Posts

Jatuh Hingga ke Titik Nadir, Perjalananku Melepas Keangkuhan

Oleh Prillia Setiarini

Dikenal, disanjung, dikagumi. Kurasa tak akan ada orang yang menolak diperlakukan demikian. Dipandang secara positif oleh orang lain tentulah membawa rasa bangga bagi diri kita sendiri juga keluarga.

Aku ingat betul, saat SMA dulu aku ikut banyak kegiatan di sekolah. Tak cuma aktif, prestasiku juga cukup membanggakan. Aku diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tapi, tanpa kusadari, rasa banggaku inilah yang membentuk fondasi hidupku. Kuletakkan identitasku pada pencapaian-pencapaianku dan aku menjadi semakin haus untuk mengejarnya.

Di awal masa-masa kuliahku, banyak orang bertanya. “Sekarang sudah kuliah ya? Di mana kuliahnya?” Kujawab dengan penuh percaya diri, “Di situ, di institut terbaik bangsa.” Reaksi decak kagum pun muncul. Tidak sedikit dari mereka yang menimpali dengan, “Wah! Kamu pasti pintar banget! Orang yang lulus ujian masuk ke sekolah itu kan persentasenya sangat kecil!” Ada juga yang menunjukkan raut muka yang begitu kagum, walaupun tidak melontarkannya dengan kalimat.

Sesudah itu ego yang aku miliki pun naik jadi begitu tinggi. Aku menganggap diriku termasuk orang yang sangat pintar, aku mahasiswa dari sekolah yang bergengsi, aku, aku, dan aku. Aku pun berubah menjadi orang yang sangat sombong. Aku menaruh ekspektasi yang sangat tinggi dalam hidupku, sampai aku tidak melibatkan Tuhan dalam rencana hidupku. Aku begitu perfeksionis dan hampir semua ekspektasiku, yang kurasa ada di luar jangkauan, rupanya dapat aku raih. Aku pun jatuh dalam dosa yang begitu Tuhan benci: kesombongan.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku terjatuh terlalu jauh. Seiring waktu, ego yang aku miliki mulai terkikis. Aku benar-benar merasa Tuhan membimbing dan mendewasakan aku melalui relasi dengan teman kuliah, teman gereja, teman persekutuan kampus (PMK), teman komunitas, keluarga, saudara, dan semua yang ada di sekitarku. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan teguran yang cukup keras melalui kesehatanku. Ekspektasi yang aku sebutkan sebelumnya membuat pikiran, jiwa, hati, dan mentalku menjadi ambisius. Pada tahun 2012 kesehatan mentalku terganggu yang salah satu penyebabnya adalah sikap perfeksionis dan ambisiku tersebut.

Kejadian yang paling mengubah pikiranku adalah saat aku berada di rumah pemulihan untuk orang-orang yang bermasalah karena mentalnya terganggu dan pecandu narkoba. Aku mendapat perlakuan yang begitu buruk di sana. Makanan yang diberikan tidak enak sama sekali, kasur yang disediakan sangat berbeda dengan kasur di kamarku, dan pasien-pasien di sana membuatku berpikir, “Apakah aku sebegitu rendahnya sehingga tempat yang membantuku pulih yaitu tempat yang seperti ini?”.

Rumah pemulihan tersebut menjadikan harga diriku begitu rendah. Aku merasa aku seperti orang buangan. Di rumah tersebut banyak orang yang sengaja dititipkan oleh keluarganya. Padahal keluarga dari orang tersebut memang tidak mau mengurusnya lagi. Hampir 40% dari pasien-pasien di sana tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Bahkan ada yang tidak tahu lagi bagaimana kabar keluarganya. Mungkin sedikit gambaran, di sana ada pasien wanita berumur paruh baya yang ditemukan di pinggir jalan. Pemilik rumah pemulihan tersebut berniat untuk membantu hidup dari seorang wanita ini. Ya, seperti itulah keadaan pasien-pasien di sana.

Kesombongan memang tidak pernah membawa kebaikan. Pada suatu masa di Perjanjian Lama, kerajaan Edom yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan menerima penghukuman karena kesombongannya. Dalam Obaja 1:3 tertulis bahwa kerajaan Edom terletak di pegunungan yang curam, sehingga musuh akan sulit menyerang. Edom pun adalah bangsa yang kaya. Mereka dilimpahi dengan tembaga dan posisi geografis yang strategis karena berada di pusat rute perdagangan. Namun, dari segala kebaikan yang memenuhi mereka, Edom dipenuhi keangkuhan. Mereka yakin tidak akan terkalahkan sehingga mereka pun menindas umat Allah (Obaja 1:10-14).

Seperti yang terjadi pada bangsa Edom yang yakin betul bahwa tak ada satu pun kuasa yang akan mengalahkan mereka hingga mereka bertindak semena-mena, kesombongan dapat menipudaya pikiran kita. Kita berpikir kita dapat hidup tanpa Allah, yang kemudian akan membuat kita merasa kebal dari otoritas, teguran, dan kelemahan.

Namun, terpujilah Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang berbalik datang pada-Nya. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri di hadapan-Nya (1 Petrus 5:6) dan Dia membimbing kita untuk percaya bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang harus kita andalkan.

Dengan tuntunan dan anugerah-Nya, harga diriku yang hancur itu perlahan-perlahan membaik. Perjalananku untuk pulih dimulai dengan membuka kembali Alkitabku. Dikatakan pada Mazmur 139:13 bahwa Tuhan yang menenun aku (dan kita semua) dalam kandungan ibuku. Dalam bayanganku, itu berarti Tuhan sudah memerhatikan aku dari sebelum aku lahir. Sebelum aku menjadi aku, Dia sudah merencanakan hidupku. Hal itu sangat-sangat menguatkan aku. Aku juga melihat orang tuaku dan sikap teman-teman terhadap aku. Ternyata mereka menghargai aku. Kombinasi itu semua membuatku sadar bahwa harga diriku sebenarnya tidak pernah rusak. Aku sedang dibentuk oleh Tuhan dan serangkaian kejadian tersebut menyadarkan betapa Tuhan benar-benar sayang aku dan aku dijadikan murid oleh-Nya.

Pengalamanku ini telah menyadarkanku bahwa identitas berupa pencapaian, harta benda, atau jabatan bukanlah fondasi yang kokoh. Dasar yang teguh hanya bisa dibangun di atas iman percaya pada Kristus. Walaupun aku masih bisa jatuh, tetapi aku percaya bahwa Allah Bapa melalui pertolongan Roh Kudus akan terus membimbing hidup aku dan kamu hari ini, seterusnya, sampai pada maranatha!

Sekarang, kalau aku mendapatkan pujian, aku akan berkata, “Makasih ya. Itu semua hanya anugerah dari Tuhan”. Karena jika Tuhan tidak memberikan perkenanan-Nya, aku memang tidak mungkin bisa melakukan dan melewati semua itu. Semua pencapaian yang pernah aku raih dan yang akan aku raih, aku mau menyerahkan semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Soli Deo gloria.

‘Kesombongan’ Terselubung di Balik Bersyukur

Oleh Paramytha Magdalena

Suatu ketika aku mendengar seseorang berkata, “Aku bersyukur karena keadaanku tidak seperti si A atau si B. Aku bersyukur masih diberikan kesehatan, setidaknya nggak pernah mengalami sakit yang separah itu.”

Di media sosial pun serupa. Di postingan yang bernada penderitaan dan pilu, beberapa warganet mengetikkan, “Ya ampun, lihat postingan ini membuatku jadi lebih banyak bersyukur karena aku masih berkecukupan dan tidak kekurangan.”

Kupikir cuma orang lain saja yang bersyukur dengan cara tersebut, sampai suatu ketika aku dan suamiku sedang berkendara di atas sepeda motor. Di sudut jalan, tampak seorang ibu dan anak yang sedang berjalan kaki sambil meminta-minta di tengah cuaca yang panas. Tanpa sadar, aku berkata, “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kecukupan sampai sekarang.” Ucapan syukur sejenis ini pun rupanya terucap lagi ketika aku melihat salah satu anggota dari keluarga besarku mengalami kekacauan rumah tangga yang mengakibatkan anak mereka terlantar secara finansial. “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kerukunan.”

Setelah reflek ucapan itu keluar dari mulutku, aku terdiam sejenak. Aku merasa ada yang salah di balik ungkapan syukur itu.

Secara sekilas, mungkin perkara ucapan syukur ini bukan menjadi masalah yang berarti. Bukankah sudah sewajarnya orang bersyukur atau berterima kasih pada Tuhan? Dan bukankah pula bersyukur itu hal yang baik dan positif untuk dilakukan?

Namun, tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bisa saja hasilnya pun jadi melenceng. Merenungkan pertanyaan itu, aku mendapat teguran keras dari firman Tuhan. Ada banyak nats yang mengatakan tentang ucapan syukur. Salah satunya dari 1 Tesalonika 5:18 yang berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Kita tidak diminta mengucap syukur karena suatu hal, semisal karena kita melihat orang lain lebih kurang beruntung daripada kita. Kita diminta mengucap syukur dalam segala hal. Artinya, kita mengucap syukur secara otentik, suatu ucapan syukur yang seharusnya datang dari hati atas setiap berkat, sekecil apa pun itu yang diberikan Tuhan bagi kita.

Terkadang kita tak mampu menyelami misteri kasih Ilahi. Allah, dalam hikmat dan kebijaksanaan-Nya pastilah memberikan berkat dan mengizinkan tantangan yang sesuai dengan kemampuan anak-anak-Nya. Adalah hal yang ganjil apabila kita menjadikan penderitaan orang lain sebagai alasan kita bersyukur, sebab itu justru malah melahirkan kontradiksi: di satu sisi kita seolah ‘mendekat’ pada Tuhan, tapi di sisi yang lain itu menjauhkan kita dari sesama.

Kuakui bahwa motivasiku ketika mengucap syukur tidaklah tepat, dan syukur kepada Allah atas teguran yang Dia berikan bagiku. Kekurangan orang lain tidak seharusnya kita jadikan bahan perbandingan, tetapi dengan mengikuti teladan Kristus, kita bisa menyelidiki bagian apakah yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka?

Kita mengucap syukur bukan karena hidup kita lebih baik daripada orang lain.

Kita mengucap syukur karena Allah itu baik. Pribadi-Nya selalu hadir dan ada bagi kita.

Kita mengucap syukur karena kita ada oleh perkenanan-Nya.

Mengucap syukur yang berpusat pada Allah, itulah yang dikehendaki-Nya.

Aku pun mulai belajar bersyukur dengan cara yang tepat, meskipun masih jatuh dan bangun.

Baca Juga:

Bukan dengan Amarah, Ini Seharusnya Cara Kita Menghadapi Komentar Jahat di Media Sosial

Komentar-komentar jahat yang dilontarkan di medsos seringkali membuat kita tergoda ingin membalas atau mengumpat. Namun, itu bukanlah cara yang paling tepat untuk menanggapinya.

Kejahatan ‘Terbesar’ di Dunia

Oleh Ananda

Perang Dunia bukan sekadar kisah yang hadir di buku sejarah. Itu adalah peristiwa kelam yang pernah dialami oleh umat manusia. Ketika aku berkunjung ke Ereveld—sebuah pemakaman khusus korban Perang Dunia II di Ancol—aku terperanjat melihat dan mendengar kisah-kisah yang tak tertuliskan di buku pelajaran sekolah dulu.

“Kalau makam yang di sana milik siapa, Pak?”, tanyaku kepada petugas.

“Apakah kamu punya adik laki-laki?”, dia balik bertanya.

“Punya pak, ada dua”, jawabku. Aku agak bingung kok malah aku balik ditanya.

“Makam yang di sana itu adalah makam seorang kakak perempuan bernama Luchien Ubels. Kabarnya, Ia menyerahkan diri untuk dieksekusi pada saat pemerintah Jepang mencari adik laki-lakinya.”

Dari ribuan makam yang ada di Ereveld, makam milik Luchien Ubels mencuri perhatianku. Makam itu lokasinya menyendiri, terpisah dari makam-makam lain. Ada kisah pilu di balik kematian Luchien Ubels.

Luchien Ubels (Luut) memiliki seorang adik yang bernama Lambert Ubels. Masyarakat Eropa pada era kolonial dulu lebih sering mengenal seseorang dengan nama keluarganya ketimbang nama depan. Setelah pasukan Jepang berhasil menginvasi Jawa, Lambert dan teman-temannya yang merupakan pegawai dari Sindikat Pertanian Umum (ALS) melakukan perlawanan dengan membuat petisi. Akibatnya, pasukan Jepang pun memburunya. Pasukan Jepang lantas mendatangi rumah Lambert untuk menahannya, tapi Lambert tidak ada di sana, hanya kakaknya saja yang tertinggal. Di dokumen petisi itu tertulis nama L. Ubels. Pihak Jepang tidak tahu apabila nama Ubels yang tertera di petisi ialah Lambert. Untuk menyelamatkan adiknya, Luut pun mengakui bahwa dia yang telah menandatangani petisi itu. Luut akhirnya dieksekusi bersama 18 orang lainnya. Untuk menghormati jasanya, keluarga Ubels kemudian memohon agar makam Luut ditempatkan secara istimewa di Ereveld Ancol.

Dalam kemelut perang, mengorbankan nyawa demi seseorang adalah tindakan heroik yang tak dapat dilakukan oleh semua orang. Keberanian Luchien Ubels demi menyelamatkan sang adik mengingatkanku kepada kisah Seseorang yang juga mengorbankan diri-Nya di Golgota dua ribu tahun silam. Bukan hanya demi menyelamatkan satu orang, Ia menyerahkan diri-Nya bagi seluruh dunia. Agar setiap orang yang percaya kepada-Nya, beroleh hidup yang kekal.

Orang itu tak lain adalah Kristus. Anak Allah yang rela merendahkan diri-Nya dan berkorban bagi kita, manusia yang kecil dan hina ini. Bukan atas hasil usaha kita, melainkan oleh karena kasih karunia-Nya kita Ia selamatkan.

Seringkali kita lupa bahwa keselamatan yang kita peroleh itu sungguh merupakan sebuah anugerah dari Allah. Alih-alih menerimanya dengan perasaan syukur dan rendah hati, tak jarang kita malah bersikap arogan, merasa lebih tahu dan bahkan merasa lebih pantas menerima keselamatan jika dibandingkan dengan orang-orang yang belum mengenal Kristus. Kita lupa bahwa oleh karena kemurahan hati-Nya sajalah, kita dimampukan untuk mengenal Dia. Sebab seperti yang Paulus katakan, bahwa manusia duniawi sejatinya tidak dapat menerima dan memahami Roh Allah (1 Korintus 2:14-15).

Aku terlahir di dalam non-Kristen. Ketika akhirnya aku mengenal Kristus dan menjadi Kristen, aku sangat bersemangat dalam mengabarkan Kabar Baik ini kepada anggota keluarga yang belum mengenal Kristus. Namun seringkali, semangatku tidak dibarengi dengan sikap hati yang baik dalam menyampaikannya. Sikap arogan pun muncul tanpa kusadari ketika orang-orang yang kuceritakan tentang Kabar Baik itu malah meresponsku dengan buruk. Alih-alih berfokus memberitakan kisah Kabar Baik itu, aku malah berupaya tampil lebih unggul daripada mereka. Aku berfokus untuk “menang” dalam setiap lontaran pertanyaan yang mereka berikan buatku. Dan, tak hanya itu, aku tanpa sadar menuntut mereka untuk melihat dengan cara pandang yang sama sepertiku.

Sekilas upayaku menyampaikan Kabar Baik itu terkesan baik, tetapi aku sesungguhnya sedang lupa dan salah. Aku telah menempatkan diriku lebih tinggi dari Allah, seolah akulah yang memegang kendali untuk meyakinkan mereka. Aku lupa bahwa hanya melalui pekerjaan Roh Kudus sajalah, orang lain dapat terbuka mata dan hatinya.

Aku terlalu sibuk dengan egoku sehingga enggan memberi ruang bagi Kristus untuk dapat terlibat di dalam perjalanan pengenalan akan kasih-Nya kepada mereka. Aku terlalu angkuh untuk mengingat bahwa aku pun pernah mengalami kesulitan untuk untuk benar-benar memahami kasih Kristus yang mulia.

Aku lupa bahwa sesungguhnya aku tidak layak bermegah atas pengertian yang telah Tuhan berikan kepadaku mengenai anugerah keselamatan-Nya. Bukan atas hasil usahaku, juga bukan karena banyaknya buku yang telah habis kubaca, melainkan oleh karena kasih karunia-Nya saja.

Keangkuhanku itu bukan hanya menjauhkan relasiku dengan keluargaku, tetapi juga menjauhkanku dari Allah. Meski aku telah bersaksi tentang Allah melalui perkataanku, nyatanya aku telah gagal memperkenalkan kasih-Nya yang nyata melalui diriku. Sungguh mengerikan ketika menyadari kebobrokan yang telah kulakukan di dalam selubung iman ini.

C.S. Lewis dalam bukunya Mere Christianity mengatakan bahwa “kejahatan yang terbesar di dunia ini adalah kesombongan.” Kesombongalah yang pada awalnya menggiring Adam dan Hawa merasa lebih mengetahui apa yang baik dan menentang kehendak Allah. Melalui kesombongan pula, Lucifer diusir dari surga dan menjadi Iblis.

Kesombongan yang terbalut oleh kehidupan rohani dapat mengaburkan pengenalan yang benar akan kasih Allah yang rendah hati. Itu jugalah yang menyebabkan seteru antara manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan Tuhannya. Jika kesombongan terus dibiarkan tumbuh di dalam dunia, bukankah wajar jika perseteruan antar manusia semakin marak bermunculan?

Kita tahu bahwa dunia memang sudah tercemar oleh pelbagai rupa kejahatan, mulai dari kejahatan kecil sampai kejahatan besar seperti aksi teror yang terjadi di Makassar beberapa waktu lalu. Namun, alangkah baiknya jika kita tidak semakin menambah jumlah daftar kejahatan yang terjadi, dengan cara merendahkan hati dan membagikan kasih yang sudah Yesus ajarkan kepada kita.

Mari kembali merenungkan, sudahkah kita benar-benar merendahkan hati kita dalam memberitakan kasih-Nya, melalui setiap perkataan dan perbuatan kita kepada mereka yang belum mengenal Dia?

Kiranya kita yang telah mengenal Dia, serta diubahkan oleh kasih karunia-Nya, boleh senantiasa dimampukan untuk meneladani kerendahan hati-Nya melalui kasih terhadap sesama. Amin.

Baca Juga:

4 Jurus Melawan Pikiran Negatif

Bagaimana caranya kita bisa tetap bersukacita dan merasa cukup sebagai orang Kristen di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa?

Masalah dari Kecongkakan

Kamis, 8 Februari 2018

Masalah dari Kecongkakan

Baca: Amsal 16:16-22

16:16 Memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas, dan mendapat pengertian jauh lebih berharga dari pada mendapat perak.

16:17 Menjauhi kejahatan itulah jalan orang jujur; siapa menjaga jalannya, memelihara nyawanya.

16:18 Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.

16:19 Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati dari pada membagi rampasan dengan orang congkak.

16:20 Siapa memperhatikan firman akan mendapat kebaikan, dan berbahagialah orang yang percaya kepada TUHAN.

16:21 Orang yang bijak hati disebut berpengertian, dan berbicara manis lebih dapat meyakinkan.

16:22 Akal budi adalah sumber kehidupan bagi yang mempunyainya, tetapi siksaan bagi orang bodoh ialah kebodohannya.

Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan. —Amsal 16:18

Masalah dari Kecongkakan

Orang yang berhasil meraih ketenaran atau reputasi yang luar biasa di masa hidupnya sering disebut sebagai “tokoh legendaris di zamannya”. Seorang teman yang pernah menjadi pemain bisbol profesional berkata bahwa ia bertemu banyak orang di dunia olahraga yang hanya menjadi “tokoh legendaris di pikirannya sendiri”. Kesombongan memang dapat menyimpangkan cara kita memandang diri kita sendiri, sedangkan kerendahan hati akan membuat kita memandang diri sendiri secara realistis.

Penulis kitab Amsal mengatakan, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (16:18). Jika kita memandang diri sendiri melalui cermin yang mementingkan diri, kita akan melihat gambar diri yang menyimpang. Meninggikan diri sendiri akan membuat kita terjatuh dan hancur.

Penawar dari racun kesombongan adalah kerendahan hati sejati yang diberikan Allah. “Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati dari pada membagi rampasan dengan orang congkak” (ay.19).

Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:26-28).

Memang tidak salah apabila kita menerima penghargaan atas prestasi dan kesuksesan kita. Tantangannya bagi kita adalah bagaimana kita tetap berfokus pada Pribadi yang memanggil kita untuk mengikut-Nya dengan berkata, “karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:29). —David C. McCasland

Tuhan Yesus, berilah kami kerendahan hati-Mu dalam interaksi kami dengan sesama hari ini. Kiranya kami memuliakan-Mu dalam segala perbuatan dan perkataan kami.

Kerendahan hati yang sejati berasal dari Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 4-5; Matius 24:29-51

Angkuh Sampai ke Akarnya

Rabu, 21 Oktober 2015

Angkuh Sampai ke Akarnya

Baca: Ezra 9:1-9

9:1 Sesudah semuanya itu terlaksana datanglah para pemuka mendekati aku dan berkata: “Orang-orang Israel awam, para imam dan orang-orang Lewi tidak memisahkan diri dari penduduk negeri dengan segala kekejiannya, yakni dari orang Kanaan, orang Het, orang Feris, orang Yebus, orang Amon, orang Moab, orang Mesir dan orang Amori.

9:2 Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan perbuatan tidak setia itu.”

9:3 Ketika aku mendengar perkataan itu, maka aku mengoyakkan pakaianku dan jubahku dan aku mencabut rambut kepalaku dan janggutku dan duduklah aku tertegun.

9:4 Lalu berkumpullah kepadaku semua orang yang gemetar karena firman Allah Israel, oleh sebab perbuatan tidak setia orang-orang buangan itu, tetapi aku tetap duduk tertegun sampai korban petang.

9:5 Pada waktu korban petang bangkitlah aku dan berhenti menyiksa diriku, lalu aku berlutut dengan pakaianku dan jubahku yang koyak-koyak sambil menadahkan tanganku kepada TUHAN, Allahku,

9:6 dan kataku: “Ya Allahku, aku malu dan mendapat cela, sehingga tidak berani menengadahkan mukaku kepada-Mu, ya Allahku, karena dosa kami telah menumpuk mengatasi kepala kami dan kesalahan kami telah membubung ke langit.

9:7 Dari zaman nenek moyang kami sampai hari ini kesalahan kami besar, dan oleh karena dosa kami maka kami sekalian dengan raja-raja dan imam-imam kami diserahkan ke dalam tangan raja-raja negeri, ke dalam kuasa pedang, ke dalam penawanan dan penjarahan, dan penghinaan di depan umum, seperti yang terjadi sekarang ini.

9:8 Dan sekarang, baru saja kami alami kasih karunia dari pada TUHAN, Allah kami yang meninggalkan pada kami orang-orang yang terluput, dan memberi kami tempat menetap di tempat-Nya yang kudus, sehingga Allah kami membuat mata kami bercahaya dan memberi kami sedikit kelegaan di dalam perbudakan kami.

9:9 Karena sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami. Ia membuat kami disayangi oleh raja-raja negeri Persia, sehingga kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya, dan diberi tembok pelindung di Yehuda dan di Yerusalem.

Ezra . . . adalah seorang ahli kitab, mahir dalam Taurat Musa. —Ezra 7:6

Angkuh Sampai ke Akarnya

“Ia pikir dirinya begitu penting!” Itulah penilaian teman saya tentang seorang saudara seiman yang kami kenal. Kami merasa bahwa ia telah dikuasai oleh kesombongan. Kami sangat prihatin ketika mengetahui bahwa sahabat kami itu kemudian terlibat dalam masalah serius. Dengan meninggikan diri, masalah pun menimpanya. Kami sadar hal itu dapat menimpa kami juga.

Memang mudah menganggap enteng dosa kesombongan yang mengerikan di dalam hati kita. Semakin banyak yang kita ketahui dan semakin besar sukses yang kita nikmati, semakin besar kecenderungan kita untuk berpikir bahwa kita ini “luar biasa”. Kesombongan memang sudah berakar dalam jiwa kita.

Dalam Kitab Suci, Ezra disebut sebagai “seorang ahli kitab, mahir dalam Taurat Musa” (EZR. 7:6). Raja Artahsasta menunjuk Ezra untuk memimpin ekspedisi kaum buangan Israel untuk kembali ke Yerusalem. Ezra bisa bersikap sombong. Namun tidak demikian. Ezra tidak saja tahu isi Taurat, tetapi ia juga menerapkan Taurat itu dalam hidupnya.

Saat tiba di Yerusalem, Ezra mendapati bahwa banyak pria Yahudi telah menikahi wanita yang menyembah ilah lain, sehingga mereka menentang perintah Allah (9:1-2). Ezra pun mengoyakkan jubahnya dan berdoa dengan pertobatan yang sungguh-sungguh (ay. 5-15). Pengertian dan kedudukan Ezra dibentuk oleh tujuan yang lebih tinggi, yakni kasihnya kepada Allah dan bangsanya. Ia berdoa, “Kami menghadap hadirat-Mu dengan kesalahan kami. Bahwasanya, dalam keadaan demikian tidak mungkin orang tahan berdiri di hadapan-Mu” (ay.15).

Ezra memahami besarnya dosa umat Israel. Namun dengan rendah hati, ia pun bertobat dan mempercayai kebaikan Allah yang Maha Pengampun. —Tim Gustafson

Tuhan, penuhilah kami dengan kasih bagi-Mu agar kami mendahulukan apa yang berkenan kepada-Mu, dan bukannya diri kami sendiri. Bebaskan kami dari kesombongan yang diam-diam menjerat kami.

Kesombongan menuntun pada segala sifat buruk: suatu pola pikir yang sepenuhnya menentang Allah. —C. S. Lewis

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 62-64; 1 Timotius 1

Dua Ekor Beruang

Sabtu, 12 September 2015

Dua Ekor Beruang

Baca: Amsal 13:10-20

13:10 Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat.

13:11 Harta yang cepat diperoleh akan berkurang, tetapi siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya.

13:12 Harapan yang tertunda menyedihkan hati, tetapi keinginan yang terpenuhi adalah pohon kehidupan.

13:13 Siapa meremehkan firman, ia akan menanggung akibatnya, tetapi siapa taat kepada perintah, akan menerima balasan.

13:14 Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut.

13:15 Akal budi yang baik mendatangkan karunia, tetapi jalan pengkhianat-pengkhianat mencelakakan mereka.

13:16 Orang cerdik bertindak dengan pengetahuan, tetapi orang bebal membeberkan kebodohan.

13:17 Utusan orang fasik menjerumuskan orang ke dalam celaka, tetapi duta yang setia mendatangkan kesembuhan.

13:18 Kemiskinan dan cemooh menimpa orang yang mengabaikan didikan, tetapi siapa mengindahkan teguran, ia dihormati.

13:19 Keinginan yang terlaksana menyenangkan hati, menghindari kejahatan adalah kekejian bagi orang bebal.

13:20 Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.

Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat. —Amsal 13:10

Dua Ekor Beruang

Beberapa tahun lalu, saya dan istri saya, Carolyn, menghabiskan waktu selama beberapa hari dengan berkemah di lereng Gunung Rainier di negara bagian Washington. Pada suatu sore ketika kembali ke area perkemahan, kami melihat di tengah-tengah ladang rumput ada dua ekor beruang jantan sedang saling berpukulan kuping. Kami berhenti untuk menyaksikannya.

Ada seorang pendaki gunung di dekat kami, dan saya bertanya kepadanya apa sumber masalahnya. “Seekor beruang betina muda,” jawabnya.

“Di mana beruang itu?” tanya saya.

“Oh, beruang betinanya sudah pergi sekitar 20 menit yang lalu,” jawabnya sambil tertawa. Jadi, saya berkesimpulan, konflik pada saat itu bukan lagi soal beruang betina, tetapi tentang beruang jantan mana yang lebih hebat.

Kebanyakan perselisihan bukanlah soal kebijaksanaan dan prinsip, atau tentang siapa yang benar dan siapa yang salah; melainkan soal keangkuhan. Penulis Amsal yang bijak menyentuh langsung ke akar masalahnya ketika menulis: “Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran” (Ams. 13:10). Pertengkaran dipicu oleh keangkuhan, oleh kebutuhan untuk membenarkan diri sendiri, oleh kemauan yang keras, atau oleh upaya untuk membela hak atau ego kita.

Di sisi lain, ada hikmat di dalam diri orang yang mau mendengar nasihat—mereka yang mendengarkan dan belajar; yang rela untuk diajari. Ada hikmat di dalam diri orang yang rendah hati—mereka yang mengesampingkan ambisi egois mereka sendiri; yang mengakui keterbatasan pemahaman mereka; yang mendengarkan pendapat orang lain; yang membiarkan pemikiran mereka dikoreksi. Itulah hikmat dari Allah yang menyebarkan damai di mana saja. —David Roper

Bapa Surgawi, tolonglah aku dalam pergumulanku dengan keangkuhanku hari ini. Alangkah mudahnya perhatianku teralih dari-Mu dan terpusat pada diriku sendiri. Berikanlah aku kerendahan hati.

Kerendahan hati mendatangkan hikmat.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 13-15; 2 Korintus 5

Photo credit: Max Goldberg / Foter / CC BY

Sayap yang Patah

Oleh: Dedy Letlora

Sayap yang Patah

Kembangkan sayap dan terbang tinggi
kusungging senyum kebanggaan
“Kuingin mengatasi langit biru”
meraih mimpi lewati semesta

kekuatan adalah sayapku
kebanggaan taklukkan mega
kehormatan lalui cakrawala
dengan sayapku segalanya mungkin

sampai Engkau izinkan
aku jatuh terhempas
dengan sayap yang patah
kupikir kehendak-Mu buatku celaka

aku menangis kecewa
terluka dalam keputusasaan
menjerit bertanya, kenapa?
bagaimana lagi taklukkan mimpi?

………………………………………
………………………………………
………………………………………
………………………………………

sampai pengertian mengajariku

………………………………………
………………………………………
………………………………………
………………………………………

sayapku telah menjauhkanku dari-Mu
sayapku menebarkan aroma kesombongan
sayapku membuatku tak lagi membutuhkan-Mu
sayapku membawaku meninggalkan rencana indah-Mu

terima kasih Tuhanku Yesus
sayap yang patah
Kau pakai mengajar diriku
membawaku kembali dalam pelukan kasih-Mu

Memandang Ke Bawah

Selasa, 13 Agustus 2013

Memandang Ke Bawah

Baca: Lukas 18:9-14

Saya menasihati Saudara-saudara semuanya: Janganlah merasa diri lebih tinggi dari yang sebenarnya. Hendaknya kalian menilai keadaan dirimu dengan rendah hati. —Roma 12:3 BIS

Setelah saya menjalani operasi kecil pada mata saya, perawat mengatakan kepada saya, “Jangan memandang ke bawah sampai 2 minggu mendatang. Jangan memasak atau bersih-bersih.” Saya lebih mudah untuk tidak memasak dan bersih-bersih daripada tidak memandang ke bawah! Bekas operasinya perlu waktu untuk sembuh, dan ia tidak ingin saya memberi beban yang tidak perlu pada mata saya dengan melihat ke bawah.

C. S. Lewis menulis tentang sikap “memandang ke bawah” lainnya yang mungkin menjadi masalah buat kita: “Di dalam Allah, Anda menghadapi sesuatu yang dalam segala hal jauh lebih unggul dari diri Anda. . . . Selama Anda sombong, Anda tidak akan dapat mengenal Allah. Seorang yang sombong selalu memandang rendah apa dan siapa saja: dan tentu, selama Anda memandang ke bawah, Anda tidak dapat melihat apa yang ada di atas Anda” (Mere Christianity—Kekristenan Asali).

Yesus menceritakan suatu perumpamaan tentang seorang Farisi yang merasa lebih unggul dari orang lain. Dalam doanya yang penuh kesombongan, ia berterima kasih kepada Allah karena ia tidak seperti semua orang lainnya (Luk. 18:11). Ia merendahkan perampok, orang lalim, pezina, dan pemungut cukai yang juga berdoa di Bait Allah. Sebaliknya, si pemungut cukai mengetahui bahwa ia adalah orang berdosa di hadapan Allah dan memohon pengampunan-Nya (ay.13).

Kesombongan dapat menjadi masalah bagi kita semua. Kiranya kita tidak memandang rendah orang lain tetapi sebaliknya memandang Allah yang berada jauh di atas kita semua. —AMC

Memandang salib Rajaku
Yang mati untuk dunia,
Kurasa hancur congkakku
Dan harta hilang harganya. —Watts
(Kidung Jemaat, No. 169)

Kesombongan rohani adalah yang paling angkuh dari semua jenis kesombongan.

Kecongkakan Dan Kesombongan

Minggu, 21 Juli 2013

Kecongkakan Dan Kesombongan

Baca: Amsal 8:12-21

Aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat. —Amsal 8:13

Dalam buku Screwtape Letters (Surat- Surat Screwtape) karya C. S. Lewis, sesosok setan senior mendesak anak didiknya untuk mengalihkan pikiran seorang Kristen dari Allah dan membuatnya sibuk memusatkan perhatian pada kesalahan orang lain yang ada di gereja.

Dalam satu ibadah Minggu, saya merasa terganggu dan agak jengkel dengan seseorang di dekat saya yang bernyanyi keras-keras dengan nada yang sumbang. Ia pun tidak kompak ketika jemaat membaca ayat secara bersama-sama. Namun saat kami menundukkan kepala untuk bersaat teduh dan berdoa dalam hati, saya tersadar bahwa Tuhan pasti lebih berkenan kepada hati orang itu daripada semua perasaan menghakimi yang dilihat-Nya dengan jelas di dalam hati saya.

Beberapa hari kemudian, saya membaca Amsal 8 dan tertegur oleh ayat ke-13: “Aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat.” Melalui pasal ini, hikmat memanggil kita untuk memiliki hati yang berpengertian (ay.5) dan mendapatkan hidup dan menjadi berkenan di mata Tuhan (ay.35). Jika tidak demikian, kita akan menjalani hidup dengan suatu sikap yang sombong, sementara batin kita perlahan-lahan sekarat dan mati (ay.36).

Kesombongan itu bagai sebilah pedang yang melukai bukan saja orang yang menggunakannya tetapi juga orang yang diserangnya. Kecongkakan merampas kita dari segala sesuatu yang ingin Allah berikan kepada kita, tetapi “ganjaran kerendahan hati dan takut akan TUHAN adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan” (22:4). —DCM

Kurindukan sedikit kelembutan-Mu, Juruselamatku,
Merendahkan diri di saat aku menampilkan diriku;
Menemukan kemuliaan dan kekuatanku dalam rahmat-Mu,
Tahu bahwa dalam kelemahanku, anugerah-Mu sempurna. —Bosch

Kecongkakan mempermalukan, tetapi kerendahan hati menghasilkan hikmat.