Posts

Digitalkan Kabar Baikmu!

Oleh Cornelius Ferian Ardiano, Jakarta

Halo kawan,

Tahukah kamu tentang penyakit kanker? Kupikir semua orang tahu dengan salah satu penyakit paling mematikan ini. Sampai sekarang pun, belum ada obat kanker yang dapat 100% memulihkan semua orang yang terjangkit olehnya. Aku ingin mengajakmu membayangkan, jika semisal kita terkena penyakit tersebut dan kita sembuh total karena diberi “obat mujarab” oleh kerabat terdekat kita, dan kita sembuh total, menurutmu bagaimana perasaan kita? Tentu kita akan sangat bersukacita, dan besar kemungkinannya kita akan menceritakan pengalaman yang luar biasa ini ke kerabat-kerabat kita supaya mereka juga mendengar kabar baik tentang obat yang bisa menyembuhkan.

Berangkat dari ilustrasi di atas, aku ingin mengajakmu untuk merenungkan kembali sebuah ayat.

“Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).

Ayat tersebut bukanlah ayat yang asing buat kita.

Perintah Yesus untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya sering kita dengar sebagai Amanat Agung. Seperti yang kita pahami bersama, setelah Yesus terangkat ke surga, murid-murid-Nya pergi ke segala penjuru dunia untuk mengabarkan Injil supaya setiap orang yang bahkan belum mendengar nama Kristus juga boleh menerima keselamatan. Menurutmu, apa sih yang membuat murid-murid Yesus bergairah untuk mewartakan Kabar Baik? Kita yang hidup di masa sekarang ini dapat mengenal Yesus pun karena pekerjaan murid-murid-Nya.

Murid-murid Yesus sangat mengenal pribadi-Nya. Pada zaman Yesus, kata murid yang dimaksud tidaklah seperti murid yang hadir di sekolah masa kini. Seorang murid pada waktu itu harus mengikut dan meniru gurunya. Mereka juga harus mengingat apa yang guru mereka sabdakan. Murid-murid Yesus bukanlah orang yang suci, akan tetapi karena pengenalan mereka kepada Kristus dan pengorbanan-Nya, mereka mengalami perubahan hidup yang signifikan dan hidup mereka pun berdampak. Mereka telah melihat sendiri mukjizat-mukjizat yang Yesus kerjakan selama di bumi, yang bagi orang lain mustahil untuk dikerjakan. Dan, mereka pun melihat bahwa pengorbanan Yesus memberikan obat yang paling mujarab untuk manusia, yakni pemulihan dari dosa dan jaminan akan kehidupan yang kekal.

Kembali ke ilustrasi yang kutuliskan di atas, ketika kita berada di posisi di mana sakit keras menimpa kita dan kita mendapatkan obat mujarab, tentu kita akan bergairah mewartakan kepada orang-orang akan obat itu. Kita punya tujuan agar orang-orang yang sakit itu pun bisa mengalami kesembuhan seperti kita.

Di masa sekarang ini, ada banyak banget loh cara-cara untuk mewartakan Kabar Baik. Salah satunya adalah lewat menulis di akun media sosial atau blog pribadi.

Aku mengalami lahir baru pada tahun 2014, ketika aku masuk di awal perkuliahan. Dulu, aku merasa hidupku baik-baik saja sampai aku sadar bahwa sebenarnya hidupku sangat jauh dari Kristus. Ketika aku dipulihkan dalam acara retreat, aku diminta untuk menuliskan kesaksianku di blog pelayanan mahasiswa dulu. Pada tahun 2016, Tuhan mengizinkanku untuk melakukan mission trip ke Kendari. Suatu waktu di sana, aku bertemu dengan seorang adik yang orang tuanya berbeda agama dan dia bingung untuk menetapkan ke mana dia mau menambatkan imannya. Saat aku mulai mewartakan Injil, adik ini pun bertanya, apakah benar aku yang menulis kesaksian mengenai lahir baru? Dia pun menunjukkanku website yang di dalamnya terdapat tulisanku. Aku diam seketika, aku sangat bersyukur bahwa yang kukira menulis kesaksian adalah hal percuma, ternyata itu bisa dipakai Tuhan untuk menjamah orang yang tidak pernah kupikirkan sekalipun.

Kawanku, apa yang kualami itu sungguh terjadi. Jika kamu merasa hidupmu sudah dipulihkan, banyak loh teman-teman kita yang mungkin terlihat baik, tetapi sebenarnya mereka sedang mencari-cari kebenaran.

Terlepas dari banyaknya konten negatif di Internet, kita bisa memeranginya dengan mewartakan Kabar Baik. Aku pribadi terus percaya bahwa tulisan-tulisan yang kita posting akan sangat berarti bagi mereka yang haus dan lapar akan pengenalan kepada Tuhan.

“Tetapi, bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengarkan tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?” (Roma 10:14).

Ayo kita budayakan menulis untuk tujuan yang kekal. Teruslah berkarya lewat tulisan sebagai salah satu caramu melaksanakan Amanat Agung. Digitalkan Kabar Baikmu!

Baca Juga:

Apakah yang Kupercayai Sungguh Membuatku Berbeda?

Panggilan kita sejatinya begitu jelas: Orang Kristen harus berbeda karena apa yang kita percayai. Alkitab memanggil kita untuk menjadi pelita dan garam dunia (Matius 5:13-16). Jadi, tentu hidup kita dipanggil untuk membuat perbedaan yang mendasar dan kekal. Tapi, bagaimana?

Saat Aku Tidak Punya Kesaksian Hidup yang Mengesankan

Oleh Jean, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 没有“完美”的见证 ,我怎么知道自己得救了呢?(有声中文)
Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Aku lahir di keluarga Kristen. Sejak kecil aku sudah mengikuti sekolah Minggu, kebaktian, bahkan kelompok sel dalam keluarga.

Selama aku di gereja, aku sering mendengar cerita-cerita mengesankan tentang perjumpaan pribadi seseorang dengan Tuhan. Ada orang yang disembuhkan dari penyakit mereka. Ada orang yang mendengar suara Tuhan ketika mereka diundang beribadah di gereja. Ada juga orang yang dipenuhi Roh Kudus, dan setelah menerima Kristus, hidup mereka diubahkan sedemikian rupa.

Kesaksian-kesaksian seperti itu membuatku kagum. Aku jadi yakin kalau saja seandainya aku punya kesaksian yang mengesankan seperti itu, aku pasti bisa membawa lebih banyak orang kepada Kristus.

Aku percaya bahwa Yesus mati untuk menebus dosa-dosaku dan Dia bangkit di hari ketiga. Tapi, aku juga percaya akan hal lain. Aku pernah diberitahu bahwa salah satu tanda seseorang telah diselamatkan adalah mereka punya kesaksian yang mengubahkan hidup. Aku jadi yakin bahwa orang-orang Kristen yang sejati hanyalah orang-orang percaya yang memiliki kesaksian yang menarik. Tapi, keyakinan ini jadi sangat menggangguku karena aku sendiri tidak punya kesaksian yang dramatis. Apakah aku benar-benar sudah diselamatkan?

Sementara aku bergumul dengan pertanyaan itu, aku terus melayani dengan aktif di gereja, membaca Alkitab, dan berdoa setiap hari. Selama masa itu, Tuhan dengan setia berbicara kepadaku melalui khotbah-khotbah, firman-Nya, dan orang-orang di sekitarku. Meski begitu, aku masih mempertanyakan keselamatanku.

Dalam pengejaranku untuk memperoleh kesaksian yang “sempurna”, aku memutuskan untuk menjauhi Tuhan secara sengaja. Aku berhenti membaca Alkitab dan berdoa. Aku juga mencoba untuk mengurangi pelayananku di gereja. Kupikir dari cara-cara itu nantinya aku akan memiliki kisah tentang bagaimana aku “menjauh” dari Tuhan dan akhirnya kembali lagi. Dan, kupikir cerita itu akan jadi kesaksian yang bagus untuk dibagikan.

Tapi, hatiku tidak merasa damai saat aku menjalani rencanaku itu. Waktu aku ingin berdoa, aku malah jadi merasa takut. Hingga suatu hari, aku memutuskan bahwa inilah waktunya untuk “bertobat”, dan aku mulai membaca Alkitab dan berdoa lagi.

Dalam hatiku, aku merasa cukup puas karena akhirnya aku memiliki kesaksian yang terlihat “sempurna”. Tapi, tiap kali aku berpikir untuk membagikan “kesaksian” ini, hatiku tidak damai—karena aku tahu kalau aku membuat-buat cerita itu. Setiap kali aku membagikannya, aku selalu merasa bersalah.

Akhirnya, saat aku berumur 16 tahun, aku menyadari betapa bodohnya aku setelah aku membaca sebuah artikel yang dibagikan temanku di Facebook. Artikel itu ditulis untuk mereka yang tumbuh besar di keluarga Kristen.

Artikel itu dimulai dengan cerita seorang perempuan yang merasa frustrasi karena dia tidak memiliki kesaksian hidup yang terlihat “sempurna”. Dia bertanya pada ibunya apakah dia tidak “cukup menjauh dari Tuhan”, hingga Tuhan tidak memberikannya kesaksian hidup yang bagus? Cerita ini menyentakku. Bukankah perempuan ini sepertiku?

Aku merefleksikan artikel ini dengan diriku, dan inilah yang kemudian mengingatkanku bahwa Tuhan memberikan setiap kita kisah hidup yang berbeda-beda. Aku mungkin tidak memiliki kesaksian yang dramatis. Tapi, aku masih memiliki kisah perjumpaan pribadiku dengan Tuhan yang kualami dalam kehidupan sehari-hariku.

Contohnya, Tuhan selalu setia menjawab doa-doaku, baik ketika aku berdoa untuk ujian ataupun pertemananku. Membagikan kisah-kisah kecil ini kepada keluargaku dalam Kristus seringkali menjadi momen yang menguatkan mereka.

Dan, meskipun aku tidak memiliki cerita-cerita menarik yang dapat kubagikan dengan orang yang belum percaya, aku masih bisa menemukan banyak kesempatan untuk membagikan kisah tentang Tuhan dan bagaimana Dia telah bekerja dalam hidupku. Misalnya, teman-temanku di sekolah mungkin bertanya mengapa aku tidak khawatir di saat akan menghadapi ujian. Di sinilah aku punya kesempatan untuk bercerita kepada mereka tentang bagaimana Tuhan menyertaiku dalam segala sesuatu. Aku tidak perlu iri pada kesaksian orang lain karena Tuhan menggunakan cerita yang berbeda-beda untuk menarik orang yang berbeda-beda pula kepada-Nya.

Yang terpenting, kisah yang paling baik—kisah tentang bagaimana Yesus turun ke dunia untuk menebus seluruh umat manusia dan membawa kita kepada Bapa—telah tertulis dan kita semua memiliki peran dalam cerita tersebut.

Perlahan aku sadar bahwa aku tidak perlu memiliki kesaksian yang dramatis untuk diselamatkan. Aku sudah terlebih dulu diselamatkan ketika aku mengakui Kristus sebagai Tuhanku dan aku percaya pada-Nya dalam hatiku (Roma 10:9).

Aku malu karena baru menyadari kebenaran ini belakangan. Namun, aku bersyukur untuk pengalaman ini, karena inilah yang mengingatkanku bahwa kehidupan Kristen tidak hanya bergantung pada kesaksian yang dramatis. Yang terpenting adalah aku berusaha membangun relasiku dengan Tuhan, meluangkan waktu dengan-Nya setiap hari, membagikan pikiran dan perasaanku pada-Nya, dan meminta tuntunan-Nya di hidupku.

Kita tidak perlu khawatir kalau kita tidak memiliki kesaksian yang “sempurna”, atau iri pada orang lain yang memiliki kesaksian seperti itu. Rasa iri itu hanyalah kesia-siaan! Yang terpenting adalah kita mengakhiri pertandingan dengan baik, mencapai garis akhir, dan memelihara iman kita (2 Timotius 4:7).

Baca Juga:

Pergumulanku untuk Beradaptasi di Gereja yang Baru

Pindah ke gereja yang baru, yang berbeda dari gerejaku sebelumnya sempat membuatku merasa asing. Namun, melalui serangkaian proses dan berjalannya waktu, aku bersyukur atas gerejaku yang baru ini.

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

Sungguhkah-Menikah-Seindah-di-Film-Inilah-Pengalamanku-Setelah-5-Bulan-Menikah

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

“And they live happily ever after.”

Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku.

Aku ingin menikah di usia muda

Ketika aku masih SMA, aku berikhtiar untuk menikah muda. Alasanku saat itu sederhana saja, aku merasa jika usiaku dan usia anak-anakku tidak terpaut jauh, aku bisa menjadi sahabat bagi mereka, sama seperti ibuku yang menjadi sahabat bagiku. Selain itu, sejak kecil film-film animasi Disney favoritku membuatku membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan. Pernikahan menjadi sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan.
Namun, ketika akhirnya kesempatan untuk menikah itu datang saat aku berusia 24 tahun, aku baru menyadari bahwa mengambil keputusan untuk menikah dan menjalankan pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah.

Pergumulanku sebelum pernikahan

Pernikahan adalah hal yang sangat penting dan sakral karena hanya dilakukan sekali seumur hidup. Artinya, siapa pun yang menjadi pasangan hidupku haruslah orang yang benar-benar tepat. Tidak boleh ada kata-kata “aku telah menyesal memilih dia”, atau “aku telah salah memilih pasangan hidup”.

Pikiran itulah yang menjadi kekhawatiranku ketika aku perlu mengambil keputusan untuk menikah. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apakah sungguh dia orang yang tepat? Apakah dia dari Tuhan? Apakah aku yakin bisa hidup bersamanya? Apakah aku orang yang tepat untuknya? Apakah aku bisa menjadi penolong untuknya? Terlalu banyak pertanyaan “apakah” yang ada dalam pikiranku kala itu.

Kala pertanyaan-pertanyaan itu membuatku galau, aku diingatkan akan alasan mengapa aku mau berpacaran dengan pasanganku itu. Bagiku, kita harus selektif dalam memilih pacar, karena sesungguhnya pacar adalah calon pasangan hidup kita. Oleh karena itu, sebelum kami berpacaran, aku telah menanyakan berbagai pertanyaan dasar kepada calon pasanganku. Apakah dia orang yang takut akan Tuhan? Apakah dia orang yang bertanggung jawab? Bagaimana jika hubungan ini berlanjut ke pernikahan? Ketika aku mengingat kembali alasan aku mau berpacaran dengannya, dan juga setelah mengenal dia lebih baik lagi selama kami berpacaran, aku akhirnya setuju untuk menikah dengannya.

Pergumulanku setelah pernikahan

Setelah melewati masa galau saat aku memutuskan untuk menikah, aku mengalami masa galau lainnya setelah aku masuk ke dalam pernikahan. Aku menjadi mengerti, pernikahan bukanlah tentang sebuah pesta. Pernikahan adalah tentang kehidupan setelah pesta berakhir.
Kehidupan pernikahan adalah sebuah kehidupan di mana dua manusia dengan latar belakang yang berbeda mencoba untuk hidup bersama. Sulit? Kurasa “sulit” bukan kata yang tepat. “Menantang” adalah kata yang lebih cocok menggambarkannya.

Ada beberapa perbedaan yang kurasakan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, kami hanya ketemu sesekali saja, sehingga perbedaan kami tidaklah terlalu mengganggu kami. Namun, setelah pernikahan kami hidup bersama-sama. Tiba-tiba, perbedaan yang ada menjadi semakin mencolok.

Aku suka makanan bercita rasa asin, tapi suamiku suka makanan bercita rasa manis. Hal itu menjadi begitu merepotkan karena kini kami sering makan bersama. Saat kami keluar mencari makan, kami harus mempertimbangkan selera masing-masing orang. Ketika masak di rumah pun, aku harus membuat dua menu yang berbeda, yang memenuhi selera masing-masing. Saat pacaran, lebih mudah untuk bertoleransi karena kami hanya sekali-sekali makan bersama. Tapi setelah kami menikah, perbedaan ini menjadi hal yang harus kami hadapi seumur hidup.

Contoh lainnya adalah mengenai waktu tidur. Aku adalah ibarat “ayam jago” yang energinya keluar di waktu pagi. Jadi, aku tidur lebih awal, dan bangun lebih pagi untuk beraktivitas. Berbeda dengan suamiku, dia adalah ibarat “kelelawar malam” yang banyak beraktivitas di malam hari. Hal ini menjadi masalah karena kami tidur sekamar. Tengah malam, suamiku masih menyalakan lampu dan melakukan aktivitasnya. Kadang itu membuatku menaruh guling menutupi telingaku dan berseru kepadanya, “Matikan lampunya, aku mau tidur!”

Hal-hal yang kutemui di masa awal pernikahanku ini mungkin terlihat seperti permasalahan yang sepele. Tapi jika kita tidak dapat menyelesaikannya dengan baik, hal itu bisa berakibat fatal.

Inspirasi yang menjawab pergumulanku

Suatu hari, aku menemukan sebuah doa yang pernah dicetuskan oleh seorang teolog Amerika Reinhold Niebuhr. Doa itu begitu indah dan memberiku pencerahan untuk menyikapi permasalahan yang ada dalam pernikahanku dengan bijak. Berikut adalah isi doanya:

Tuhan, berikan aku damai sejahtera untuk menerima hal yang tak dapat kuubah,
berikan aku keberanian untuk mengubah yang dapat kuubah,
dan berikan aku hikmat untuk mengetahui perbedaan dari kedua hal itu.

Membaca doa di atas mengingatkanku bahwa ada hal-hal yang tak dapat kita ubah, dan untuk hal-hal semacam itu, kita perlu beradaptasi dan menerimanya. Aku tak dapat mengubah suamiku yang merupakan “orang malam”. Yang dapat kulakukan adalah beradaptasi dan menerimanya. Aku pun membiasakan diri untuk tidur dengan lampu yang menyala.

Selain itu, aku juga diingatkan oleh sebuah ayat Alkitab berikut ini:

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Ayat itu mengingatkanku bahwa untuk hidup dalam perdamaian, usahakanlah itu. Kadang hal itu menjadi sebuah tantangan ketika keinginanku berbeda dengan keinginan suamiku. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa dalam beberapa hal, jika itu hanya menyangkut keinginanku, aku perlu berkompromi. Berkompromi berarti kita akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, karena hal itu penting bagi pasangan kita. Agar perdamaian itu dapat terwujud, perlu ada setidaknya salah satu yang mengalah.

Ketika memasak, aku merelakan diri untuk lebih repot dengan dua kali memasak untuk memastikan kebutuhan cita rasa suamiku dan diriku yang berbeda dapat terpenuhi. Begitu pula dengan masalah lampu kamar. Ketika aku perlu tidur cepat dan mematikan lampu, suamiku mengalah dengan beraktivitas di luar kamar. Ketika kami saling berkompromi, itu sangat membantu kami untuk menciptakan sebuah pernikahan yang harmonis. Perbedaan-perbedaan yang ada pun tidak terasa terlalu mengganggu lagi.

Pernikahan bukan untuk mengejar kebahagiaan

Aku mengingat sebelum menikah aku sempat membaca sebuah buku karangan Gary Thomas yang berjudul “Sacred Marriage”. Dalam buku itu, Gary Thomas berkata bahwa tujuan pernikahan bukanlah untuk mengejar kebahagiaan. Pernikahan adalah suatu sarana yang diciptakan Allah untuk menguduskan manusia agar semakin serupa dengan-Nya.
Jika seseorang ingin menikah, dia harus siap untuk melalui proses pemurnian dan pembentukan Allah. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan bonus yang diberikan Allah ketika kita melalui proses-Nya.

Itulah yang kualami dalam lima bulan pertama dalam pernikahanku. Aku merasa Tuhan sedang menguduskanku dan membentukku menjadi pribadi yang lebih baik melalui setiap masa suka dan duka yang kualami dengan suamiku. Meski ada riak-riak perbedaan karakter dan kebiasaan yang muncul setiap hari, aku dapat menjalaninya dengan sukacita, karena aku percaya itu adalah proses pemurnian dan pengudusan Tuhan bagiku dan pasanganku.

Jadi, apakah menikah itu indah? Jawabannya adalah ya. Tetapi bukan indah dalam pengertian tidak ada masalah, hidup damai, dan semua senang seperti yang dipertontonkan di film-film. Melainkan, indah karena iman dan pengenalanku akan Tuhan boleh semakin bertumbuh, dan karakterku diproses dari hari ke hari.

Aku sungguh berharap bahwa pernikahan yang kami bangun ini diperkenan Tuhan untuk menjadi berkat bagi anak-anakku kelak dan pasangan-pasangan lain. Kiranya keluarga yang kami bangun ini menjadi keluarga yang takut akan Allah, dan kiranya kelak anak-anak kami dapat menjadi pewaris kerajaan Allah.

Baca Juga:

Mengapa Aku Masih Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

3 Alasan Mengapa Aku Perlu Berdoa

3-alasan-mengapa-aku-berdoa

Oleh Amy J., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Reasons Why I Pray

Aku berusia 11 tahun ketika keluargaku pergi berlibur ke Beijing. Itu adalah perjalanan pertamaku ke Tiongkok. Suatu pagi, saudara lelakiku sakit dan harus beristirahat di hotel. Karena ibu harus merawatnya, dia memintaku untuk membelikan sarapan di sebuah kedai pangsit yang terletak persis di depan hotel. Ibu meyakinkanku bahwa dia akan memperhatikanku dari balik jendela kamar hotel.

Seandainya aku ada di rumah, tugas itu adalah sebuah tugas yang sederhana. Tapi, rasa asing pada Tiongkok dan kurangnya pengalaman membuat hal ini menjadi sebuah tugas yang sangat menantang dan masih aku ingat dengan jelas sampai hari ini.

Begitu banyak orang yang keluar dan masuk kedai pangsit itu. Beberapa dari mereka sedang menyantap sarapan, beberapa yang lain sedang menunggu makanan untuk dibawa pulang, dan sisanya sedang meneriakkan pesanan di atas kepalaku. Antrean yang kacau membuatku semakin bingung hingga aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau kukatakan.

Aku ketakutan dan hampir menangis, namun tiba-tiba aku teringat ucapan ibuku tadi. Aku melangkah keluar dari toko dan melihat ke arah jendela kamar hotel tempatku tinggal. Ibuku menepati janjinya, dia melihatku dari jendela kamar di lantai lima, dan mengacungkan jempolnya kepadaku. Aku langsung merasa terhibur.

Sekalipun dia tidak berada tepat di sampingku, tetapi mengetahui bahwa dia ada di dekatku memberikanku keyakinan dan keberanian untuk menyelesaikan tugas yang diberikannya.

Dalam pergumulanku tentang pentingnya berdoa, pengalaman ini mengajarkanku 3 alasan mengapa aku perlu berdoa.

1. Karena berdoa mengingatkanku bahwa Tuhan selalu besertaku.

Memang terdengar klise, namun itu benar. Seringkali, aku menjadi seperti anak kecil lagi—di tengah ketidakpastian, ketika aku ditekan oleh keadaan, aku lupa bahwa Tuhan memperhatikanku.

Tuhan selalu menyertai kita, meskipun kita tak dapat melihat-Nya. Ketika masalah datang, yang harus kita lakukan hanyalah datang kepada-Nya di dalam doa. Dia mungkin tidak selalu langsung menjawab sesuai dengan cara yang kita inginkan, seperti memberikan kita nilai ujian yang baik atau menyembuhkan orang yang kita kasihi yang sedang sakit, tapi tidak ada satu pun yang terjadi di luar kehendak-Nya.

Yesus berjanji bahwa Dia tidak akan membiarkan kita atau meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Janji itulah yang membuatku setia berdoa dari hari ke hari—kadang dari tahun ke tahun, mendoakan sebuah pokok doa yang sama. Aku tahu bahwa Dia ada, Dia mendengar doaku, dan Dia peduli.

2. Karena aku sedang melakukan pekerjaan-Nya.

Dihadapkan pada lebih dari 20 jenis pangsit dan bakpau membuatku menjadi sangat bingung. Apalagi, semua menu itu ditulis dalam aksara Mandarin yang setengah di antaranya tak kukenal. Waktu itu, aku merasa bingung hingga aku lupa apa tugasku. Ibuku telah memberi instruksi yang sangat sederhana—beli enam bakpau daging—namun di tengah situasi yang asing dan kacau, suara ibuku di dalam kepalaku menjadi tenggelam dan aku menjadi lupa apa yang harus aku lakukan.

Jadi dunia memberitahu kita bagaimana seharusnya penampilan kita, kelakuan kita, dan bagaimana menghidupi hidup ini. Dunia tidak mempengaruhi kita, dunia hanya memberitahu kita. Apakah kita terpengaruh atau tidak, itu kembali ke kita.

Tuhan telah menciptakan kita untuk sebuah tujuan yang spesifik. Dia mempercayakan kita tidak hanya untuk memelihara dan berkuasa atas dunia ciptaan-Nya, tetapi juga untuk menjadikan segala bangsa menjadi murid-Nya. Inilah peran yang diberikan-Nya kepada Adam, murid-murid Yesus, dan kita semua. Yesus sendiri berkata bahwa makanan-Nya adalah melakukan kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Kitab Efesus mengajarkanku bahwa aku adalah buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya (Efesus 2:10). Jadi alasan aku berdoa adalah untuk melakukan pekerjaan-Nya dengan tepat.

3. Karena aku adalah warga kerajaan surga.

Melihat kembali pengalamanku itu, aku menyadari bahwa tantangan terbesar yang kuhadapi adalah bagaimana keluar dari zona nyaman. Saat itu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, bagaimana cara memesan makanan itu, atau kepada siapa aku harus memesan. Kalau saja itu adalah kedai favoritku di belakang rumah, penjualnya tentu sudah tahu apa yang ingin kupesan—dua bakpau daging, dua bakpau ayam, dan dua bakpau kacang merah. Urusan memesan bakpau akan menjadi urusan yang mudah di lingkungan tempat tinggalku.

Dan meskipun aku dapat membaca menu dan membuat suaraku terdengar di kedai pangsit di Bejing, gaya bicara dan berpakaianku juga akan terlihat aneh. Aku benar-benar menjadi orang asing yang tersesat di tengah kerumunan penduduk lokal di sana.

Pernahkah kamu merasa kalau menjadi orang Kristen itu berarti menjadi sangat berbeda dari yang lain? Itu tidak terelakkan. Kita tidak bisa berbaur dengan dunia ini, karena dunia ini bukanlah rumah kita. Bumi ini bukanlah tujuan akhir kita yang suatu saat nanti kita akan meninggalkannya. Jadi, cara terbaik untuk menjalani hidup ini adalah dengan melihat kepada Yesus, Tuhan dari hidup kita. Aku berdoa karena aku membutuhkan pimpinan-Nya.

Ketika aku tiba di surga kelak, aku akan menghabiskan waktu berjam-jam berjalan di taman dan mengobrol dengan Tuhanku. Tapi saat ini, ketika aku masih ada di bumi untuk melakukan pekerjaan-Nya, yang bisa kulakukan untuk berkomunikasi dengan-Nya hanyalah dengan berdoa.

“Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10).

Baca Juga:

Ketika Tahun Baru Diawali dengan Tragedi?

Satu tragedi di awal tahun bukan berarti seluruh hari sepanjang tahun akan terasa suram. Kita percaya kalau segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Allah.

Mengingatkan Orang Lain

Sabtu, 9 Mei 2015

Mengingatkan Orang Lain

Baca: Titus 3:1-8

3:1 Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik.

3:2 Janganlah mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang.

3:3 Karena dahulu kita juga hidup dalam kejahilan: tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji, saling membenci.

3:4 Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia,

3:5 pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus,

3:6 yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita,

3:7 supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita.

3:8 Perkataan ini benar dan aku mau supaya engkau dengan yakin menguatkannya, agar mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Itulah yang baik dan berguna bagi manusia.

Ingatkanlah [umat] supaya . . . mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang. Titus —3:1-2

Mengingatkan Orang Lain

Sepanjang satu minggu, biasanya ada banyak dari kita yang menerima sejumlah e-mail yang mengingatkan tentang janji atau acara mendatang atau permohonan doa. Semua hal itu merupakan pengingat yang baik dan perlu. Ketika menuliskan suratnya kepada Titus, Paulus mengakhirinya dengan berkata, “Ingatkanlah mereka . . .” (3:1). Kita bisa menduga dari kata yang digunakan Paulus bahwa ia sudah pernah menulis tentang hal-hal tersebut. Karena hal-hal itu begitu penting bagi jemaat di gereja, ia perlu menuliskannya kembali supaya mereka tidak lupa.

Perhatikan pesan yang ditekankan oleh Paulus supaya tidak dilupakan oleh mereka. Ia mengingatkan mereka, yang saat itu hidup di bawah penindasan pemerintahan Romawi, untuk “tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa” (ay.1). Adalah penting mereka dikenal sebagai orang-orang yang taat; bersedia melakukan pekerjaan yang baik; tidak memfitnah; tidak bertengkar; bersikap ramah dan lemah lembut; rendah hati dan tidak suka mengeluh. Perilaku mereka harus menunjukkan perubahan dalam hidup mereka setelah mengikut Kristus (ay. 3-5).

Bagaimana mereka—dan kita—dapat melakukannya? “Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus” akan memampukan kita untuk “sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik” (ay.5-6,8). Oleh anugerah keselamatan yang ajaib di dalam Yesus, kita dimampukan untuk mempengaruhi dunia ini demi kebaikan. Itulah pengingat yang kita semua perlukan. —Dave Branon

Tuhan, ingatkan betapa pentingnya kami menaati-Mu dan memperlakukan orang lain sebagaimana kami sendiri ingin diperlakukan. Ingatkan kami bahwa keselamatan-Mu memampukan kami menjalani hidup sebagai terang dalam dunia yang gelap.

Kehidupan seorang Kristen adalah jendela, yang melaluinya orang lain dapat melihat Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Raja-Raja 7-9; Yohanes 1:1-28

Cermin Pemantul

Senin, 23 Maret 2015

Cermin Pemantul

Baca: Yohanes 1:1-9

1:1 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.

1:2 Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.

1:3 Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.

1:4 Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.

1:5 Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.

1:6 Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes;

1:7 ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya.

1:8 Ia bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu.

1:9 Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.

Ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya. —Yohanes 1:7

Cermin Pemantul

Desa Rjukan yang kecil dan nyaman di Norwegia adalah wilayah yang menyenangkan untuk ditinggali—kecuali sepanjang hari-harinya yang gelap di musim dingin. Terletak di lembah pada kaki Gunung Gaustatoppen yang menjulang, desa ini tidak menerima pancaran sinar matahari secara langsung selama hampir setengah tahun. Warga sudah lama mempertimbangkan gagasan untuk menempatkan sejumlah cermin di puncak gunung untuk memantulkan sinar matahari. Namun konsep itu baru dapat direalisasikan akhir-akhir ini. Pada tahun 2005, seorang seniman lokal memulai proyek yang dinamai Proyek Cermin untuk mengumpulkan orang-orang yang bisa mengubah gagasan itu menjadi kenyataan. Delapan tahun kemudian, pada Oktober 2013, cermin-cermin tersebut mulai beroperasi. Warga pun memadati alun-alun kota untuk menikmati sinar matahari yang dipantulkan.

Dari perspektif rohani, sebagian besar dunia ini mirip dengan desa Rjukan—ada segunung masalah yang menghalangi pancaran terang Yesus. Namun Allah secara strategis menempatkan anak-anak-Nya untuk berperan sebagai pemantul terang-Nya. Salah satunya adalah Yohanes Pembaptis yang datang “untuk memberi kesaksian tentang terang itu”, yaitu Yesus yang memberikan terang “untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut” (Yoh. 1:7, Luk. 1:79).

Sama seperti sinar matahari berperan penting bagi kesehatan emosi dan fisik manusia, demikian juga pancaran terang Yesus berperan penting bagi kesehatan rohani manusia. Syukurlah, setiap orang percaya berada dalam posisi yang tepat untuk memantulkan terang-Nya agar menembus tempat-tempat gelap di dunia. —Julie Ackerman Link

Bapa terkasih, tolong aku untuk memantulkan terang-Mu ke dunia di sekitarku hari ini. Kiranya segala perkataan dan perbuatanku dapat menjadi saksi terang dan kebenaran-Mu. Kiranya orang lain melihat betapa menakjubkannya diri-Mu.

Dunia yang terperangkap di dalam gelap membutuhkan terang Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 13-15; Lukas 1:57-80

Photo credit: rishibando / Foter / CC BY-NC

Membangun Jembatan

Selasa, 17 Februari 2015

Membangun Jembatan

Baca: 1 Tesalonika 1:1-10

1:1 Dari Paulus, Silwanus dan Timotius kepada jemaat orang-orang Tesalonika yang di dalam Allah Bapa dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu.

1:2 Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami.

1:3 Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita.

1:4 Dan kami tahu, hai saudara-saudara yang dikasihi Allah, bahwa Ia telah memilih kamu.

1:5 Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh. Memang kamu tahu, bagaimana kami bekerja di antara kamu oleh karena kamu.

1:6 Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus,

1:7 sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya.

1:8 Karena dari antara kamu firman Tuhan bergema bukan hanya di Makedonia dan Akhaya saja, tetapi di semua tempat telah tersiar kabar tentang imanmu kepada Allah, sehingga kami tidak usah mengatakan apa-apa tentang hal itu.

1:9 Sebab mereka sendiri berceritera tentang kami, bagaimana kami kamu sambut dan bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar,

1:10 dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.

Di semua tempat telah tersiar kabar tentang imanmu kepada Allah, sehingga kami tidak usah mengatakan apa-apa tentang hal itu. —1 Tesalonika 1:8

Membangun Jembatan

Buku karya James Michener yang berjudul Centennial (Seabad) berisi sebuah kisah fiksi tentang sejarah pada masa pendudukan wilayah barat Amerika. Berkisah melalui pandangan mata seorang pedagang berdarah Perancis-Kanada yang bernama Pasquinel, Michener menyatukan kisah-kisah tentang Arapaho dari Great Plains (Dataran Besar) dan komunitas para pendatang dari Eropa di St. Louis. Ketika si petualang yang bertabiat keras itu berpindah-pindah di antara kota yang semakin padat penduduk dengan area-area yang terbuka di dataran sekitarnya, dirinya kemudian menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan dua dunia yang sangat jauh berbeda.

Para pengikut Kristus juga memiliki kesempatan untuk membangun jembatan antara dua dunia yang sangat jauh berbeda—antara orang-orang yang mengenal dan mengikut Yesus dengan mereka yang tidak mengenal-Nya. Jemaat Kristen mula-mula di Tesalonika telah membangun jembatan untuk menjangkau dunia mereka yang masih menyembah berhala. Oleh karena itu, Paulus mengatakan tentang mereka, “Karena dari antara kamu firman Tuhan bergema bukan hanya di Makedonia dan Akhaya saja, tetapi di semua tempat” (1Tes. 1:8). Jembatan yang mereka bangun memiliki dua komponen: “firman Tuhan” dan teladan iman mereka. Setiap orang dapat melihat dengan jelas bahwa mereka telah “berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar” (ay.9).

Ketika Allah menyatakan diri-Nya kepada orang-orang di sekitar kita melalui firman-Nya dan melalui hidup kita, kita dapat menjadi jembatan bagi mereka yang belum mengenal kasih Kristus. —WEC

Ya Bapa, tolong kami untuk menjalani hidup sedemikian rupa agar
orang lain ingin mengenal Putra-Mu. Kiranya kami tidak hanya
mencoba untuk melakukan apa yang “benar” melainkan untuk
hidup sebagai umat yang telah diampuni dan dikasihi oleh-Mu.

Hidupilah Injil, maka orang lain akan mendengarkanmu.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 21-22; Matius 28

The Drinking Gourd

Selasa, 11 November 2014

The Drinking Gourd

Baca: Filipi 2:12-18

2:12 Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir,

2:13 karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.

2:14 Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan,

2:15 supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,

2:16 sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.

2:17 Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian.

2:18 Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku.

Sehingga kamu bercahaya . . . seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan. —Filipi 2:15-16

The Drinking Gourd

Sebelum meletusnya Perang Saudara Amerika Serikat (1861-1865), para budak pelarian dapat menemukan kebebasan mereka dengan cara menelusuri “jalur kereta bawah tanah”, suatu istilah yang digunakan untuk menyebut rute-rute rahasia yang terbentang dari wilayah Selatan ke Utara serta kaum penentang perbudakan yang menolong mereka di sepanjang perjalanan. Para budak itu biasanya bepergian pada malam hari hingga berkilo-kilometer, dan mereka bertahan pada jalur tersebut dengan mengikuti cahaya yang terpancar dari “The Drinking Gourd”. Itulah nama sandi untuk suatu rasi bintang yang dikenal sebagai The Big Dipper, yang dapat menuntun kita kepada Bintang Utara. Sejumlah kalangan percaya bahwa para pelarian itu juga menggunakan petunjuk yang telah disandikan dalam lirik lagu Follow the Drinking Gourd (Ikuti The Drinking Gourd) supaya mereka tidak tersesat dalam perjalanan.

Para penentang perbudakan dan rasi bintang “The Drinking Gourd” sama-sama berfungsi sebagai titik terang yang membawa para budak tersebut menuju kebebasan. Rasul Paulus berkata bahwa orang percaya hendaknya bercahaya “seperti bintang-bintang di dunia” guna menunjukkan jalan bagi mereka yang sedang mencari kebenaran, penebusan, dan kebebasan rohani dari Allah (Flp. 2:15).

Kita tinggal di tengah kegelapan dunia yang sangat butuh untuk melihat terang Yesus Kristus. Kita dipanggil untuk memancarkan cahaya kebenaran Allah agar orang lain dapat diarahkan kepada satu Pribadi yang menebus manusia dan menjadi jalan menuju kebebasan dan kehidupan sejati. Kita menuntun mereka kepada Yesus yang merupakan jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh. 14:6). —HDF

Ya Tuhanku, terima kasih Engkau telah menebusku dan memberikan
hidup baru bagiku. Beriku belas kasihan bagi mereka yang jiwanya
masih terhilang dalam kegelapan. Pakailah aku untuk menjadi terang
yang mengarahkan orang lain kepada-Mu, Sang Terang Dunia.

Terangi duniamu dengan memancarkan terang Yesus.

Warisan Nenek Penjual Pecel

Oleh: Yonatan

nenek-penjual-pecel

Monggo, sami nderek Gusti, Monggo, sami nderek Gusti. Gusti Yesus Juru Wilujeng, Monggo, monggo sami nderek Gusti”. [Mari kita ikut Tuhan. Mari kita ikut Tuhan. Tuhan Yesus Juruselamat, mari mari kita ikut Tuhan…]

Setiap senandung itu terdengar, aku tahu siapa yang lewat di depan rumah. Seorang nenek yang menjajakan pecel untuk menyambung hidup. Ia miskin, sebatang kara, hidup di sebuah rumah kontrakan yang super sederhana, dan menderita rabun senja. Namun, seulas senyum selalu tersungging di wajahnya yang keriput, seolah ia adalah orang paling bahagia sedunia.

Sungguh aku tak pernah menyangka nenek itu akan menjadi seseorang yang memberi warisan terbesar bagi hidupku dan keluargaku.

Ceritanya, suatu hari ayahku ditimpa masalah tak terduga. Ada maling di kampung kami. Dengan semangat heroik sebagai seorang kepala sekolah dan tokoh agama setempat, ayahku pun segera keluar rumah dan mengejar si maling yang sedang dikejar warga. Sayangnya, si maling berlari terlalu cepat. Dalam sekejap sosoknya lenyap dari pandangan mata. Tinggallah ayahku berlari paling depan, hingga banyak orang justru mengira ia adalah si maling yang dikejar. Hari itu, bukan saja ayahku digebuk hingga babak belur. Ia pun harus mendekam di tahanan selama beberapa hari.

Tahukah kamu siapa yang paling rajin membesuk ayahku? Si nenek penjual pecel. Dengan setia ia datang, tidak hanya membawakan beberapa patah kata penghiburan, tetapi juga pecel dagangannya, lengkap dengan beberapa potong gorengan, untuk dimakan ayahku. Setelah lepas dari tahanan, ayahku tidak langsung pulang ke rumah. Ia malu karena sebagian warga sudah menganggapnya sebagai maling yang sebenarnya. Ia lalu diajak tinggal di rumah nenek penjual pecel untuk sementara waktu. Betapa senangnya ayahku! Ia pun bertanya apa ada yang dapat ia lakukan untuk membantu nenek selama ia tinggal di rumahnya. Nenek itu berkata, ayahku bisa membantunya membacakan Alkitab setiap malam, karena matanya kesulitan melihat di malam hari.

Benar bahwa Firman Allah itu “tidak pernah kembali dengan sia-sia” (Yesaya 55:11). Apa yang dibacakan ayahku untuk si nenek penjual pecel itu berbicara juga dengan kuat kepada ayahku. Memang ayahku tak langsung menjadi pengikut Kristus. Ia dibesarkan dalam kepercayaan yang sama sekali berbeda. Butuh waktu sekitar 8 tahun sebelum ia kemudian menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dengan segenap pikiran dan hatinya. Namun, tanpa kesaksian nenek itu, bukan tak mungkin ayahku akan tetap menjadi seorang yang anti dengan kekristenan.

Iman ayahku menjadi warisan yang sangat berharga bagi anak-anaknya, termasuk diriku. Aku diajarnya untuk memaknai hidup sebagai anugerah Tuhan semata. Semua manusia telah berdosa, dan tak mungkin menyelamatkan dirinya sendiri dengan semua amal baiknya. Sebab itulah Tuhan menyediakan jalan keselamatan bagi umat manusia melalui Kristus yang tak berdosa. Rumah tempat aku tinggal sekarang menjadi saksi yang terus mengingatkanku akan komitmen kami sekeluarga mengikut Kristus. Rumah ini sempat dilempari batu dan aneka kotoran oleh para tetangga, saat mereka tahu keluarga kami menjadi Kristen. Namun, ayah terus mendorong kami untuk teguh dalam iman. Tak hanya kepada istri dan anak-anaknya, ayahku juga memperkenalkan Sang Juruselamat kepada saudara-saudaranya. Dua saudaranya beserta pasangan hidup dan anak-menantunya kini sudah menjadi pengikut Kristus. Demikian juga halnya dengan tujuh saudara ibuku, beserta pasangan hidup dan anak-menantu mereka. Kesaksian ayahku juga membawa ibunya (nenekku) mengenal dan percaya kepada Kristus.

Hingga hari ini kami semua tak pernah tahu siapa nama nenek penjual pecel yang telah menaburkan benih Firman Tuhan kepada ayahku, dan mengubah kehidupan tiga generasi dalam keluarga kami. Ketika ayah kembali berkunjung ke kontrakan nenek itu, ia tidak ada lagi di sana. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Senandungnya tak pernah terdengar lagi. Mungkin ia adalah malaikat yang diutus membuka jalan bagi kami untuk mengenal Sang Juruselamat.

Dalam kondisinya yang serba terbatas, nenek penjual pecel itu telah mewariskan hal terbesar bagiku dan keluargaku, yaitu pengenalan akan anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Darinya aku belajar, bahwa kemiskinan, sakit-penyakit, dan semua keterbatasan manusiawi kita, bukanlah halangan untuk hidup mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan membagikan kasih-Nya kepada sesama. Suatu saat kelak, aku akan memeluknya di surga, mengucapkan terima kasih atas apa yang telah ia wariskan bagi kami sekeluarga. Kiranya Tuhan juga memampukanku (dan kamu) untuk mewariskan hal yang sama kepada generasi ini dan generasi yang akan datang.