Posts

Ketika Metode Bertemu Realita: Bagaimana Melakukan Disiplin Rohani

Oleh Jefferson

Dalam artikelku sebelumnya, aku telah membagikan kepadamu apa yang kupelajari selama 10 tahun terakhir tentang disiplin rohani: kaitannya dengan “kesalehan”, bagaimana definisi “kesalehan” menurut Kekristenan jauh berbeda dengan yang dunia pahami, serta berbagai bentuk praktik disiplin rohani menurut Firman Tuhan.

Melanjutkan pembahasan di atas, tulisan ini akan menjelaskan tiga prinsip yang menolong kita untuk mempraktikkan disiplin rohani dalam kesalehan Kristiani, sebelum mengarahkan kita kepada satu janji Allah yang menopang kita untuk terus melatih diri kita “untuk hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7b).

“Bagaimanakah seharusnya melakukan disiplin rohani?”

Inilah prinsip pelaksanaan disiplin rohani pertama dariku: kita “berlatih dalam kesalehan” lewat disiplin-disiplin rohani dalam Alkitab agar dapat semakin mengenal, mengasihi, dan menyerupai Kristus. Seperti yang telah dijelaskan dalam jawaban untuk pertanyaan pertama di artikel sebelumnya, sasaran inilah yang harus menjadi fokus kita, bukan praktik disiplin rohani itu sendiri. Kalau kita berfokus pada praktik dan kesalehan moral semata, antara kita akan larut dalam kegagalan berdisiplin karena natur dosa kita atau akan bermegah di luar Allah karena “kesuksesan” kita berdisiplin rohani. Jelas keduanya bukan hasil yang kita inginkan, apalagi Tuhan! Oleh karena itu, “berlari[lah] dengan tekun pada perlombaan yang disediakan di hadapan kita” dengan mata yang “tertuju pada Yesus, Sang Pencipta dan Penyempurna iman kita” (Ibr. 12:1–2).

Prinsip kedua kurumuskan berdasarkan satu kata kunci dalam ayat yang kukutip dalam pembuka tulisan ini, “latihlah dirimu untuk hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7b). Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “latihlah” adalah gymnaze. Terdengar familiar? Betul, ini adalah akar kata dari gymnasium, yang selama pandemi COVID-19 mungkin pindah ke ruang tamu atau kamar tidurmu dalam rangka menjaga kebugaran tatkala tidak bisa keluar rumah. Paulus memakai analogi perlombaan untuk menjelaskan proses pertumbuhan rohani dan kesalehan dalam beberapa suratnya karena analogi ini memang tepat: atlet-atlet berlatih menguasai diri dengan keras untuk mengejar mahkota kemenangan yang fana, tetapi pengikut-pengikut Kristus berlari untuk mendapatkan mahkota yang abadi (1 Kor. 9:25). Lebih lagi, dalam arena kehidupan di mana semua orang berlari menurut jalan pilihan masing-masing, hanya sedikit yang akan menemukan gerbang sempit yang menuju kepada kehidupan (Mat. 7:14, bdk. 1 Kor. 9:24), jadi kita perlu mempraktikkan disiplin rohani hari demi hari dengan intensional dan disiplin (1 Kor. 9:27). Berdisiplin rohani tanpa disiplin pada dasarnya adalah seperti berlari tanpa tujuan dan meninju angin (1 Kor. 9:26); kita tidak akan pernah mencapai sasaran daripada disiplin rohani, yaitu keserupaan dengan Kristus.

Terakhir, kita perlu melakukan disiplin rohani baik secara pribadi maupun secara komunal bersama saudara-saudari seiman. Senada dengan dorongan Paulus kepada Timotius untuk tidak hanya bertekun dalam Firman tetapi juga mengajarkannya kepada jemaat Efesus (1 Tim. 4:6–7), penulis surat Ibrani mendorong kita untuk “saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (10:24 TB). Bagaimana caranya? Lewat persekutuan dan pertemuan ibadah, di mana kita “saling menguatkan, terlebih lagi karena kamu tahu bahwa Hari Tuhan sudah semakin dekat” (Ibr. 10:25). Ya, karena kedatangan Tuhan Yesus yang kedua pasti segera terjadi, marilah kita semakin giat bertemu dan bersekutu dengan-Nya, baik secara pribadi maupun dengan orang-orang percaya lainnya.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas saudara-saudari yang Ia telah tempatkan dalam hidupku untuk bersama-sama berdisiplin rohani. Lewat berbagai sharing dan diskusi, rencana baca Alkitab dan saat teduh tahunan yang biasanya kujalani sendiri jadi lebih berwarna dan berbobot. Melanjutkan analogi perlombaan, kehadiran rekan-rekan yang berlatih bersama kita pastinya akan meningkatkan semangat dan memperluas pemahaman kita sendiri.

Itulah ketiga prinsip yang kupelajari dan terapkan dalam sepuluh tahun terakhir. Di atas kertas kelihatannya mudah, namun ada kenyataan yang perlu kita sadari dan ingat agar dalam “berlatih dalam kesalehan” kita tidak menjadi tawar hati (bdk. 2 Kor. 4:16).

“Bukan sekarang, tapi 60 tahun lagi”

Kata-kata itu keluar dari mulut kakak pembina di persekutuan kampusku dulu dalam perjalanan kami kembali ke kantor masing-masing sehabis makan siang. Pertemuan ini kami adakan setelah sekitar 2 tahun tidak bertemu satu sama lain karena kesibukan kami masing-masing.

Aku sedang bersiap-siap turun di stasiun MRT berikutnya ketika beliau berkata kepadaku dengan setengah bercanda, “Jangan lupa keep in touch ya, jangan sampai ketika aku ketemu kamu lagi, kamu malah sudah punya anak.”

“Tenang saja Kak, aku akan kabari kalau sudah punya pasangan,” jawabku geli.

“Ya, ya,” balasnya. Ada keheningan selama beberapa detik sebelum beliau melanjutkan begini, “Ingat ya Jeff, aku tidak akan menilai kamu berdasarkan siapa kamu sekarang, tetapi siapa kamu 60 tahun lagi, itu yang menentukan.”

Kebingungan menerima kata-kata tersebut, aku bertanya, “Maksudnya gimana, Kak?”

“Iya, kerohanianmu dan semangatmu melayani saat ini mungkin baik, tapi siapa yang tahu hubunganmu dengan Tuhan 60 tahun lagi, apakah masih baik atau tidak? Di tengah dunia yang berdosa, kita hanya bisa berharap kepada Tuhan bahwa Dia akan terus menjaga iman kita sampai akhir.”

Bersamaan dengan balasan beliau, aku pun tiba di tempat tujuan. Setelah bertukar “Sampai jumpa” dengan kakak pembinaku, aku bergegas turun dari kereta. Sambil berjalan kembali ke kantor, aku larut dalam perenungan, memikirkan kata-katanya.

Perihal pembahasan kita dalam dua tulisan ke belakang, kurasa kata-kata kakak pembinaku sangatlah tepat. Berdisiplin rohani untuk hidup dalam kesalehan, dalam keserupaan dengan Yesus Kristus, terdengar mudah ketika dibaca di atas gadget. Namun pengalaman mengajarkanku bahwa disiplin dan kesetiaan kepada Tuhan tidak mungkin dilakukan secara konsisten oleh usaha manusia semata, apalagi di tengah-tengah dunia yang berdosa dan membenci Tuhan yang kita sembah (Yoh. 15:18). Berbagai perlawanan akan kita hadapi dalam mempraktikkan disiplin rohani, baik dari dalam diri kita sendiri (e.g. keengganan kita membaca Alkitab yang begitu tebal) maupun dari luar (e.g. daya tarik Netflix ketika kita seharusnya doa malam, sindiran teman ketika kita memilih untuk menghadiri persekutuan doa gereja ketimbang pergi hang out bersama mereka). Kata-kata tekad mudah diucapkan, tapi apakah kata-kata itu akan dipegang atau tidak sampai kita bertemu dengan Tuhan Yesus muka dengan muka, semuanya hanya bergantung pada kasih karunia Allah yang menyelamatkan dan memampukan (1 Tim. 4:10).

Oleh karena itu, aku ingin mengarahkanmu kepada Filipi 1:6 yang memberikan kita pengharapan bahwa bukan kita yang memampukan diri kita untuk berdisiplin rohani untuk menjadi serupa Tuhan Yesus, melainkan Allah sendiri:

Aku sungguh yakin bahwa Ia yang telah memulai pekerjaan baik di antara kamu, Ia juga yang akan menyempurnakannya sampai hari Yesus Kristus.

Akhir kata, kejarlah Kristus, kejarlah Dia dengan penuh disiplin dan bersemangat, kejarlah Dia bersama saudara-saudari seiman lainnya hingga bertemu dengan-Nya muka dengan muka di akhir kehidupan kita di dunia ini.

Tuhan Yesus menyertai kamu dalam latihan “untuk hidup dalam kesalehan”, soli Deo Gloria.

Pertanyaan refleksi

  1. Bagaimanakah kamu berdisiplin rohani selama ini? dengan mata tertuju pada usaha sendiri atau pada Tuhan Yesus (Ibr. 12:2)?
  2. Bagaimanakah kamu berdisiplin rohani selama ini? seperti berlari tanpa tujuan dan meninju angin, atau “melatih tubuh[mu] dengan keras dan menguasainya” (1 Kor. 9:27)?
  3. Bagaimanakah kamu dapat mulai berdisiplin rohani bersama dengan orang-orang percaya lainnya?

Catatan:
kecuali bagian-bagian yang memiliki singkatan TB / ESV, kutipan-kutipan Alkitab dalam tulisan ini memakai terjemahan Alkitab Yang Terbuka (AYT).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Disiplin Rohani: Perlukah Menjadi Orang Saleh di Abad Ke-21?

Disiplin rohani dan kesalehan, kita mungkin tidak asing dengan dua istilah ini, tapi sejauh mana kita memahami keduanya sebagai sebuah cara hidup orang Kristen? Yuk temukan jawabannya di artikel pertama dari #SeriDisiplinRohani ini.

Apakah Aku Orang Kristen yang Baik?

Hari ke-15 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 3:4-6

3:4 Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi:

3:5 disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi,

3:6 tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.

Apa yang menjadikan kita orang Kristen yang baik? Coba kita pikirkan.

Di mata teman-teman, saudara, dan rekan kerja yang non-Kristen, apakah orang Kristen yang baik itu berarti bersikap manis kepada semua orang, tak pernah mengumpat? Apakah ditentukan oleh jargon Kristen yang kita gunakan, atau oleh keluarga Kristen tempat kita berasal? Tidak pernah absen datang ke gereja, pelayanan yang kita kerjakan, ayat-ayat yang kita tulis di media sosial? Apakah ketentuan-ketentuan itu juga kita berlakukan kepada orang-orang Kristen sekitar kita dan menjadi tolok ukur siapa yang “lebih suci”?

Kalau boleh jujur, aku mungkin menilai diriku 8 dari 10 dalam hal “Menjadi Orang Kristen yang Baik”. Pasalnya, aku berlaku layaknya “orang Kristen” pada umumnya: pergi ke sekolah Minggu sewaktu kecil dan bersekolah di sekolah Kristen; kebaktian di gereja dan ikut pendalaman Alkitab secara teratur; berdoa dan membaca Alkitab hampir setiap hari. Aku sudah dibaptis, rutin memberi perpuluhan, dan ikut Perjamuan Kudus. Aku bahkan menulis untuk website Kristen.

Namun, Paulus memperingatkan kita untuk tidak mengandalkan perbuatan lahiriah kita sendiri (Filipi 3:3). Lagipula, jika ada yang memiliki bukti-bukti kesalehan lahiriah yang bermutu, Pauluslah orangnya. Dalam ayat 4-6, ia memaparkan semua alasan yang dapat dibanggakan tentang dirinya.

Paulus mendapat hak istimewa sejak lahir, ia pun banyak berprestasi. Ia disunat oleh orangtuanya pada hari kedelapan sesuai dengan perjanjian Abraham (Kejadian 16:11-12). Ia orang Israel—orang Yahudi asli—dari suku Benyamin, satu-satunya suku yang tetap setia kepada Yehuda dan Daud. Ia adalah orang Ibrani yang paling murni di antara orang Ibrani lain karena dibesarkan dengan adat Yahudi. Selain itu, ia juga berbicara dan belajar bahasa Ibrani.

Paulus juga seorang Farisi, golongan agamawan ortodoks yang mengikuti seluruh aturan Yahudi dengan ketat. Ia sangat menekuni agama Yahudi tradisional hingga menghukum mati orang-orang Kristen. Ia jugalah yang menyetujui pembunuhan Stefanus (Kisah Para Rasul 7:58). Paulus tak pernah melanggar hukum, malah menekuni semua hukum Taurat sesuai tafsiran orang Farisi. Seandainya Paulus adalah orang Kristen, ia patut mendapat nilai di atas 10.

Meski demikian, Paulus tidak menaruh kepercayaannya pada hal-hal tersebut. Sebaliknya, ia menganggap semua itu sebagai “rugi” dan “sampah” dibandingkan “pengenalan akan Yesus Kristus” (Filipi 3:8).

Itulah yang Paulus ajarkan kepada kita. Artinya, kita tak boleh mengandalkan “CV Orang Kristen” yaitu perbuatan-perbuatan baik. Bukan berarti semua yang kita miliki dan kita kerjakan percuma saja—semuanya berarti. Namun, hal-hal itu tidak menyelamatkan kita atau membuat kita benar di hadapan Allah. Seluruh perbuatan baik kita adalah perwujudan kepercayaan kita kepada-Nya.

Pada akhirnya, yang membenarkan kita bukanlah kehadiran dii gereja atau banyaknya tafsiran Alkitab yang sudah kita baca, melainkan pengorbanan sempurna yang telah Yesus lakukan. Dia menanggung dosa kita agar Allah dapat menghapus semua dosa kita (Roma 3:23-25). Hanya oleh darah-Nyalah kita diampuni dan diterima oleh Allah.

Jadi, alih-alih mengukur kesalehan orang Kristen lain dan diri sendiri layaknya orang Farisi, aku belajar bahwa kepercayaan diriku—serta identitas, hak, dan posisiku di hadapan Allah—sepenuhnya terletak dalam pengenalan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Perbuatan semata tidak ada nilainya. Yesuslah yang memberiku nilai sempurna dengan anugerah-Nya. Kita dibenarkan oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan iman kepada Kristus. Itulah yang menjadikan kita orang Kristen yang baik.—Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Vivi Lio

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal apa saja kamu menaruh kepercayaanmu pada perbuatan lahiriah dan bukan pada tangan Tuhan?

2. Dalam hal apa saja kamu secara tidak sadar mengganggap dirimu lebih baik daripada orang Kristen lainnya?

3. Ambillah waktu untuk mendoakan semuanya itu dan meminta pertolongan Tuhan agar kamu memiliki cara pandang yang benar.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Hari yang sempurna menurut Wendy adalah menyantap peanut buter, hiking, naik sepeda, atau saat teduh bersama Tuhan. Sebagai seoang penulis, Wendy berharap tiap tulisannya jadi alat untuk memuliakan Tuhan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Latihan Beribadah

Rabu, 4 Januari 2012

Baca: 1 Timotius 4:6-11

Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal. —1 Timotius 4:8

Tahun Baru sering kali merupakan waktu dimana kita menetapkan hati untuk memperhatikan diri kita dengan lebih baik— dengan berolah raga, makan makanan yang sehat, dan mungkin mengurangi berat badan yang bertambah selama masa liburan. Paulus mengatakan, “Latihan badani terbatas gunanya” (1 Tim. 4:8), jadi saya berusaha keras untuk tetap fit semampu saya. Saya coba makan makanan yang sehat, walaupun saya sangat suka ayam goreng. Saya berlatih angkat beban dan berjalan kaki, tetapi saya tahu bahwa tubuh saya tidak bertahan selamanya di dunia ini. Kekuatannya mulai memudar.

Lebih baik memusatkan perhatian pada ibadah karena ibadah mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang (ay.8). Hal ini tidak seperti ungkapan yang mengatakan, kita tidak dapat membawa apa pun saat kita meninggal kelak. Ibadah mungkin terdengar membosankan, menakutkan, dan tidak mungkin dapat dicapai, tetapi intisari dari ibadah hanyalah kasih yang memberi diri, yakni lebih mempedulikan orang lain daripada mengutamakan diri sendiri. Sikap kasih seperti ini sulit untuk dicapai, tetapi itu akan bertumbuh di tengah kehadiran kasih. Kita bertumbuh semakin mengasihi dan semakin indah dengan duduk di kaki Yesus, mendengarkan-Nya, menyatakan segala hal kepada-Nya—bertumbuh semakin serupa dengan Pribadi yang adalah kasih itu sendiri (1 Yoh. 4:8).

Menurut saya, hidup adalah suatu perjalanan menuju kasih, dan tidak ada yang lebih indah daripada jiwa yang setia. Tidak diragukan lagi, latihan badani memang baik, tetapi ada yang jauh lebih baik, yaitu sikap mengasihi. —DHR

Bisa mengasihi-Nya adalah kerinduan jiwaku—
Mengasihi-Nya dengan segenap akal budi, kekuatan dan hatiku,
Mencari dan memilih kehendak-Nya dalam penyerahan diri,
Dan dengan sukacita yang hanya dicurahkan oleh-Nya. —NN.

Kasih adalah wujud dari ibadah.