Posts

5 Ukuran Kesuksesan yang Lebih Baik

Kita semua ingin sukses, tapi bagaimana kita tahu kalau kita sungguh telah ‘sukses’?

Kamu mungkin merasa jauh dari sukses ketika ‘sukses’ itu ditentukan dari uang yang diraih, status jabatan, dan prestasi-prestasi lahiriah dalam hidup.

Tapi, kita tahu bahwa ukuran sukses kita ada pada Tuhan. Dia menyediakan alur cerita yang berbeda bagi setiap kita, yang memimpin kita kepada tujuan-Nya.

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today

Dengan atau Tanpa Medali, Marilah Kita Memuji Tuhan

medali-rio-2016

Oleh Charles

Minggu lalu, Indonesia baru saja merayakan dua hal yang patut kita syukuri. Pertama, kita merayakan 71 tahun kemerdekaan Indonesia. Kedua, di hari yang sama, kita juga merayakan medali emas satu-satunya yang diperoleh tim Indonesia di Olimpiade Rio 2016. Medali emas itu diraih oleh Tontowi & Liliyana di cabang bulu tangkis ganda campuran. Mereka telah mengharumkan nama Indonesia, dan membuat lagu kebangsaan negara kita tercinta, Indonesia Raya, dikumandangkan nun jauh di Rio de Janeiro, Brazil, bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Sungguh membanggakan!

Dalam momen-momen keemasan seperti ini, kita dapat mendengar begitu banyak orang Indonesia yang bergembira, bersyukur kepada Tuhan, dan memuji Dia. Ini adalah hal yang baik, karena tidak semua mengingat Tuhan dalam kemenangan mereka. Jadi, memuji Tuhan ketika kita menang adalah sebuah hal yang baik. Namun, bagaimana saat kita menderita kekalahan?

Perenungan ini mengingatkanku pada sebuah kutipan yang ada di film Facing The Giant. Film itu juga mengisahkan sebuah tim olahraga yang akan menghadapi sebuah pertandingan yang penting. Sebelum pertandingan dimulai, sang pelatih memberikan nasihat berikut ini:

“Aku ingin Tuhan memberkati tim ini sehingga orang-orang akan membicarakan apa yang Dia perbuat. Tapi itu berarti kita harus memberikan yang terbaik kepada-Nya di semua aspek. Dan jika kita menang, kita puji Dia. Dan jika kita kalah, kita puji Dia. Apapun yang terjadi kita muliakan Dia dengan perbuatan dan karakter kita. Jadi aku bertanya kepada kalian… Untuk siapa kalian hidup? Aku memutuskan untuk memberikan semua yang kumiliki kepada Tuhan, dan aku akan menyerahkan hasilnya kepada-Nya.”

Aku menemukan kebenaran di dalam ucapan di atas. Kita harus mengusahakan yang terbaik untuk Tuhan, dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya. Jika kita menang, kita memuji Dia. Jika kita kalah, kita juga memuji Dia. Mengapa? Karena Tuhan layak dipuji, dan kelayakan-Nya untuk dipuji tidak dipengaruhi oleh hasil yang kita peroleh.

Mazmur 150:6 berkata, “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan!” Segala yang bernafas berarti semua orang, baik mereka yang menang, maupun mereka yang kalah. Ketika kita memuji Tuhan, kita memuji Dia karena Dia adalah Allah yang besar dan hebat, bukan karena Dia memberikan kita kemenangan. Kemenangan atau kekalahan yang kita alami tidak mempengaruhi besar dan hebatnya Allah kita. Pada akhirnya, hanya satu hal yang perlu kita kejar, yaitu agar nama Tuhan dapat dipermuliakan.

Jadi, di tengah eforia kemenangan yang kita rayakan saat ini, marilah kita memuji Tuhan. Dan kiranya Tuhan juga menolong kita untuk dapat memuji Dia di tengah situasi yang tidak sesuai dengan harapan kita, karena Dia adalah Allah yang besar dan hebat, dan layak dipuji.

“Haleluya! Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.” (Mazmur 146:1-2)

Photo credit: Rio 2016/Alex Ferro

Baca Juga:

Mengapa Aku Mengundurkan Diri Saat Akan Dipromosi

Dan itulah ketika aku mengajukan surat pengunduran diri yang telah aku tulis sebelum hari pertama aku masuk bekerja.

Mendefinisikan Ulang Kesuksesan

mendefinisikan-ulang-kesuksesan

Oleh Bungaran Gultom

“Sukses adalah hak saya,” itulah ucapan seorang motivator kepada para peserta dari sebuah seminar yang aku ikuti.

Dia diam sejenak, memberikan waktu kepada para peserta untuk menyerap apa yang dia katakan. Dengan pengalamannya bertahun-tahun sebagai seorang motivator, aku pikir, tentunya ada kebenaran dari apa yang dia katakan. Bagaimanapun juga, dia terlihat begitu meyakinkan. Mungkinkah sukses benar-benar hakku?

“Anda berhak sukses,” kata motivator yang lain, “Kamu berhak hidup dalam kelimpahan dan kemewahan. Percayalah, alam semesta mendukung Anda ketika pikiran, niat, dan fokus Anda diarahkan sepenuhnya kepada apa yang Anda inginkan. Sekarang, klaimlah itu. Jika Anda ingin sebuah mobil BMW baru, visualisasikan itu di pikiranmu dan klaim itu. Klaim semua yang Anda inginkan!” Para peserta mulai bertepuk tangan dengan begitu antusias.

Di satu sisi, respons mereka menggambarkan bagaimana kebanyakan kita melihat kesuksesan. Tapi mengapa kita begitu senang dengan hal-hal ini? Mengapa kita begitu ingin menjadi sukses?

Banyak orang akan melakukan apapun itu untuk menjadi—dan terlihat—sukses. Beberapa wanita yang menjual diri supaya bisa tampil modis dan kekinian. Beberapa pelajar main curang supaya bisa juara. Beberapa pengusaha main suap supaya proyeknya jalan. Beberapa pejabat menjadi korup untuk dapat mempertahankan gaya hidup mereka yang mewah.

Tapi siapakah yang mendefinisikan kesuksesan? Sebagai orang Kristen, jika kita ingin belajar tentang kesuksesan sejati, tiada yang lebih baik daripada belajar dari seseorang yang paling sukses yang pernah hidup: Yesus.

Yesus lahir di kandang domba dan tumbuh di sebuah kota kecil di Israel. Dia adalah seorang tukang kayu dan kemudian pergi melayani bersama sekelompok kecil murid-murid-Nya yang adalah orang-orang yang tidak terpandang di masyarakat. Dan akhirnya Dia mati di atas kayu salib—cara eksekusi untuk para kriminal.

Tentunya itu sama sekali tidak terlihat sebagai sebuah kesuksesan untuk ukuran dunia masa kini. Bahkan, kehidupan Yesus terlihat sebaliknya. Namun kita dapat mengatakan tanpa ragu bahwa Dia telah menjalani sebuah kehidupan yang sukses. Mengapa?

Kata-kata terakhir Yesus sebelum Dia menyerahkan nyawa-Nya adalah “Sudah selesai” (Yohanes 19:30)—yang juga berarti itu “sudah dibayar lunas”. Kematian-Nya di atas kayu salib telah menggenapi rencana penebusan Allah di bumi dengan membayar harga untuk dosa manusia dan mendamaikan kita dengan Allah. Yesus telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Allah kepada-Nya (Yohanes 17:4). Maka, di mata Allah Yesus itu sukses, karena Dia telah melakukan kehendak Bapa.

Apa arti ini semua bagi kita sekarang? Artinya adalah ini: sukses bukanlah tentang mempunyai kehidupan yang mewah di bumi. Kehidupan yang mewah memang mungkin menolong kita untuk membuat kita merasa diri kita lebih baik, tapi sesungguhnya, itu bukanlah sukses yang sejati. Sukses yang sejati adalah melakukan kehendak Allah untuk hidup kita dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya.

Aku belajar apa artinya mengikuti kehendak Allah ketika aku sedang memasang lemari baju knock down yang baru kubeli. Bukannya mengikuti petunjuk yang ada di buku panduan pemasangan, aku malah mencoba memasang lemari itu dengan caraku sendiri. Hasilnya, lemari baju itu miring ke kanan. Lalu aku coba utak-atik lagi, tapi lemari baju itu malah jadi miring ke kiri. Aku frustrasi! Akhirnya aku membongkar lagi semuanya dan mulai lagi dari awal—kali ini, sesuai dengan petunjuk yang ada di buku panduan. Akhirnya, lemariku kokoh berdiri!

Menentukan bagaimana menjalani hidup sebagai orang percaya adalah seperti memasang lemari. Kita memiliki kebebasan untuk ‘memasang’ hidup seperti yang kita inginkan—apakah itu sesuai dengan kata kita atau kata Tuhan. Jika kita menjalani hidup kita dengan cara kita, kemungkinan besar kita akan berakhir dengan kehidupan yang “bengkok”. Dia tidak menjadi pusat dalam hidup kita. Namun, jika kita hidup sesuai dengan panduan Tuhan, kita akan dapat memenuhi apa yang menjadi kehendak-Nya bagi hidup kita, dan menemukan sukses yang sejati.

Sukses tidak diukur dari barang-barang yang kita miliki atau terima. Sukses diukur oleh kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan, dalam memenuhi apa yang Tuhan rencanakan dalam hidup kita.

Mungkin motivator itu benar: sukses bisa diraih dan kita bisa mendapatkannya jika kita mengarahkan pikiran kita kepada hal itu. Tapi kiranya sukses yang kita impikan adalah melakukan kehendak Tuhan dan hidup dalam ketaatan, mengikuti panduan-Nya. Kita tidak membutuhkan hidup yang mewah dan kaya untuk merasakan kesuksesan—kita sudah sukses ketika kita berjalan bersama Dia dan memilih jalan-jalan-Nya.

Baca Juga:

Mengapa Kita Tidak Pernah Mendapatkan Apa yang Kita Inginkan

Ada sebuah pertanyaan yang aku masih ingat sampai hari ini: “Bagaimana kau bisa memiliki yang kau inginkan jika kau hanya inginkan semua yang tak kau miliki?”

Mengapa Kita Tidak Pernah Mendapatkan Apa yang Kita Inginkan

mengapa-kita-tidak-pernah-mendapatkan-apa-yang-kita-inginkan

Oleh Charles Christian

Sewaktu kecil, aku adalah penggemar kisah Donal Bebek. Aku suka membaca kisah jenaka dari berbagai karakter yang ada di dalamnya, seperti Paman Gober yang serakah dan kikir, Roker Bebek yang merupakan rival abadinya, Donal Bebek yang malas, dan ketiga keponakannya. Tapi selain dari kejenakaannya, aku juga menyukai fakta bahwa banyak cerita yang dekat dengan penggambaran kehidupan sehari-hari.

Salah satu kisah favoritku adalah kisah tentang persaingan antara Paman Gober dan Roker Bebek, dua bebek terkaya di dunia. Suatu kali, mereka bersaing untuk mengukuhkan diri sebagai “bebek terkaya”, dan mereka berdua mulai membeli perusahaan-perusahaan saingan mereka. Pada akhirnya, Roker berhasil memiliki semua perusahaan Gober—dan begitu juga sebaliknya, Gober memiliki semua perusahaan Roker. Namun ketika tiba saatnya bagi mereka untuk pindah ke kantor baru mereka, mereka sama sekali tidak senang. Berlawanan dengan apa yang awalnya mereka yakini, memiliki kepunyaan saingan mereka tidaklah membawa mereka kebahagiaan.

Ketika itu terjadi, ketiga keponakan Donal menanyakan pertanyaan ini ketika mereka sedang mendiskusikan fenomena yang menyedihkan ini—sebuah pertanyaan yang aku masih ingat sampai hari ini: “Bagaimana kau bisa memiliki yang kau inginkan jika kau hanya inginkan semua yang tak kau miliki?”

Masuk akal, kan? Seperti Gober dan Roker, kita seringkali menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki. Dan mungkin itulah sebabnya mengapa kita tidak pernah bahagia, tidak peduli seberapa banyak yang kita dapatkan. Hari ini aku mungkin mendapatkan apa yang aku inginkan kemarin, tapi ketika aku mendapatkannya, aku tidak lagi menginginkannya, karena aku menginginkan hal yang lain atau hal yang lebih. Jika demikian, aku takkan pernah mendapatkan apa yang aku inginkan karena keinginan itu senantiasa berubah dan bertambah.

Beberapa waktu yang lalu, aku menemukan sebuah kesaksian dari seorang dokter bedah kecantikan asal Singapura yang kaya dan ternama bernama Dr. Richard Teo. Dalam sebuah sharing dengan sekelompok siswa pada tahun 2012, dia mengakui bagaimana dia sebelumnya begitu terobsesi oleh uang. (Dia kemudian meninggal karena kanker paru-paru pada usia 40).

Berikut adalah kutipan dari apa yang dia katakan:

“Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan menjadi sukses, dengan menjadi kaya—benar-benar tidak ada yang salah. Satu-satunya masalah adalah, aku pikir kebanyakan kita, seperti diriku, tidak mampu menyikapi [kesuksesan dan kekayaan itu] dengan baik. Mengapa aku mengatakan itu? Karena ketika aku mulai mengumpulkan, semakin banyak yang kumiliki, semakin banyak yang kuinginkan. Semakin banyak aku mengingini, semakin aku menjadi terobsesi. Aku begitu terobsesi [akan uang] sampai-sampai tidak ada hal lain yang berarti bagiku. Pasien-pasien hanyalah menjadi sumber pemasukan, dan aku mencoba untuk memeras setiap sen dari para pasien tersebut.”

Salomo, salah satu raja terkaya dalam Alkitab, juga mengutarakan hal yang sama beribu tahun yang lalu: “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.” (Pengkhotbah 5:10).

Jadi bagaimana kita dapat berhenti mengejar “hal-hal yang lebih”? Jika barang dan uang yang kita miliki tidak dapat memberikan kita kepuasan yang sejati, lalu apa yang dapat? Mazmur 37:4 berkata, “Bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.”

Bergembira karena Tuhan berarti menjadi puas di dalam Dia; Dia yang adalah sumber sukacita kita. Praktisnya, menjadi puas di dalam Tuhan berarti kita menemukan jati diri kita di dalam Dia dan mensyukuri segala hal yang telah Tuhan berikan kepada kita—setiap berkat besar dan kecil (dan bahkan berkat-berkat yang tidak kita sadari saat ini) di dalam hidup kita.

Sebuah pepatah mengatakan, “Ketika Tuhan adalah satu-satunya yang kamu miliki, kamu akan menyadari bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang kamu butuhkan.” Jika kita memiliki Tuhan, kita dapat merasa puas dan lengkap bahkan ketika kita kehilangan semua harta duniawi kita. Daud menuliskan ini dalam Mazmur 23:1, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”

Ini tidak berarti kita harus menjauh dari semua hal-hal materi dalam dunia ini. Hal-hal materi tersebut juga berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Namun ketika kita belajar untuk bergembira karena Tuhan, hati kita akan dimurnikan dan keinginan kita akan diubahkan. Kita tidak lagi menginginkan hal-hal yang duniawi sebesar keinginan kita untuk mendapatkan harta surgawi. Kita mulai menginginkan apa yang Tuhan inginkan di dalam hati-Nya.

Aku belajar untuk tidak mendekap erat-erat apa yang kumiliki di dunia ini. Aku belajar untuk membagikan apa yang kumiliki dengan orang lain—karena itu menyenangkan Tuhan. Dengan anugerah-Nya, aku juga belajar untuk mensyukuri setiap berkat yang Tuhan berikan dalam hidupku, tidak peduli seberapa kecilpun itu.

Misionaris Jim Elliot pernah berkata, “Bukanlah orang bodoh apabila seseorang menyerahkan apa yang tidak dapat disimpannya demi mendapatkan apa yang tidak mungkin bisa hilang atau diambil daripadanya.” Pada akhirnya, ketika kita meninggal, kita takkan dapat membawa harta duniawi kita bersama dengan kita. Namun, jika kita memiliki Tuhan saat ini, dan percaya kepada-Nya, kita akan beroleh hidup yang kekal bersama dengan-Nya (Yohanes 3:16), dan tidak akan ada yang dapat memisahkan kita dari Dia (Roma 8:39). Jadi, marilah kita temukan kepuasan sejati kita di dalam Tuhan dan merindukan hal-hal yang bersifat kekal.

Kiranya kita terhibur ketika mengetahui bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang kita butuhkan.

Baca Juga:

7 Langkah Menuju Kehidupan Kristen yang Sukses

Dapatkah kita menghidupi kehidupan yang “sukses” dalam iman kita? Berikut adalah beberapa cara yang Tuhan tunjukkan kepadaku tentang kehidupan Kristen yang “sukses”.

Ketika Kesuksesan Menjadi Kegagalan di Mata Tuhan

ketika-kesuksesan-menjadi-kegagalan-di-mata-tuhan

Oleh Maleakhi P. S.

Ke manapun aku pergi, aku melihat orang-orang di sekelilingku mengejar sesuatu. Beberapa belajar keras untuk mendapatkan nilai yang mereka inginkan, beberapa bekerja keras agar dapat dipromosikan, sedangkan yang lain mencari uang tambahan untuk membeli mobil dan rumah yang bagus. Meskipun hasil akhirnya berbeda, ada satu kesamaan yang mereka miliki: semua orang mengejar sesuatu. Semua orang ingin menjadi sukses.

Tapi mengapa begitu banyak orang mengejar kesuksesan? Apa definisi kesuksesan yang sejati? Adakah cara agar kita mendapatkan kepastian akan hal ini?

Begitu lama aku tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini—hingga suatu hari aku menemukan sebuah quote yang menunjukkan hubungan yang menarik antara kesuksesan dan kegagalan. Quote itu berbunyi: “Kegagalan adalah kesuksesan yang Tuhan tidak berkenan.”

Aku langsung melihat kebenaran di dalam quote tersebut. Hanya ada satu cara untuk mengukur kesuksesan—dengan standar Tuhan. Tapi seringkali bukan inilah yang kita lakukan. Malahan, kita mengukur kesuksesan menurut hal-hal fisik yang kita capai, bukan karena Tuhan yang berkenan atas kita. Kita jarang diam dan bertanya, “Apakah Tuhan berkenan atas kesuksesanku ini?”

Bayangkan skenario berikut ini: Bagaimana jika seseorang mampu hidup dengan gaya hidup yang mewah karena kekayaan yang dia dapatkan dari hasil korupsi? Atau bagaimana dengan seseorang yang menjadi CEO di sebuah perusahaan karena dia melakukan sabotase atas kompetitornya? Apakah kita akan menilai hidup mereka sukses?

Di mata dunia, mungkin ya. Tapi di mata Tuhan, “kesuksesan-kesuksesan” ini sesungguhnya adalah “kegagalan-kegagalan”.

Ketika Saul Gagal

Aku teringat akan sebuah perikop Alkitab dalam 1 Samuel 15, di mana Tuhan memerintahkan Saul untuk mengalahkan orang Amalek, dan menumpas semua yang ada di dalamnya (ay.3). Saul kemudian sukses mengalahkan mereka (ay.7), tapi berbeda dengan apa yang diperintahkan Tuhan untuk menumpas semua orang dan semua ternak, dia menangkap hidup-hidup Agag, raja orang Amalek, dan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dan tambun. Dia menyelamatkan segala yang berharga (ay.8), dan dengan terang-terangan melawan perintah Tuhan.

Untuk para rakyat, Saul mungkin terlihat sukses dalam misinya, tapi di mata Tuhan, dia telah gagal dalam menjalankan misi-Nya sepenuhnya karena ketidaktaatannya. Meskipun banyak ternak yang telah dia habisi dan banyak orang Amalek yang telah dia tumpas, Tuhan sangat kecewa dengan Saul. Di ayat berikutnya, Tuhan berkata, “Aku menyesal, karena Aku telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakan firman-Ku” (ay.11).

Apakah Aku Gagal?

Setelah membaca apa yang Tuhan ucapkan kepada Saul, aku mulai merefleksikan hidupku sendiri. Jika Tuhan dapat mengatakan pernyataan yang begitu keras kepada seorang raja yang telah Dia urapi, Dia juga dapat mengatakannya kepadaku. Aku tidak dapat membayangkan perasaanku jika Tuhan mengatakan kepadaku bahwa Dia menyesal telah menjadikanku pemimpin atau memberikanku talenta-talenta.

Benar, kita mungkin memiliki tangan yang terampil, muka yang cakep, dan pembawaan yang oke, tetapi jika emosi, pikiran, dan perbuatan kita tidak murni, Tuhan takkan berkenan atas kita. Kadang, kita bahkan mungkin seperti Saul: Kita dapat melakukan pekerjaan Tuhan, tapi tidak dengan cara yang menyenangkan-Nya. Misalnya, aku dapat mengajak jemaat menyembah dan memuji Tuhan dengan begitu percaya diri, tapi motifku bisa jadi keliru. Orang lain di sekitarku mungkin berpikir aku sukses dan aku berjalan dekat bersama Allah. Tapi Dia dapat melihat apa yang telah kuperbuat, langsung ke dalam hatiku (1 Samuel 16:7).

Jadi, kesuksesan yang sejati dicapai ketika apa yang kita lakukan berkenan kepada Tuhan. Daripada menanyakan diri kita bagaimana kita dapat sukses di mata dunia, kita seharusnya menanyakan diri kita bagaimana kita dapat sukses di mata Tuhan. Bahkan jika dunia tidak mengakui apa yang kita lakukan sebagai sebuah kesuksesan, berjuanglah untuk terus menyenangkan dan taat kepada-Nya.

Tuhan berkenan atas kita ketika kita menaati dan mendengarkan Dia, seperti yang dikatakan dalam 1 Samuel 15:22 yang berbunyi, “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.” Penampilan luar tidaklah berarti bagi-Nya, apa yang ada di dalam hati kitalah yang berarti bagi-Nya. Apakah kita menaati Dia hari ini? Apakah perasaan, pikiran, dan perbuatan kita murni di hadapan-Nya?

Kiranya ini menjadi doa kita hari ini, agar kita berjuang mencapai kesuksesan—di mata Tuhan.

Baca Juga:

Ketika Aku Iri dengan Teman Baikku

Natalie mau mengakui sesuatu: Dia pernah iri dengan teman baiknya. Ketegangan itu dimulai dari sebuah pemikiran kecil berikut ini.

Wallpaper: Mendefinisikan Ulang Kesuksesan

Tetapi barangsiapa bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan (2 Korintus 10:17). Yuk download wallpaper bulan ini.

Sharing: Kesuksesan apa yang pernah kamu raih dan syukuri dalam hidupmu?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201608

Kesuksesan apa yang pernah kamu raih dan syukuri dalam hidupmu? Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…

Belajar dari Kesuksesan Teman-Temanku

Penulis: Lily Lin, China
Artikel asli dalam Bahasa Mandarin: 每当我想起那些成功的朋友时

successful-friends

Sejak kecil aku merasa beruntung karena memiliki teman-teman yang berotak cemerlang. Mereka terus mengukir prestasi yang bikin iri semua orang, baik saat bersekolah maupun saat mereka sudah bekerja. Banyak di antara mereka berhasil menyelesaikan kuliah dari perguruan tinggi bergengsi dan kini memegang jabatan-jabatan tinggi. Ada yang menjadi ahli komputer, dokter, pengacara, hakim, serta konsultan keuangan. Sebagian meneruskan studi dan meraih gelar doktor di universitas-universitas ternama dan kini menjalankan riset atau mengajar di universitas-universitas papan atas.

Satu hal yang aku perhatikan dari hidup teman-teman yang sukses ini adalah: setiap mereka adalah orang yang bersungguh-sungguh, rajin, disiplin, dan tekun. Mereka adalah bukti hidup dari apa yang pernah dikatakan oleh Jim Rohn, seorang penulis yang banyak memberiku inspirasi: “Kesuksesan tidak diperoleh dengan dikejar; kesuksesan akan datang ketika kamu sudah menjadi seorang pribadi yang siap menerimanya.”

Sungguh aku sangat diberkati memiliki teman-teman yang penuh talenta dalam setiap fase kehidupanku. Setiap kali aku kehilangan semangat atau tergoda untuk bermalas-malasan dalam pekerjaan dan pelayananku, teladan teman-temanku ini mendorongku untuk bangkit lagi. Mereka juga mengingatkanku kepada Rasul Paulus, seorang yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk memberitakan Injil, dan yang memakai segala sesuatu yang ia punya untuk menyebarluaskan sabda Kristus dan membawa orang kepada Tuhan (Kolose 1:28-29).

Tentu saja kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki talenta yang berbeda, menempuh pendidikan yang berbeda, dan tumbuh dalam lingkungan yang juga berbeda. Ini berarti, sekalipun semua kita memberikan usaha yang sama kerasnya, sebagian orang akan meraih hasil yang lebih daripada yang lain. Jika kita hanya berfokus pada apa yang bisa kita peroleh dari sebuah kesuksesan, kita bisa menjadi pahit hati karena kita tidak memiliki talenta dan sumber daya yang sama dengan teman-teman kita. Kita bisa menjadi iri akan kesuksesan mereka. Tetapi, jika kita menyadari bahwa talenta dan sumber daya merupakan karunia yang dipercayakan kepada tiap-tiap orang, dan memahami bahwa bukan kesuksesan yang menentukan kebahagiaan kita, tentulah tanggapan kita akan sangat berbeda.

Dalam perumpamaan tentang talenta (Matius 25), Yesus mengatakan bahwa hal kerajaan surga itu sama seperti seorang tuan yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka sesuai kesanggupan tiap-tiap orang, sebelum ia bepergian ke luar negeri. Yang seorang mendapat lima talenta, yang seorang lagi dua, dan yang seorang lagi satu. Dua hamba pertama menggunakan talenta yang mereka terima sesuai kesanggupan masing-masing sehingga yang seorang mendapat hasil lima talenta, yang seorang lagi mendapat hasil dua talenta. Hamba yang ketiga tidak berbuat apa-apa dan tidak menghasilkan apa-apa. Menariknya, meski dua hamba pertama mendapatkan hasil yang berbeda, mereka mendapatkan tanggapan yang sama dari tuannya: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Matius 25:21, 23)

Setiap hal yang kita miliki adalah pemberian Allah, dan suatu hari kelak kita harus mempertanggungjawabkan bagaimana kita menggunakan semua hal yang kita terima itu kepada-Nya. Sebab itu, kita perlu menggunakan semua sumber daya yang kita punyai dengan bijaksana dan memakai talenta kita sebaik mungkin agar orang lain diberkati dengan apa yang kita miliki dan Allah dimuliakan. Tujuan kita bukanlah untuk menunjukkan kepintaran dan kehebatan kita semata, bukan pula untuk memamerkan kesuksesan apa saja yang berhasil kita raih.

Firman Tuhan dalam Mikha 6:8 berkata, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” Aku berharap dan berdoa agar setiap kita dapat meraih sukses yang dikehendaki Allah bagi kita dalam setiap fase kehidupan kita.

5 Hal yang Perlu Diwaspadai dalam Meraih Sukses

Penulis: Henry Jaya Teddy

5-hal-yg-harus-diwaspadai-dalam-meraih-sukses

Siapa yang tidak ingin sukses? Kita semua tentu ingin. Pertanyaannya, kesuksesan seperti apa yang ingin kita raih? Dan, apa saja yang telah dan sedang kita lakukan untuk memastikan kita dapat meraih sukses itu?

Aku pikir adakalanya kita terlalu cepat puas dengan sukses yang sementara. Ini dicerminkan oleh pilihan-pilihan yang kita ambil. Sepanjang pengalamanku sendiri, setidaknya ada lima sikap yang perlu kita waspadai:

1. Lebih mengejar penghargaan manusia daripada penghargaan Tuhan
Kapan kita bersemangat menunjukkan kinerja terbaik kita? Bila kita berusaha tampil baik hanya di depan orang-orang tertentu atau bersemangat hanya ketika diberi tanggung jawab atas perkara-perkara besar yang dilihat orang, kita perlu waspada. Mungkin kita tetap bisa meraih “sukses”, namun itu tidak akan bertahan lama.

Firman Tuhan dalam Kolose 3:23 memperingatkan kita: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Ketika kita menyadari bahwa Tuhan senantiasa memperhatikan pekerjaan kita, baik besar maupun kecil, tentunya kita akan lebih berhati-hati dan memberi usaha terbaik kita, baik saat dilihat orang atau tidak.

2. Lebih suka menjadi kaya daripada menjadi bijaksana
Hal apa yang pertama-tama kita harapkan dari sebuah pekerjaan? Bila kita hanya mengharapkan imbalan materi belaka, dan tidak lagi peduli apakah kita menjadi pribadi yang lebih baik karakternya, lebih terampil, lebih bijaksana, lebih dapat diandalkan. kita perlu waspada. Mungkin kita tetap bisa meraih “sukses”, namun itu tidak akan bertahan lama.

Dalam 1 Raja-Raja 3, Tuhan menunjukkan betapa Dia senang dengan pilihan Raja Salomo yang meminta hikmat untuk melakukan tugas memimpin umat Tuhan, dan bukannya sekadar umur panjang, kekayaan, atau kemenangan atas musuh. Tuhan tidak hanya memberikan hikmat dan pengertian, tetapi juga kekayaan dan kemuliaan kepada Salomo (1 Raja-Raja 3:11-12).

3. Lebih mengikuti standar kebanyakan orang daripada mengejar keserupaan dengan Kristus
Apa yang menjadi standar kita dalam melakukan sesuatu? Bila kita selalu mengacu pada apa yang dilakukan kebanyakan orang saja (ah, kan semua orang juga seperti itu…), kita perlu waspada. Suara mayoritas belum tentu selalu benar. Mungkin kita bisa meraih “sukses” dengan mengikuti cara kebanyakan orang, namun itu tidak akan bertahan lama.

Matius 5:48 mengingatkan kita pada panggilan Tuhan: “… haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Meski kita jelas masih jauh dari sempurna, kita dipanggil untuk bertumbuh terus-menerus menuju apa yang sempurna, menuju keserupaan dengan Kristus. Kita dipanggil untuk mengasihi seperti Kristus, untuk berkata tidak kepada dosa seperti Kristus, untuk rela berkorban dan setia sampai akhir seperti Kristus, dan seterusnya.

4. Lebih takut kepada manusia daripada kepada Tuhan
Situasi apa yang biasanya membuat kita gentar melakukan apa yang benar? Jika kita lebih suka berkompromi demi mengamankan dan menguntungkan diri sendiri, kita perlu waspada. Mungkin kita bisa meraih “sukses” dengan kompromi itu, namun itu tidak akan bertahan lama.

Matius 10:28 mengingatkan kita bahwa kita yang hidup dalam kebenaran tidak perlu takut terhadap orang-orang yang hendak mencelakakan kita, karena mereka hanya dapat menyentuh tubuh, bukan jiwa. Kita harus lebih takut kepada Tuhan yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh dalam neraka.

5. Lebih memilih kenyamanan daripada menghadapi tantangan
Situasi apa yang biasanya membuat kita menyerah dan berhenti berusaha? Jika kita maunya hanya hidup enak, tidak mau susah, selalu menjauhi tantangan, kita perlu waspada. Mungkin kita bisa meraih “sukses” di zona nyaman, namun itu tidak akan bertahan lama.

1 Korintus 10:13 mengingatkan kita bahwa Tuhan itu setia dan Dia tidak akan membiarkan anak-anak-Nya dicobai melampaui kekuatan manusia. Pada waktu tantangan datang, Dia akan memberi kita jalan keluar. Berpegang pada janji Tuhan, kita dapat dengan berani menghadapi masa-masa yang sulit dan penuh tantangan. Tuhan dapat memakai setiap kesulitan yang ada untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.