Posts

Tindakan Pengucapan Syukur

Jumat, 9 Maret 2012

Baca: Mikha 6:1-8

Apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu? —Mikha 6:8

Ketika saya masih remaja, tidak banyak orang yang mengenal saya sebaik Francis Allen. Dialah pendeta yang mengenalkan saya kepada Yesus Kristus. Ia adalah seorang pengkhotbah yang berapi-api di mimbar, tetapi di luar itu, ia menjadi teladan yang nyaris sempurna dari kelemahlembutan kasih Allah.

Sejak awal, Francis mengenali kecenderungan dalam diri saya yang berusaha memperoleh pengakuan orang dengan jalan bekerja lebih keras dari yang diharapkan dan melakukan lebih banyak dari yang diminta. “Yang kamu lakukan itu baik jika dimaksudkan sebagai pemberian bagi sesama,” katanya kepada saya, “tetapi semestinya tidak kamu gunakan untuk memperoleh penerimaan dan kasih dari orang lain—bahkan dari Allah.”

Untuk menolong saya memahaminya, Francis meminta saya membaca janji Yesus di Matius 11:30 bahwa kuk-Nya “enak”—kebenaran yang rasanya sulit untuk dipercaya. Lalu, saat membuka Mikha 6:6-8, ia berkata: “Sekarang baca ini dan tanyakan pada dirimu sendiri, apakah ada yang bisa kau berikan kepada Allah yang belum dimiliki-Nya.” Tentulah jawabannya, tidak ada.

Lalu ia menjelaskan bahwa Allah tidak dapat disogok, karena anugerah-Nya diberikan secara cuma-cuma. Karena hal ini benar, apa seharusnya tanggapan kita? “Berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu” (ay.8). Saya belajar bahwa semuanya ini adalah sikap untuk mengucap syukur, bukan untuk menyogok Allah.

Kiranya Mikha 6 mengingatkan kita bahwa anugerah itu diberikan secara cuma-cuma dan hidup dengan setia adalah tanggapan kita yang penuh pengucapan syukur. —RKK

Kita diselamatkan oleh anugerah melalui iman semata,
Perbuatan baik kita tidak berperan apa pun;
Namun Allah memberi upah setiap perbuatan kasih
Yang dilakukan dengan segenap hati. —D. De Haan

Perbuatan baik bukanlah cara untuk mendapatkan keselamatan, melainkan buah dari keselamatan.

Memperoleh Hati Yang Baru

Rabu, 29 Februari 2012

Baca: Yehezkiel 36:26-31

Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu. —Yehezkiel 36:26

Seorang teman ahli kardiologi dalam bidang transplantasi jantung memandang ayat Yehezkiel 36:26 dengan satu pemahaman yang belum tentu dimengerti oleh sebagian dari kita. Mike mengatur perawatan selama masa pra-operasi dan pasca-operasi bagi para pasien transplantasi jantung. Ia sering berada di dalam ruang operasi ketika para dokter bedah mengangkat jantung yang berubah warna dan berpenyakit, dan menggantinya dengan jantung donor “baru” yang masih berdetak dan berwarna merah muda cerah.

Mike menjelaskan bahwa proses seleksi untuk menentukan siapa yang mendapatkan organ jantung yang “baru” itu serupa dengan proses seleksi untuk menentukan siapa yang mendapatkan “hati yang baru” dari Allah (Yeh. 36:26). Dalam kedua kasus ini, kebutuhan menjadi satu-satunya kriteria.

Pernyataan Yehezkiel tentang orang Israel yang kelak mendapatkan “hati yang baru” merujuk pada perubahan yang akan terjadi pada saat keselamatan. Efesus 4:24 dan 2 Korintus 5:17 menyebutnya sebagai “manusia baru” dan “ciptaan baru”. Bagi orang Israel di masa Yehezkiel dan bagi kita yang hidup di masa kini, hanya ada satu kriteria yang harus kita penuhi untuk menerima “transplantasi”. Kita harus membutuhkannya. Tidak masalah apakah kita kaya atau miskin, dihormati atau terhina. Kewarganegaraan, status sosial, dan etnis tidaklah penting. Jika kita membutuhkan hati yang baru dari Allah, kita dapat memilikinya melalui iman dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.

Hal apakah yang menandakan adanya kebutuhan tersebut? Sebagai manusia berdosa, kita semua membutuhkan hati yang baru. Apakah Anda telah menerima transplantasi hati rohani? —JDB

Kristus tak meminta apa pun darimu—
Datanglah sebagaimana adanya dirimu;
Datanglah yang berdosa, yang penuh kesalahan,
Datanglah, berikanlah hatimu kepada-Nya. —NN.

Kita membutuhkan lebih dari sekadar awal yang baru– kita membutuhkan hati yang baru!

Terang Yang Ditolak

Rabu, 21 Desember 2011

Baca: Yohanes 12:35-46

Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan. —Yohanes 12:46

Pada dini hari tanggal 21 Desember 2010, saya menyaksikan sebuah peristiwa yang terakhir terjadi pada tahun 1638—gerhana bulan total pada titik balik matahari di musim dingin. Dengan perlahan bayangan bumi menutupi bulan purnama yang sedang bersinar terang dan membuatnya terlihat berwarna merah gelap. Sungguh sebuah peristiwa yang luar biasa dan indah. Namun demikian, peristiwa ini mengingatkan saya bahwa walaupun kegelapan fisik merupakan bagian dari rancangan ciptaan Allah, tetapi kegelapan rohani bukanlah rencana Allah.

Seorang pendeta Skotlandia, Alexander MacLaren, mengatakan, “Terang yang ditolak merupakan akar dari kegelapan yang terpekat, dan orang yang sebenarnya memiliki terang tetapi tidak mempercayainya, sedang menumpuk awan tebal keburaman dan kesuraman di sekeliling dirinya sendiri.” Yesus menjelaskan tentang gerhana rohani yang ditimpakan seseorang pada hati dan pikirannya sendiri ketika Dia berkata, “Jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat. 6:23).

Undangan Natal yang teragung adalah undangan untuk membuka hati kita kepada Sang Juruselamat yang telah datang untuk mengenyahkan kegelapan hidup kita. Yesus berkata, “Percayalah kepada terang itu, selama terang itu ada padamu, supaya kamu menjadi anak-anak terang. . . . Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan“ (Yoh. 12:36,46).

Jalan keluar dari kegelapan rohani dalam hidup kita adalah dengan berjalan dalam terang bersama-Nya. —DCM

Datanglah kepada Terang yang bersinar bagimu,
Dengan indahnya Terang itu telah melingkupiku;
Dulu aku buta, tapi sekarang kubisa melihat—
Yesus itulah Terang dunia. —Bliss

Saat kita berjalan di dalam Sang Terang, kita tidak akan tersandung dalam kegelapan.

Perjalanan Natal

Minggu, 18 Desember 2011

Baca: Galatia 4:1-7

Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya. —Galatia 4:4

Berapa jauh jarak dari Nazaret ke Betlehem? Jika yang Anda maksudkan adalah kotakota dengan nama demikian di negara bagian Pennsylvania, AS, jarak di antara keduanya adalah sekitar 14 km dan bisa ditempuh selama 10 menit dengan mengendarai mobil. Namun, jika yang Anda maksud adalah kota Nazaret di Galilea, dan Anda menempuh perjalanan bersama istri Anda yang sedang hamil, seperti yang dilakukan Yusuf, jarak menuju Betlehem adalah sekitar 129 km. Bagi Yusuf dan Maria, perjalanan tersebut mungkin memakan waktu sekitar seminggu, dan mereka tidak tinggal di hotel yang bagus ketika mereka tiba di sana. Yang dapat ditemukan Yusuf hanyalah sebuah palungan dalam kandang, dan di tempat itulah Maria melahirkan “Anaknya yang sulung” (Luk. 2:7).

Akan tetapi, perjalanan yang ditempuh bayi Yesus lebih jauh dari 129 km. Dia meninggalkan tempat-Nya di surga, di sebelah kanan Allah, datang ke dunia, dan menjadi serupa dengan manusia seperti kita. Pada akhirnya, Dia direntangkan di kayu salib untuk mati dan dikuburkan di sebuah kubur pinjaman. Namun, perjalanan tersebut belum berakhir. Dia mengalahkan kematian, meninggalkan kubur, kembali hidup di antara manusia, lalu naik ke surga. Bahkan itu pun masih bukan akhir dari perjalanan-Nya. Suatu hari nanti, Dia akan kembali sebagai Raja segala raja dan Tuhan di atas segala tuan.

Ketika Anda melakukan perjalanan Natal pada bulan ini, renungkanlah perjalanan yang ditempuh Yesus bagi kita. Dia datang dari surga ke dunia untuk mati bagi kita, menyediakan keselamatan melalui kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Terpujilah Tuhan untuk perjalanan Natal yang pertama itu! —DCE

Saat Allah meninggalkan surga mulia
Dan datang turun ke dunia,
Dia mengambil rupa manusia,
Seorang Bayi yang sederhana. —D. De Haan

Yesus datang ke dunia bagi kita agar kita dapat pergi ke surga bersama-Nya.

Pengharapan Di Dalam Dia

Sabtu, 17 Desember 2011

Baca: Yesaya 53

Sesungguhnya seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan ia akan menamakan Dia Imanuel. —Yesaya 7:14

Suatu malam ketika kami berkendara pulang dari sebuah pesta Natal, kami sekeluarga melewati sebuah gedung gereja kecil yang terletak di antara tumpukan salju yang berkilauan. Dari kejauhan, saya dapat melihat dekorasi Natalnya. Untaian lampu putih membentuk suatu kata yang tertulis dalam huruf kapital: H-A-R-A-P-A-N. Tampilan dari huruf-huruf yang bersinar di tengah kegelapan tersebut mengingatkan saya bahwa Yesus adalah, dan selalu menjadi, harapan bagi umat manusia.

Sebelum Yesus lahir, orang-orang mengharapkan hadirnya Sang Mesias–– Pribadi yang akan menanggung dosa mereka dan menjadi perantara mereka dengan Allah (Yes. 53:12). Mereka mengharapkan Mesias untuk datang melalui seorang perawan yang akan melahirkan seorang anak laki-laki di Betlehem dan akan menamai-Nya Imanuel, yang artinya “Allah beserta kita” (7:14). Pada malam Yesus dilahirkan, harapan mereka terpenuhi (Luk. 2:1-14).

Meski sekarang kita tidak lagi menantikan kedatangan Yesus dalam rupa seorang bayi, Dia masih merupakan sumber pengharapan kita. Kini, kita menantikan kedatangan-Nya yang kedua (Mat. 24:30), kita mengharapkan rumah surgawi yang sedang dipersiapkan-Nya untuk kita (Yoh. 14:2), dan kita memimpikan hidup bersama Dia di kota Allah di surga (1 Tes. 4:16). Sebagai orang Kristen, kita dapat menyambut masa yang akan datang karena bayi yang dahulu ada di dalam palungan tersebut adalah, dan tetaplah, “Kristus Yesus, dasar pengharapan kita” (1 Tim. 1:1). —JBS

Dahulu kala, di malam itu
Saat lahirnya Sang Juruselamat,
Memberi janji harapan yang cemerlang:
Damai sejahtera di bumi dan perkenan Allah. –NN.

Kata kunci untuk Natal adalah “Imanuel”— Allah beserta kita!

Damai

Minggu, 4 Desember 2011

Baca: Kolose 1:19-29

Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah . . . , sekarang diperdamaikan- Nya. —Kolose 1:21-22

Pada masa hidup Adam dan Hawa, kedamaian sirna. Segera setelah memakan buah terlarang dan menyadari bahwa mereka telanjang, keduanya mulai saling menyalahkan (Kej. 3:12-13) dan mengawali timbulnya pertikaian di tengah planet Allah yang damai. Yang menyedihkan, semua keturunan mereka, termasuk kita, telah mengikuti teladan buruk mereka. Kita menyalahkan orang lain atas pilihan-pilihan kita yang buruk dan kita marah ketika tidak ada orang yang bersedia menanggung kesalahan tersebut. Menyalahkan orang lain atas ketidakbahagiaan yang kita alami dapat memecah belah keluarga, gereja, komunitas, dan bangsa kita. Kita tidak dapat menciptakan kedamaian karena kita terlalu sibuk mencari kambing hitam.

Natal adalah masa damai. Perjanjian Lama menceritakan bagaimana Allah mempunyai rencana untuk kedatangan Sang Raja Damai (Yes. 9:5). Yesus datang untuk memutuskan siklus dosa dan sikap saling menyalahkan dengan cara memperdamaikan kita dengan Allah “oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20). Alih-alih menyalahkan kita atas semua kesulitan yang kita akibatkan, Dia justru menanggung kesalahan kita semua. Sekarang Dia merekrut para pengikut yang, oleh karena telah menerima pengampunan-Nya, ingin supaya orang lain menerimanya juga.

Ketika kita menerima pengampunan dari Allah, kita kehilangan keengganan kita untuk mengampuni orang lain. Dan ketika kita hidup dalam damai dengan Allah, kita pun rindu untuk berdamai dengan sesama. Kita dapat memberi sekaligus menerima hadiah “damai” di masa Natal ini. —JAL

Di masa Natal kita merayakan
Kehadiran Sang Raja Damai;
Meski kini dunia kita penuh perselisihan,
Suatu hari Dia akan menghapuskan semua pertikaian. —Sper

Yesus menggantikan tempat kita untuk memberi kita damai-Nya.