Posts

Tak Selamanya Muda, Tak Selamanya Sehat

Oleh Jenni, Bandung

Amsal 20:29 bertuliskan, “Hiasan orang muda adalah kekuatannya, dan keindahan orangtua ialah uban.” Ayat ini benar adanya dan mengingatkan akan diriku yang masih remaja hingga pemudi. Masa itu memang luar biasa. Di sela kesibukanku bersekolah dan bekerja, tubuhku sanggup begadang dan makan makanan pedas sesukaku. Hampir setiap malam, hampir setiap hari. Akan tetapi segalanya punya batas, termasuk tubuhku.

Aku pun jatuh sakit, dan akhirnya setelah memperbaiki gaya hidup, sekarang aku bisa kembali sehat dan berkegiatan. Namun, melihat ke belakang, aku sadar bahwa menjaga kesehatan itu bukan sekadar supaya tidak sakit. Kali ini, dengan tuntunan Tuhan serta pengalamanku, aku ingin berbagi mengenai mengapa kita perlu menjaga dan merawat kesehatan.

1. Kesehatan adalah sebuah anugerah yang perlu kita pertanggungjawabkan

Usia muda-mudi adalah usia gemilang. Tubuh yang kuat, daya serap tinggi, dan organ tubuh beserta metabolisme yang ajaib, semuanya berfungsi dengan maksimal. Aku adalah salah satu pemudi yang merasakan hal yang sama. Akan tetapi berdasarkan pengalamanku, ada satu karakter orang muda yang bisa menjadi kelemahan, yaitu pengendalian diri.

Pada Mazmur 127:4 tertulis, “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.” Kemampuan dan kapasitas orang muda yang begitu besar bisa melakukan banyak hal. Namun, tanpa bimbingan dan pengendalian diri, kaum muda bisa jadi tidak terarah. Itulah yang aku abaikan saat remaja. Aku mengabaikan teguran dan peringatan orang tuaku untuk tidak bergadang dan makan sehat. Dan sebelum usiaku mencapai 25, penyakit asam lambung yang tidak terkontrol adalah buah yang aku tuai dari perbuatanku.

Kesehatan adalah anugerah yang kita dapat dengan cuma-cuma. Tapi, tidak selamanya kita sehat. Akan ada saatnya kita menuai apa yang kita konsumsi dan lakukan di masa muda. Karena itulah menjaga kesehatan adalah salah satu tanggung jawab. Namun, sebagai orang muda, ada kalanya kita tidak mampu mencari arah. Dengan emosi yang menggebu-gebu, sulit untuk mengendalikan diri. Karena itulah, selagi bimbingan itu ada untuk kita, yuk lebih dengar-dengaran dan memegang didikan itu.

2. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri

Dulu aku tidak mengerti bahwa menjaga kesehatan diri sendiri memiliki hubungan dengan orang lain. Kukira aku sehat itu untuk diri sendiri. Ternyata aku salah. Setelah jatuh sakit karena asam lambung, barulah aku paham.

Ternyata kalau kita sakit, orang sekeliling kita pun akan terdampak. Perhatian, waktu, dan tenaga mereka akan tercurah pada kita. Saat sakit asam lambung membuatku tidak bisa bekerja, mamaku tanpa mengeluh merawatku hingga sembuh. Karena kecerobohan dan kurangnya pengendalian diri, aku sakit dan mamaku terkena dampaknya.

Sejak saat itu aku sadar arti menjaga kesehatan untuk orang sekitar. Aku pun jadi berpikir lebih jauh mengenai penyakit yang bisa timbul dari pola hidup dan bisa diturunkan risikonya. Menjaga kesehatan manfaatnya tidak hanya buat diri kita sendiri, tapi juga buat orang sekitar kita dan masa depan. Dan, mudah-mudahan dengan tubuh yang kuat kita bisa melakukan rencana Tuhan dalam hidup kita.

3. Bagaikan talenta, dengan kesehatan kita bisa melakukan banyak perbuatan baik

Di Alkitab, Musa tercatat telah melakukan banyak sekali hal. Dari memimpin orang Israel keluar Mesir ke Tanah Kanaan, hingga menulis kitab-kitab di Perjanjian Lama. Bahkan Pada Kitab Ulangan 34:7 tertulis, “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang.” Betapa hebatnya perpaduan tubuh yang kuat dengan rencana Tuhan!

Baru-baru ini ada sebuah kejadian. Saat hendak pulang kerja ternyata ban motorku kempes. Aku jadi harus ke tukang tambal ban. Begitu ditambal, aku bisa pulang tanpa terhambat apa pun lagi. Begitu juga dengan sebuah perjalanan hidup. Saat sakit, kegiatan kita terbatas. Mungkin ruang lingkup perbuatan kita pun jadi tidak seluas saat masih sehat.

Untuk melakukan hal besar maupun yang terlihat kecil, kita memerlukan tubuh dan pikiran yang kuat dan sehat. Jasmani dan rohani yang sehat akan memperlengkapi kita dalam melakukan perbuatan baik, yang bisa Tuhan pakai untuk menyentuh hati seseorang dan berdampak berlipat ganda dalam kehidupannya.

***

Masa muda adalah pemberian Tuhan yang berharga. Di sana ada semangat yang menggebu-gebu, dan kekuatan fisik yang luar biasa. Bagian kita adalah mengelola dengan menjaga dan merawatnya. Dengan tubuh dan pikiran yang sehat, kita bisa melakukan dan menghasilkan hal baik dalam pimpinan Tuhan. Semoga sharing tadi bisa memberikan hal yang baik bagi teman-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Rasa Sakit Dihadirkan Tuhan untuk Diatasi, Bukan Diabaikan

Oleh Agustinus Ryanto

Jika ada penyesalan yang bisa diperbaiki ulang pada usia 20-an tahun, maka yang kuinginkan adalah mengubah kembali tabiat hidupku sejak awal-awal masa kuliah. Memang sampai hari ini usiaku masih muda, belum dekade tiga, tapi tubuhku sudah menunjukkan sinyal-sinyal yang perlu segera ditangani. 

Salah satu sinyal dari tubuhku yang kudeteksi adalah tahun lalu aku mengalami radang tenggorokan yang frekuensinya sering terjadi. Dalam satu bulan bisa dua hingga tiga kali. Diberi obat, sembuh, tapi kambuh lagi. Sampai akhirnya kuputuskan berobat ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Di sana, rongga hidung dan tenggorokanku diendoskopi. 

“Wah! Ini ada gigi busuk. Besar kemungkinan ini penyebabnya,” kata dokter itu sembari menunjukkan hasil endoskopi di layar. Pada tiga gigi graham yang rusak tersisa akar-akar gigi yang meruncing ke permukaan. 

“Aduh, dok. Tapi itu gigi sudah lama kok rusaknya,” dalihku yang seketika takut jika mendengar sesuatu yang berkaitan dengan dokter gigi.

“Justru itu masalahnya. Gigi yang rusak ini mungkin akarnya menekan saraf dan juga kumannya bikin infeksi,” tegas sang dokter. “Ini giginya harus dibenerin dulu. Operasi bedah mulut ya!” sambungnya lagi. 

Sesi singkat di ruang praktik itu menjadi awal dari ketakutan sekaligus gerbang dari pemulihan tubuhku dan bangkitnya kesadaranku akan pentingnya menanggapi sinyal-sinyal dari tubuh dengan cara yang tepat. 

Singkat cerita, operasi bedah mulut pun dilakukan satu minggu setelahnya. Dan hari ini, puji Tuhan, aku tidak pernah lagi mengalami radang tenggorokan.

Tangkap, tangani, jangan abaikan

Dalam sesi obrolanku dengan seorang konselor Kristen, aku pernah diberi tahu bahwa tubuh kita ini ibarat sistem komputer yang begitu detail. Ketika ada satu bagian atau sistem yang error, tubuh akan mengirimkan sinyal untuk ditangkap. Salah satu sinyal itu ialah rasa sakit. Seorang penulis Kristen dalam bukunya berjudul Where is God When it Hurts menulis begini: “Secara harfiah, sakit itu memang tidak enak. Rasa sakit itu mampu memaksa kita untuk menjauhkan tangan dari kompor yang panas. Namun, justru rasa sakit itulah yang sejatinya menghindarkan kita dari kehancuran. Hanya, kita cenderung untuk mengabaikan peringatan, kecuali jika peringatan itu amat memaksa.” 

Rasa “sakit” bisa beragam. Bisa jadi itu berupa radang tenggorokan sepertiku, atau mungkin nyeri pada bagian-bagian tertentu, atau…bisa juga sesederhana perasaan lelah letih yang tak kunjung segar. Bila ini terjadi, kita bisa mengevaluasi diri terlebih dulu. Apa yang sudah kulakukan? Bagaimana pola hidupku selama ini? Setelahnya, kita bisa mencari pertolongan yang tepat. Dalam hal ini tindakan medis bisa jadi cara yang logis dan bijak jika rasa sakit itu tidak pulih melalui obat atau perawatan biasa. 

Namun, peka dan bijak terhadap sinyal ‘sakit’ tak selalu mudah dilakukan. Kita kadang dihambat oleh rasa takut atau juga asumsi kita sendiri. “Ah, ini mah biasa.” Atau, sepertiku, ketika aku sudah tahu gigi yang rusak itu akan berefek pada kesehatan tubuhku, aku malah mengabaikannya dengan dalih takut menjumpai dokter gigi. Parahnya lagi, sejak SMA dulu aku memang menyikat gigi rutin, tapi malas kontrol ke dokter gigi. Akibatnya, lubang-lubang kecil yang seharusnya bisa ditangani tanpa rasa sakit, menjadi lubang besar yang membuat gigiku hancur. Pada akhirnya, aku harus membayar harga lebih mahal dan tindakan ekstra untuk menuju pemulihan (pasca operasi bedah gigi, aku sekarang menggunakan tiga buah gigi palsu untuk grahamku yang hilang).

Priscilla G, dalam artikelnya yang membahas tentang kematian Chester Bennington menuliskan demikian: mengabaikan rasa sakit terus-menerus adalah tindakan apatis yang tidak akan membawa kita kepada kesembuhan. Upaya ini ibarat menutupi botol air yang bocor dengan jari kita. Bocornya bisa saja berhenti, tapi lama-lama jari kita akan lelah dan bocor itu tidak akan pernah teratasi. 

Jika hari ini ada bagian-bagian dari tubuh kita yang terasa sakit tetapi terus kita abaikan, mungkin inilah saatnya untuk kita berhenti sejenak dan melakukan evaluasi. Setelahnya, dengan memohon tuntunan Roh Kudus kita dapat mencari pertolongan yang tepat dan berkomitmen untuk menghidupi hidup ini dengan bertanggung jawab. Kita tidak perlu menunggu momen harus terbaring lemah dulu di atas kasur untuk mengutarakan penyesalan atas pilihan kita yang kurang bijak. 

Jadi, hari ini adakah rasa sakit, entah fisik maupun mental yang kamu sedang alami?

Aku berdoa kiranya Tuhan menolongmu dan menuntunmu untuk mengambil pilihan yang bijaksana, yang akan mengantarmu pada pemulihan dan merawat tubuhmu dengan bertanggung jawab.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥