan nyaris melumpuhkannya, Beals berulang kali mengucapkan ayat-ayat Alkitab yang sudah dipelajarinya sejak kecil dari neneknya. Saat mengucapkannya, Beals diingatkan kembali akan penyertaan Allah, dan Alkitab memberinya keberanian untuk bertahan.

Beals sering mengucapkan Mazmur 23 dan sangat terhibur dengan menyatakan bagian ini: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku” (ay.4). Selain itu, ia juga dikuatkan oleh dorongan semangat dari sang nenek yang selalu meyakinkannya bahwa Allah “sangat dekat denganmu, dan kau hanya perlu berseru kepada-Nya bila membutuhkan pertolongan.”

Meskipun situasinya mungkin berbeda, kita pasti akan mengalami masa-masa sulit dan keadaan menakutkan yang mudah membuat kita menyerah. Di saat-saat itulah, kiranya hatimu dikuatkan oleh kebenaran tentang kuasa kehadiran Allah yang akan selalu menyertai kita. —Lisa Samra

WAWASAN
Mazmur 23 karya Daud merupakan suatu ungkapan kepercayaan kepada Allah. Gambaran yang dipakai adalah kiasan Allah sebagai Gembala memimpin umat-Nya (ay.1), suatu metafora yang umum dipakai untuk para raja (2 Samuel 5:2; Yesaya 44:28). Sang Gembala membimbing pemazmur “ke air yang tenang” (Mazmur 23:2) dan “di jalan yang benar” (ay.3), lambang kedamaian yang menopang perjalanan kita, sekalipun “dalam lembah kekelaman” (ay.4). Gada dan tongkat (ay.4) biasa dipakai oleh para gembala untuk membimbing dan melindungi dombanya. Dari pengalamannya menjadi gembala, Daud tahu bahwa gada dan tongkat harus selalu dipakai untuk menjaga gembalaan tetap aman (1 Samuel 17:34-35). “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku,” kata “mengikuti” ini berasal dari bahasa Ibrani radaph, yang juga berarti “mengejar.” Kalimat terakhir ini menegaskan bahwa Allah akan menyertai Daud selama hidupnya, baik di bumi maupun di surga, di mana ia kelak “diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa” (Mazmur 23:6). —Julie Schwab

Pernahkah kamu merasakan kehadiran Allah dalam situasi yang menakutkan? Bagaimana kebenaran tentang Allah yang selalu menyertai itu menghiburmu?

Ya Bapa, ketika aku takut, tolong aku mengingat bahwa Engkau dekat, dan memperoleh keberanian dalam kehadiran-Mu yang berkuasa.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 8-9; 2 Korintus 3

Kamu Harus Rileks!

Sabtu, 24 Agustus 2019

Kamu Harus Rileks!

Baca: Mazmur 116:1-9

116:1 Aku mengasihi TUHAN, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku.

116:2 Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya.

116:3 Tali-tali maut telah meliliti aku, dan kegentaran terhadap dunia orang mati menimpa aku, aku mengalami kesesakan dan kedukaan.

116:4 Tetapi aku menyerukan nama TUHAN: “Ya TUHAN, luputkanlah kiranya aku!”

116:5 TUHAN adalah pengasih dan adil, Allah kita penyayang.

116:6 TUHAN memelihara orang-orang sederhana; aku sudah lemah, tetapi diselamatkan-Nya aku.

116:7 Kembalilah tenang, hai jiwaku, sebab TUHAN telah berbuat baik kepadamu.

116:8 Ya, Engkau telah meluputkan aku dari pada maut, dan mataku dari pada air mata, dan kakiku dari pada tersandung.

116:9 Aku boleh berjalan di hadapan TUHAN, di negeri orang-orang hidup.

Kembalilah tenang, hai jiwaku, sebab Tuhan telah berbuat baik kepadamu. —Mazmur 116:7

Kamu Harus Rileks!

“Kamu harus rileks,” kata tokoh dokter dalam film besutan Disney berjudul Rescuers Down Under, saat sedang merawat Wilbur si elang laut yang terluka. “Rileks? Aku rileks, kok!” sergah Wilbur, yang jelas-jelas tidak rileks dan justru semakin panik. “Mau lebih rileks bagaimana lagi? Nanti aku malah mati!”

Pernahkah kamu merasakan hal yang sama? Dalam film tersebut kepanikan Wilbur sebenarnya bisa dimengerti mengingat metode yang digunakan oleh si dokter tidak terlalu meyakinkan. Namun, adegan tersebut menarik karena mencerminkan dengan baik perasaan kita saat sedang panik.

Ketika kita sedang merasa sangat takut, nasihat untuk rileks bisa jadi terdengar konyol. Saya tahu bagaimana rasanya ketika hal-hal yang mengerikan dalam hidup ini datang bertubi-tubi dan “tali-tali maut” (mzm. 116:3) membuat saya tegang, sehingga secara naluriah saya cenderung melawan dan bukan rileks.

Namun demikian . . . sering kali di tengah kepanikan, usaha saya untuk melawan justru semakin membuat kegelisahan saya menjadi-jadi dan saya pun dilumpuhkan oleh ketakutan. Akan tetapi, saat saya, sekalipun agak terpaksa, mengizinkan diri saya merasakan kesakitan dan menyerahkannya kepada Allah (ay.4), sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ketegangan yang saya rasakan pun mereda (ay.7) dan damai sejahtera yang tidak saya mengerti melanda hati saya.

Saat kehadiran Roh Kudus yang menenangkan itu melingkupi saya, saya pun semakin memahami kebenaran dari inti Injil: perjuangan kita yang terbaik adalah dengan berserah ke dalam dekapan tangan Allah yang kuat (1ptr. 5:6-7). —Monica Brands

WAWASAN
Orang yang pernah nyaris kehilangan nyawanya akan semakin menyadari nilai kehidupan dan pentingnya hidup benar di hadapan Allah. Dalam mazmur ini, pemazmur yang tidak disebut namanya bersyukur kepada Allah karena telah meluputkannya dari maut (116:3,8). Dengan keyakinan pada kedaulatan Allah atas hidup dan matinya, ia menulis, “Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (ay.15). Setelah mendapatkan kesempatan baru untuk hidup, pemazmur dengan penuh syukur bertanya, “Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?” (ay.12). Ia pun mempersembahkan tahun-tahun “perpanjangannya” dengan melayani Allah seumur hidup sebagai ungkapan syukur atas kebaikan-Nya (ay.13-19). Ia bertekad untuk “berjalan di hadapan TUHAN di negeri orang-orang hidup” (ay.9). Hizkia dan Yunus juga memanjatkan doa serupa setelah hidup mereka diselamatkan (Yesaya 38:10-20; Yunus 2:1-9). —K.T.Sim

Pergumulan apa yang menjerat kamu seperti “tali-tali maut” dalam hidupmu? Bagaimana kamu dapat bertumbuh menjadi lebih bergantung pada kasih dan pemeliharaan Allah dalam situasi sulit?

Ya Allah, tolonglah kami menyerahkan upaya kami yang sia-sia untuk memegang kendali dan melepaskan beban yang tidak perlu kami pikul supaya kami mengalami kasih karunia dan kebaikan-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 116-118; 1 Korintus 7:1-19

Bertahan dengan Berani

Minggu, 17 Maret 2019

Bertahan dengan Berani

Baca: Ulangan 31:1-8

31:1 Kemudian pergilah Musa, lalu mengatakan segala perkataan ini kepada seluruh orang Israel.

31:2 Berkatalah ia kepada mereka: “Aku sekarang berumur seratus dua puluh tahun; aku tidak dapat giat lagi, dan TUHAN telah berfirman kepadaku: Sungai Yordan ini tidak akan kauseberangi.

31:3 TUHAN, Allahmu, Dialah yang akan menyeberang di depanmu; Dialah yang akan memunahkan bangsa-bangsa itu dari hadapanmu, sehingga engkau dapat memiliki negeri mereka; Yosua, dialah yang akan menyeberang di depanmu, seperti yang difirmankan TUHAN.

31:4 Dan TUHAN akan melakukan terhadap mereka seperti yang dilakukan-Nya terhadap Sihon dan Og, raja-raja orang Amori, yang telah dipunahkan-Nya itu, dan terhadap negeri mereka.

31:5 TUHAN akan menyerahkan mereka kepadamu dan haruslah kamu melakukan kepada mereka tepat seperti perintah yang kusampaikan kepadamu.

31:6 Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”

31:7 Lalu Musa memanggil Yosua dan berkata kepadanya di depan seluruh orang Israel: “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkau akan masuk bersama-sama dengan bangsa ini ke negeri yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyang mereka untuk memberikannya kepada mereka, dan engkau akan memimpin mereka sampai mereka memilikinya.

31:8 Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.”

Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar. —Ulangan 31:6

Daily Quotes ODB

Ketika sebagian besar pemimpin gereja di Jerman tunduk kepada Hitler, pendeta dan teolog Martin Niemöller termasuk segelintir orang yang berani menentang kejahatan Nazi. Saya ingat pernah membaca cerita tentang suatu hari di dekade 1970-an, ketika sekelompok orang tua Jerman berdiri di depan sebuah hotel besar, seorang lelaki yang terlihat lebih muda dari mereka semua terlihat sibuk mengurusi koper-koper. Seseorang bertanya tentang mereka. “Mereka para pendeta dari Jerman,” jawab seseorang. “Lalu, siapa pria yang lebih muda itu?” “Itu Martin Niemöller—umurnya sudah delapan puluh tahun. Namun, ia tetap terlihat muda karena ia tidak kenal takut.

Niemöller tidak kenal takut bukan karena ia manusia super yang memiliki kemampuan untuk tidak merasa takut, tetapi semata-mata karena anugerah Allah. Sebenarnya dahulu ia anti dengan orang Yahudi. Namun, ia bertobat dan Allah memulihkannya. Dia menolongnya untuk memberitakan dan menghidupi kebenaran.

Musa mendorong bangsa Israel untuk mengalahkan ketakutan dan mengikuti kebenaran Allah. Ketika bangsa itu takut karena menyadari Musa akan segera wafat, sang pemimpin meneguhkan mereka dengan kata-kata yang tegas: “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar . . . sebab Tuhan, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau” (Ul. 31:6). Tidak ada alasan untuk gentar terhadap masa depan yang tidak pasti karena satu alasan: Allah menyertai mereka.

Masalah apa pun yang menghadang kamu di depan, apa pun persoalan yang bertubi-tubi melanda—Allah menyertaimu. Dengan anugerah-Nya, kiranya kamu dapat menghadapi ketakutan itu dengan kesadaran bahwa Allah “tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (ay.6,8). —Winn Collier

Ketakutan apa yang sedang kamu hadapi? Bagaimana kehadiran Allah memberikan keberanian kepada hatimu?

Hidup dengan berani bukan berarti tidak merasa takut, melainkan tidak ditundukkan oleh ketakutan itu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 30-31; Markus 15:1-25

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Let Fear Rule Me

Setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Kadang, ketakutan itu begitu mempengaruhi kita hingga kita terjebak di dalamnya. Buatku, ketakutan yang kualami bermula dari peristiwa masuk angin.

Suatu hari aku terbangun dengan rasa tidak enak di tenggorokan yang kemudian berubah menjadi batuk-batuk. Aku memutuskan untuk pergi menemui dokter. Apa diagnosisnya? Kata dokter, itu hanya gejala masuk angin biasa. Aku disarankan untuk cuti beristirahat di rumah selama dua hari.

Kupikir tubuhku akan lebih baik setelah itu, tapi batuknya malah semakin parah. Aku juga merasa mual. Aku kehilangan nafsu makan dan tidak bisa menyantap makanan apapun. Tapi, aku harus memaksa diriku makan supaya aku bisa minum obat. Sepanjang hari aku merasa mengantuk dan terkadang demam. Aktivitas yang kulakukan cuma tertidur, tapi karena batuk, aku jadi sering terbangun.

Keadaan terasa lebih parah karena aku khawatir akan pekerjaanku yang harus kuselesaikan di kantor. Bosku sedang pergi dan tidak ada staf lain yang terlatih untuk menjalin komunikasi dengan klien.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Saat aku berada di dalam kereta, aku mulai batuk-batuk. Orang-orang di sekelilingku pun menjauhiku.

Aku benci situasi itu—aku berharap seandainya saja aku tidak sakit. Aku berharap seandainya aku bisa menyembunyikan diri dari penumpang-penumpang lain. Orang-orang menghindariku seolah aku ini sedang menderita penyakit yang aneh dan menular. Rasanya begitu memalukan.

Bagaimana mungkin sekadar masuk angin membuatku merasa begitu tidak nyaman? Kapan aku akan sembuh? Sudah lima hari berlalu. Apakah ini benar-benar cuma masuk angin? Dokter yang memeriksaku sepertinya telah salah!

Bagaimana kalau ternyata aku menderita kanker paru-paru? Atau TBC? Aku tahu seseorang yang menderita TBC dan masa-masa pemulihannya itu sangat menyakitkan, penuh dengan jarum, obat-obatan yang berbeda, rawat inap, dan beberapa kali kunjungan ke dokter. Gejala awal penyakit parah itu dimulai dari sekadar masuk angin dan pilek juga.

Aku mencoba mengalihkan diriku dari pikiran-pikiran negatif dengan mendengarkan lagu-lagu. Aku menemukan sebuah lagu dari Casting Crowns yang berjudul Oh My Soul. Mark Hall, penulis sekaligus penyanyinya berkata: “Ada suatu tempat di mana ketakutan harus berhadapan dengan Tuhan yang kamu percaya.” Lagu ini melegakanku.

Tuhan sedang memberitahuku untuk tidak takut. Tuhan menggunakan lagu itu untuk meyakinkanku, agar aku meletakkan ketakutanku di hadapan-Nya sebab Dia begitu mengerti akan diriku. Ketika kita membawa ketakutan kita ke hadapan Tuhan, Dia memikulnya untuk kita dan membebaskan kita.

Ketika aku mencari tahu lebih tentang lagu itu, aku mendapati bahwa penulisnya menulis lagu itu saat dia berada di titik terendahnya—di suatu malam ketika dia didiagnosis menderita tumor di di dalam ginjalnya.

Aku terinspirasi dari iman yang diungkapkan oleh sang penulis lagu itu. Aku menyembah Tuhan yang selalu berada di sisiku di segala musim kehidupan, dan Dia tidak pernah meninggalkanku. Lantas, mengapa aku tidak menanggalkan segala ketakutanku? Aku begitu khawatir, terjebak di dalamnya, hingga aku lupa kalau sebenarnya aku bisa menyerahkan segala ketakutan itu kepada Tuhan.

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Semakin aku berfokus kepadanya, semakin aku menjadi takut. Sebaliknya, aku dapat memberitahu diriku untuk fokus kepada Tuhan. Dan, dengan segera aku mendapatkan kedamaian hati karena aku mengetahui bahwa aku dapat menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan yang kutahu.

Dalam diam, aku mengucapkan doa memohon ampun. Aku telah mengizinkan ketakutanku merampas kedamaian hatiku ketika seharusnya aku dapat menyerahkan segala rasa itu kepada Tuhan. Malam itu, aku menyembah Tuhan, berdoa, lalu tertidur.

Di tengah malam, aku batuk-batuk lagi. Tapi, anehnya, kali ini aku menangis. Aku merasa hadirat Tuhan melingkupiku tepat di saat aku benar-benar membutuhkan penghiburan. Saat itu aku merasakan kedamaian yang Ilahi dalam hatiku. Aku teringat Yohanes 14:27, ketika Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Perkataan ini memenuhi hatiku dan aku merasa terhibur oleh firman Tuhan. Dari ayat ini, aku diingatkan bahwa Tuhan memberikan damai-Nya bagi kita bahkan ketika kita sedang menghadapi masalah. Kita tidak perlu takut sebab Tuhan ada bersama dengan kita.

Setelah beberapa menit, aku merasa seperti ada sesuatu yang terangkat dari tenggorokanku dan secara ajaib Tuhan menyembuhkanku. Tenggorokanku tidak lagi terasa gatal dan kering seperti hari-hari sebelumnya, dan batukku pun lebih berkurang sejak saat itu dan seterusnya. Di akhir minggu, batuk itu lenyap seutuhnya.

Melalui sakit yang kualami, itulah cara Tuhan mengingatkanku bahwa ada sebuah tempat di mana kita bisa meletakkan segala ketakutan kita, sebuah tempat di mana kita dapat merasa aman. Tuhan adalah Gembala yang baik, yang menyerahkan hidup-Nya untuk domba-domba-Nya (Yohanes 10:11). Karena Tuhan ada di sisiku, aku tidak perlu takut kehilangan kesehatan atau kenyamanan hidupku. Meskipun aku tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupku, Tuhan sanggup melakukannya.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Hal Buruk dan Hal Indah

Selasa, 16 Oktober 2018

Hal Buruk dan Hal Indah

Baca: Mazmur 57

57:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Jangan memusnahkan. Miktam Dari Daud, ketika ia lari dari pada Saul, ke dalam gua.57:2 Kasihanilah aku, ya Allah, kasihanilah aku, sebab kepada-Mulah jiwaku berlindung; dalam naungan sayap-Mu aku akan berlindung, sampai berlalu penghancuran itu.

57:3 Aku berseru kepada Allah, Yang Mahatinggi, kepada Allah yang menyelesaikannya bagiku.

57:4 Kiranya Ia mengirim utusan dari sorga dan menyelamatkan aku, mencela orang-orang yang menginjak-injak aku. Sela Kiranya Allah mengirim kasih setia dan kebenaran-Nya.

57:5 Aku terbaring di tengah-tengah singa yang suka menerkam anak-anak manusia, yang giginya laksana tombak dan panah, dan lidahnya laksana pedang tajam.

57:6 Tinggikanlah diri-Mu mengatasi langit, ya Allah! Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh bumi!

57:7 Mereka memasang jaring terhadap langkah-langkahku, ditundukkannya jiwaku, mereka menggali lobang di depanku, tetapi mereka sendiri jatuh ke dalamnya. Sela

57:8 Hatiku siap, ya Allah, hatiku siap; aku mau menyanyi, aku mau bermazmur.

57:9 Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar!

57:10 Aku mau bersyukur kepada-Mu di antara bangsa-bangsa, ya Tuhan, aku mau bermazmur bagi-Mu di antara suku-suku bangsa;

57:11 sebab kasih setia-Mu besar sampai ke langit, dan kebenaran-Mu sampai ke awan-awan.

57:12 Tinggikanlah diri-Mu mengatasi langit, ya Allah! Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh bumi!

Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar! —Mazmur 57:9

Hal Buruk dan Hal Indah

Rasa takut dapat membuat kita tak berdaya. Kita tahu segala hal yang bisa membuat kita takut—segala sesuatu yang menyakiti kita di masa lalu, yang sangat mudah melukai kita kembali. Jadi terkadang kita terperangkap—tak bisa mengulang kembali, tetapi terlalu takut untuk melangkah maju. Aku tak bisa melakukannya. Aku tak cukup pintar, tak cukup kuat, tak cukup berani untuk maju, karena aku khawatir akan disakiti seperti itu lagi.

Saya tertarik dengan cara penulis Frederick Buechner mendeskripsikan anugerah Allah. Anugerah Allah itu seperti suara lembut yang berkata, “Inilah dunia. Hal buruk dan hal indah akan terjadi. Jangan takut. Aku menyertaimu.”

Hal buruk akan terjadi. Di dunia ini, manusia saling menyakiti, bahkan sering dengan cara yang sangat pedih. Seperti Daud sang pemazmur, kita membawa kenangan masa lalu saat kejahatan mengepung kita, saat orang lain melukai kita bagai “singa yang suka menerkam” (Mzm. 57:5), dan itu membuat kita berduka sehingga kita pun berseru kepada Allah (ay.2-3).

Namun, karena Allah menyertai kita, hal-hal indah juga dapat terjadi. Ketika datang kepada-Nya dengan membawa luka hati dan ketakutan kita, kita menyadari bahwa kita ditopang oleh kasih yang jauh lebih besar daripada kuasa apa pun yang hendak melukai kita (ay.2-4), kasih yang begitu besar hingga sampai ke langit (ay.11). Bahkan ketika bencana berkecamuk di sekitar kita, kasih-Nya menjadi tempat perlindungan yang aman bagi pemulihan hati kita (ay.2,8). Suatu hari nanti, kita akan dibangunkan untuk menerima keberanian yang baru, sehingga kita siap menyambut hari dengan menyanyikan syukur tentang kasih setia-Nya (ay.9-11). —Monica Brands

Penyembuh dan Penebus kami yang agung, terima kasih karena Engkau telah menyertai dan memulihkan kami dengan kasih setia-Mu yang tiada berkesudahan. Dalam kasih-Mu, tolonglah kami memperoleh keberanian untuk mengikuti-Mu dan membagikan kasih itu kepada orang-orang di sekitar kami.

Kasih dan keindahan Allah menjadikan kita berani.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 47-49; 1 Tesalonika 4

Artikel Terkait:

Lagi-Lagi Tentang Kasih …

Menatap Cakrawala

Selasa, 29 Mei 2018

Menatap Cakrawala

Baca: Ibrani 11:8-16

11:8 Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.

11:9 Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu.

11:10 Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.

11:11 Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.

11:12 Itulah sebabnya, maka dari satu orang, malahan orang yang telah mati pucuk, terpancar keturunan besar, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya.

11:13 Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.

11:14 Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air.

11:15 Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal, yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ.

11:16 Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.

Kita mencari kota yang akan datang. —Ibrani 13:14

Menatap Cakrawala

Segera setelah feri mulai bergerak, putri kecil saya mengatakan bahwa ia merasa kurang enak badan. Ia mulai merasa mabuk laut. Tak lama kemudian, saya juga merasa mual. “Tatap cakrawala,” saya mencoba mengingatkan diri sendiri. Para pelaut mengatakan bahwa menatap cakrawala akan menolong sudut pandang kita untuk benar kembali.

Sang Pencipta cakrawala (Ayb. 26:10) tahu bahwa adakalanya dalam hidup ini, kita merasa takut dan gelisah. Sudut pandang kita dapat dibenarkan kembali ketika kita memusatkan perhatian pada satu titik yang tetap dari tujuan kita yang kekal di ujung jalan.

Penulis kitab Ibrani memahami hal itu. Ia dapat merasakan kegelisahan dan keputusasaan para pembacanya. Penganiayaan telah membuat banyak orang meninggalkan rumah mereka. Jadi ia mengingatkan mereka bahwa orang-orang beriman lainnya juga pernah mengalami pencobaan yang lebih berat dan kehilangan tempat tinggal. Mereka dapat bertahan di tengah-tengah semua penderitaan itu karena mereka menantikan sesuatu yang lebih baik.

Sebagai kaum yang terbuang, para pembaca kitab itu dapat menantikan sebuah kota yang direncanakan dan dibangun oleh Allah, yakni tanah air surgawi yang telah disiapkan Allah bagi mereka (Ibr. 11:10,14,16). Jadi dalam nasihat terakhirnya, penulis mendorong para pembacanya untuk berfokus pada janji-janji Allah. “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang” (13:14).

Masalah-masalah yang kita hadapi saat ini hanyalah sementara. Kita adalah “orang asing dan pendatang di bumi ini” (11:13), tetapi dengan menatap cakrawala dari janji-janji Allah, kita menerima pedoman yang kita perlukan. —Keila Ochoa

Bapa, di tengah-tengah masalah yang kualami, tolong aku untuk berfokus pada janji-janji-Mu.

Berfokuslah kepada Allah dan sudut pandang kita akan benar kembali.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 7-9; Yohanes 11:1-29

Artikel Terkait:

5 Mitos Tentang Surga