Posts

Mendoakan Apa yang Kita Kerjakan, Mengundang Tuhan Hadir untuk Berkarya

Oleh Ledyana, Kediri 

Berdoa dulu sebelum berbuat sesuatu. Inilah yang belakangan ini semakin giat kulakukan. Bukan supaya langkahku jadi semakin mudah, tapi aku meminta agar Tuhan hadir dan berkarya melalui apa pun yang aku kerjakan. 

Awal Juli 2022 aku terdaftar sebagai peserta sidang skripsi, tepat di jadwal terakhir pada semester genap. Sehari sebelum ujian, nama dosen penguji diumumkan dan apa yang kutakutkan pun terjadi. Dosen yang terkenal killer menjadi salah satu dosen pengujiku. Aku pernah ikut kelas yang diampu beliau dan tak pernah sekalipun aku memperoleh nilai lebih dari C+. Aku merasa beliau akan jadi tantangan terbesarku, namun aku masih tetap optimis bisa mengatasinya. 

Sidang skripsi pun berlangsung. Setelah selesai aku menangis, tapi bukan karena terharu bahagia. Aku menangis karena sedih. Seperti dugaanku, dosen yang kutakuti itu memberikan kritik tajam dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan lancar. Saat sidang berakhir, aku juga tidak tahu apakah aku lulus atau tidak karena majelis penguji tidak mengatakan apa pun mengenai hasilku. Aku yang awalnya optimis sekarang susah untuk berpikir positif karena aku tahu kalau revisi skripsiku nanti bersifat mayor… dan menurut buku pedoman, skripsi dengan revisi jenis mayor akan menyebabkan mahasiswa tidak diluluskan. 

Di tengah ketidakpastian, aku bisa saja membiarkan ketakutan dan rasa putus asa menguasaiku, tetapi aku memutuskan untuk tetap melangkah dan mengandalkan Tuhan. Aku ingat Filipi 4:6 yang mendorongku untuk tidak khawatir, melainkan aku bisa menaikkan segala keinginanku pada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Aku bersyukur Tuhan menuntunku sampai ke titik ini dan aku pun belajar berserah karena aku yakin Tuhan pasti akan membuka jalan dan semua yang Dia izinkan adalah untuk kebaikanku. 

Awalnya aku bertanya-tanya, mengapa jalan yang kulalui terasa sulit meskipun di awal aku sudah berdoa. Aku masih takut menghadapi dosenku yang killer itu, tapi aku tetap berusaha menghubunginya terkait revisiku. Pada revisi pertama, beliau membalasku dengan kata-kata yang terasa pedas. Doa-doa yang kunaikkan memang tidak mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi Tuhan mendengar doaku dan menguatkan hatiku untuk berani bertindak. 

Masa revisi yang diberikan seharusnya dituntaskan dalam maksimal dua minggu, tetapi aku harus molor sampai hampir satu bulan karena banyaknya saran perbaikan. Pada awal Agustus, tiba-tiba ada pengumuman jadwal penyerahan berkas revisi diperpanjang sampai tanggal 12, artinya aku masih bisa menyempurnakan revisianku. Sekali lagi, kuajukan hasil revisiku ke dosen yang kutakuti. Dengan pertolongan Tuhan, pada tanggal 10 aku memperoleh persetujuan hasil revisi dari beilau sehingga hasil revisi finalku bisa kukirimkan lengkap ke staf akademik fakultas dan aku pun bisa bebas uang kuliah di semester depannya. 

Masa-masa akhir kuliahku sungguh jadi perjalanan iman yang menguatkanku. Sebenarnya bukan hanya di akhir perkuliahan saja aku mengalami kendala yang cukup sulit. Sempat selama tiga semester berturut-turut IPK-ku turun, tetapi Tuhan terus menolong sampai IPK-ku bisa konsisten naik di semester-semester selanjutnya. 

Pengalamanku berdoa dan dituntun Tuhan selama masa-masa skripsiku mungkin tidaklah sebanding dengan beragam badai kelam yang kita semua sedang hadapi, tetapi keyakinan yang dapat selalu kita pegang adalah tidak ada badai yang terlalu hebat yang tak bisa Tuhan atasi. Jika skripsi saja Dia sertai, tentu Dia pun akan menyertai dan berkarya lebih banyak dalam hidup kita. 

Marilah kita senantiasa berdoa dan izinkan Tuhan berkarya. 

Aku Menjalani Hidup yang Sulit di Afrika, tapi Aku Bersyukur Karena Satu Hal Ini

aku-menjalani-hidup-yang-sulit-di-afrika

Oleh Debra Ayis, Nigeria
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Africa: The Secret Behind Faith And Hope

Aku tinggal di Nigeria, sebuah negara yang menjadi pemenang negara paling optimistis di dunia tahun 2011 dan negara paling bahagia ke-6 di Afrika tahun 2016. Selama aku tinggal di negara ini, aku belajar sesuatu. Seringkali yang penting bukanlah seberapa kaya kita terlihat di penampilan luar, tapi seberapa kaya kita di dalam diri kita.

Tidak peduli apa pun situasi yang kita hadapi, kita selalu mempunyai pilihan: tenggelam dalam kesedihan atau berharap yang terbaik; menyalahkan lingkungan atau mengizinkan mereka membangun karakter kita; mengeluh sepanjang waktu atau bersyukur untuk setiap hasil positif.

Ketika aku dibesarkan, keluargaku dipandang “beruntung” di mata banyak orang karena kedua orangtuaku mempunyai pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. Meskipun demikian, kami tinggal di apartemen dengan 3 kamar tidur yang tidak memiliki keran air, dan listrik hanya datang sewaktu-waktu. Ketika tidak ada listrik, kami menggunakan lentera dan seringkali tidur di luar rumah, menikmati lingkungan sekitar dan membiarkan angin yang sejuk menerpa kami.

Seperti banyak keluarga lainnya, ketika aku dibesarkan aku juga mengenal bagaimana rasanya kelaparan. Namun, selain itu aku juga belajar, di usia yang dini, untuk berbicara kepada Tuhan dan memiliki iman kepada-Nya. Aku berusia 5 tahun ketika aku menerima Kristus.

Saat itu, aku mulai mengerti mengapa ibuku memberi makan aku dan saudara-saudaraku satu sendok kacang rebus untuk sarapan kami, tapi ibuku sendiri tidak makan.

Aku mengerti mengapa ibuku harus meminjam garam untuk memasak makanan kami.

Aku mengerti mengapa ciciku memetik buah dalam kebun kami yang kecil sehingga dia dapat menjualnya ke anak-anak sekolah untuk mendapatkan cukup uang bagi kami untuk membeli makan siang.

Aku mengerti mengapa peternak sapi diizinkan memberi makan sapi-sapinya di halaman depan rumah kami sebagai ganti susu sapi segar.

Aku mengerti mengapa kami mendapat baju baru hanya pada saat Natal.

Aku mengerti mengapa kami mengais tanah yang baru dipanen untuk mencari kentang-kentang dan kacang tanah yang terjatuh.

Aku juga mengerti mengapa kami harus mencari air setiap hari dari sebuah sumur atau lubang.

Tapi, aku tidak kecewa dengan ini semua. Aku selalu memiliki iman bahwa Allah akan menjaga keluarga kami dan menyediakan apa yang kami perlukan setiap hari (Mazmur 37:19).

Kisahku tidaklah terlalu berbeda dengan kebanyakan orang lain di benuaku. Meskipun tingginya tingkat pengangguran dan banyaknya masalah sosial dan ekonomi di sekitarku, aku telah menyaksikan orang-orang menemukan sukacita ketika berbagi “satu sendok kacang” mereka dengan tetangga-tetangga yang membutuhkan. Aku melihat keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas datang bersama untuk menghadapi berbagai tantangan, percaya sepenuhnya di tengah berbagai kesulitan, bahwa tidak ada yang dapat memisahkan mereka dari kasih Allah (Roma 8:31-39). Aku juga telah melihat saudara-saudari dalam Kristus bersatu bersama dalam pengharapan yang seakan mustahil, percaya hanya kepada satu nama yang berkuasa (Kisah Para Rasul 4:12).

Dan aku telah menyaksikan berbagai mukjizat pemeliharaan Tuhan seperti yang ada di dalam Alkitab, karena iman yang teguh kepada Tuhan yang empunya segalanya. Aku telah melihat Tuhan datang kepada para saudara-saudari yang mengorbankan segala yang mereka punya, sampai koin mereka yang terakhir, untuk memberitakan Injil.

Sepanjang hidupku, aku menyadari bahwa aku butuh berdoa setiap hari untuk kebutuhan-kebutuhan kami, seperti yang ada dalam Doa Bapa Kami (Matius 6:9-16). Namun, itu justru membuatku menyadari betapa aku membutuhkan Tuhan dalam kehidupanku. Aku menjadi benar-benar mengerti arti dari “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” yang ada dalam Doa Bapa Kami. Percaya kepada Tuhan menjadi sesuatu yang nyata. Situasi hidupku telah membuatku mengandalkan Dia untuk memimpin, melindungi, menjagaku. Dan hal itu membuatku semakin dekat dengan Tuhan, sesuatu yang lebih berharga daripada harta yang berlimpah.

Tuhan memberikan ujian kepada kita untuk membawa kita mendekat kepada-Nya. Untuk itu, aku memuji Dia dan senantiasa bersyukur karena aku telah dilahirkan di Nigeria.

Baca Juga:

Perpisahan Brad Pitt & Angelina Jolie – Inikah Akhir dari Cinta?

Itulah yang dikatakan dalam beberapa artikel, setelah berita yang merebak kemarin tentang pasangan emas Hollywood, Angelina Jolie dan Brad Pitt, yang mengakhiri pernikahan mereka yang berusia 2 tahun—setelah 12 tahun hidup bersama dan memiliki 6 anak.

Buat Apa Susah?

Oleh: Ovit Samuel Purba

Buat Apa Susah?

Mungkin kamu ingat ada lirik lagu yang pernah cukup populer:
“Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya…”

Memang andai hidup ini tak pernah mengenal susah, alangkah nyamannya. Namun, bukankah dalam kenyataan, tidak ada manusia yang bebas dari permasalahan? Dan, masalah selalu menimbulkan perasaan tidak enak, perasaan tidak terima.

Tiap kali aku menghadapi masalah, aku diingatkan dengan berbagai kejadian yang dicatat dalam Alkitab. Bukan hanya aku dan orang-orang pada zaman sekarang saja yang punya banyak masalah. Kehidupan para tokoh dalam Alkitab pada ribuan tahun lalu pun sudah sarat dengan masalah. Ada yang persembahannya tidak diterima Tuhan. Ada yang kehilangan hikmat dari Tuhan. Ada yang ditegur Tuhan dengan keras karena bersungut-sungut. Ada yang mendengarkan Firman Tuhan hingga tertidur, lalu jatuh dan mati. Macam-macam. Mulai dari masalah yang ringan hingga yang berat. Menjadi umat pilihan Tuhan atau murid-murid Tuhan Yesus tidak lantas membuat hidup mereka berjalan mulus.

Namun, dari sekian masalah yang pernah menghampiri hidupku, aku berani bilang bahwa susah itu banyak gunanya. Mengapa? Karena melalui masalah demi masalah itu, aku dibentuk makin serupa Kristus. Imanku diteguhkan melihat jalan keluar yang selalu Tuhan sediakan pada waktu-Nya. Pikiran ini tidak serta-merta muncul begitu saja. Awalnya aku banyak tidak terima dengan hal-hal tidak enak yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku. Tapi Tuhan terus memprosesku hingga perlahan aku mulai bisa melihat kebaikan Tuhan di balik masalah-masalahku.

Tidak selalu aku memahami apa yang Tuhan mau. Sering aku berpikir solusiku adalah yang paling masuk akal. Tapi aku bersyukur boleh mengalami proses Tuhan ini. Menurutku, proses pembentukan Tuhan ini sangat penting dan mengubahkan hidup. Aku bahkan mulai merasa ini adalah proses yang menyenangkan, karena aku tahu aku sedang dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik. Agar tidak lupa dengan pelajaran-pelajaran yang Tuhan berikan, aku pun mulai mendisiplin diri untuk menuliskannya. Catatan-catatan ini menolongku untuk tetap berpikir jernih dan berharap kepada Tuhan ketika aku menghadapi masalah yang lain.

Bersama Tuhan, susah itu banyak gunanya. So, friends, ketika masalah melanda, jangan menjauh dari-Nya. Kekecewaan muncul saat kita menjauh dari Tuhan. Mendekatlah. Ketidakmengertian kita adalah kesempatan untuk makin mengenal Tuhan dan bertumbuh dalam iman kita kepada-Nya. Bukankah iman adalah dasar bagi kita untuk memiliki pengharapan? Jika kita sudah memahami segala sesuatu, mungkin kita tak akan lagi berharap kepada Tuhan.