Posts

4 Kebohongan yang Harus Dipatahkan Saat Kamu Merasa Kesepian

Karya seni ini dibuat oleh YMI.Today

Pindah ke luar kota untuk studi atau bekerja, membiasakan diri kembali setelah putus dari pacar, beradu pendapat dengan anggota keluarga sendiri, atau karena alasan-alasan lain yang kita sendiri pun bingung—kita semua pernah merasakan kesepian.

Perasaan kesepian bisa hadir selama berhari-hari atau berminggu-minggu, dan dengan mudah kita pun jadi kecewa dan kesal. Selama masa-masa tersebut, kebohongan yang kita ketahui tentang kesepian bisa melumpuhkan kita, dan seringkali membuat kita semakin sulit dijangkau. Kita semakin larut dalam kesepian kita sendiri tanpa menyadari bahwa ada jalan keluar dari permasalahan kita.

Inilah beberapa kebohongan yang bisa kita patahkan:

Kebohongan #1: Tidak ada gunanya menghubungi orang lain

Teman kita tak pernah membalas chat atau mengangkat telepon kita. Agenda ngopi bersama selalu batal dan batal. Apakah kita melakukan sesuatu yang membuat mereka kecewa? Haruskah kita berhenti menghubungi mereka? Seringkali, sikap menghindar atau apatis dari teman-teman kita bukanlah buah dari kesalahan kita sendiri.

Kita bisa mencoba lebih lugas dan dengan jujur bicara mengapa kita ingin tetap terhubung dengan mereka. Kita juga bisa berdoa agar Tuhan memimpin kita untuk berjumpa orang baru—meskipun kita mungkin tidak kenal dekat dengan orang tersebut.

Tuhan tahu kita semua mengalami masa-masa ketika kita sungguh butuh pertolongan orang lain (Galatia 6:2). Kita tak perlu merasa malu untuk menghubungi orang lain, karena dengan melakukannya, kita menghidupi rancangan Allah dalam hidup berkomunitas.

Kebohongan #2: Kamu berbeda, tidak cocok dengan mereka!

Rasanya sungguh tak nyaman ketika orang-orang di gereja bersikap seolah mereka ada di tempat yang berbeda. Kita mungkin bertemu dengan para mahasiswa, atau kelompok orang-orang yang sudah menikah. Lalu, kita mendapati sepertinya kita sangat sulit untuk ‘nyambung’ dengan mereka.

Berada dalam situasi seperti itu bisa membuat kita tawar hati, tapi Paulus mengingatkan bahwa sebagai anggota tubuh Kristus (1 Korintus 12:17), tahapan kehidupan yang berbeda yang kita jalani bisa memperlengkapi kita. Mungkin kita tidak nyambung dengan satu kelompok tertentu karena berbeda pengalaman, tapi kita tentu bisa menjadi berkat bagi kelompok lain. Pernahkah kamu mencari waktu untuk mengenal siapa seorang janda senior di gerejamu? Atau mengajak makan siang seorang mahasiswa yang super rajin sampai punya sedikit teman?

Seiring kita menginvestasikan waktu kita, kita juga bisa mendapati teman-teman baru dan mendapatkan dukungan dari orang-orang yang tengah menjalani fase kehidupan yang sama dengan kita. Atau, bisa juga menjadi relawan di kegiatan yang kita bersemangat menjalaninya.

Kebohongan #3: Tidak ada yang mengerti pergumulanmu.

Tantangan yang kita hadapi bisa membuat kita merasa sendirian. Mungkin kita sedang menghadapi pencobaan yang rasanya mudah dihadapi oleh orang Kristen lainnya, putus dari pacar membuat kita menjadi getir terhadap relasi, atau kita bergumul dengan beban kerja yang terlalu banyak dan rekan sekerja kita tidak peduli.

Meskipun orang lain mungkin tak mengalami tantangan yang sama persis dengan kita, tetapi mereka bisa bersimpati dengan apa yang kita hadapi. Tuhan dapat memakai orang-orang seperti ini untuk menolong dan menguatkan kita.

Paulus juga mengingatkan kita bahwa saat kita menerima penghiburan dari Tuhan, kita pun “dimampukan untuk menghibur orang lain” (2 Korintus 1:4). Kesusahan yang kita alami akan memperlengkapi kita untuk suatu hari kelak kita menghibur orang lain yang juga mengalami pergumulan serupa.

Kebohongan #4: Bahkan Tuhan pun meninggalkanmu

Di masa yang amat sulit dan sendiri, amat mungkin jika kita merasa Tuhan tak mendengar seruan kita. Atau, jikalau pun Dia mendengar, Dia tidak menjawab.

Tapi, itu bukanlah kebenarannya. Kita tahu bahwa Kristus pernah amat menderita dan kesakitan (Yesaya 53:3). Kita dapat meraih penghiburan dengan mengetahui bahwa Yesus pun mengalami kesepian yang kita hadapi. Yesus tahu kesulitan dan tantangan kita, di saat orang lain tak mampu memahaminya.

Kita juga dapat mengingatkan diri kita bahwa tidak ada satu hal pun yang mampu memisahkan kita dari kasih Tuhan (Roma 8:38-39). Meskipun kesepian yang kita alami membuat kita tak berdaya, ingatlah Dia berjalan bersama kita. Bagaimana caranya kita menyadari penghiburan dan penyertaan-Nya?

Marilah kita mengakui bahwa kesepian itu memang sulit. Kita bisa meratap, tapi janganlah percaya kepada kebohongan-kebohongan yang kesepian coba berikan pada kita. Kendati langit di atas kita kelabu, ingatlah untuk terus berjuang dan berpegang pada kebenaran!

Menghadapi Sisi Gelap Pelayanan dalam Terang Tuhan

Oleh Jefferson

“Sampai kapan aku bisa dibilang ‘cukup’ melayani supaya aku bisa berhenti dari pelayanan?”

Pertanyaan di atas terngiang-ngiang dalam benakku sepanjang bulan lalu. Kala itu, aku mengalami serangan depresi bertubi-tubi setelah mengerjakan berbagai pelayanan untuk beberapa minggu berturut-turut. Sebagai contoh, di periode yang tersibuk, aku pernah mengajar di Sekolah Minggu dan ibadah remaja berselang-seling selama empat minggu berurutan. Di sela-selanya juga ada persekutuan kelompok kecil dan berbagai rapat kepengurusan pelayanan lainnya.

Seharusnya aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Waktu istirahatku sudah cukup. Aku bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab dengan rutin setiap hari. Setiap minggu, aku merasakan dan menikmati hadirat Tuhan dalam persekutuan doa bersama teman sekos dan dalam ibadah bersama di gereja. Aku juga tidak lalai dalam bersekutu dengan saudara/i seiman lainnya.

Jadi, mengapa rasanya aku sedang mengalami kekalahan terhadap depresi, apalagi ketika memikirkan akan kembali melayani untuk beberapa minggu berturut-turut? Di malam hari sepulangnya aku dari kantor, bukannya melakukan persiapan pelayanan, aku malah lebih sering bersantai sambil browsing, membaca komik, atau menonton serial TV dan video hingga waktunya tidur. Aku jadi lebih rentan terhadap godaan sehingga belakangan ini aku sering jatuh dalam dosa, terutama kemalasan dan hawa nafsu.

Penunjukan ilahi (divine appointment) di tengah pergumulan

Ajaibnya, di tengah-tengah kesibukanku melayani, bekerja, dan bergumul dengan depresi, Tuhan dalam kasih kemurahan-Nya masih memberikanku waktu rehat yang berharga untuk merenungkan topik ini serta membagikannya dalam tulisan. Kehendak-Nya terlihat sangat jelas bagiku, karena ketika aku memulai tulisan ini pada suatu hari Sabtu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Tuhan benar-benar “mengisolasi”-ku dari dunia luar untuk mendengarkan dan bergumul dengan-Nya.

Divine appointment ini tidak dapat terlihat lebih jelas lagi, terutama dengan datangnya kabar duka dari AS tentang seorang pendeta bernama Jarrid Wilson yang mengambil nyawanya sendiri. Usut punya usut, beliau memang bergumul dengan depresi, dan pada malam ia mengakhiri hidupnya, beliau baru saja memimpin upacara pemakaman seseorang yang meninggal karena bunuh diri. Kita tidak tahu persis mengapa beliau bertindak demikian, tapi kita dapat mencurigai depresi sebagai salah satu faktor penyebab utama tindakannya.

Didorong oleh kehendak Tuhan yang sangat jelas, berikut adalah pelajaran-pelajaran yang kudapat hingga kini dari pergumulanku dengan depresi. Tulisan kali ini mengulas lebih banyak poin dari biasanya karena aku ingin merangkum sebanyak mungkin kebenaran dan aplikasi praktis yang kuharap dapat berguna untukmu. Dengan kata lain, fokusku adalah lebaran cakupan pembahasan dengan harapan dan keyakinan bahwa Tuhan akan memakai pengalamanku untuk menguatkanmu menghadapi sisi gelap pelayanan dalam terang-Nya.

#1. Depresi tidak pandang bulu

Walaupun ini terdengar sepele, ironisnya kebenaran inilah yang paling sering kita lupakan. Ketika mendengar berita duka di atas, mungkin reaksi pertama dari kebanyakan kita adalah, “Kok bisa, padahal dia pendeta?” Kita lupa bahwa depresi dapat menyerang siapapun, termasuk dan terutama para pemimpin di gereja. Tekanan pelayanan yang mereka hadapi dan ketiadaan orang yang dapat mereka curhati (mengingat natur panggilan mereka yang unik) dapat membuat para pendeta lebih rentan terhadap serangan depresi.

#2. Depresi adalah sebuah realita kehidupan yang biasa

Di satu sisi, karena depresi dapat menyerang siapapun, depresi adalah hal yang normal dalam kehidupan. Adalah lumrah bagi kita untuk mengalami depresi ketika kita sedang mengalami kesibukan di kantor, hambatan pelayanan di gereja, konflik dengan anggota keluarga, dlsb. Kalau kamu diserang depresi, jangan merasa aneh seolah-olah depresi bukan hal yang biasa kita hadapi (1 Kor. 10:13a). Meskipun begitu, di sisi yang lain…

#3. Depresi harus dihadapi dengan serius

…kita juga harus memahami kalau depresi adalah hal serius yang harus dihadapi dengan serius pula. Tidak sedikit orang yang meninggal karena depresi. Menurut data World Health Organisation tahun 2018, serangan depresi dialami >300 juta penduduk dunia dan dikaitkan dengan tingginya jumlah kasus bunuh diri tahunan secara global (~800.000). Ketika mengetahui rumah kita sedang terbakar, siapa dari kita yang tidak akan langsung menghubungi pemadam kebakaran untuk memadamkan api?

#4. Depresi adalah salah satu panah api favorit si Musuh

Pelayanan adalah sebuah peperangan rohani di mana Tuhan meruntuhkan segala bentuk keangkuhan manusia dan menyatakan kemuliaan-Nya sehingga makin banyak orang dapat mengenal dan menikmati Dia (2 Kor. 10:5). Mengetahui tujuan pelayanan ini, Iblis tidak tinggal diam dan terus menghujani kita dengan panah-panah apinya (Ef. 6:16). Dan, kalau kamu perhatikan dengan seksama, biasanya jajaran pemimpin yang disasar duluan.

Pernahkah kamu memikirkan kenapa banyak orang tidak mau melayani, terutama sebagai pemimpin? Karena kepemimpinan identik dengan tanggung jawab yang besar, rasa stres, dan depresi. Semakin banyak pemimpin yang terkena depresi dan akhirnya meninggalkan pelayanan, semakin senang si Musuh. Seperti menjatuhkan dua burung dengan satu batu, pekerjaan Tuhan terhenti karena ketiadaan pemimpin yang meninggalkan pelayanan karena depresi, sementara pekerja Tuhan yang lain dibuat ragu/takut untuk melayani.

Tuhan Yesus sangat memahami natur medan peperangan ini dan memberikan kita satu alasan yang kutemukan cukup untuk membantuku bangkit dari depresi serta terus maju melayani di garis depan.

#5. Kristus menjanjikan penyertaan dalam pelayanan dan depresi, bukan kebebasan dari mereka

Matius 11:28-30 sering dikutip karena penekanannya akan ketenteraman dan kedamaian yang hanya dapat kita temukan dalam Tuhan Yesus. Menurutku penekanan ini tidak salah, tapi juga tidak lengkap. Maksud sesungguhnya dari bagian ini adalah sebuah panggilan, bukan untuk beristirahat, tetapi untuk bekerja bersama Kristus di ladang Tuhan.

“Jadi, ujung-ujungnya pelayanan?” Ya, tapi bukan pelayanan yang kita lakukan sendiri, tetapi bersama Kristus sambil belajar pada-Nya. Dalam panggilan-Nya ini, kita mengikuti Yesus yang lemah lembut dan rendah hati mengerjakan berbagai macam tanah, dari yang lembut sampai yang keras dan tandus. Tuhan Yesus tidak pernah berjanji kita tidak akan menghadapi kesulitan sama sekali dalam mengikuti-Nya, tetapi Dia berjanji untuk terus menyertai dan memimpin kita melewati semuanya itu (11:29). Dan karena mengetahui Yesus yang menuntun dan mengajar kita untuk memikul kuk yang Ia pasang, Ia yang telah mati dan bangkit karena kasih-Nya untuk kita, kita dapat memikul kuk itu dengan tenang dan yakin. Itulah “istirahat” yang sesungguhnya Tuhan janjikan: bukan dari ketiadaan pelayanan, melainkan dari ketergantungan pada diri sendiri untuk memikul beban pelayanan.

#6. Disiplin rohani pribadi sangat penting dalam menghadapi depresi…

Bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab adalah beberapa sarana pribadi yang Tuhan berikan agar kita dapat terus menjaga hubungan pribadi dengan-Nya, sehingga ketika depresi menyerang, kita tidak menjadi tawar hati (2 Kor. 4:1). Bahkan setelah jatuh dan terus bergumul dalam depresi pun, disiplin rohani pribadi membantu kita untuk terus bertahan dalam Tuhan. Kamu dapat membaca pembahasanku lebih lengkap tentang poin ini di sini.

#7. …dan begitu juga komunitas orang percaya

Aku bersyukur beberapa minggu terakhir ini dapat berdiskusi dengan rekan-rekan dari berbagai pelayanan yang kukerjakan. Menariknya, semua diskusi itu membahas satu topik yang sama: kami, terutama yang berperan sebagai pemimpin, membutuhkan suatu wadah untuk bersekutu, membagikan suka duka pelayanan, dan “saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik” (Ibr. 10:24). Ketiadaan wadah tersebut dapat membuat setiap pelayan merasa berjuang sendiri-sendiri sehingga jadi lebih rentan terhadap serangan depresi. Puji Tuhan, ke depannya kami berkomitmen untuk lebih sering memperhatikan satu sama lain. Apakah kamu juga sudah memiliki komunitas yang demikian?

#8. Utamakan istirahat dan Sabat di tengah-tengah pelayanan

Kalau memang kita sudah merasa sangat jenuh karena terus-terusan melayani, tidak ada salahnya mengistirahatkan diri dari pelayanan untuk beberapa saat. Kalaupun kita merasa tidak ada lagi waktu, kamu bisa berdoa kepada Tuhan untuk meminta waktu jeda dari pelayanan. Di sini kita harus sadar kalau Tuhan selalu menjawab doa sesuai dengan kehendak-Nya yang berdaulat. Meskipun doa kita mungkin dijawab-Nya dengan “tidak”, kita dapat beriman bahwa Tuhan sedang mengerjakan suatu kebaikan untuk kita (Rm. 8:28).

Ada kalanya ketika kita tidak mendoakan hal ini tetapi sedang dilemahkan oleh depresi, Tuhan sendiri yang mengosongkan jadwal kita agar kita dapat berdiam diri serta mengingat lagi siapa diri-Nya dan diri kita. Itulah yang terjadi padaku. Aku menulis sebagian besar isi tulisan ini ketika jadwalku dikosongkan Tuhan dari segala acara, rapat, pelayanan, dan persekutuan. Bahkan Ia menyibukkan semua teman kosku dengan acara mereka masing-masing sehingga aku benar-benar berdua dengan-Nya sepanjang malam. Kalau Ia tidak mengintervensi sejauh itu, aku yakin aku tidak akan bisa memproses pergumulanku sebagaimana mestinya dan membagikannya denganmu.

#9. Bandingkan alasanmu melayani dengan realita pelayananmu, kemudian kalibrasi ulang dengan kehendak Allah dari waktu ke waktu

Kita membicarakan depresi sejauh ini kebanyakan dari konteks eksternal. Melalui poin ini, aku ingin mengingatkan kalau depresi juga mungkin datang dari diri kita sendiri. Depresi bisa menyerang karena adanya ketidakselarasan antara alasan kita melayani dengan realita bagaimana kita melayani. Kita bisa mengklaim bahwa kita melayani karena Tuhan telah terlebih dahulu memberikan diri-Nya untuk melayani kita (Mrk. 10:45), tetapi sesungguhnya selama ini pelayanan kita hanyalah untuk memuaskan ego dan harga diri kita. Apa daya, semurni dan se-Alkitabiah apapun alasan kita melayani, natur dosa akan membuat kita melenceng dari tujuan yang seharusnya dari waktu ke waktu (Yer. 17:9). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengkalibrasi ulang alasan kita melayani seturut dengan kehendak Tuhan. Kita pun berdoa mengikuti Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24).

#10. Teruslah beriman pada Tuhan, bahkan ketika kamu dibiarkan-Nya tetap bergumul dengan depresi

Mengenai panah-panah api yang dibahas di poin ke-4, Efesus 6:16 juga memperkenalkan kita kepada satu-satunya senjata yang dapat memadamkan semua panah itu, yaitu perisai iman. Perlu kita perhatikan bahwa di zaman Paulus, sekuat apapun sebuah perisai, pasti ada beberapa anak panah yang akan tetap tertancap di sana. Meskipun begitu, perisai iman disebut dapat “memadamkan semua panah api dari si jahat”. Walaupun ada anak panah yang tertancap di sana sini, api semuanya telah dipadamkan. Perisai itu telah menjalankan tugasnya untuk menjaga kita, maka kita terus maju tanpa gentar di medan peperangan rohani seperti Captain America yang maju melawan Thanos. Sebab kita hidup berdasarkan iman, bukan apa yang kita lihat (2 Kor. 5:7).

Satu perbedaan mencolok dari perisai iman kita dengan perisai Captain America adalah daya tahannya. Sekuat apapun vibranium, pada akhirnya pedang Thanos dapat membelah perisai tersebut. Hal itu tidak berlaku bagi perisai iman, karena ia terbuat dari anugrah Tuhan yang selalu tersedia dengan cukup bagi setiap orang percaya (Yoh. 1:16), bahkan di tengah kelemahan manusia (2 Kor. 12:9). Ketika kita memahami kebenaran ini, kita dimampukan untuk terus berserah kepada dan bertahan di dalam Yesus, bahkan ketika depresi terus menyerang kita tanpa ampun.

#11. Jadilah apa adanya di hadapan Tuhan dan sesama

Dalam realita kehidupan, aku pun sering melupakan kesepuluh poin di atas. Ya, aku bisa menulis tentang depresi dan pelayanan sejauh ini, tapi ketika depresi menyerang, aku akan langsung mundur ke zona nyamanku. Sebisa mungkin aku akan menghindari Alkitab dan materi pelayanan sepanjang minggu. Dan ketika pada akhirnya aku merasakan kesia-siaan dari upaya diriku sendiri untuk mengalahkan depresi, aku akan datang kepada Tuhan dan menceritakan keadaanku apa adanya. Perasaan depresi tidak langsung kemudian hilang, namun aku seperti mendapat energi baru untuk mempersiapkan pelayanan sedikit demi sedikit. Mengapa aku tetap datang kepada Tuhan walaupun sedang depresi? Karena aku tahu kasih-Nya kepadaku tak bersyarat, tidak peduli seberapa hancurnya aku oleh depresi dan buruknya aku dalam melayani (Rm. 5:5-11).

Keterbukaan ini juga harus kita jaga dengan saudara/i seiman yang mengenal kita dekat, karena kehadiran mereka dapat Tuhan pakai untuk memulihkan kita sedikit demi sedikit. Dalam kasusku, dalam persekutuan doa mingguan bersama teman-teman sekos, aku dapat membagikan pergumulanku dengan apa adanya dan dipulihkan oleh Tuhan di sana. Contoh lainnya adalah tulisan ini sendiri. Dalam mendeskripsikan keadaan dan dosa-dosaku ketika depresi menyerang, aku tidak menyembunyikan apapun, Tuhan sebagai saksiku. Bukannya aku ingin menyombongkan diri, tetapi aku ingin supaya kasih kemurahan Tuhan dinyatakan dalam aku yang lemah ini (2 Kor. 12:9b).

Menyelesaikan perlombaan sampai akhir

Depresi adalah salah satu pencobaan yang akan terus kita hadapi dalam melayani Tuhan, memberitakan Kabar Baik keselamatan dalam Yesus Kristus kepada mereka yang belum percaya. Sering kali Tuhan membiarkan depresi menjadi duri dalam daging kita supaya kita belajar untuk selalu bergantung pada-Nya (2 Kor. 12:9). Melayani berarti memberi diri terus dituntun Yesus dalam mengikuti-Nya dan mengerjakan pekerjaan-Nya yang agung dan ajaib, yang Ia persiapkan untuk kita sebelumnya (Ef. 2:10).

Akhir kata, marilah kita bertahan dan berjalan dengan teguh dalam terang Tuhan di tengah bayang-bayang sisi gelap pelayanan, mengingatkan diri dan sesama dari waktu ke waktu bahwa kita telah menerima kuasa dari Kristus untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Itulah bentuk nyata kita melatih tubuh kita dan menguasainya seluruhnya (1 Kor. 9:27) dalam mengikuti pertandingan untuk memperoleh mahkota yang abadi (1 Kor. 9:26).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Panggilan

Ada dua macam panggilan dalam hidup orang Kristen. Apakah itu?

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Oleh Josiah Kennealy
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Losing Jarrid Wilson: Where Do We Go From Here?
Foto diambil dari akun Instagram Jarrid

Jarrid Wilson adalah seorang pendeta di Amerika Serikat. Dia juga melayani sebagai advokat kesehatan mental. Pada 9 September 2019 dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Beberapa tahun lalu, aku dan Jarrid Wilson diundang ke acara yang sama dan setelah acara itu usai, kami jadi berteman. Kami mengobrol lewat chat dan saling mendukung satu sama lain. Karena kami sama-sama melayani sebagai pendeta, kami punya banyak kesamaan. Setiap interaksi dengannya selalu membangkitkan semangat.

Hari Senin malam beberapa minggu sebelumnya, kami baru saja mengobrol lewat chat. Dia menutup diskusi kami dengan berkata, “Aku mengasihimu”. Setelahnya aku menulis di Twitter tentang bagaimana dia dan rekan-rekanku lainnya memberkati media sosial dan menjadikan dunia di sekitar mereka lebih baik. Dia membalas tweetku, “Aku mengasihimu”.

Itu adalah kata-kata terakhir yang dia kicaukan di Twitter.

Mengetahui fakta yang terjadi beberapa jam setelah kami berdiskusi membawaku ke dalam kesedihan, syok, kebingungan, dan tidak percaya.

Jarrid WIlson, seorang suami dari istri yang cantik dan ayah dari dua anak lelaki, seorang pendeta yang dikenal baik, penulis, rekan dari banyak orang, mengakhiri hidupnya dengan tiba-tiba dan tragis.

Seminggu belakangan ini aku tidak banyak berkata-kata, pun aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Saat aku menulis tulisan ini, aku merasa tidak memenuhi syarat untuk menuliskan sesuatu yang berharga, tetapi aku mau mencoba untuk memendarkan cahaya dan berbagi harapan.

Aku pun seorang pendeta, dan aku pernah mendatangi seorang konselor untuk kesehatan mental dan emosi. Aku juga pernah mendatangi dokter tulang untuk mengobati sakit tulang belakangku. Setelah kematian bunuh diri pamanku, aku menderita sakit kepala selama tiga tahun. Aku tahu benar rasa sakit yang tak terlihat dari luar namun begitu nyata di dalam—ini tidak ada bedanya dengan depresi.

Jadi, ke mana kita melangkah setelah ini?

Marilah kita jujur. Kita sebagai gereja tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi. Seiring aku bergulat dengan berita tragis kematian Jarrid, inilah beberapa refleksi yang kudapat selama seminggu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah:

Dari menghindar ke mengatasi

Bukanlah hal yang baik bahwa 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri (data dari WHO). Di antara remaja dan dewasa muda, bunuh diri adalah salah satu penyebab kematian terbanyak dan ini seharusnya tidak dapat kita terima.

Tapi, membicarakan kesehatan mental di gereja seringkali dianggap tabu, dihindari, dan disalah mengerti. Ayo katakan selamat tinggal pada anggapan ini. Secara individu maupun kelompok, kita sebaiknya memiliki kemauan untuk memulai percakapan atas isu-isu yang rentan, seperti yang Jarrid lakukan.

Melakukan ini bisa diwujudkan dalam banyak cara, tetapi sebagai langkah awal kita perlu menyadari “It’s okay” untuk membicarakannya. Mungkin tidak ada seorang pun yang memberimu izin untuk mengatakan kalau kamu sedang tidak baik-baik saja, tapi aku mau kamu tahu bahwa sama sekali tidaklah bermasalah untuk jujur akan keadaanmu. Kamu mungkin akan diberondong banyak pertanyaan—tentunya. Tapi, tidaklah masalah pula untuk mengakui kalau kita tidak punya jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hidup.

Kita perlu berkhotbah lebih banyak tentang kekhawatiran, kesehatan mental, dan depresi; kita perlu membicarakannya di dalam kelompok kecil, pertemuan pemuda; atau di obrolan santai sambil minum kopi atau teh dan membagikan bagaimana perjuangan kita pada seorang teman. Alkitab punya cerita, pedoman, dan jawaban mengenai hal-hal ini. Kita bisa bersandar dan membahas topik-topik di dalamnya.

Seiring kita mulai membiasakan diri berdiskusi tentang kesehatan mental dan kesejahteraan hidup secara utuh, kamu akan melihat bahwa kamu bukanlah satu-satunya orang yang berjuang. Ada banyak orang yang juga menghadapi kekhawatiran, depresi, dan pikiran-pikiran gelap. Dan, bagian dari rancangan Allah bagi gereja adalah untuk saling mendukung satu sama lain dan menolong di masa-masa sulit.

Dari mengurung diri ke membuka diri

Survey terbaru dari lembaga riset Barna menunjukkan mayoritas pendeta tidak punya seseorang yang bisa mereka panggil sebagai teman. Baru beberapa minggu lalu, Barna Group juga memublikasikan riset tentang anak muda. Hanya sepertiga dari manusia yang berusia 18-35 tahun (dari berbagai negara) mengetahui bahwa ada seseorang yang sesungguhnya peduli akan mereka. Artinya, 66 persen orang dewasa muda tidak menyadari kalau mereka dipedulikan dan dikasihi.

Iblis ingin orang Kristen percaya kebohongan bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang berjuang dan pemikiran ini ujung-ujungnya akan membawa seseorang pada keadaan mengurung diri. Kita perlu memberi tahu orang-orang di sekitar kita bahwa mereka sungguh berarti buat kita. Kita bisa memulainya dengan mengirimi chat, ataupun menelepon seseorang yang kita kasihi dan bertanya apakah ada sesuatu yang butuh ditolong darinya. Memberi diri untuk mendengar dan hadir adalah hal terbesar yang bisa dipersembahkan seorang teman. Pendetamu juga butuh dorongan dan doa darimu, lebih daripada yang kamu bayangkan.

Tergabung dan terhubung ke dalam komunitas gereja lokal dan memiliki pertemanan yang saleh tidak menyembuhkan segalanya, tetapi itu pasti menolongmu mengatasi kesendirian. Tuhan menciptakan Hawa untuk Adam karena sejak semula Tuhan berkata tidaklah baik apabila manusia itu hidup seorang diri saja (Kejadian 2:18)! Tuhan Yesus pun hidup bersama 12 murid-Nya selama tiga tahun. Gereja mula-mula di Kisah Para Rasul bertambah banyak anggotanya karena setiap orang ingin menjadi bagian dari komunitas yang saling berbagi ini, komunitas yang tumbuh bersama, makan bersama, berdoa bersama, mempelajari Alkitab dan membagikan kebaikan dengan saling memperhatikan (Kisah Para Rasul 2:42-47).

Ayo ambil langkah untuk terhubung dengan teman atau komunitasmu hari ini!

Dari putus asa ke harapan

Tuhan tidak pernah meninggalkanmu, meskipun kamu tidak merasakan kehadiran-Nya. Kamu tidak pernah ditelantarkan sendirian. Lihatlah ke atas bukit-bukit, di sanalah datang pertolonganmu yang berasal dari Yesus. Tuhan Yesus dekat kepada mereka yang patah hati. Dia akan mengusap setiap air mata. Kamu dapat bersandar dan percaya kepada janji-janji-Nya.

Aku pernah putus asa, tetapi Tuhan mengangkat pandanganku. Dia mengubah kesedihan terbesarku menjadi sukacita. Dia membuang kekecewaanku dan menggantinya dengan damai yang baru. Aku masih dalam perjalanan, aku masih berproses. Aku percaya dengan segenap hatiku harapanku ada selama aku ada bersama dengan Yesus, seperti yang Yohanes 15 katakan.

Selama seminggu, pasal ini menolongku mengalami pemulihan, pertolongan, dan harapan. Yesus mengajarkan, “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yohanes 15:6). Buatku, dan buat setiap kita, ini adalah janji: kita tidak bisa melakukan apa-apa di luar Yesus. Namun, jika kita terhubung selalu dengan-Nya, kita bisa dan akan melakukan banyak hal.

Bersandar pada Yesus, orang yang kita kasihi, komunitas orang saleh dan sumber-sumber daya lain yang bermanfaat adalah langkah-langkap penting yang kita butuhkan untuk kita melewati hari-hari kita.

Dan akhirnya, aku ingin mengatakan hal ini:

Kepada Jarrid – Aku mengasihimu. Aku berharap seandainya aku bisa membalas pesanmu lebih cepat dan kita bisa mengobrol lebih lama. Aku amat sedih atas keputusan yang kamu buat. Aku mendoakan keluargamu. Aku mengingatmu lewat suaramu untuk orang-orang yang putus asa, rekan-rekanmu, kasihmu kepada Tuhan, keluarga, dan semua orang. Kami menghormatimu dengan mengenakan jubah kepemimpinan yang telah kamu bawa dengan baik untuk sekian lama. Terima kasih atas keberanianmu mengungkapkan perjuanganmu.

Kepada Juli dan anak-anak lelakinya – Kami sangat mengasihimu. Belasungkawa, doa, dan dukungan kami ada untukmu dan keluargamu. Kami ada di sini untukmu. Aku percaya Yesus akan memeliharamu. Aku mendoakan kiranya damai, kekuatan, dan anugerah ada bersamamu sekalian.

Kepada orang-orang yang mengenal Jarrid – aku menerima banyak pesan dan telepon dari teman-teman yang juga mengeal Jarrid. Pertemanan jadi begitu nyata ketika kita bisa berdiskusi sambil ngopi ataupun mengobrol lewat chat. Seiring kita menghadapi duka kehilangan ini, kiranya kita bisa lebih dekat daripada sebelumnya.

Kepada para pendeta – kamu membutuhkan hobimu, teman-temanmu, istirahat dari teknologi. Kamu mengotbahkan tentang pentingnya komunitas, dan sekaranglah waktunya untuk menghidupi itu. Mengakui jika kamu perlu pergi menemui dokter, therapis, atau konselor Kristen bukanlah dosa dan itu bukanlah tanda kelemahan—itu keberanian. Yesus dideskripsikan sebagai seorang muda dalam Lukas 2:52. “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Artinya, Yesus bertumbuh secara mental, fisik, spiritual, juga relasi-Nya dengan orang lain. Marilah kita mengejar kesehatan, kesejahteraan, istirahat, dan keutuhan di setiap area kehidupan kita.

Kepada setiap orang – kita semua akan menghadapi masa-masa sulit, tetapi selalu ada pertolongan, selalu ada pemulihan, dan tentunya juga harapan. Bertahanlah, ada harapan yang besar. Dalam kehidupan selalu ada naik dan turun, gunung dan lembah, gurun dan oase, badai dan ketenangan.

Kamu perlu mengetahui bahwa kamu tidak sendirian di dalam setiap momen-momen hidupmu. Yesus berkata dalam Yohanes 16:33, “Semuanya itu Kukatakan kepadau, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatmu, Aku telah mengalahkan dunia”. Marilah kita sepakat untuk menolong satu sama lain tiba di level pemahaman yang baru ketika kita membicarakan kesehatan mental. Bunuh diri tidak pernah menjadi jawaban.

Doaku adalah kita semua bisa lebih berani membicarakan topik tentang kesehatan mental dan kita mampu melihat orang-orang dengan pandangan yang berbeda. Tidak peduli seberapa baik penampilan orang di luarnya, mungkin saja ada sesuatu yang mereka gumulkan di dalam. Izinkan mereka yang paling dekat dengan kita mengetahui betapa kita mengasihi mereka, dan betapa mereka berarti buat kita tak peduli apapun musim yang sedang mereka hadapi.

Ayo kita tunjukkan kasih dan empati kita.

Baca Juga:

Menghidupi Kepemimpinan dalam “Tubuh Kristus”

Sobat muda, bagaimanakah sistem kepemimpinan di gerejamu? Di artikel ini, teman kita, Ari Setiawan mengajak kita untuk menyelediki model kepemimpinan apa sih yang sesuai dengan teladan Yesus. Yuk kita simak artikelnya.