Posts

Selalu Ada Kesempatan Kedua yang Tuhan Berikan Untukmu

Oleh Edwin Petrus, Medan

Sudah sekian lama aku tidak menginjakkan kaki di bioskop karena pandemi Covid-19. Akhirnya, pada awal Januari 2022, aku kembali memanjakan diri dengan menonton di layar lebar. Aku memilih film “Spider-Man: No Way Home.” Tidak ada alasan lain di balik pilihan ini. Spider-Man memang telah menjadi favoritku sejak Marvel merilis seri pertamanya.

Selama lebih kurang dua setengah jam menyaksikan sang manusia laba-laba beraksi, aku berulang kali memikirkan tentang frasa yang secara terus menerus dicetuskan oleh beberapa pemain: second chance (kesempatan kedua). Spider-Man sangat meyakini kalau semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Pemikiran Spider-Man ini sempat mendapatkan penolakan keras dari rekan-rekannya. Namun, adegan demi adegan terus memperlihatkan segala daya upaya dari Spider-Man yang tidak berhenti memperjuangkan kesempatan kedua kepada tokoh-tokoh yang dianggap tidak layak untuk mendapatkan kesempatan itu sekali lagi. Pada akhirnya, Spider-Man menjadi seorang yang terlupakan oleh publik, termasuk sahabat karibnya, tetapi dia tetap memilih konsekuensi itu demi kesempatan kedua.

Orang-orang sering berkata: “Seandainya saja waktu bisa diputar kembali.” Ya, mereka berharap bahwa dengan memutar kembali waktu, mereka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan yang pernah diperbuat pada masa lalu. Pada kenyataannya, waktu terus bergerak maju dan keinginan untuk kembali ke waktu silam hanyalah angan-angan belaka. Kawan, sadarkah kamu kalau hidup kita sekarang ini adalah “kesempatan kedua” yang dianugerahkan oleh Allah?

Memang benar, kejatuhan manusia ke dalam dosa yang dinarasikan di Kejadian 3 seakan menutup kesempatan kedua. Keputusan dari Adam dan Hawa untuk melawan kehendak Allah telah mengantarkan mereka kepada kematian rohani, yaitu keterpisahan dengan Allah. Namun, Allah selalu membuka tangan-Nya lebar-lebar untuk menawarkan kesempatan kedua kepada kita. Sesungguhnya, kesempatan kedua itu selalu tersedia bagi semua orang.

Allah mengetahui bahwa orang-orang yang gagal ini membutuhkan kesempatan yang kedua. Ia menyodorkan solusi yang berkemenangan bagi ketidakberhasilan manusia. Ia tidak perlu memutar kembali waktu dan menghindarkan manusia untuk jatuh dalam dosa. Di dalam kasih-Nya, kesempatan kedua justru diberikan oleh Allah melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, Allah menawarkan kesempatan kedua kepada semua orang yang mau menerima anugerah keselamatan ini. Di dalam Kristus, semua orang percaya berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, yaitu hidup kekal dengan relasi yang telah dipulihkan bersama-sama dengan Allah untuk selama-lamanya.

Kalau kita sudah memperoleh kesempatan kedua di dalam Kristus, bagaimana seharusnya respons kita terhadap kesempatan kedua itu? Aku mau mengajak kamu untuk memberikan tiga respons yang akan membuat hidupmu dipenuhi dengan damai sejahtera dari Allah.

Menerima kesempatan kedua dari Allah

Kamu pasti mengenal seorang murid Yesus yang bernama Simon Petrus. Mantan nelayan dari Galilea ini adalah pribadi yang memiliki pengaruh yang besar di dalam kelompok murid-murid Yesus. Petrus menjadi satu-satunya murid yang dengan tegas dan yakin mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Mat. 16:13, Mrk. 8:29, Luk. 9:20). Petrus tampil beda di tengah kebimbangan dari saudara-saudaranya yang masih bertanya-tanya “Siapakah Yesus?”

Namun, jawaban Petrus yang mengesankan ini berakhir dengan tragedi di mana si pemberani berubah menjadi si pengecut. Di tengah kerumunan orang banyak yang menonton Sang Anak Allah ditangkap dan diolok-olok oleh prajurit Romawi, Petrus justru menyangkal pengenalannya terhadap Mesias sebanyak tiga kali. Petrus yang pernah tampil menonjol, harus menangis dengan penuh penyesalan karena ia gagal mempertahankan pengakuan publiknya terhadap Mesias (Mat. 26:75, Mrk. 14:72, Luk. 22:62).

Kisah kemuridan Petrus tidak berakhir di sini. Pasca kebangkitan, Yesus mendatangi Petrus secara pribadi dan berbicara empat mata dengannya (Yoh. 21). Yesus seakan mengulangi lagi momen pertemuan pertama antara mereka berdua di danau Galilea (bnd. Mat. 4:18-22). Yesus memberikan kesempatan yang kedua kepada Petrus untuk menjalankan tugasnya sebagai penjala manusia (Mat. 4:19). Yesus meminta Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yoh. 21:15-19). Kedua terminologi ini memang terdengar berbeda, tetapi memiliki makna yang sama. Kesempatan kedua bagi Petrus adalah menjadi saksi Injil bagi seluruh bangsa di dunia dan iapun telah menerima dan mengerjakan kesempatan kedua itu pada sisa hidupnya.

Kawan, kesempatan kedua dari Yesus juga tersedia buat kamu hari ini. Masa lalumu yang kelam bukan persoalan bagi Dia, karena kedatangan-Nya adalah untuk memulihkan hidupmu. Yesus memiliki rencana yang luar biasa dalam hidupmu. Oleh karena itu, Dia mau memberimu kesempatan kedua. Aku sudah menerima kesempatan kedua ini. Yuk, jangan sungkan untuk menerima anugerah Ilahi itu pada hari ini dan jangan sampai kelewatan ya karena kesempatan kedua belum tentu juga datang dua kali ya kawan.

Menghidupi kesempatan kedua pada diri sendiri

Kesempatan kedua akan mengubahkan setiap anak-anak Tuhan menjadi manusia baru di dalam Yesus. Rasul Paulus mengatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2Kor. 5:17). Ketika setiap anak Tuhan sudah menerima kesempatan kedua, kita bertanggung jawab untuk menghidupi kesempatan kedua sesuai dengan kehendak Allah.

Hidup sebagai manusia baru di dalam kesempatan kedua adalah hidup yang dipenuhi dengan ucapan syukur. Chuck Colson adalah seorang mantan narapidana yang sudah putus asa dengan keadaan dirinya; belum lagi, anaknya juga terjerat kasus narkoba. Namun, di balik jeruji penjara, ia mengalami pembaruan iman melalui saudara-saudara seiman yang selalu silih berganti menjenguknya dan berdoa baginya siang dan malam. Iman Colson kembali diteguhkan dan ia juga mendapatkan visi baru untuk dapat melayani para narapidana dan keluarga mereka serta memberikan bantuan hukum. Setelah menghabiskan masa tahanannya, ia mendirikan Prison Fellowship (Persekutuan Penjara) pada 1976 dan sampai hari ini, organisasi nirlaba ini masih eksis untuk membawa pengharapan kepada mereka yang pernah melakukan kesalahan di masa lalu.

Kawan, mungkin kamu seperti aku yang mempunyai kebiasaan untuk menuliskan resolusi di awal tahun. Ya, kita pasti mengidamkan kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru. Resolusi-resolusi itu hanya akan berupa tulisan yang mati jika kita tidak pernah menghidupi kesempatan kedua itu. Ketika suara alarm membangunkan kita dari tidur, inilah penanda bahwa hari baru telah dimulai dan saatnya bagi kita untuk kembali menjalani kesempatan kedua. Di dalam tuntunan Roh Kudus, kita dipimpin untuk menghidupi iman kita di dalam Kristus agar hidup kita semakin memuliakan Allah.

Aku pun menyadari kalau sering kali diri kita sendirilah yang justru menjadi penghalang untuk bisa menikmati kesempatan kedua itu. Sejuta alasan menjadi dalih yang terus menghantui dan menghakimi kita. Aku terlalu lemah dan tidak berdaya, aku tidak bisa memaafkan diriku, kesalahanku yang sangat buruk, trauma itu terlalu mendalam buatku, aku menderita luka batin yang amat menggores hatiku, aku itu sampah busuk…. Benar gak kawan?

Namun, bukankah salib Kristus sudah membereskan semua masa lalu kita dan kasih anugerah-Nya lebih besar dari semua ketidaklayakan yang pernah kita bayangkan itu? Yuk, jalani kehidupan dalam kesempatan kedua bersama Yesus dengan penuh antusias! Ingat kawan, kesempatan kedua terkadang tidak datang dua kali. Jadi, mari kita berjuang menghidupi kesempatan kedua seolah-olah itu adalah kesempatan terakhir kita.

Memberi kesempatan kedua bagi orang lain

Kawan, setelah kita memperoleh kesempatan kedua dan menghidupi kesempatan kedua itu, saatnya bagi kita untuk memberi kesempatan kedua kepada orang lain. Siapa sih yang tidak butuh dengan kesempatan kedua?

Markus, sang penulis Injil Markus adalah seorang yang mendapatkan kesempatan kedua dari rekan pelayanannya, Paulus. Kisah Para Rasul 15:35-41 mencatat bahwa Markus menjadi penyebab perselisihan sengit antara Barnabas dan Paulus. Barnabas ingin mengajak Markus lagi dalam perjalanan misi mereka berikutnya, tetapi Paulus menentang hal ini. Markus pernah diajak dalam perjalanan sebelumnya, tetapi dia tidak menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik.

Kesalahan yang pernah dibuat oleh Markus bukan menjadi akhir dari segalanya. Paulus tidak langsung mendaftarhitamkan Markus di dalam tim pelayanannya. Markus kembali mendapatkan kesempatan kedua dari Paulus. Di kemudian hari, Markus dan Paulus bekerja sama lagi bagi pemberitaan Injil. Markus pernah diutus oleh Paulus untuk mewakilinya di dalam mengunjungi jemaat di kota Kolose (Kol. 4:10). Markus pun pernah mendapatkan pujian dari Paulus bahwa pelayanannya adalah penting bagi Paulus (2Tim. 4:11).

Kawan, aku menyadari bahwa memberi kesempatan kedua memang terasa lebih sulit dibandingkan dengan menerima dan menikmati kesempatan kedua itu. Kita sering memandang bahwa kegagalan orang lain lebih besar daripada kesalahan kita. Namun, kemampuan untuk bisa memberi kesempatan kedua menunjukkan kedewasaan rohani kita. Jikalau kita masih sulit memberikan kesempatan kedua itu bagi orang lain, kita bisa berdoa dan meminta Roh Kudus yang melembutkan hati kita untuk melakukan hal itu. Yesus sendiri yang mengajarkan kita untuk bisa mengampuni dosa orang lain sebagaimana kita telah diampuni oleh Bapa di surga (Mat. 6:12). Dia juga pasti rindu untuk memampukan kita melepaskan kesempatan kedua bagi sesama kita.

Damai sejahtera dari Allah baru dapat kita rasakan dengan utuh jika kita sudah menerima kesempatan kedua dari Allah, menghidupi kesempatan kedua pada diri sendiri, dan memberi kesempatan kedua bagi orang lain. Kawan, sudahkah kamu melakukan ketiga hal ini?

Remedial (Bagian 2 – selesai)

Oleh: Hana Maria Boone

Cerita sebelumnya …

Remedial Bagian2

Setelah sekitar tiga minggu dirawat, aku akhirnya diizinkan pulang ke rumah. Seperti yang sudah kuduga, aku segera diminta untuk membagikan kisahku. Kerabat, tetangga, teman-teman sekolah dan gereja, berkumpul untuk sebuah ibadah syukur.

Kisah apa yang akan aku katakan? Panggung sudah siap untuk menjadi tumpuanku berbagi cerita penuh mukjizat. Ibuku duduk di sampingku, berusaha menguatkanku, “Kamu sang penerima mukjizat!” katanya.

Aku menghela napas panjang, “Ya! aku sang penerima mukjizat, dan aku siap berkata-kata!” Aku berdiri di atas panggung, sedikit canggung, memegang mikrofon dengan linglung. Aku menyendengkan kepalaku ke kiri sesaat, kemudian kembali ke posisi semula. Semua orang menatapku. Aku tidak pernah bicara di depan orang sebanyak ini.

“Hari itu…”

Kronologis peristiwa mulai mengalir keluar dari mulutku, dan orang-orang berseru “Haleluya, halelulya!” padahal aku belum menyentuhkan nama Tuhan sedikit pun pada ceritaku. Aku tahu apa yang mereka harapkan, tetapi itu belum tentu apa yang Tuhan harapkan. Jadi aku bicara apa adanya, tentang semua yang aku pikirkan, setelah mengisahkan apa yang aku alami.

“Aku mungkin salah satu orang yang paling tak beruntung di antara mereka, karena aku harus menunggu kereta lain untuk membawaku bertemu Tuhan….”

Ruangan itu mendadak jauh lebih senyap.

“Tetapi, aku pikir, aku juga adalah salah satu orang yang paling beruntung karena diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupku.”

Aku berhenti sebentar untuk menata emosiku.

“Peristiwa ini membawa aku merenungkan jalan hidup manusia yang berbeda-beda. Apakah aku dicintai Tuhan? Apakah mereka yang telah pergi tidak dicintai Tuhan? Apakah keluargaku dicintai Tuhan? Apakah keluarga-keluarga yang saat ini hanya bisa bertemu dengan yang mereka kasihi dalam memori, tidak dicintai Tuhan?”

Aku memandang seluruh ruangan. Semua mata memperhatikanku. Aku menelan ludah. Mengeluarkan secarik kertas dari saku celana.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. Yesaya 55:8-9.”

“Aku selamat bukan karena aku lebih suci atau lebih dicintai Tuhan daripada mereka. Hanya, dalam rancangan-Nya yang tidak seluruhnya kupahami, Tuhan memandang mereka lebih baik di sana, dan aku lebih baik di sini.”

“Apa bedanya keluargaku dan keluarga mereka? Dalam kebijaksanaan Tuhan, keluargaku diminta untuk menerimaku kembali, dan keluarga mereka diminta untuk melepaskan mereka, sehingga nyata betul betapa kami tidak memegang kendali atas hidup ini, dan betapa kami membutuhkan Tuhan untuk bahagia yang sejati.”

Suaraku mulai bergetar, aku dapat merasakan air mata membasahi pipiku. Dengan tangan yang juga gemetar aku mengusap kasar pipiku dan terdiam sejenak. Membayangkan kembali apa yang kulihat hari itu. Setelah merasa mendapatkan kekuatan kembali, aku pun melanjutkan.

“Hari itu di tempat kejadian aku melihat tangan Tuhan memegang mereka ketika mereka pergi. Aku melihat ibu yang kuberi tempat duduk, aku melihat para suster, aku melihat seorang ibu yang mendekap anak balitanya, aku melihat seorang pemuda dari Universitas Indonesia, mereka semua dipeluk oleh Tuhan. Aku melihat tangan Tuhan memegang tangan mereka, dan bukan hanya mereka.”

“Aku pun teringat ada janji Tuhan dalam Alkitab, bahwa barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, tetapi akan memasuki kehidupan kekal bersama Tuhan selamanya. Bukankah itu adalah janji untuk kehidupan baru setelah waktu kita di bumi ini selesai? Bukankah kebahagiaan dan kejayaan yang tidak akan berakhir adanya bukan di dunia ini, tetapi di surga nanti?”

Hening. Beberapa orang mulai menangis, beberapa memandangku tanpa ekspresi yang jelas, beberapa mengernyitkan dahi, dan beberapa memasang wajah simpatik. Tak ada lagi yang berani berteriak “Haleluya” atau “Puji Tuhan.” Semua diam seribu bahasa.

“Aku teringat pada guruku yang baik hati. Hari itu aku memohon kepadanya untuk membantuku dalam ujian, dengan memberikan bocoran jawaban, tetapi pada saat ujian ia hanya mendampingiku dan tersenyum. Selama ini aku berpikir bahwa ia tidak sedang membantuku. Kini aku ingat, bahwa dua minggu sebelum masa ujian tiba, ia meluangkan waktunya setiap hari memberi pelajaran tambahan khusus untukku. Ia melakukan semua itu tanpa mengharapkan imbalan, untuk membantu aku dengan cara yang benar.” Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Berharap bisa melihat sosok yang baik hati itu.

“Guru yang baik tidak menjanjikan ujian yang mudah, tetapi ia menjanjikan kelulusan bagi mereka yang mengerjakannya sesuai dengan apa yang diajarkan. Guru yang baik tidak akan membuat anak-anak didik mereka malas belajar dengan memberi bocoran jawaban. Guru yang baik akan melepas murid-muridnya untuk berjuang menghadapi ujian yang sulit, setelah sebelumnya memberikan semua persiapan yang dibutuhkan. Ia akan mendorong mereka untuk meraih apa yang dijanjikannya, kepintaran dan kelulusan jika mereka sungguh-sungguh melakukan apa yang ia ajarkan.”

“Aku sadar sikapku kepada Tuhan seringkali sama seperti sikapku terhadap guruku yang baik hati itu. Well, mungkin bukan hanya aku. Jujur saja, bukankah seringkali kita menjadi murid-murid yang culas? Meminta jalan pintas yang mengenakkan kita saja, bahkan seringkali berusaha menyuap Tuhan untuk melakukan apa yang kita mau…”

Aku memandang ibuku menyeka matanya yang basah. Lalu tanteku, orang-orang gereja, teman-temanku. Semua yang hadir.

“Aku merasa tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua ini…”

“…tetapi selama aku masih diizinkan Tuhan berada dalam sekolah kehidupan, aku ingin menjadi murid yang terbaik. Saat kelak giliranku tiba memasuki kehidupan yang baru itu, aku ingin menghadap-Nya dengan hati lega, aku ingin sudah siap menerima mahkota. Inilah mukjizat yang Tuhan sudah berikan untukku… sebuah remedial.”

Apakah Kita Lebih Baik Daripada Duo Bali Nine?

Oleh: Wendy Wong
(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Are We Any Different From The Bali Nine Duo?)

W--Are-We-Any-Different-from-the-Bali-Nine-duo-

Pada tanggal 29 April yang baru lewat, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran akhirnya menjalani hukuman mati, setelah kasus yang melibatkan dua negara besar ini melewati proses peradilan sepanjang 10 tahun lamanya.

Pada tahun 2005, dua orang yang populer dengan sebutan “duo Bali Nine” ini ditangkap karena terbukti merekrut tujuh warga Australia lainnya dan mengatur penyelundupan lebih dari 8 kg heroin dari Bali, Indonesia, ke Australia. Mereka ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Selama 10 tahun terakhir mereka harus meringkuk di penjara Indonesia sembari menunggu hukuman dilaksanakan. Setelah permohonan grasi dan upaya terakhir mereka untuk mendapatkan keringanan hukuman ditolak, kedua pria tersebut akhirnya menjalani eksekusi oleh regu tembak di Nusakambangan.

Berita tentang kedua orang itu pertama kali kudengar sekitar satu bulan yang lalu; kasus mereka telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan diplomatik antara Australia dan Indonesia. Pemerintah Australia telah berusaha memohon, melakukan negosiasi, hingga memberikan ancaman kepada pihak Indonesia untuk meringankan hukuman mereka. Akan tetapi, sekalipun mendapatkan tekanan dari dunia internasional, Indonesia tetap teguh pada pendiriannya, menegaskan “perang melawan narkoba” mengingat tingginya kasus pemakaian narkoba di Indonesia.

Tanggapanku sempat sinis ketika membaca berita tentang permohonan grasi mereka. Orang-orang ini adalah para pengedar narkoba, sudah tentu mereka tahu bahwa yang mereka lakukan itu salah, dan sudah seharusnya mereka siap menerima konsekuensi atas perbuatan mereka. Logika yang sederhana, bukan?

Namun, beberapa hari kemudian, aku menemukan fakta yang secara drastis mengubah pandanganku terhadap kedua orang tersebut.

Dalam sepuluh tahun penahanan mereka, kedua pria ini telah berubah. Chan, yang berusia 31 tahun, telah bertobat dan menjadi seorang Kristen. Ia bahkan telah ditahbiskan sebagai seorang pendeta setelah 6 tahun belajar dan melayani sesama narapidana di LP Kerobokan, Bali. Ia membuka kelas memasak, mengadakan berbagai kursus, serta menjadi mentor bagi rekan-rekannya.

Dalam video dokumenter berjudul “Dear Me”, yang dibuat untuk mengingatkan para pelajar tentang bahaya menggunakan narkoba, Chan membacakan sebuah surat: “Yang terkasih diriku, saat kamu dewasa, kamu akan dikurung di sebuah penjara di Bali dan menjalani hukuman mati. Semua itu terjadi karena kamu berpikir bahwa menggunakan narkoba itu hebat… Keluarga dan teman-temanmu merasa hancur hati melihatmu…”

Sukumaran, yang berusia 34 tahun, memutuskan untuk menekuni dunia seni. Ia mengajar bahasa Inggris, desain grafis, dan filosofi kepada sesama narapidana. Ia juga sempat memulai bisnis menjual karya-karya seni dan pakaian dengan merek sendiri. Dua bulan sebelum ajal menjemputnya, ia bahkan sempat meraih gelar sarjana muda dalam bidang Seni Rupa. Surat kabar Sydney Morning Herald menulis, “keluarga dan para rohaniwan Kristen bersaksi bahwa ia telah sungguh-sungguh bertobat dan menjadi seorang Kristen dalam hari-hari menjelang kematiannya.”

Christie Buckingham, seorang pendeta Australia yang ikut membimbing Chan saat menempuh pendidikan pastoralnya, memberikan komentar berikut tentang Chan dan Sukumaran: “Mendekam dalam penjara memberimu kesempatan untuk introspeksi diri. Kedua pemuda itu telah melakukannya…. Setiap manusia punya keinginan untuk diterima. Andrew telah melangkah di jalan yang salah. Siapa pun bisa melakukan kesalahan yang sama.”

Apa yang dikatakan Christie sungguh benar. Sama seperti Chan dan Sukumaran, setiap kita telah melakukan kesalahan dalam hidup kita. Kesalahan kita mungkin tidak separah penyelundupan narkoba, tetapi kita semua telah berdosa di hadapan Allah. Entah itu berbohong atau berzinah, melakukan korupsi atau sekadar memaki, semuanya tetaplah dosa. Kita telah melanggar hukum Allah yang kudus dan sempurna, kita tidak dapat memenuhi apa yang menjadi standar-Nya. Sama seperti duo Bali Nine, setiap kita sesungguhnya pantas menerima hukuman atas dosa-dosa kita—maut.

Akan tetapi, Anak Allah sendiri telah memilih untuk mati menggantikan kita, memberi kita bukan saja kesempatan kedua, tetapi juga kehidupan yang kekal melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Janji keselamatan yang telah digenapi inilah yang memenuhi hati kedua terpidana mati ketika mereka menghadapi regu tembak pada hari Rabu itu. Mereka menyanyikan lagu “Bless the Lord O My Soul” [Pujilah Tuhan hai jiwaku] menjelang detik-detik terakhir eksekusi dilakukan oleh kedua belas anggota regu tembak.

Jangan salah paham, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa perbuatan mereka tidak salah atau bahwa mereka tak seharusnya dihukum mati atas kejahatan mereka. Justru aku ingin menegaskan bahwa mereka salah dan pantas dihukum. Akan tetapi, sama seperti Chan dan Sukumaran, kita semua juga adalah manusia yang tidak sempurna, kecenderungan kita adalah berbuat dosa, dan sama seperti mereka, kelak kita pun akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita perbuat di hadapan Allah, Sang Hakim yang agung.

Sungguh kita bersyukur bahwa dalam kasih karunia-Nya, Allah berkenan menyediakan pengampunan. Sebesar apa pun dosa yang pernah kita perbuat, ada pengharapan bagi setiap kita yang memandang dan memercayakan hidup kepada Yesus Kristus yang telah mati untuk menyelamatkan jiwa kita.

Aku yakin bahwa pengharapan inilah yang dimiliki Chan dan Sukumaran saat mereka bersiap menghadap Sang Pencipta.