Posts

Mengapa Kita Haus dan Berjuang Keras Menggapai Kesuksesan?

Penulis: Lim Al, Singapore
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Do We Crave and Struggle to Achieve Success?

Why-Do-We-Crave-and-Struggle-to-Achieve-Success--(wo-text)

Belum lama ini, aku membaca curhat seorang pemuda yang dikenal punya banyak talenta. Ia menulis di halaman blog-nya: “Aku tidak suka pergi ke sekolah dan belajar di kelas karena pada dasarnya aku lahir dengan IQ yang rendah. Serajin apapun aku belajar, orang yang punya IQ lebih tinggi akan tetap menang.”

Aku yakin banyak di antara kita juga pernah merasakan pergumulan serupa. Sekeras apa pun kita berusaha, sebanyak apa pun talenta yang kita pikir kita miliki, sepertinya selalu ada orang yang lebih sukses dari kita. Sukses membuat sebagian orang selalu tampak buruk, tidak sebaik orang lain. Saat kita mulai mengukur kesuksesan, kita akan menempatkan orang dalam berbagai tingkatan yang berbeda.

Keinginan untuk sukses adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Aku yakin, setiap manusia haus akan kesuksesan karena kita ingin hidup kita ini bemakna, kita mendambakan kepuasan dan rasa aman. Sukses memastikan kehadiran kita memiliki nilai dalam masyarakat, dan hal itu tentunya akan memberi kita kepuasan. Kita juga merasa aman ketika tahu bahwa diri kita bernilai. Berapa banyak di antara kita yang tidak menginginkan semua itu?

Namun, mendambakan sukses tidak berarti kita bisa meraihnya. Setiap kita punya titik awal yang berbeda. Kemampuan intelektual, penampilan, dan talenta yang dimiliki tiap orang berbeda sejak lahir. Mereka yang lebih pintar, lebih cantik, lebih terampil, akan lebih dihargai dalam masyarakat. Mereka yang berasal dari keluarga berada biasanya punya koneksi dan peluang lebih untuk bisa berhasil. Tentu saja kita bisa menemukan kisah-kisah nyata tentang orang dari keluarga tidak mampu yang kemudian meraih kesuksesan, namun kisah-kisah semacam itu adalah perkecualian, bukan sesuatu yang umum terjadi. Sukses juga tidak mudah diraih karena apa yang didefinisikan orang sebagai sukses bisa berbeda-beda. Misalnya saja, di Singapura (tempat aku tinggal), sukses itu berarti punya prestasi akademik yang tinggi.

Bila sukses ternyata tidak mudah diraih, lalu bagaimana kita dapat mendapatkan hidup yang penuh makna, kepuasan, serta rasa aman? Banyak di antara kita mencarinya pada pribadi orang lain, harta benda, dan jabatan. Namun, benarkah ketika kita memiliki seseorang yang berarti, menjabat sebagai direktur sebuah perusahaan besar, dan meraup penghasilan ratusan juta rupiah di usia 30 tahun, kita kemudian akan merasa aman, puas, dan hidup penuh arti?

Blaise Pascal, seorang ahli matematika dan fisika asal Perancis, banyak diingat orang karena pernyataannya yang sangat terkenal: “Ada sebuah ruang kosong di hati setiap manusia yang hanya bisa diisi dengan Allah.” Beliau mengamati bahwa kehausan dan ketidakberdayaan manusia menunjukkan bahwa “kebahagiaan sejati itu dulu pernah ada”. Manusia berusaha mengisi kekosongan itu dengan berbagai hal di sekitarnya, tetapi tidak ada yang berhasil. Mengapa? Karena “lubang di jiwa yang sangat dalam ini hanya dapat diisi dengan sesuatu yang tidak berbatas dan tidak berubah, yaitu pribadi Allah sendiri.” Orang-orang terkasih dalam hidup kita, harta benda, dan jabatan, adalah berkat Tuhan yang harus kita syukuri. Meski demikian, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan jiwa kita yang terdalam. Hanya Allah, yang dapat memberi kita rasa aman, kepuasan, dan makna hidup sejati.

Jadi, cara pandang seperti apa yang harus dimiliki seorang Kristen tentang kesuksesan? Alkitab menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita memahami kesuksesan:

1. Sukses pada dasarnya merupakan berkat dari Tuhan. Rupa-rupa karunia yang kita miliki, sumber daya, dan kesempatan yang tersedia bagi kita, dikaruniakan oleh Tuhan. Semua itu diberikan untuk kita nikmati, namun kita tidak boleh lupa siapa yang merupakan sumber kesuksesan kita. Raja Babel, Nebukadnezar, mendapatkan pelajaran ini melalui sebuah peristiwa yang sangat tidak enak. Daniel 4:28-37 mencatat bagaimana sang raja direndahkan begitu rupa ketika ia mulai membanggakan diri sendiri. Kepadanya diberi peringatan: “Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya!”

2. Sukses tidak menyelamatkan kita dari kematian. Yakobus 4:13-15 mengingatkan kita bahwa hidup kita ini “sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap”. Sukses itu sementara, suatu hari kelak kita tetap akan mati. Kebenaran ini menancap kuat di pikiranku ketika salah satu sahabat baikku tiba-tiba saja sulit bernapas dalam perjalanan liburannya, dan meninggal hanya dalam hitungan menit. Ia tidak punya riwayat penyakit dan bisa dibilang sangat sehat. Ia memiliki pernikahan yang bahagia, seorang anak laki-laki yang sangat baik, dan sebuah rumah baru yang indah. Ia adalah kepala dari sebuah organisasi besar, seorang anggota jemaat yang aktif melayani dan sangat dihormati.

3. Sukses tidak seharusnya membuat kita beralih perhatian dan tidak lagi mencari kerajaan Allah. Dalam Lukas 12:13-21, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan tentang seorang kaya yang mencurahkan perhatiannya untuk membangun lumbung-lumbung yang lebih besar untuk menyimpan hasil panennya—namun malam itu juga, jiwanya diambil dari padanya. Yesus kemudian mengajar para murid-Nya untuk mengumpulkan harta di sorga dan, “membuat … pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat” (Luk 12:33). Kiranya cinta akan uang dan kesuksesan tidak mengalihkan perhatian kita dari melakukan kehendak Allah dan Kerajaan-Nya.

Apakah kamu sudah memiliki dan menikmati kesuksesan sejati?

Kegagalan yang Membawaku Kembali Kepada Tuhan

Penulis: Chronika Febrianti

A-Crushed-Dream-that-Led-Me-back-to-God

Artikel tentang para mahasiswa keren yang berprestasi dari berbagai universitas atau negara selalu menarik perhatianku. Mungkin kedengarannya sangat ambisius, tetapi aku memang pernah bermimpi namaku akan ada dalam daftar-daftar semacam itu. Dan, impian itu hampir saja menjadi kenyataan saat aku mulai kuliah. Aku berhasil masuk di salah satu universitas terbaik—hanya 25 persen calon terbaik yang bisa masuk—dan mengukir indeks prestasi yang terus meningkat dari semester pertama hingga ketiga. Selain itu, aku juga diterima dalam sebuah organisasi bergengsi di kampusku. Dengan semua prestasi itu, aku sangat optimis, suatu hari nanti aku juga akan diliput wartawan.

Akan tetapi, semuanya dengan cepat berubah. Semangatku untuk mengejar kesuksesan di dalam dan luar kelas sekaligus ternyata tak cukup untuk mempertahankan prestasiku. Kesibukanku berorganisasi membuat aku tidak bisa fokus belajar dan sering bolos kuliah. IP-ku turun drastis. Aku gagal dalam satu mata kuliah wajib. Masa kuliahku yang seharusnya hanya 3,5 tahun terpaksa diperpanjang menjadi 4,5 tahun. Itu pun dengan catatan nilai-nilaiku mencukupi.

Habis sudah impianku bisa diliput sebagai orang sukses. Optimisme yang tadinya membakar semangatku kini berganti dengan rasa ingin menyerah. Aku menyesal telah mengecewakan orangtuaku dan menyia-nyiakan biaya kuliah yang mereka keluarkan. Aku malu menasihati adik-adikku untuk rajin belajar. Aku minder, tak bisa mengimbangi pembicaraan tentang pelajaran terbaru dengan teman-temanku di kampus. Banyak kelas yang harus kuikuti besama adik-adik angkatan. Rasanya malas sekali untuk kuliah. Ingin sekali aku cuti, namun aku tahu itu tak akan menyelesaikan masalah. Salah-salah, aku malah jadi mahasiswa abadi.

Bersyukur bahwa Tuhan tidak membiarkan aku terpuruk dalam keputusasaan. Dia mengizinkan aku mengalami kegagalan agar aku berhenti sejenak dari ambisi yang menguasai ritme hidupku, dan mengubah pola pikirku yang keliru.
Suatu hari, dalam kedaulatan Tuhan, aku membaca sebuah kutipan dari Bill Gates.

Saya gagal dalam beberapa mata kuliah, sedangkan teman saya berhasil di semua pelajaran. Sekarang teman saya adalah teknisi mesin di Microsoft dan saya pemilik Microsoft.”

Kutipan sederhana itu membuatku terperangah. Seorang Bill Gates pun ternyata pernah gagal. Mengapa ia bisa berhasil? Karena ia memilih untuk bangkit!

Aku tidak tahu apa yang paling mendorong Bill Gates untuk bangkit. Tetapi, dalam kasih karunia-Nya, Tuhan mengingatkan aku akan Firman-Nya dan mendorongku untuk kembali bangkit. Aku disadarkan bahwa keberadaanku dirancang Tuhan untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Kegagalan yang diizinkan-Nya kualami seharusnya membuatku mengintrospeksi diri, apa yang harus kuperbaiki agar hidupku dapat memuliakan Tuhan, lalu bangkit dan kembali menjalani kuliahku dengan sikap yang baru. Mengapa aku malah jadi malas belajar, cepat menyerah, dan tidak bersungguh-sungguh mempersembahkan kuliahku untuk Tuhan?

Hari ini aku kembali punya mimpi menjadi seorang yang sukses. Mimpiku bahkan jauh lebih besar dari yang dulu. Aku tak hanya ingin dikenal sebagai orang muda keren yang kaya prestasi. Aku ingin dikenal sebagai pribadi yang sukses menjalani hidup menurut kehendak Tuhan dan menyatakan kemuliaan-Nya kepada dunia. Kegagalan bisa saja menyapaku lagi. Tetapi, aku akan selalu bangkit dan kembali berjuang dengan tuntunan firman Tuhan.

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Roma 12:1).

Wallpaper: Mengejar Kesuksesan

Siapa Di Baliknya?

Senin, 9 Juli 2012

Siapa Di Baliknya?

Baca: 1 Tawarikh 17:16-24

Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang. —Yakobus 1:17

Pada sebuah pertunjukan budaya di Bandung, Jawa Barat, kami menikmati suatu pertunjukan orkestra yang sangat mengagumkan. Sebelum pertunjukan tersebut berakhir, masing-masing dari 200 penonton yang hadir diberi sebuah angklung. Kami diajari untuk bersama-sama menggoyangkan angklung itu sesuai aba-aba yang diberikan sang konduktor. Segera kami merasa seakan-akan tampil di sebuah orkestra dan kami merasa sangat bangga akan kehebatan penampilan kami! Lalu saya menyadari, bukan kami yang tampil bagus; tetapi sang konduktorlah yang layak diberi penghargaan.

Demikian juga, ketika segala hal berjalan baik dalam hidup kita, mudah sekali untuk merasa bangga. Kita tergoda untuk berpikir bahwa kita memang hebat dan dengan kemampuan kitalah kita berhasil meraih kesuksesan. Pada masa-masa seperti itu, kita cenderung lupa bahwa di balik semuanya itu ada Allah kita yang baik. Dialah yang menggerakkan, mencegah, memelihara, dan melindungi kita.

Daud ingat tentang kebenaran itu: “Lalu masuklah raja Daud ke dalam, kemudian duduklah ia di hadapan Tuhan sambil berkata: ‘Siapakah aku ini, ya Tuhan Allah, dan siapakah keluargaku, sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini?’” (1 Taw. 17:16). Hati Daud meluap dengan penghargaan akan kebaikan Allah.

Lain kali jika kita tergoda untuk menganggap berkat yang kita nikmati adalah usaha kita semata-mata, mari berhenti sejenak dan mengingat bahwa Tuhanlah yang memberikan berkat. —AL

Bukan dari kekuatan atau kebaikan kita sendiri;
Seluruh kepercayaan kita di dalam nama Yesus:
Di dalam menara yang kuat ini kita berlindung;
Tuhan kekuatan kita, “Tuhan akan menyediakan.” —Newton

Tangan Bapa ada di balik segala hal-hal yang baik.

Menang Kalah

Jumat, 1 Juni 2012

Menang Kalah

Baca: Kolose 3:1-12

Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. —Kolose 3:2

Turnamen Masters adalah salah satu turnamen paling bergengsi bagi para pegolf profesional. Di tahun 2009, Kenny Perry hanya berhasil mencapai posisi kedua walaupun telah memimpin sepanjang babak final. Dalam surat kabar The New York Times, Bill Pennington menulis bahwa Perry yang kalah itu “merasa kecewa tetapi tidak putus asa.” “Saya akan mengenangnya sesekali dan membayangkan andai saja saya melakukan ini dan itu. Akan tetapi saya tidak akan memikirkannya terus-menerus,” kata Perry. “Jika ini adalah hal terburuk yang terjadi dalam hidup saya, saya pikir ini masih lumayan. Saya tidak akan membiarkan hal ini merongrong saya. Masih banyak hal lain di dalam hidup yang lebih berarti . . . . Malam ini saya akan pulang ke rumah bersama keluarga saya dan kami akan bersenang-senang.”

Bagi pengikut Kristus, kemampuan untuk melihat melampaui kekecewaan itu penting. Fokus kita menentukan bagaimana kita menghadapi beragam kemenangan dan kekalahan dalam hidup. “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol. 3:1-2). Orang yang berpikir demikian akan mencari makna hidup dan pembenaran dari Kristus, bukan dari prestasi yang dicapainya. Kita mencari Dia, bukan mengejar keberhasilan.

Di saat kita berjuang untuk mencapai keunggulan dan mengupayakan yang terbaik, kekalahan memang menyakitkan, tetapi hal itu tidak perlu melukai kita. Kuncinya terletak pada apa yang menjadi pusat dari hati dan pikiran kita. —DCM

Tuhan, terima kasih karena hanya Engkaulah yang mengukur
bagaimana kami hidup dan menentukan
apakah kami telah berhasil. Tolong kami untuk menjaga
fokus itu bahkan di tengah kekecewaan yang kami rasakan.

Ketika Kristus menjadi pusat perhatian kita, segala sesuatu akan berada tepat pada tempatnya.