Posts

3 Kebenaran tentang Ketaatan yang Mengubahku

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Di awal tahun baru 2020, aku mau lebih berkomitmen dalam membaca Alkitab, berdoa, pelayanan, dan meninggalkan sifat-sifat manusia lamaku. Dua bulan sudah dilewati di tahun ini, ada beberapa komitmenku yang berhasil dan ada juga yang tidak. Memenuhi komitmen memang gampang-gampang susah. Aku pun merefleksikan kembali, mengapa aku bisa taat menjalankan beberapa komitmen, sedangkan di hal-hal lainnya aku tidak.

Bersyukurnya, di tahun ini pula, kelompok kecil di gerejaku membahas bersama-sama sebuah buku berjudul “The Freedom of Obedience: Choosing the Way of True Liberation” karya Martha Thatcher. Buku ini membahas bagaimana kita sebagai orang percaya dapat mengerti paradigma ketaatan yang benar.

Melalui pembelajaran dari buku itu, ada tiga hal yang kupelajari tentang ketaatan yang benar di hadapan Tuhan. Tiga hal inilah yang ingin juga kubagikan kepadamu.

1. Ketaatan yang benar didasarkan atas kasih kepada Tuhan

Di awal bukunya, penulis memberikan illustrasi tentang Abraham yang mempersembahkan anaknya, Ishak, kepada Tuhan. Sekilas, perintah Tuhan bagi Abraham terdengar tak masuk akal. Bukankah Abraham dijanjikan akan memiliki keturunan yang banyak (Kejadian 15:5), lantas mengapa Ishak, anak satu-satunya malah harus dikorbankan (Kejadian 22:2)?

Jika kita mengalami kondisi seperti Abraham, kira-kira bagaimanakah kita akan merespons? Kembali ke kisah Abraham, Alkitab mencatat Abraham taat melakukan perintah Tuhan tersebut, meski mungkin itu rasanya tidak masuk akal. Apakah yang membuat Abraham bersedia taat? Jawabannya adalah karena dia mengasihi Tuhan.

Abraham tidak meragukan ketaatannya sebab dasar imannya adalah pengalaman pribadi bersama Tuhan. Ketaatannya adalah buah dari imannya yang mengasihi Tuhan. Abraham tahu siapa Tuhan berdasarkan pengalaman pribadinya bersama Tuhan di masa lalunya. Mendapati Ishak di usianya yang tua sendiri adalah penggenapan janji Tuhan di dalam hidupnya. Di Kejadian pasal 22 Alkitab mencatat Allah lalu memberkati Abraham atas iman percayanya.

Melalui sekilas kisah Abraham, aku belajar untuk lebih menumbuhkan kasihku atas Tuhan. Semakin kasihku kepada Tuhan bertumbuh, aku bisa lebih bersukacita dalam ketaatanku. Aku berterima kasih kepada Tuhan atas kasih karunia-Nya yang berlimpah kepadaku walaupun aku orang berdosa dan bagaimana Dia memimpin jalan-jalanku hingga saat ini. Aku berpikir dengan selalu mengingat hal-hal ini, aku bisa lebih menumbuhkan kasihku kepada Tuhan.

2. Ketaatan yang benar diperoleh dengan fokus tertuju kepada Tuhan

Salah satu contoh tokoh Alkitab yang selalu memiliki fokus tertuju kepada Tuhan adalah Daud. Walaupun Daud dikejar-kejar oleh musuhnya yang tidak lain ada keluarganya sendiri, hatinya selalu tertuju kepada Tuhan.

“Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya Tuhan” (Mazmur 27:8

Apakah hatiku benar-benar tertuju kepada Tuhan dan Firman-Nya? Apakah ketaatanku sungguh merupakan wujud dari kasihku pada Tuhan? Atau, apakah aku hanya lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang aku lakukan dalam ketaatanku?

Penulis buku tersebut menjelaskan orang yang tergolong dalam tipe kedua cenderung menggantikan ketaatan yang benar dengan menyesuaikan diri dengan budaya Kristen di sekitarnya. Semisal, walaupun tidak pernah absen pergi ke gereja, tetap egois dan membenci orang-orang di sekitar. Walaupun mendengar dengan seksama khotbah pendeta di gereja, Alkitab kita selalu tertutup di hari-hari lainnya. Giat melayani di gereja, tetapi tidak peka dengan kebutuhan keluarga. Rajin memberikan persembahan, tetapi hatinya masih serakah. Kita tidak melatih hati kita selaras dengan ketaatan eksternal yang kita lakukan. Kita melaksanakan ketaatan tanpa fokus yang tertuju kepada Tuhan.

Ketaatan dengan fokus kepada Tuhan bukanlah hal yang mudah. Kita perlu mengaplikasikan apa yang kita pelajari di gereja atau di saat teduh masing-masing. Sebagai contoh: dalam kehidupanku, aku belajar tentang kasih yang ditulis oleh Rasul Paulus di 1 Korintus 13, tetapi aku termasuk orang yang terkadang iri hati dengan pencapaian orang lain yang sempat membuatku sulit mengasihi orang tersebut. Apa yang aku pelajari hanya sebatas pengetahuan di kepalaku. Untuk membantuku mengubah karakterku, aku berdoa buat orang tersebut dan berharap dia memperoleh yang terbaik. Aku bersukacita ketika dia memperolehnya. Secara perlahan-lahan, Tuhan memampukanku untuk mengasihi orang tersebut.

“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibrani 12:2)

3. Ketaatan yang benar bertujuan untuk menumbuhkan karakter Kristus dalam kehidupan kita

Tuhan, aku sudah giat berdoa dan membaca Firman-Mu, tetapi mengapa aku sulit mengubah sifat manusia lamaku? Pertumbuhan rohani tidak berlangsung secara instan dan memerlukan proses. Sebagaimana bayi bertumbuh menjadi orang dewasa, kita juga bertumbuh secara rohani ketika kita menerima Yesus Kristus dalam kehidupan kita.

“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:29).

Bapa kita di Surga melihat kita sebagai anak-anak-Nya yang bertumbuh menyerupai Kristus. Kita memiliki rupa Kristus, tetapi itu terselubung dalam sifat kita yang jatuh. Kejatuhan kita dalam dosa tak cuma membuat tindakan kita menjadi tercela, tetapi juga cara pandang kita akan segala sesuatu, serta visi hidup kita menjadi buram. Kita tidak tahu dengan benar bagaimana isi hati kita yang sesungguhnya karena kita memiliki pengertian yang kabur. Kita membandingkan diri kita dengan orang-orang Kristen lainnya di sekitar kita. Kita melihat diri kita dalam terang apa yang kita pikir Tuhan inginkan dari “orang Kristen yang baik” atau kita membiarkan “budaya-budaya Kristen” saat ini untuk menentukan arah dan pemikiran kita. Semua pemikiran seperti ini hanya akan membawa kita ke kesimpulan yang salah.

Ketika ketaatan kita didasarkan pada kasih kita pada Tuhan, dan kita memusatkan pandangan kepada-Nya, maka Tuhan akan mengubahkan persepsi kita yang hanya berdasarkan pengertian kita sendiri dengan kebenaran-Nya. Allah telah memberi kita masing-masing iman, sekarang tugas kita adalah menumbuhkan karakter diri yang serupa dengan Kristus dengan penilaian yang bijaksana sesuai dengan Firman Tuhan.

“For by the grace given me I say to every one of you: Do not think of yourself more highly than you ought, but rather think of yourself with sober judgment, in accordance with the faith God has distributed to each of you” (Romans 12:3 NIV)

Tanpa mengevaluasi bagaimana caraku hidup, aku bisa dengan mudah jatuh mengikuti cara berpikir dunia. Melalui kasih karunia Tuhan, aku dimampukan-Nya untuk terus mengevaluasi ketaatan-ketaatan yang kulakukan.

Baca Juga:

Tuhan Memampukanku Menyatakan Kasih Kepada Orang Yang Paling Sulit Kukasihi

18 tahun aku tidak berkomunikasi dengan ayah kandungku, dan aku pernah menganggapnya jahat karena dia meninggalkanku. Namun, di tahun ini, Tuhan mau agar aku mengasihi ayahku. Sulit, tapi inilah pergumulanku.

Lintasan Biru

Minggu, 8 September 2019

Lintasan Biru

Baca: Amsal 4:10-27

4:10 Hai anakku, dengarkanlah dan terimalah perkataanku, supaya tahun hidupmu menjadi banyak.

4:11 Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, aku memimpin engkau di jalan yang lurus.

4:12 Bila engkau berjalan langkahmu tidak akan terhambat, bila engkau berlari engkau tidak akan tersandung.

4:13 Berpeganglah pada didikan, janganlah melepaskannya, peliharalah dia, karena dialah hidupmu.

4:14 Janganlah menempuh jalan orang fasik, dan janganlah mengikuti jalan orang jahat.

4:15 Jauhilah jalan itu, janganlah melaluinya, menyimpanglah dari padanya dan jalanlah terus.

4:16 Karena mereka tidak dapat tidur, bila tidak berbuat jahat; kantuk mereka lenyap, bila mereka tidak membuat orang tersandung;

4:17 karena mereka makan roti kefasikan, dan minum anggur kelaliman.

4:18 Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari.

4:19 Jalan orang fasik itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung.

4:20 Hai anakku, perhatikanlah perkataanku, arahkanlah telingamu kepada ucapanku;

4:21 janganlah semuanya itu menjauh dari matamu, simpanlah itu di lubuk hatimu.

4:22 Karena itulah yang menjadi kehidupan bagi mereka yang mendapatkannya dan kesembuhan bagi seluruh tubuh mereka.

4:23 Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.

4:24 Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu.

4:25 Biarlah matamu memandang terus ke depan dan tatapan matamu tetap ke muka.

4:26 Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah tetap segala jalanmu.

4:27 Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, jauhkanlah kakimu dari kejahatan.

Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, aku memimpin engkau di jalan yang lurus. —Amsal 4:11

Lintasan Biru

Jalur perlombaan ski yang menuruni bukit sering kali ditandai dengan cat biru yang disemprotkan ke permukaan salju yang putih di sepanjang lintasan. Lengkungan yang dibuat kasar itu mungkin mengganggu pemandangan penonton tetapi terbukti sangat penting bagi kesuksesan dan keselamatan para peserta lomba. Cat tersebut berfungsi sebagai panduan bagi para pembalap untuk mempunyai gambaran tentang jalur tercepat menuju dasar bukit. Selain itu, warna biru yang kontras dengan permukaan salju memberikan persepsi kedalaman kepada para pembalap, dan itu sangat penting bagi keselamatan mereka saat melaju dalam kecepatan yang sangat tinggi.

Salomo meminta putra-putranya untuk mencari hikmat dengan harapan agar mereka selamat di dalam arena kehidupan. Salomo berkata bahwa hikmat akan “memimpin [mereka] di jalan yang lurus” dan menjaga mereka agar tidak tersandung (Ams. 4:11-12), seperti garis biru di lintasan lomba tadi. Harapan terbesarnya sebagai seorang ayah adalah agar anak-anaknya menikmati hidup yang berkelimpahan, bebas dari kerusakan yang akan dialami ketika hidup jauh dari hikmat Allah.

Allah, sebagai Bapa kita yang penuh kasih, juga memberikan “garis biru” sebagai panduan dalam Alkitab. Meskipun Allah memberikan kebebasan kepada kita untuk bergerak ke mana pun kita suka, hikmat yang Dia berikan dalam firman-Nya, seperti garis-garis penanda lintasan ski, akan “menjadi kehidupan bagi mereka yang mendapatkannya” (ay.22). Saat kita berbalik dari kejahatan dan memilih berjalan bersama-Nya, jalan hidup kita akan diterangi oleh kebenaran-Nya. Kebenaran itu menjaga kita agar tidak tersandung dan memandu perjalanan kita setiap hari (ay.12,18). —Kirsten Holmberg

WAWASAN
Struktur kitab Amsal sangat mudah dikenali. Pasal 1-9 berisi nasihat seorang bapa kepada anaknya, meliputi tema-tema seperti hikmat dan kekudusan hidup. Pasal 10-31 sebagian besar berisi kumpulan pepatah bijak yang kerap membandingkan kehidupan berhikmat dalam sembilan pasal pertama dengan kebebalan yang membinasakan diri sendiri. —Bill Crowder

Dengan merenungkan hikmat Allah, bagaimana kamu telah dijaga sehingga tidak tersandung? Dalam hal apa saja kamu menjadi semakin serupa dengan Yesus?

Allahku, terima kasih untuk firman-Mu. Tolonglah aku teguh berpegang kepada hikmat yang Engkau berikan.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 3-5; 2 Korintus 1

Berhenti Melarikan Diri

Selasa, 9 Juli 2019

Berhenti Melarikan Diri

Baca: Yunus 2:1-10

2:1 Berdoalah Yunus kepada TUHAN, Allahnya, dari dalam perut ikan itu,

2:2 katanya: “Dalam kesusahanku aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku, dari tengah-tengah dunia orang mati aku berteriak, dan Kaudengarkan suaraku.

2:3 Telah Kaulemparkan aku ke tempat yang dalam, ke pusat lautan, lalu aku terangkum oleh arus air; segala gelora dan gelombang-Mu melingkupi aku.

2:4 Dan aku berkata: telah terusir aku dari hadapan mata-Mu. Mungkinkah aku memandang lagi bait-Mu yang kudus?

2:5 Segala air telah mengepung aku, mengancam nyawaku; samudera raya merangkum aku; lumut lautan membelit kepalaku

2:6 di dasar gunung-gunung. Aku tenggelam ke dasar bumi; pintunya terpalang di belakangku untuk selama-lamanya. Ketika itulah Engkau naikkan nyawaku dari dalam liang kubur, ya TUHAN, Allahku.

2:7 Ketika jiwaku letih lesu di dalam aku, teringatlah aku kepada TUHAN, dan sampailah doaku kepada-Mu, ke dalam bait-Mu yang kudus.

2:8 Mereka yang berpegang teguh pada berhala kesia-siaan, merekalah yang meninggalkan Dia, yang mengasihi mereka dengan setia.

2:9 Tetapi aku, dengan ucapan syukur akan kupersembahkan korban kepada-Mu; apa yang kunazarkan akan kubayar. Keselamatan adalah dari TUHAN!”

2:10 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada ikan itu, dan ikan itupun memuntahkan Yunus ke darat.

Dalam kesusahanku aku berseru kepada Tuhan, dan Ia menjawab aku, dari tengah-tengah dunia orang mati aku berteriak, dan Kaudengarkan suaraku. —Yunus 2:2

Berhenti Melarikan Diri

Pada tanggal 18 Juli 1983, seorang kapten Angkatan Udara Amerika Serikat menghilang tanpa jejak dari kota Albuquerque di negara bagian New Mexico. Tiga puluh lima tahun kemudian, pihak berwenang menemukannya di California. Surat kabar The New York Times melaporkan bahwa orang tersebut mengalami “depresi dengan pekerjaannya” dan memutuskan untuk melarikan diri begitu saja.

Tiga puluh lima tahun dalam pelarian! Setengah dari masa hidupnya dihabiskan dalam kondisi tidak tenang. Pastilah kekhawatiran dan paranoia selalu membayangi dirinya.

Namun, harus diakui saya juga tahu sedikit banyak apa rasanya menjadi seorang “pelarian”. Memang saya tidak pernah melarikan diri dari sesuatu dalam hidup saya . . . secara fisik. Namun, adakalanya saya tahu ada sesuatu yang Tuhan mau saya lakukan, atau sesuatu yang harus saya hadapi atau akui. Akan tetapi, saya tidak ingin melakukannya, dan itu sama saja dengan melarikan diri dari-Nya.

Nabi Yunus dikenal karena pernah melarikan diri dari tugas yang diberikan Allah untuk berkhotbah ke kota Niniwe (lihat Yun. 1:1-3). Tentu saja Yunus tidak mungkin bisa melarikan diri dari Allah. Kamu mungkin sudah mengetahui kisah selanjutnya (ay.4,17): Badai besar. Ikan besar. Ditelan ikan. Lalu, di dalam perut makhluk yang menakutkan itu, Yunus dihadapkan pada perbuatannya, dan ia pun berseru meminta tolong kepada Allah (2:2).

Yunus bukanlah nabi yang sempurna. Namun, saya terhibur oleh kisahnya, karena Allah tidak pernah melepaskan Yunus walaupun ia sangat keras kepala. Tuhan masih menjawab doa yang dinaikkan Yunus dalam kepasrahan dan dengan kemurahan-Nya memulihkan kembali sang hamba yang enggan (ay.2). Tuhan juga sanggup melakukan hal yang sama terhadap kita. —Adam Holz

WAWASAN
Semula, Yunus diutus untuk melayani kerajaan Israel utara pada masa pemerintahan raja Yerobeam II (2 Raja-raja 14:23-28). Allah kemudian mengutusnya untuk bernubuat kepada Ninewe, ibukota Asyur, guna memperingatkan mereka agar bertobat atau menghadapi penghakiman Allah (Yunus 1:1). Setelah Yunus menolak melakukan misi baru ini dan melarikan diri ke arah yang berlawanan (ay. 3), Allah mendisiplinkannya dengan memerintahkan seekor ikan besar untuk menelannya (ay. 4, 17). Dalam Yunus 2, diceritakan doa pertobatan nabi Yunus selama berada di dalam perut ikan. Yesus memakai peristiwa ini untuk memberikan tanda tentang kematian dan kebangkitan-Nya. “Karena sama seperti Yunus yang berada dalam perut ikan besar selama tiga hari dan tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan berada di dalam bumi selama tiga hari dan tiga malam” (Matius 12:40; Yunus 1:17). —K.T. Sim

Perkara apa yang membuatmu ingin melarikan diri dalam hidup ini? Bagaimana kamu dapat semakin mempercayakan segala pergumulan hidupmu kepada Allah?

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 38-40; Kisah Para Rasul 16:1-21

Handlettering oleh Tora Tobing

Tanda-Tanda Persahabatan

Senin, 15 April 2019

Tanda-Tanda Persahabatan

Baca: Yohanes 15:9-17

15:9 “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.

15:10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.

15:11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

15:12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

15:14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

15:15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.

15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.

15:17 Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. —Yohanes 15:14

Tanda-Tanda Persahabatan

Saat masih kecil dan bertumbuh di Ghana, saya senang sekali menggandeng tangan ayah saya dan berjalan bersamanya ke tempat-tempat ramai. Beliau ayah sekaligus teman saya, dan bergandengan tangan di budaya kami adalah tanda persahabatan sejati. Sambil berjalan-jalan, kami mengobrol tentang berbagai hal. Setiap kali merasa kesepian, saya terhibur oleh kehadiran ayah saya. Saya sangat menghargai persahabatan kami!

Tuhan Yesus menyebut para pengikut-Nya sebagai sahabat, dan Dia menunjukkan kepada mereka tanda persahabatan-Nya. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu,” kata Yesus (Yoh. 15:9), bahkan hingga memberikan nyawa-Nya untuk mereka (ay.13). Dia menunjukkan tatanan yang berlaku dalam kerajaan-Nya (ay.15). Dia mengajarkan segala sesuatu yang telah Bapa katakan kepada-Nya (ay.15). Dia juga memberikan kepada mereka kesempatan untuk mengambil bagian dalam misi-Nya (ay.16).

Yesus berjalan bersama kita sebagai Sahabat kita seumur hidup. Dia mendengarkan setiap kesakitan dan kerinduan hati kita. Ketika kita kesepian dan kecewa, Yesus Sang Sahabat sejati tetap menemani kita.

Persahabatan kita dengan Yesus akan terjalin lebih erat ketika kita mengasihi satu sama lain dan menuruti perintah-perintah-Nya (ay.10,17). Saat kita mematuhi perintah-perintah-Nya, kita akan menghasilkan buah yang tetap (ay.16).

Dalam mengarungi dunia yang penuh sesak dan berbahaya ini, kita dapat mengandalkan penyertaan Tuhan kita. Itulah tanda dari persahabatan-Nya. —Lawrence Darmani

WAWASAN

Yohanes 14-16 sering disebut “Khotbah Yesus di Ruang Atas” Yesus. Inilah saat terakhir-Nya untuk mengajar murid-murid, yang dilakukan pada waktu antara penetapan Perjamuan Kudus (Matius 26; Markus 14; Lukas 22) dan rangkaian peristiwa sengsara-Nya, yang dimulai dengan doa dan pengkhianatan di Getsemani (Yohanes 18).
Dalam Yohanes 15:9-13, berbagai bentuk kata kasih muncul delapan kali. Kasih ini mengacu kepada kasih antara Bapa dan Anak, kasih Allah (Bapa dan Anak) kepada kita, dan kasih kita kepada sesama. Pada ayat 14-17, kata sahabat atau sahabat-sahabat muncul dua kali -menggambarkan sebuah gebrakan baru dalam relasi kita dengan Kristus. Apa artinya? Relasi dihasilkan dari kasih, dan seperti yang ditekankan dalam ayat 17, relasi kita satu sama lain ditandai oleh kasih timbal balik yang berakar dalam kasih-Nya kepada kita. —Bill Crowder

Apakah artinya “menjadi sahabat Yesus” bagi Anda? Bagaimana Dia telah menyatakan kehadiran-Nya kepada Anda?

Bapa Surgawi, sahabat kami akan mengecewakan kami, dan kami juga akan mengecewakan mereka. Namun, Engkau tidak pernah mengecewakan, bahkan Kau berjanji menyertai kami “sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Tolong kami menunjukkan syukur dengan selalu setia melayani-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 27–29; Lukas 13:1-22

Handlettering oleh Tora Tobing

Telinga untuk Mendengar

Minggu, 3 Februari 2019

Telinga untuk Mendengar

Baca: Yeremia 5:18-23

5:18 “Tetapi pada waktu itupun juga, demikianlah firman TUHAN, Aku tidak akan membuat kamu habis lenyap.

5:19 Dan apabila kamu nanti bertanya-tanya: Untuk apakah TUHAN, Allah kita, melakukan segala hal ini atas kita?, maka engkau akan menjawab mereka: Seperti kamu meninggalkan Aku dan memperhambakan diri kepada allah asing di negerimu, demikianlah kamu akan memperhambakan diri kepada orang-orang asing di suatu negeri yang bukan negerimu.”

5:20 Beritahukanlah ini di antara kaum keturunan Yakub, kabarkanlah itu di Yehuda dengan mengatakan:

5:21 “Dengarkanlah ini, hai bangsa yang tolol dan yang tidak mempunyai pikiran, yang mempunyai mata, tetapi tidak melihat, yang mempunyai telinga, tetapi tidak mendengar!

5:22 Masakan kamu tidak takut kepada-Ku, demikianlah firman TUHAN, kamu tidak gemetar terhadap Aku? Bukankah Aku yang membuat pantai pasir sebagai perbatasan bagi laut, sebagai perhinggaan tetap yang tidak dapat dilampauinya? Biarpun ia bergelora, ia tidak sanggup, biarpun gelombang-gelombangnya ribut, mereka tidak dapat melampauinya!

5:23 Tetapi bangsa ini mempunyai hati yang selalu melawan dan memberontak; mereka telah menyimpang dan menghilang.

Dengarkanlah ini, hai bangsa yang tolol dan yang tidak mempunyai pikiran, yang mempunyai mata, tetapi tidak melihat, yang mempunyai telinga, tetapi tidak mendengar! —Yeremia 5:21

Telinga untuk Mendengar

Aktris Diane Kruger pernah ditawari sebuah peran yang akan membuat namanya tenar. Ia diminta untuk memerankan istri sekaligus ibu muda yang kehilangan suami dan anaknya. Karena belum pernah mempunyai pengalaman semacam itu, ia tak tahu apakah bisa memerankannya dengan baik. Diane tetap menerima tawaran tersebut, dan dalam persiapannya, ia pun menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan untuk memberikan dukungan bagi orang yang sedang berduka.

Awalnya, ia mencoba memberi saran dan pandangan saat orang-orang dalam kelompoknya membagikan kisah mereka. Seperti kebanyakan dari kita, ia berniat baik dan mencoba memberi pertolongan. Namun, lambat laun ia berhenti bicara dan hanya mendengar saja. Saat itulah ia benar-benar belajar merasakan penderitaan orang lain. Ia belajar ketika ia mendengarkan.

Yeremia mengecam Israel karena mereka tidak mau memakai “telinga” mereka untuk mendengarkan suara Tuhan. Sang nabi memberi teguran keras dengan menyebut mereka “tolol dan . . . tidak mempunyai pikiran” (Yer. 5:21). Allah senantiasa bekerja dalam hidup kita untuk menyatakan pesan kasih, pengajaran, dorongan, dan peringatan. Allah Bapa rindu agar kita belajar dan menjadi dewasa. Setiap orang telah diperlengkapi, salah satunya dengan telinga, untuk dapat belajar. Maukah kita menggunakan telinga kita untuk mendengarkan suara hati Bapa? —John Blase

Ya Bapa, aku percaya Engkau selalu berbicara kepadaku. Ampuni kebebalanku yang membuatku berpikir bahwa aku sudah tahu semuanya dan tidak perlu belajar lagi. Bukalah telingaku supaya aku mendengar suara-Mu.

Telinga yang bersedia mendengar dapat menolong kita bertumbuh dewasa dalam iman.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 31-33; Matius 22:1-22

Ke Mana Tujuanmu?

Minggu, 20 Januari 2019

Ke Mana Tujuanmu?

Baca: Mazmur 121

121:1 Nyanyian ziarah. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?

121:2 Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

121:3 Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.

121:4 Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.

121:5 Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.

121:6 Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.

121:7 TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.

121:8 TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.

Dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari Tuhan. —Mazmur 121:1-2

Ke Mana Tujuanmu?

Apa yang menentukan arah hidupmu? Suatu kali, saya mendengar jawabannya di tempat yang tak terduga, yaitu tempat kursus mengendarai motor. Saya dan sejumlah teman ingin mengendarai motor, jadi kami pun mendaftar kursus di sana. Salah satu materinya membahas tentang memusatkan perhatian.

Instruktur kami berkata, ”Sewaktu berkendara, kamu pasti akan menemui halangan yang tidak terduga di jalan. Kalau kamu memusatkan perhatian pada hal tersebut, kamu justru akan menabraknya. Namun, bila kamu mengalihkan fokus dan tetap memandang ke arah yang dituju, kamu akan dapat menghindarinya.” Ia menambahkan, “Ke mana kamu memandang, itulah arah yang kamu tuju.”

Prinsip sederhana nan bijak itu juga berlaku dalam kehidupan rohani. Saat mata kita terpaku pada rintangan—berfokus pada masalah atau pergumulan—hampir pasti kehidupan kita hanya berputar-putar di sana.

Namun, Alkitab menasihatkan kita untuk menatap jauh melampaui masalah dan memandang kepada Pribadi yang sanggup menolong kita menghadapinya. Dalam Mazmur 121:1 tertulis, “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?” Jawabannya, “Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. . . . Tuhan akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya” (ay.2,8).

Kadang, rintangan yang kita hadapi tampak tak mungkin teratasi. Namun, Allah mengundang kita datang kepada-Nya agar kita ditolong untuk mampu memandang melampaui masalah yang ada dan tidak membiarkannya mendominasi pandangan kita. —Adam Holz

Bapa, tolong aku untuk tidak terpaku pada masalah, tetapi memandang-Mu kapan pun ada rintangan yang menakutkan dalam perjalananku mengikut Engkau.

Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. Mazmur 124:8

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 49-50; Matius 13:31-58

Ikuti Sang Pemimpin

Kamis, 20 Desember 2018

Ikuti Sang Pemimpin

Baca: Lukas 9:21-24

9:21 Lalu Yesus melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun.

9:22 Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”

9:23 Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.

9:24 Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.

 

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. —Lukas 9:23

Ikuti Sang Pemimpin

Langit di atas rumah kami menderu dengan desingan tiga pesawat tempur yang membentuk formasi sedemikian dekat satu sama lain sehingga terlihat menyatu. Saya dan suami pun berdecak kagum. Kami tinggal di dekat pangkalan Angkatan Udara sehingga pemandangan itu tak lagi asing bagi kami.

Namun, setiap kali melihat pesawat-pesawat jet itu melintas, saya selalu bertanya-tanya: Bagaimana bisa mereka terbang begitu dekat tanpa kehilangan kendali? Ternyata, satu alasan yang jelas adalah kerendahan hati. Karena yakin bahwa pilot yang berperan sebagai pemimpin regu akan terbang persis dalam kecepatan dan lintasan yang seharusnya, para pilot pendamping di sisi kiri dan kanannya tidak akan mengambil arah yang berbeda atau mempertanyakan jalan yang ditunjukkan sang pimpinan. Sebaliknya, mereka mengikuti formasi yang ada dengan persis. Dengan demikian, mereka akan menjadi regu yang lebih kuat.

Demikian pula para pengikut Kristus. Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (luk. 9:23).

Jalan Yesus adalah penyangkalan diri dan penderitaan yang tak mudah diikuti. Namun, agar menjadi murid yang bertumbuh, kita harus mengesampingkan nafsu mementingkan diri sendiri dan rela memikul tanggung jawab rohani hari demi hari dalam mengikut Yesus—contohnya dengan mendahulukan kepentingan orang lain.

Betapa indahnya berjalan dalam kerendahan hati bersama Allah. Dengan mengikuti pimpinan-Nya dan melekat kepada-Nya, kita akan terlihat menyatu dengan Kristus, sehingga yang tampak bukan lagi kita, melainkan Dia. —Patricia Raybon

Tuhan, bawalah kami dekat pada-Mu. Penuhi kami dengan Roh-Mu yang membawa kasih, sukacita, dan damai sejahtera. Mampukan kami menjadi terang yang bersinar di dunia ini.

Hidup kita ibarat jendela—melaluinya, orang lain dapat melihat Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Mikha 1-3; Wahyu 11

Fondasi yang Kuat

Rabu, 28 November 2018

Fondasi yang Kuat

Baca: Matius 7:24-27

7:24 “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

7:25 Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.

7:26 Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.

7:27 Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.”

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. —Matius 7:24

Fondasi yang Kuat

Musim panas yang lalu, saya dan suami mengunjungi Fallingwater, sebuah rumah di kawasan pedesaan Pennsylvania yang dirancang oleh arsitek Frank Lloyd Wright pada tahun 1935. Saya belum pernah melihat rumah seperti itu. Wright ingin menciptakan rumah yang tumbuh secara organik dari lanskap alam yang ada, seolah-olah rumah itu benar-benar tumbuh di tempat itu—dan ia berhasil melakukannya. Ia membangun rumah di sekitar air terjun alami dan gaya rumah itu menyerupai tebing batu di dekatnya. Pemandu wisata kami menjelaskan apa yang membuat bangunan itu aman: “Penyangga vertikal utama dari rumah itu bertumpu di atas batu karang.”

Mendengarkan penjelasannya membuat saya langsung teringat pada perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengatakan kepada mereka bahwa apa yang Dia ajarkan akan menjadi fondasi yang teguh bagi kehidupan mereka. Apabila mereka mendengarkan dan menerapkan perkataan-Nya, mereka akan dapat bertahan menghadapi badai apa pun. Sebaliknya, mereka yang mendengar, tetapi tidak taat, akan menjadi seperti rumah yang dibangun di atas pasir (Mat. 7:24-27). Kemudian, Paulus mengulang kembali pemikiran tersebut, dengan menyatakan bahwa Kristus adalah fondasi, dan kita harus membangun di atas fondasi itu suatu pekerjaan yang tahan uji (1Kor. 3:11).

Ketika kita mendengarkan perkataan Yesus dan menaatinya, kita sedang membangun hidup kita di atas fondasi sekuat batu karang. Kiranya hidup kita dapat menyerupai Fallingwater, indah dan kukuh bertahan karena dibangun di atas Batu Karang. —Amy Peterson

Ya Allah, tolonglah kami untuk mendengar dan menaati perkataan Yesus.

Apa yang menjadi fondasi hidupmu?

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 33-34; 1 Petrus 5

Siapa yang Menyetir?

Senin, 12 November 2018

Siapa yang Menyetir?

Baca: Roma 6:1-14

6:1 Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?

6:2 Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?

6:3 Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?

6:4 Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.

6:5 Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.

6:6 Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.

6:7 Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa.

6:8 Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia.

6:9 Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia.

6:10 Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah.

6:11 Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.

6:12 Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.

6:13 Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.

6:14 Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh. —Galatia 5:25

Siapa yang Menyetir?

Di atas dasbor mobil tetangga saya, Tim, terdapat miniatur tokoh “wild thing” (makhluk liar) yang diambil dari buku cerita anak favorit berjudul Where the Wild Things Are (Tempat Tinggal Makhluk Liar) karya Maurice Sendak.

Belum lama ini, Tim berkendara di belakang saya dan beberapa kali bermanuver mendadak agar tak tertinggal jauh dari mobil saya. Saat kami tiba di tujuan, saya bertanya kepadanya dengan bercanda, “Apakah tadi ‘makhluk liar’-mu yang sedang menyetir?”

Hari Minggu berikutnya, catatan khotbah saya tertinggal di rumah. Saya pun berkendara pulang dengan mengebut, dan berpapasan dengan Tim di perjalanan. Ketika kami bertemu kembali, Tim membalas saya dengan bercanda, “Apakah tadi ‘makhluk liar’ yang sedang menyetir?” Kami sama-sama tertawa, tetapi pertanyaannya benar-benar tepat pada sasaran—saya memang lalai memperhatikan batas kecepatan saat mengemudi.

Ketika Alkitab menjelaskan apa artinya hidup dalam persekutuan dengan Allah, kita dinasihati untuk “[menyerahkan] anggota-anggota tubuh [kita] kepada Allah” (Rm. 6:13). Saya melihat tanggapan Tim sebagai pengingat yang lembut dari Tuhan agar saya menyerahkan kebiasaan saya mengebut kepada-Nya, karena sudah seharusnya saya menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah di dalam kasih.

Pertanyaan “siapa yang menyetir?” berlaku untuk seluruh bidang kehidupan. Apakah kita membiarkan watak lama kita yang “liar” dan berdosa untuk mengendalikan kita—segala kekhawatiran, ketakutan, atau kehendak diri sendiri—atau kita berserah kepada Roh Allah yang Mahakasih dan anugerah-Nya yang akan menolong kita bertumbuh?

Berserah kepada Allah memang baik. Alkitab berkata bahwa hikmat Allah membawa kita menuju “jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera” (Ams. 3:17). Mengikuti Allah selalu lebih baik. —James Banks

Tuhan terkasih, terima kasih untuk anugerah-Mu yang menolong kami menaati-Mu, dan untuk damai yang Kauberikan selama kami hidup dekat dengan-Mu.

Ketika Allah menuntut, Dia juga yang memampukan.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 51-52; Ibrani 9