Posts

Seperti Joy, Semua Orang Layak Mendapat Kesempatan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Maaf, permisi tanya. Apakah ibu melihat Joy?”

“Apakah Joy lagi sama kamu?”

“Maaf, apa kamu tahu Joy ada di mana?”

Hana berkeliling gedung gereja sambil bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya perihal Joy yang sudah 10 menit dicari-cari tapi tidak ketemu. Hari ini ibadah berlangsung agak lama sehingga selesainya pun terlambat. Hana bergegas menjemput Joy di ruang Komisi Remaja. Tetapi tidak ada seorang pun dalam ruangan itu.

“Aduh…Joy pasti tidak sabar menunggu lagi.” Hana semakin panik. Andai Joy sama dengan anak lain pada umumnya, Hana tentu tidak akan merasa segelisah ini. Tetapi Joy berbeda. Dia lahir dengan kondisi Down Syndrome. Meski Joy sudah berusia 18 tahun, namun pikiran dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak berusia 10 tahun. Joy tidak mengerti bahaya, dan sifatnya yang cenderung ramah kepada semua orang, membuat dia tidak menaruh curiga pada siapa pun. Hana berusaha menenangkan dirinya. Dia menyesali suaminya, Hendra, tidak ada bersama dengannya karena sedang bertugas ke luar kota.

Ruang demi ruang ditelusuri dan diperiksanya dengan tergesa. “Tuhan, kumohon jagalah Joy.” Yang ada dalam pikiran Hana hanyalah Joy dapat ditemukan.

Akhirnya Hana menemukan Joy yang sedang berdiri di depan kaca ruangan latihan tari. Mata Joy terpaku pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bibirnya tersenyum.

“Terima kasih, Tuhan.” Hana berlari sambil memeluk Joy yang tidak menyadari kehadiran Hana berada di dekatnya.

“Joy…Joy… Mama cemas mencarimu.”

Joy menoleh ketika mendengar suara Hana. Joy menunjuk ke depan kaca. “Mama. Aku ingin itu.”

Hana memperhatikan apa yang membuat Joy begitu tertarik. Di balik kaca, terlihat beberapa orang sedang memegang tamborin dan menari.

“Joy ingin menari?” tanya Hana.

Joy mengangguk. “Ya…ya…”

Hana tidak tahu harus menjawab apa. Meski Hana tahu sejak kecil Joy memang suka menari, tetapi Joy menari sesuka hatinya. Dia mendengarkan musik lalu menari begitu saja. Tidak ada gerakan khusus, dia hanya menari jika dia mau. Hana tidak yakin Joy mampu mengikuti arahan. Sifat Joy yang kadang tidak sabar akan menyulitkannya untuk mendengarkan perintah, dan hal itu tentu akan menyulitkan guru tari dan teman-teman lain.

“Joy, kita pulang dulu yuk. Kamu pasti lapar. Hari ini mama masak nasi goreng kesukaanmu,” bujuk Hana yang melihat Joy sepertinya tidak mau beranjak kemana-mana.

Joy menggelengkan kepalanya. “Aku mau itu.”

Hana masih memikirkan cara agar Joy mau pulang ketika dia melihat dan mendengar guru tari keluar dari pintu dan menyapanya. “Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Hana menjawab, “Selamat siang, bu. Maaf bila kami mengganggu ibu. Ini…Joy sepertinya suka melihat teman-temannya menari.”

Guru tari itu tersenyum, “Iya. Sepertinya dia sudah lama berdiri di depan kaca. Tadi saya ajak dia masuk, tetapi dia tidak mau.”

Joy yang melihat guru tari itu sedang berbincang dengan Hana, memeluknya dengan spontan. Guru tari itu terlihat terkejut sesaat, tetapi dengan cepat dia membalas pelukan itu. “Joy suka menari?”

“Ya…ya…suka menari,” jawab Joy dengan cepat dan senang.

Sambil memegang tangan Joy, guru tari itu bertanya, “Joy mau ikut latihan?”

“Mau…Joy mau,” jawab Joy bertepuk tangan.

Guru tari mengalihkan pandangannya kepada Hana yang masih berdiri dengan wajah memerah karena melihat Joy langsung memeluk orang yang baru dikenalnya. “Bagaimana kalau Joy ikut latihan bersama dengan teman-teman lain?”

Hana mengajak guru tari itu ke samping sambil berkata kepada Joy, “Joy. Kamu tunggu di sini ya. Mama bicara sebentar dengan bu guru.”

Joy tidak menjawab. Dia kembali memperhatikan latihan tari yang berlangsung.

Hana mulai menerangkan kondisi Joy kepada guru tari. “Saya sangat berterima kasih untuk ajakan ibu. Tetapi seperti yang saya jelaskan tadi, Joy tidak mungkin bisa mengikuti latihan sama dengan teman-teman lain. Saya khawatir dia akan menyulitkan ibu dan yang lainnya.”

Guru tari itu terdiam sejenak lalu berkata,”Saya mengerti kekhawatiran ibu. Tetapi saya tetap ingin Joy diberikan kesempatan. Apalagi Joy sudah memiliki ketertarikan terhadap tarian, mengapa kita tidak mencoba dulu?”

Hana menatap wajah guru tari yang sedang tersenyum dan melihat wajah Joy yang berseri-seri.

Guru tari melanjutkan, “Mari kita coba dulu, bu. Tidak ada salahnya. Tentu saya tidak bisa menjanjikan Joy akan dapat tampil dalam pelayanan Minggu, namun saya ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan sesuatu yang disukainya.”

Meski ragu, Hana mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih banyak, bu, untuk kesempatan ini.”

Hana memeluk Joy. “Joy, kamu akan ikut latihan minggu depan.”

Joy balas memeluk Hana. “Joy menari.” Dalam perjalanan pulang, Joy tidak henti-hentinya tersenyum.

 

***

Sore itu, saat Joy sedang tidur siang, Hana duduk di ruang makan. Percakapan dengan guru tari kembali teringat olehnya. Hana sama sekali tidak menyangka guru tari mau memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut latihan. Betapa dia sangat mengharapkan kebenaran kata itu. “Kesempatan,” ucap Hana dengan pelan. Sebuah kata yang bagi Hana begitu sulit terjadi dalam kehidupan Joy.

Hana masih teringat dengan jelas beberapa kejadian sekitar 10 tahun lalu saat Hana mencarikan sekolah yang kesekian kalinya untuk Joy. Karena daya tangkap Joy yang terbatas, kemampuan baca, tulis maupun hitung yang dimiliki Joy masih dibawah rata-rata anak-anak seusianya. Beberapa sekolah menolak Joy karena menganggap Joy tidak akan mampu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. Ada sekolah inklusi yang mau menerima Joy tetapi uang sekolah yang ditetapkan di luar kemampuan Hana dan suaminya. Hana masih teringat apa yang dia ucapkan setiap kali dia bertemu dengan pimpinan sekolah. “Miss, saya dan suami sangat mengharapkan Joy bisa bersekolah. Kami tahu Joy memiliki kekurangan dan kami akan berusaha keras agar Joy tidak ketinggalan pelajaran. Joy juga butuh teman-teman agar dia tidak selalu sendirian.” Namun, kesempatan Joy untuk bersekolah seperti anak-anak lain, tidak pernah terjadi. Setelah lelah mencari, dan terus menerima penolakan, maka Hana dan suami memutuskan agar Joy belajar di rumah bersama Hana.

“Apakah ini adalah kesempatan untuk Joy? Sungguhkah guru tari itu akan memberikan kesempatan kepada Joy untuk berlatih?”

Hana masih tidak percaya bahwa kesempatan untuk latihan dapat datang kepada Joy. Sudah beberapa kali sebelumnya sejak Hana tahu Joy suka menari, Hana berusaha mencari tempat les tari untuk Joy. Sama seperti ketika Hana mencari sekolah untuk Joy, mendapatkan tempat les tari yang cocok untuk Joy adalah tantangan besar. Ada yang mau menerima Joy namun setelah beberapa kali latihan, guru tari menyerah karena tidak mengerti bagaimana mengajari Joy. Hana mencoba membujuk agar guru tari itu mau terus memberikan kesempatan latihan kepada Joy, dan mengusulkan beberapa cara agar Joy bisa mengikuti instruksi dengan lebih baik. Namun guru tari itu menolak.

“Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya tetapi saya tidak sanggup mengajari anak-anak seperti Joy. Sebaiknya ibu mencari tempat les yang lain saja.” Beberapa waktu kemudian, Hana menemukan tempat les tari lain namun Joy yang tidak suka. Dia tidak mau pergi latihan meskipun sudah mendaftarkan diri. Pengalaman-pengalaman negatif ini membuat Hana sulit percaya jika Joy sungguh mendapatkan kesempatan.

 

***

Suara musik yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Hana. Joy sudah bangun. Seperti kebiasaannya, setiap kali Joy bangun tidur, dia akan menyalakan musik dan mulai menari begitu mendengarnya. Hana bangkit berdiri dan menghampiri Joy yang sudah menari gembira.

Hana mengamati tubuh Joy yang menari. Dengan tinggi 157 cm dan berat badan 55 kg, Joy terlihat agak gemuk. Terselip kekhawatiran dalam hati Hana bahwa Joy akan ditertawakan ketika dia menari. Namun semangat Joy membuat Hana tahu dia tidak punya pilihan selain membiarkan Joy ikut latihan tari nanti.

Di sepanjang minggu itu, Joy terus bertanya kepada Hana mengenai latihan tari di gereja.

“Kapan mulai?”

Dengan sabar Hana menjawab, “Hari Minggu. Sebentar lagi. Beberapa hari lagi.”

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Segera setelah Komisi Remaja selesai, Joy dijemput oleh guru tari di kelasnya. Dengan penuh semangat, Joy menggandeng tangan guru tari, lalu ibu guru pun memperkenalkan Joy kepada teman-teman yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam kelompok tari tamborin.

Guru tari memulai latihannya dengan mengajak Joy pergi ke sudut ruangan. Awalnya Joy menolak. Dia ingin bersama dengan teman-temannya. Guru tari mencoba menjelaskan, “Hari ini Joy latihan sendirian dulu ya.” Baru setelah Hana memberikan sebuah tamborin, Joy mau diajak berlatih sendirian.

Guru tari mengajarkan cara memegang dan menepuk tamborin. Joy mencoba mengikutinya. Beberapa kali dengan sabar guru tari memperbaiki tangan Joy agar tamborin dapat dipegang dengan tepat. Hana sudah menjelaskan kepada ibu guru tentang sifat Joy yang kurang sabar, dan cepat bosan. Setelah berlatih selama 30 menit, maka guru tari mempersilakan Joy untuk beristirahat, dan memperbolehkan Joy untuk menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Hana. Selesai beristirahat, Joy diminta untuk kembali mengulangi tepukan tamborin yang dipelajarinya tadi sambil sekali-kali menyemangati Joy. “Bagus, Joy. Agak pelan sedikit. Jangan terlalu keras. Iya, begitu sudah benar, Joy.”

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Hana dan guru tari, latihan Joy lebih singkat dibanding dengan teman-teman lain sehingga Joy pulang lebih awal.

“Joy senang ikut latihan?” tanya Hana dalam perjalanan pulang.

“Senang.” Joy menjawab dengan tertawa.

Di rumah, Joy berlatih kembali seperti yang diajarkan oleh guru tari. Joy terlihat bersemangat untuk berlatih setiap hari. Dan terus bertanya kapan dia bisa bertemu dengan guru tari kembali. Minggu demi minggu Joy terus berlatih. Kemajuan Joy memang lebih pelan dibanding dengan teman-teman lain. Dan latihan tidak selalu berjalan mulus, adakalanya Joy merasa bosan dan tidak mau latihan lagi. Pada saat seperti itu, Hana akan mencoba membujuk Joy dengan sabar dan sekali-kali memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Joy atau buku cerita sehingga Joy tetap mau ikut latihan.

Setelah 6 bulan berlalu, dalam salah satu sesi latihan, guru tari menghampiri Hana yang sedang duduk menunggui Joy.

“Bu, saya ingin memberitahu bahwa minggu depan Joy akan ikut tampil dalam ibadah umum.”

Hana terdiam sesaat. “Benar, bu guru?”

Guru tari tersenyum. “Iya, saya merasa sudah saatnya Joy ikut dalam pelayanan.”

Hana mengulurkan tangan dan menjabat tangan guru tari. “Terima kasih banyak, bu. Joy tentu akan senang sekali.”

Guru tari tersenyum. “Kami juga senang, bu. Joy pantas mendapat kesempatan ini. Dia telah berlatih begitu keras.”

Air mata mengalir di pipi Hana. “Tanpa pertolongan ibu dan teman-teman lain, Joy tidak akan mendapat kesempatan ini. Bolehkah saya bertanya, mengapa ibu ingin memberikan kesempatan pada Joy? Dia tidak sama dengan anak-anak lain. Kadang dia bahkan menyulitkan latihan yang ada. Namun ibu begitu sabar, dan tetap mau melatihnya. Saya benar-benar tidak mengerti.”

Guru tari menjawab dengan perlahan. “Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut melayani. Tuhan sendiri dengan sabar memberikan kepada kita semua berbagai kesempatan. Baik kesempatan bertobat maupun kesempatan melayani. Saya percaya setiap orang layak mendapatkan kesempatan, tidak terkecuali Joy, dia pun layak mendapat kesempatan untuk melayani. Apalagi Joy memiliki bakat menari. Jadi apa yang saya lakukan hanyalah memberikan kesempatan kepada Joy. Saya sendiri belajar banyak dari semangat Joy yang tidak mudah menyerah.”

Hana memeluk guru tari. “Terima kasih banyak, bu.”

Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Hana mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepada Joy. Hana berpikir apa yang dilakukan guru tari sama dengan apa yang Tuhan Yesus lakukan terhadap Matius, si pemungut cukai. Pekerjaan pemungut cukai adalah posisi yang sangat rendah bagi orang Yahudi. Mereka dianggap orang berdosa, dan biasanya dihindari jika bertemu di tengah jalan. Mereka dibenci karena dianggap mengambil untung dari cukai yang dipungut. Mereka seperti sampah masyarakat. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Matius untuk menjadi pengikut-Nya. Matius yang tidak berharga di mata orang kebanyakan, namun berharga bagi Tuhan Yesus sampai Dia memberikan kesempatan bagi Matius untuk bertobat dan melayani Dia.

“Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada Joy. Kesempatan untuk melayani-Mu, dipakai oleh-Mu. Kiranya pelayanan Joy boleh menyenangkan hati-Mu.”

Menulis Obituari di Masa Muda: Bagaimana Kamu Akan Dikenang Nanti?

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Beberapa minggu terakhir ini, aku dikejutkan dengan kabar kepergian figur yang aku tahu. Kabar pertama datang dari seorang pendeta di gerejaku tempatku berjemaat dahulu, dan juga kepergian seorang musisi Indonesia.

Ucapan belasungkawa dan testimoni singkat mengenai betapa baik hatinya orang-orang tersebut membanjiri timeline media sosialku. Aku membacanya dan tanpa sadar aku meneteskan air mata. “Tidak ada yang tahu tentang hari besok. Semua menjadi misteri.” Kata seorang temanku ketika aku berdiskusi dengannya mengenai kisah ini. Ya benar, Seperti dalam Yakobus 4:14 berkata “kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”

Kisah tersebut, mengingatkan aku pada pertanyaan, “Seperti apakah kamu ingin dikenang saat kamu telah tiada?”

Pertanyaan ini pertama kali ditanyakan ketika aku masih orientasi mahasiswa baru. Saat itu, kami dibagi per kelompok 10-15 orang dan dibimbing oleh 2 orang kakak pembimbing. Materi orientasi saat itu bertemakan “tujuan hidup”, dan aku terkejut ketika kakak pembimbing memberikan sebuah lembaran kertas bergambarkan sebuah batu nisan kosong. Tak hanya itu, aku semakin terkejut ketika dia menyuruh kami menuliskan nama kami masing-masing di gambar batu nisan tersebut, diiringi tanggal lahir dan tanggal kematian. Tanggal kematian ditulis dengan tanggal yang sama dengan hari itu, tetapi 2 tahun dari sekarang. Hatiku bertanya-tanya, “Untuk apa sih? Ini terlihat sangat menyeramkan. Aku baru saja jadi mahasiswa baru, kok malah disuruh merancang kematianku sendiri.” Tapi, aku tetap mengikuti arahannya.

Saat itu kami diminta untuk menuliskan obituari kami sendiri. Yang kutuliskan adalah: “Aku ingin dikenang sebagai seorang Kristen yang taat. Pribadi yang ceria dan menghormati orang tua. Pribadi yang selalu membawa sukacita bagi orang lain. Pribadi yang membuat orang tua bangga karena kegigihan dan semangatnya.” Setelah menuliskan ini, kami disuruh untuk memikirkan langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Sebuah hal kecil yang selalu kuingat hingga hari ini.

Sekarang, ketika aku flashback ke masa-masa itu, aku menyadari bahwa setelah hari aku “dipaksa” memikirkan kematianku, aku jadi hidup dengan sebuah tujuan. Tujuan untuk hidup sebagai seorang Kristen yang taat, menjadi pribadi yang baik dan membanggakan bagi orang tua. Perlahan-lahan kugapai semua angan-angan tersebut. Walau belum sempurna, kisah mahasiswa baru itu membuatku untuk tetap berada pada track yang benar.

Pernahkah kamu berpikir hal ini? Warisan rohani apa yang ingin kamu tinggalkan bagi keluarga dan kerabatmu?

Jika aku ingin dikenang menjadi seorang pribadi yang cinta Yesus dengan segenap hati dan jiwa, maka dalam hidupku saat ini ku juga harus sejalan dengan isi hati-Nya. Membaca Firman Tuhan untuk mengetahui isi hati-Nya dan terus berkomunikasi dengan Dia melalui doa. Aku belajar membuat list pokok-pokok doa mingguan untuk menolongku berdoa bagi sesama, bukan saja berdoa tentang pribadiku. Hari Senin, aku mendoakan keluarga besarku. Hari selasa, aku mendoakan komunitas di mana aku bergereja dan bertumbuh. Aku bahkan menyebut nama mereka satu per satu dalam doaku. Dilanjutkan dii Rabu, aku mendoakan bangsa dan negara. Begitu seterusnya. Aku pun mengatur reminder di HP untuk saat teduh. Konsisten melakukan ini tidak mudah, seringkali aku pun gagal. Adakalanya aku melewatkan itu berhari-hari. Namun ketika gagal, aku diingatkan kembali oleh Roh Kudus untuk bangkit dan bahwa tujuan hidupku adalah untuk memuliakan Dia.

Tidak seorang pun kelak bisa menghindar dari kematian. Namun, ketika kita sudah menerima Kristus, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Aku ingin mengajakmu yang membaca cerita ini untuk mulai berpikir akan akhir hidup kita di dunia. Kita perlu memikirkan sesuatu yang lebih jauh, tentang hari depan. Ketika kita memahami bahwa kita akan diperhadapkan dengan kematian, sudah seharusnya kita tidak menjalani hidup dengan cara yang sia-sia. Kita bisa menjadikan hidup kita berkat bagi orang lain. Kita harus menghidupi kehidupan saat ini dengan sesuatu yang baik, berguna dan memenuhi apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidup kita.

Bulan ini kita telah merayakan Jumat Agung dan Paskah, kematian dan kebangkitan Yesus Krisus. Ketika Dia telah menyerahkan seluruh hidupnya bahkan nyawa-Nya untuk menebus dosa-dosa manusia, maka apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa menolong sesama kita hari ini. Mulai dari hal sederhana, bertanya kabar dan mendoakannya. Juga jika hari ini kita diberikan pekerjaan dan tanggung jawab, lakukanlah itu dengan sepenuh hati.

Aku teringat akan Paulus, rasul yang pelayanannya memberkati banyak orang. Paulus yang dulunya penganiaya orang-orang percaya diubahkan Tuhan menjadi seorang Kristen yang taat dan berapi-api. Dia tak cuma mengabarkan Injil, tapi juga memberikan hidupnya bagi Injil. Satu hal yang aku pelajari dari hidup Paulus adalah ketika dia menerima Kristus, hidupnya mengalami perubahan. Pandangannya mengarah kepada rancangan Tuhan. Hidupnya hari demi hari berfokus pada bagaimana dia harus menjadi berkat bagi banyak orang.

Yuk ambil waktu sejenak untuk menuliskan obituari kamu sendiri. Jadikan apa yang akan kamu tulis di sana, sebagai sebuah komitmen bagaimana kamu akan menghidupi hari-harimu hari ini dan besok.

Baca Juga:

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Yang terkasih, sahabatku,

Tahun telah berganti, tetapi kamu tidak ingin melangkah sebab orang yang paling kamu kasihi, telah meninggalkanmu di tahun sebelumnya. Semarak pesta pergantian tahun tidak membuatmu terpesona. Kamu mungkin merasa lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar. Dan, mungkin pula kamu berharap ada mesin waktu yang dapat membawamu kembali ke masa-masa dulu.

Hidup Ini Adalah Kesempatan, Sudahkah Aku Memanfaatkannya dengan Bijak?

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Di suatu malam aku menjelajahi timeline Instagramku. Aku melihat beberapa temanku memposting sebuah screenshot dari akun Kitabisa.com, sebuah akun untuk penggalangan dana. Aku tidak membaca jelas postingan itu dan melewatkannya begitu saja. Tapi, semakin lama aku melihat lebih banyak teman-teman sekampusku mulai memposting screenshot itu.

Ting, nada pesan WhatsAppku berbunyi. Di dalam pesan itu tertulis cerita dan link menuju website penggalangan dana tersebut. Aku penasaran, lalu kubukalah link itu. Aku terkejut dan tidak percaya. Seorang teman yang dulu pernah bersama denganku di bangku kuliah sekarang terbaring sakit. Dia sudah mengalami koma selama kurang lebih delapan bulan. Temanku itu menderita penyakit yang jarang sekali didengar, Moyamoya Disease namanya. Penyakit ini menyerang sistem saraf otak dengan memperkecil pembuluh darah yang menuju otak. Akibatnya suplai darah menjadi terhambat. Tindakan yang bisa dilakukan untuk mengobatinya adalah dengan operasi. Tapi, pasca operasi itu dia kehilangan kesadaran.

Aku terdiam dan merenung. Aku mungkin tidak begitu dekat dengan temanku itu. Tapi kami sempat duduk di satu kelas yang sama ketika kuliah dulu. Dia adalah orang yang easygoing, loyal, lucu, dan selalu terlihat ceria. Seingatku dia juga dari keluarga yang berkecukupan. Aku sama sekali tidak menyangka kalau dia akan terbaring sakit tak berdaya.

Malam itu aku mengambil waktu untuk mendoakannya dan melihat kembali hidupku akhir-akhir ini. “Apakah aku sudah melakukan yang terbaik selama aku hidup? Bagaimana jika aku yang berada di posisi temanku itu? Apa yang bisa kulakukan untuk temanku selain donasi dan doa?” tanyaku dalam hati. Lalu aku teringat akan sebuah lagu “Hidup ini Adalah Kesempatan” yang liriknya berkata:

Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan apa yang Tuhan beri
Hidup ini harus jadi berkat

Oh Tuhan pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Bila saatnya nanti
Ku tak berdaya lagi
Hidup ini sudah jadi berkat

Lirik lagu itu terdengar sederhana, tetapi maknanya begitu dalam dan menegurku. Sudah dua bulan terakhir aku bolos dari pelayanan menari di gereja. Malas, itulah alasanku. Padahal dulu ketika awal-awal aku berkomitmen pelayanan, aku dipenuhi kerinduan untuk mempersembahkan talentaku buat Tuhan. Tapi, sekarang aku malas untuk datang latihan. Aku malas mencari outfit pelayanan, dan aku pun malas pergi ke gereja karena jaraknya dengan tempat tinggalku yang jauh. Bahkan di hari Minggu aku tidak menggunakan waktu itu untuk beribadah ke gereja. Aku malah tidur seharian. Selain itu, aku pun banyak menyia-nyiakan waktuku. Daripada bersaat teduh, aku lebih suka meluangkan waktuku untuk menjelajahi media sosialku, menonton YouTube, dan melakukan hal-hal lain yang kusuka.

Aku lupa bersyukur. Aku lupa untuk menggunakan waktu-waktu yang sudah Tuhan berikan kepadaku untuk melayani-Nya. Bukankah tujuan hidup manusia sejatinya adalah untuk memuliakan Allah? Seperti yang tertulis dalam Katekismus Westminster pertanyaan 1, apa tujuan umat manusia? Tujuan utama manusia ialah memuliakan Allah dan bersukacita di dalam Dia selama-lamanya.

Kuakui bahwa aku menggunakan waktuku dengan sembrono. Pemazmur dalam Mazmur 90:12 (BIS) berkata: “Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi.” Waktuku di dunia begitu singkat, seharusnya aku dapat lebih bijak memanfaatkan setiap momen yang Tuhan berikan padaku.

Mungkin ada banyak hal tak terduga yang terjadi dalam kehidupan kita, tetapi satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa Tuhan selalu memegang kendali kehidupan ini. Kesakitan, kehilangan, kematian, atau apapun itu adalah hal yang tak terelakkan. Kita harus siap menghadapinya. Namun, yang menjadi penting bukanlah kapan atau bagaimana waktu-waktu kemalangan itu akan terjadi dalam kehidupan kita, melainkan bagaimana kita memanfaatkan waktu-waktu yang ada sekarang. Selagi kita memiliki waktu dan kesempatan untuk berkarya melayani-Nya, pakailah itu.

Aku berdoa dan berharap kiranya Tuhan memberikan kekuatan buat keluarga temanku, juga memberikan yang terbaik untuknya. Aku percaya akan kuasa Tuhan yang besar, dan tugas kita adalah percaya sepenuh-Nya kepada-Nya dan memanfaatkan waktu-waktu kita sebijak mungkin hingga kelak ketika tiba saatnya, Tuhan akan berkata kepada kita: “Well done, anakku terkasih.”

Baca Juga:

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Sebagai orang Kristen, ada tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum memposting sesuatu di media sosial sebagai wujud respons kita terhadap suatu musibah.