Posts

Surat untukmu Yang Sedang Berduka

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Untukmu yang berduka,

Aku ingat ketika ayahku meninggal dunia satu setengah tahun lalu. Rasa pedihnya masih bisa kurasakan hingga saat ini. Kehilangan orang yang kita kasihi, apalagi secara tiba-tiba, tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Hari demi hari berlalu, namun menanggung beban kesedihan tidak terasa lebih mudah. Rasanya seperti berjalan dalam lembah kelam yang penuh dengan duri. Hari depan seperti gelap gulita, sementara kaki kita terus menginjak duri demi duri. Berdarah, berlinang air mata. Beribu ragu dan pertanyaan berputar dalam kepala:

“Tuhan, di mana Engkau saat ini?”
“Tuhan, apakah Engkau mendengar tangisan kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau biarkan hal ini terjadi?”
“Tuhan, mengapa harus kami yang mengalami malapetaka ini?”
“Tuhan, benarkah Engkau mengasihi kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau seolah diam saja?”

Tapi, seperti jalan buntu, tidak ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Yang ada hanya keheningan yang panjang. Dan, tanpa kita sadari, air mata mengalir dan doa-doa tertahan dalam mulut kita. Dengan langkah gontai dan terpaksa, kita terus berjalan dalam lembah kelam yang penuh duri tanpa tahu kapan perjalanan ini akan berakhir.

Untukmu yang berduka,

Aku juga pernah berjalan di sana. Walau tentu lembah kelam kita berbeda, tapi aku pernah menikmati hidup bersama air mata. Perasaan kehilangan adalah perasaan terburuk yang kurasa tidak seharusnya dirasakan oleh siapapun di muka bumi. Namun, kejatuhan manusia, kejatuhan kita ke dalam dosa membuat kita harus mengalami kematian, perpisahan, kehilangan, kesedihan, dan air mata. Begitu mengerikan dosa itu, hingga karenanya, bukan hanya kita saja tetapi semua orang di seluruh dunia harus turut merasakan perasaan kehilangan dan duka. Begitu mengerikan dosa itu, hingga Allah harus mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus, mati di kayu salib untuk menebus dosa dan mengalahkan maut. Namun, karena kematian dan kebangkitan-Nya, kini kita punya harapan akan adanya suatu masa di mana tiada lagi duka dan air mata.

“Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah bagi mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu’” (Wahyu 21:3-4).

Untukmu yang berduka,

Lembah kekelaman ini memang masih harus kita jalani. Tapi aku ingat, pada satu titik dalam perjalanan di lembah kekelamanku, aku menyadari bahwa Tuhan ada di sisiku, Dia berjalan bersamaku. Pernah satu kali aku menangis dalam perjalanan pulang dari kantorku, dan hujan tiba-tiba turun. Aku merasa Tuhan seolah menangis bersamaku. Dalam butiran-butiran hujan itu, aku merasakan penghiburan dari-Nya. Aku seperti mendengar suara Tuhan lembut berkata, “Berdukalah, tapi ingatlah Aku turut berduka bersamamu. Menangislah, tapi ingatlah Aku ikut menangis bersamamu.” Dalam keheningan, Tuhan berjalan bersamaku, melewati lembah yang kelam dan berduri.

Ada sebuah lagu yang liriknya mengingatkanku akan penyertaan Tuhan:

Does Jesus care when I’ve said “good bye” to the dearest on earth to me,
And my sad heart aches, till it nearby breaks,
Is it ought to Him? Does He see?

O yes, He cares, I know He cares,
His heart is touched with my grief;
When the days are weary,
The long night dreary,
I know my Savior cares.

(Does Jesus Care, Frank E. Graeff (1860-1919))

Adakah Yesus peduli, ketika kuucapkan “selamat tinggal” kepada yang kukasihi di dunia,
Dan hatiku begitu terluka, hingga hampir hancur
Apakah itu berarti bagi-Nya? Apakah Ia melihatnya?
Oh ya, Ia peduli, aku tahu Ia peduli
Hati-Nya tersentuh oleh kesedihanku yang mendalam
Ketika siang terasa melelahkan, dan malam terasa suram
Aku tahu Juruselamatku peduli.

(Terjemahan bebas)

Untukmu yang berduka,

Perjalanan masih panjang. Kesedihan yang dalam masih harus kita hadapi. Tapi, Tuhan hadir dalam setiap tetesan air mata yang jatuh dan dalam tiap doa yang kita naikkan. Tiada tempat lain, hanya di dalam-Nya penghiburan yang sejati bisa kita temukan. Satu setengah tahun hidup bersama air mata mengajarkanku bahwa berjalan bersama-Nya adalah perjalanan terbaik, walaupun harus melewati lembah kelam yang berduri. Hanya Tuhanlah perlindungan dan kekuatan, kota benteng kita yang teguh. Di dalam Dia, kita takkan goyah.

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya” (Mazmur 46:2-4).

Kiranya Tuhan menyinari kita dengan wajahNya dan memberi kita kasih karunia.

Dariku, yang berduka untukmu.

Baca Juga:

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Sebagai orang Kristen, ada tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum memposting sesuatu di media sosial sebagai wujud respons kita terhadap suatu musibah.

Tuhan Mengubah Kesedihanku Menjadi Sukacita

Oleh Callie Opper, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When God Turned My Sorrow to Joy

Dalam kehidupan setiap orang, aku percaya ada sebuah masa di mana kita akan menyadari betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan Tuhan, dan juga betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang bisa saja mengalahkan kita. Masa-masa seperti ini pernah terjadi di hidupku saat aku berusia 14 tahun.

Waktu itu keluargaku menerima kabar buruk bahwa ibuku divonis menderita leukimia atau kanker darah. Berselang sebulan setelahnya, giliran ayahku yang divonis menderita kanker kelenjar getah bening. Sebagai seorang remaja berusia 14 tahun, aku tidak tahu harus merespons kabar buruk ini seperti apa, yang jelas kabar ini telah mengguncang duniaku. Dunia yang sebelumnya tampak sempurna bagiku, sekarang telah runtuh, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berpura-pura menjadi kuat, padahal hatiku terasa hancur. Aku harus kuat supaya aku bisa melalui semuanya ini, dan juga supaya Tuhan berkenan menyembuhkan kedua orangtuaku.

Sebagai seorang anak yang tumbuh besar di lingkungan Kristen, sudah berkali-kali aku mendengar bahwa ketika hidup menjadi sulit, kita harus mempercayai Tuhan. Ketika tragedi terjadi, kita harus kuat karena Tuhan ada di sisi kita. Tetapi, ketika badai hidup menerpa hidupku, tidak serta merta aku mempercayai rencana Tuhan. Malah, aku sempat berpikir jika Tuhan mungkin saja menyerah kepadaku karena keraguanku. Aku telah menerima Kristus saat berusia 9 tahun dan mengucapkan doa-doa yang aku pahami artinya. Akan tetapi, aku tidak mengerti bagaimana sesungguhnya mengikut Yesus.

Karena kesedihan ini, sekalipun di sekelilingku ada banyak orang yang mengasihiku, aku mendapati diriku merasa kesepian. Aku membiarkan perasaan ini berakar dan membuatku jadi tidak percaya diri; aku mulai meragukan apakah Tuhan memang benar-benar hadir di dalam hidupku karena Dia tidak menyembuhkan ibuku. Dan karena aku merindukan perhatian dari orang lain, aku membiarkan dunia menentukan siapa diriku. Di dalam hati, aku melarikan diri dari seorang Pribadi yang berjanji tidak pernah meninggalkanku; aku menutup hati dan pikiranku dari Tuhan.

Setelah lebih dari setahun sejak ibuku divonis kanker, beliau pun meninggal dunia. Aku harus berusaha untuk menjalani kehidupan yang baru—sebuah kehidupan tanpa kehadiran sosok Ibu. Di luar, aku berusaha menunjukkan bahwa aku percaya sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi jauh di dalam diriku, aku merasa bingung dan kehilangan. Aku terus bertanya mengapa, dan menjadi semakin pahit ketika aku melihat ayahku jatuh cinta dengan orang lain dan kami pindah meninggalkan rumah yang telah kutempati sejak aku masih kecil.

Namun, di tengah-tengah masa kelam itu, sesungguhnya Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Tuhan terus mengejarku dan perlahan menghancurkan benteng kepahitan yang mengelilingi hatiku.

Beberapa lama berselang setelah kematian ibuku, aku mendaftarkan diriku dalam sebuah program mission trip ke Tiongkok. Sebenarnya, alasanku mengikuti mission trip ini sangat egois—aku ingin melarikan diri dari segala tragedi yang menyelubungi diriku dan keluargaku.

Namun, rencanaku yang semula berubah dengan cepat; Tuhan punya rencana untuk menunjukkan betapa egoisnya diriku dan Dia ingin memulihkanku. Suatu ketika, di atas gunung di Tiongkok, Dia menggunakan tempat yang terpencil untuk menyadarkanku akan betapa beratnya sakit yang kurasakan, pemberontakanku terhadap-Nya, dan Dia juga menyatakan kondisi hatiku yang sesungguhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendapati diriku begitu lemah di hadapan-Nya. Dia menegurku melalui sebuah ayat: “Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2 Korintus 7:4). Ketika motivasiku pergi ke Tiongkok adalah untuk melarikan diri, Tuhan malah membawaku ke sebuah tempat yang tenang untuk duduk di hadirat-Nya dan mengalami perubahan hidup.

Aku tidak tahu seperti apakah sukacita yang sejati itu, tetapi saat itu aku tahu bahwa aku membutuhkannya. Aku memohon pada Tuhan supaya Dia memberiku sukacita, supaya aku percaya akan rencana-Nya, jalan-Nya, dan cerita yang Dia tuliskan untukku sepenuh hatiku.

Selama beberapa tahun berikutnya, Tuhan membentuk hatiku untuk mengungkapkan emosi yang tidak ingin kuhadapi, kesedihan yang belum terselesaikan, dan kebohongan yang kupercaya tentang Tuhan dan diriku sendiri.

Tuhan menunjukkanku bahwa sukacita bukanlah kebahagiaan yang bersifat sementara, melainkan sebuah kepuasan yang mendalam akan rencana Tuhan, yang kita tahu adalah untuk kebaikan kita dan tujuan-Nya. Sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu bangun dengan senyuman setiap harinya; sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu riang gembira di tengah badai kehidupan. Sukacita adalah sebuah keputusan untuk melihat tujuan Allah ketika segala sesuatunya runtuh. Sukacita adalah pilihan setiap hari, sekalipun ada hal-hal yang membuat air mata menetes.

Tuhan mengajariku bahwa menjadi seorang yang lemah adalah jauh lebih baik daripada berpura-pura kuat. Kelemahan kita menunjukkan bahwa sesungguhnya kita butuh bergantung pada Tuhan. Tuhan mengajariku bahwa it’s okay to be not okay—tidak masalah untuk jujur apabila kita memang tidak sedang baik-baik saja. Tuhan menyambut setiap keraguan kita dan mengundang kita untuk bersama-sama bergumul dengan-Nya di saat kita tidak mengerti apa yang Dia sedang kerjakan.

Hal yang indah yang kupelajari tentang Tuhan adalah Dia tidak pernah menyerah terhadap kita. Dia tidak pernah berhenti mengejar kita tak peduli sebagaimanapun usaha kita untuk melarikan diri. Dia akan pergi ke tempat terdalam dan tergelap di hati kita untuk membuktikan bahwa Dia adalah Tuhan yang baik.

Aku telah menyaksikan bahwa Tuhan telah mengubah hal yang buruk menjadi baik. Dia telah menghapuskan kepahitan yang kupegang selama bertahun-tahun dengan cara memberikan orang-orang yang mau menolongku. Dia menggunakan kematian ibuku sebagai cara untuk menunjukkan realita bahwa hidup ini begitu singkat. Dia mengajariku bahwa aku harus menghargai orang lain dan menghargai setiap detik. Dia telah menunjukkanku betapa pentingnya untuk mencintai dan menjalani hidup dengan baik karena hubungan dengan orang lain begitu berharga.

Tuhan telah begitu setia dalam perjalanan hidupku. Dia telah menunjukkan banyak hal kepadaku melalui kematian ibuku. Dia memberiku sukacita yang utuh dan mengajariku untuk menerima kelemahanku, dan memandang hanya kepada-Nya saja. Dia mengajariku untuk menerima dukacita. Dia telah menunjukkan kepadaku bahwa bersembunyi dan melarikan diri dari badai yang Dia izinkan terjadi adalah sebuah perbuatan yang sia-sia.

Aku percaya bahwa Tuhan memiliki cerita yang unik untuk setiap orang. Dia memberikan yang terbaik untuk hidup kita dan mengubah rasa sakit yang kita alami menjadi sebuah kebaikan yang jauh lebih indah daripada yang dapat kita bayangkan. Hidup adalah sebuah pemberian, dan kisah hidup kita, tak peduli seperti apapun kisahnya adalah gambaran dari Injil. Cerita hidup kita adalah tentang Dia dan kemuliaan-Nya.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3:17-19).

Baca Juga:

Nyaris Mati Karena Bunuh Diri, Namun Tuhan Memberiku Kesempatan Kedua

Obat-obatan dan pecahan kaca, air mata dan darah, ketakutan dan putus asa. Itulah gambaran dari malam yang paling kelam dalam hidupku di mana aku memutuskan bunuh diri. Namun, usahaku itu gagal dan Tuhan menyadarkanku akan betapa salahnya cara pikirku.