Posts

Tanpa Yesus, Aku Tidak Bisa Apa-Apa

Seri Kesaksian Atlet

Kaka

Setelah terbaring di atas ranjang selama 2 bulan karena patah leher, Ricardo Izecson dos Santos Leite yang berusia 18 tahun menyusun sebuah daftar berisi 10 impiannya. Ia membuat daftar itu sekalipun ia sendiri tidak yakin akan dapat bermain sepakbola lagi setelah tulang lehernya patah akibat jatuh dari sebuah papan seluncur air.

Impiannya terdengar mustahil bahkan bagi seorang anak muda yang besar di tengah negara yang menggilai bola seperti Brasil, mengingat saat itu ia harus menjalani sebuah program medis untuk mendorong pertumbuhan fisiknya. Daftar yang ia tulis dimulai dengan “Kembali bermain sepakbola” dan meningkat hingga “Bermain di Piala Dunia” dan “Pindah ke klub besar di Italia atau Jerman”.

Pada Januari 2011, sekitar dua minggu setelah kembali ke lapangan hijau, anak muda ini dipanggil untuk memperkuat tim profesional São Paulo. Tanggal 7 Maret, dengan 10 menit tersisa, ia masuk sebagai pemain pengganti dalam pertandingan final kejuaraan Rio-São Paulo yang bergengsi. São Paulo sedang tertinggal 1-0 dari Botafogo, lalu si pemain tengah itu menerima sebuah umpan lambung, mengangkatnya melewati seorang pemain belakang dan menembak bolanya dengan rendah di bawah penjaga gawang lawan yang maju menghadang. Dua menit kemudian, ia berhasil lagi membobol gawang lawan dengan tembakan rendah yang keras. Reporter TV berteriak, “Goooooooooooooool!” dan São Paulo berhasil merebut piala kejuaraan itu.

Publik Brasil pun mengenal Kaká. (Nama julukan itu, dibaca Ka-kah’, diberikan oleh sang kakak yang tidak dapat menyebut nama lengkapnya.) Kaká langsung memperoleh tempat di tim inti São Paulo dan dalam waktu dua tahun saja ia telah menggapai seluruh impiannya, termasuk bermain untuk tim nasional Brasil yang menjuarai Piala Dunia di Jepang. Pada tahun 2007, Kaká mencapai puncak prestasinya dalam kancah sepakbola dunia dengan merebut penghargaan tertinggi bagi seorang pesepakbola: Pemain Terbaik Dunia versi FIFPro, penghargaan Ballon d’Or sebagai pemain terbaik Eropa, dan Pemain Terbaik Dunia dari FIFA. 

“Aku telah begitu diberkati dengan keberhasilan—Piala Dunia 2002, anugerah Bola Emas dari FIFA tahun 2007, banyak kejuaraan dan penghargaan. Sepertinya aku sudah punya segalanya. Karena kekayaan dan ketenaranku, ada yang bertanya mengapa atau apakah aku masih membutuhkan Yesus,” kata Kaká.

“Jawabannya sederhana: Aku butuh Yesus setiap hari dalam hidupku. Firman-Nya, Alkitab, memberitahuku bahwa tanpa Dia, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku benar-benar percaya akan hal itu. Kesanggupanku untuk bermain sepakbola dan semua yang telah kucapai dari hal itu merupakan anugerah Tuhan. Dia telah memberiku talenta untuk digunakan bagi-Nya, dan aku berusaha mengembangkannya setiap hari.”

Kaká telah menjadi seorang Kristen sejak kecil. Pengajaran Alkitab dari orangtuanya menjadi bekal yang sangat penting baginya dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Pengalaman baptisan pada usia 12 tahun merupakan tonggak penting bagi Kaká, sekaligus menjadi salah satu peristiwa yang sangat mempengaruhi kehidupan imannya yang saat itu masih baru. “Berangsur-angsur, aku tidak lagi hanya mendengar orang berbicara tentang Yesus yang diajarkan orangtuaku,” katanya. “Tiba saatnya aku ingin mengalami sendiri kehidupanku bersama Tuhan.”

Memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan membuat Kaká bertumbuh memiliki iman yang autentik. Ia tak hanya menunjukkan identitasnya sebagai pengikut Kristus di gereja, tetapi juga di dalam semua aspek hidupnya – termasuk di lapangan sepakbola. “Aku percaya bahwa mengejar yang terbaik dengan kemampuan yang telah diberikan-Nya bagiku, akan membawa kemuliaan bagi nama-Nya,” tutur Kaká. “Allah tidak mau pengikut-Nya hidup suam-suam kuku; Dia mau yang terbaik dari kita. Alkitab mengatakan dalam 1 Korintus 10:31 ‘Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.’ Motivasiku untuk memenangi pertandingan datang dari kerinduan untuk melakukan yang terbaik bagi Allah Penciptaku.”

Prestasi Kaká di lapangan telah membawanya menjadi perhatian dunia. Tetapi bagaimana dengan hidupnya di luar lapangan? Reputasi dirinya ternyata menarik perhatian luas di kalangan bintang olahraga internasional. Kaká membangun hubungan yang hangat dengan pers dan para penggemarnya, sambil tetap menghindari godaan untuk terlibat dalam dunia hiburan malam dan kejaran paparazzi. Sebagaimana sebelum ia tenar, keluarga dan imannya menjadi jangkar yang mengokohkan hidupnya. Ia juga bukan seorang playboy seperti kebanyakan bintang olahraga lainnya. Kaká dan istrinya, Caroline, dikenal menikah ketika masih perawan dan secara terbuka mengungkapkannya kepada pers.

“Itu merupakan salah satu tantangan terbesar dalam hidupku karena kami membuat keputusan yang tidak mudah,” kata Kaká. “Kami mengambil banyak waktu untuk berdoa dan hidup dekat dengan Tuhan Yesus dan Roh Kudus. Sungguh besar tantangan itu, tetapi menunggu adalah keputusan yang baik. Seks adalah berkat yang luar biasa dari Allah untuk dinikmati suami-istri dalam pernikahan, dan itu bukan hal yang seharusnya dianggap remeh atau sepele seperti yang menjadi pandangan banyak orang sekarang ini.”

Kaká juga terkenal sebagai orang yang dermawan. Tidak hanya memberi untuk pelayanan gereja lokalnya di Brasil, ia juga menjadi duta bagi PBB untuk melawan masalah kelaparan di dunia. “Aku berutang banyak kepada sepakbola. Sekarang aku mau meneruskan berkat itu dan memberi harapan kepada anak-anak yang kelaparan dan kurang beruntung,” katanya. “Aku harap pengalamanku dapat mengilhami anak-anak yang kelaparan itu untuk percaya bahwa mereka dapat mengatasi rintangan yang ada dan hidup dengan normal,” demikian kata Kaká tentang perannya sebagai duta PBB untuk membantu anak-anak yang kelaparan. Kaká berharap akan menjadi seorang pendeta setelah ia pensiun dari sepakbola.

“Kaká tidak pernah berubah,” ujar Marcelo Saragosa, sahabat karibnya sejak kecil dan juga seorang pemain sepakbola profesional. “Ia selalu menjadi orang yang sederhana, sama seperti ketika aku mengenalnya 10 atau 12 tahun yang lalu.”

Kebanyakan media menghormati iman yang Kaká anut dan memuji sikap sportif yang ditunjukkannya. Konsistensi dan kebaikan hati Kaká yang sejalan dengan permainannya yang luar biasa membuat orang sulit berkata yang lain. Namun, ketika ada orang yang menganggap gaya hidup seperti itu membosankan, Kaká membalasnya dengan mengatakan bahwa hidup mengikut Kristus memang suatu hal yang radikal.

Sembari terus mengejar impiannya, Kaká tidak ragu mengatakan bahwa segala yang dilakukannya adalah demi Yesus.

“Hari ini, aku mempunyai pelayanan melalui olahraga, tetapi aku bermain karena diberi karunia dari Allah,” kata Kaká. “Aku bermain karena Dia telah menyempurnakan karunia yang diberikan-Nya dalam hidupku. Yesus berkata, ‘di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa’ dan aku mempercayainya.”

Catatan:
Jeremy V. Jones menulis biografi tentang Kaká, Toward the Goal: The Kaká Story (Mengejar Mimpi: Kisah Hidup Kaká), yang diterbitkan oleh Zonderkidz.

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Apa yang menjadi motivasi terbesarmu untuk terus melakukan yang terbaik dalam hidup ini?

2. Bagaimana imanmu dalam Kristus memengaruhi aspek-aspek kehidupanmu yang lain?

Yesuslah yang Menolongku

Seri Kesaksian Atlet

Brad Guzan

Momen terobosan terbesar dalam hidup kita terkadang dialami ketika kita tidak mengharapkannya.

Pada tahun 2005, Brad Guzan, penjaga gawang asal Amerika Serikat, merasa telah bermain sangat buruk saat menggantikan penjaga gawang utama dari klub Chivas USA yang cedera. Timnya mengakhiri musim dengan rekor buruk 4 kemenangan dan 22 kekalahan pada tahun pertama mereka, dan Guzan yakin bahwa sebagian besar hasil buruk itu merupakan tanggung jawabnya.

“Waktu itu aku masih muda,” kata Guzan. “Aku merasa tidak yakin bahwa aku siap secara mental dan fisik. Aku juga tidak yakin apakah aku memang pantas. Kami tidak bisa memenangi pertandingan… jadi, aku merasa begitu terpuruk. Ada begitu banyak hal yang kupertanyakan dalam pikiranku.”

Meski demikian, pada akhir musim itu, Guzan menerima sebuah e-mail yang mengundangnya untuk masuk dalam kamp tim nasional AS. Sebuah undangan untuk mewakili negaranya di tingkat internasional. Sungguh suatu hal yang tidak pernah dibayangkannya.

Kepercayaan diri Guzan yang tadinya merosot setelah hasil buruk di tahun pertamanya sekarang membubung tinggi. Dan dua tahun kemudian, ketenarannya pun semakin memuncak, setelah ia mendapat gelar Penjaga Gawang Terbaik dalam Liga Utama Sepakbola (MLS) tahun 2007. Prestasi itu memberinya kesempatan untuk bermain bagi Aston Villa di salah satu liga terbaik di dunia, Liga Primer Inggris, pada tahun 2008. Sejak saat itu ia terus bermain bagi Aston Villa (di luar masa pinjaman satu bulan di Hull City). Memang tidak mudah baginya bermain dalam sebuah liga yang sangat kompetitif, tetapi Guzan telah maju begitu banyak sejak tahun pertamanya bersama Chivas USA.

“Empat tahun pertamaku di Inggris memang terasa sulit,” kata Guzan. “Memang sulit karena aku bisa bermain dalam satu pertandingan dengan baik, tetapi minggu depannya aku bisa duduk di kursi cadangan. Begitulah keadaan yang tidak konsisten itu, padahal aku mencari tempat yang konsisten… Tapi aku harus tetap bersikap profesional. Aku harus tetap teguh… terus berjuang… aku tahu kalau aku terus maju aku akan mendapat kesempatan suatu hari nanti.”

Dalam posisi yang menuntut kekuatan mental seperti seorang penjaga gawang, keteguhan hati itulah yang membuat Guzan kokoh dalam menghadapi situasi yang baik atau yang buruk.

“Ketika segalanya berjalan begitu lancar, janganlah kita menjadi terlalu percaya diri,” kata Guzan. “Ketika keadaan tidak berjalan sesuai rencana kita, jangan juga kita terpukul… Aku rasa sebagai atlet, setiap orang bisa terjebak dalam ketegangan sementara, dan kemudian melakukan hal-hal yang akan disesali. Aku juga bisa demikian. Aku tidak sempurna, tetapi Allah mengasihi semua orang. Kita harus dapat membuka diri kita bagi-Nya dan membiarkan-Nya masuk dalam hidup kita. Ketika kita melakukannya, pengampunan dan kelepasan akan diberikan oleh-Nya, dan karena kita tahu kita memiliki kasih Allah, kita akan dapat mengikuti-Nya sepanjang hidup kita.”

Pada tahun 2013, Guzan bermain sebagai penjaga gawang utama tim nasional menggantikan Tim Howard yang cedera dalam 2 pertandingan penyisihan Piala Dunia FIFA 2014. Dalam kedua pertandingan itu ia berhasil menjaga gawangnya tidak kebobolan.

“Bagiku, seluruh hidupku menjadi satu—kehidupan pribadiku, kehidupan imanku, kehidupanku di atas lapangan,” kata Guzan. “Aku pikir harusnya demikian. Semuanya berlangsung begitu natural. Kita tidak bisa memisahkan satu dari yang lainnya, dan yang paling penting kita harus punya Yesus dalam hidup kita… Seperti yang kukatakan, jalan menuju sukses itu tidak selalu mulus. Selalu ada rintangan di sepanjang jalan. Dan melalui semua kesulitan itu, Yesuslah yang menolongku melalui semua pergumulan yang ada.”

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Menurutmu, mungkinkah seseorang belajar keteguhan hati jika hidupnya tidak pernah mengalami masalah?
Mengapa?

2. Guzan mengamati bahwa ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana, orang bisa terjebak melakukan hal-hal yang kemudian disesali. Pernahkah kamu mengalaminya? Jika kamu menghadapi lagi situasi yang sama, bagaimana kamu akan menanggapinya secara berbeda?

Dialah Jawabannya

Seri Kesaksian Atlet

Juan Carlos Valeron

Perjalanan iman Juan Valerón adalah contoh yang baik dari kehidupan penuh tantangan yang sering dihadapi para petobat baru di dalam Kristus. Sebagai salah satu pemain sepakbola profesional terbaik Spanyol dalam 15 tahun terakhir, Valerón pernah memimpin tim nasionalnya dalam dua Piala Eropa dan Piala Dunia.

Namun, kemenangannya di lapangan tidak menjamin hidupnya berjalan mulus. Ada banyak masalah yang diderita keluarganya di luar lapangan, bermula dari kematian kakak laki-lakinya pada usia 30 tahun.

“Kami adalah keluarga yang cukup kompak, dan kepergian kakak sangat mengejutkan kami,” kata Valerón. “Sangat sulit melihat orangtua kami menghadapi peristiwa itu. Namun Allah begitu memperhatikan kami dengan kasih-Nya, dan aku yakin, tanpa pertolongan-Nya, orangtua kami tidak akan dapat mengatasi rasa kehilangan mereka. Sayangnya, penderitaan itu bertambah berat ketika tidak lama kemudian, ayahku juga dipanggil Tuhan.”

Dalam penderitaannya, Valerón bergumul dengan berbagai pertanyaan, seperti, Mengapa semua itu terjadi? Dan ketika ia tidak dapat menemukan sendiri jawabannya, ia percaya kepada Allah.

“Dialah jawabannya,” tegas Valerón. “Dia menunjukkan kepadaku bahwa kebaikan akan datang dari pengalaman yang menyakitkan. Pada masa-masa sulit itu, salah seorang saudaraku bisa mengenal Tuhan, dan sejak saat itu, iman keluargaku pun pelan-pelan bertumbuh.”

Ketika Valerón masih muda, ia berharap dapat mencapai prestasi sepakbola dengan bermain di divisi utama dan mencapai kesuksesan bagi negaranya. Namun setelah mencapai semua itu, termasuk bermain di Piala Dunia, ia menyadari bahwa tanpa Allah, semua prestasi itu tidak akan memberinya kepuasan.

“Aku menyadari bahwa semua prestasi itu tidak terlalu penting,” kata Valerón. “Bahkan, tanpa Allah, semua itu tidak berarti sama sekali. Yesuslah segala-galanya. Seperti makanan yang kita butuhkan untuk hidup, Yesus adalah kebutuhan hidup yang terutama. Setelah aku menikmati hubungan pribadi dengan-Nya, aku ingin selalu bersama dengan-Nya. Meski aku masih akan mengalami masa-masa sulit, aku tahu Allah beserta denganku, karena itu aku menerima keadaan itu dengan sukacita. Dan aku tahu, suatu hari nanti, aku akan pergi menghadap Dia dan mengalami kemuliaan-Nya selamanya.”

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Valerón memiliki banyak pertanyaan tentang kehidupan. Bagaimana dengan kamu? Apa yang ingin kamu tanyakan kepada Allah hari ini?

2. Setujukah kamu dengan kesimpulan Valerón bahwa Yesus adalah kebutuhan hidup yang terutama? Apa alasanmu?

Tak Ada yang Bisa Hidup Tanpa Allah!

Seri Kesaksian Atlet

Isaac Diaz

Sepakbola telah menjadi bagian dari hidup Isaac Diaz, sejak ia masih bayi dengan sebuah bola sepak di atas ranjangnya hingga pengalamannya bermain sebagai pemain profesional di tengah stadion yang gegap gempita. Ia mencapai banyak kesuksesan meskipun ia berasal dari suatu kota kecil.

“Ketika aku lahir, di ranjang bayiku ada sebuah bola sepak… dan aku bermain sepakbola terus sejak saat itu,” kata Diaz. “Kota kelahiranku, Fresia, adalah kota kecil, tetapi ada sebuah akademi sepakbola bagi kaum muda di sana. Selain bermain di tingkat lokal, ayahku membawaku ke berbagai pelosok negeri untuk membuatku menikmati pengalaman dari beragam turnamen dan kompetisi lainnya. Aku sangat beruntung bisa naik ke tingkat profesional dan bermain di tengah stadion-stadion yang penuh dengan penonton. Sungguh luar biasa rasanya.” Diaz bermain bagi klub divisi satu Universidad de Chile dan dua kali berhasil membawa timnya masuk dalam Copa Libertadores.

Namun suatu pengalaman tragedi menimpanya, dan dengan kematian saudara laki-lakinya, iman yang sangat berarti dan dihayati oleh orangtuanya tidak lagi menjadi bagian penting dari hidup Diaz. Setelah beberapa waktu lamanya ia merenungi pengalaman itu, dan setelah Allah menyatakan diri-Nya kepada Diaz, ia pun kembali meyakini imannya dan menyerahkan hidupnya bagi Kristus.

“Keluargaku selalu beribadah di gereja, tetapi jujur saja, aku ikut dengan mereka karena aku diharuskan oleh orangtuaku,” kata Diaz. “Aku masih ingat betul ketika kami duduk di bangku gereja. Dengan kematian kakakku, akhirnya aku menyadari siapa Allah bagiku—dan apa artinya Dia di dalam hidupku. Aku percaya 100 persen tidak ada orang yang dapat hidup tanpa Allah!”

Sekalipun iman Diaz menolongnya untuk bertahan dari hari ke hari, ia memahami bahwa ia tidaklah kebal terhadap kesulitan hidup. Imannya tidak mencegah kejadian buruk terjadi dalam hidupnya, tetapi iman itu sanggup menolongnya mengatasi masa-masa sulit yang akan terjadi sewaktu-waktu.

“Aku telah menyadari bahwa Allah sering melakukan hal-hal yang mustahil. Aku hanya perlu percaya kepada-Nya dan pada firman-Nya,” kata Diaz.

Diaz kemudian membagikan salah satu pelajaran berharga yang ia dapatkan dari firman Tuhan: “Raja Salomo adalah orang yang sangat bijaksana. Ketika ia menjadi raja di usia muda, Tuhan menampakkan diri kepada-Nya dan berkata, ‘Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu’ (1 Raja-Raja 3:5). Dari semua hal yang dapat dikehendaki oleh Salomo, ia meminta ‘hati yang faham menimbang perkara’. Ia tahu bahwa mengandalkan Allah untuk menuntun langkahnya adalah kunci dari hidup yang berhasil. Dari Amsal 3:5-6, Salomo menuliskan pengalaman pribadinya, ‘Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.’ Kiranya engkau juga akan percaya kepada Allah dan mengenal Dia dengan sepenuh hatimu.”

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Mana yang selama ini lebih membuatmu makin bergantung pada Allah: hidup yang lancar atau pengalaman hidup yang sulit?

2. Menurutmu, mungkinkah ada orang yang bisa hidup tanpa Allah? Mengapa?

Yang Terpenting Bukan Sepakbola

Seri Kesaksian Atlet

Lee Young-Pyo

Ketika Lee Young Pyo melangkah keluar lapangan untuk terakhir kalinya sebagai seorang pemain sepakbola profesional pada pertandingan penutup musim 2013 bersama Vancouver Whitecaps, para penonton di stadion BC Place pun berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah kepada sang pemain belakang yang telah melalui dua musim yang luar biasa sebagai anggota Vancouver Whitecaps dan 14 tahun sebagai pemain profesional. Para hadirin yang memenuhi stadion itu menyerukan dengan lantang, “Y.P. Lee!” Ada dari mereka yang mengangkat bendera Korea Selatan dengan wajah Lee terpampang di tengahnya. Rekan-rekan setim Lee mengelilinginya dan kemudian melemparkannya ke udara berulang-ulang.

Bagaimana kamu akan menanggapi limpahan pujian dari orang-orang di sekitarmu?

“Allah adalah yang terpenting bagiku, bukan sepakbola,” ujar Lee. “Sepakbola hanyalah satu dari banyak cara bagiku untuk memuliakan dan melayani Tuhanku.”

Sebelum pensiun dari lapangan hijau, Lee merupakan salah seorang pemain sepakbola asal Asia yang paling populer dan menawan sepanjang sejarah. Terlahir di Hongcheon, sepanjang karirnya Lee telah mengenakan kostum tim nasional sebanyak 127 kali—ketiga terbanyak di Korea Selatan—dan bertanding dalam 3 kejuaraan Piala Dunia (2002, 2006, 2010), dan membantu tim yang dijuluki Taeguk Warriors itu mencapai semifinal Piala Dunia tahun 2002.

Setelah memulai karir profesionalnya di Liga Sepakbola Profesional Korea Selatan, Lee terjun dalam kompetisi tingkat tinggi di Eropa ketika ia dikontrak oleh PSV Eindhoven dari Liga Eredivisie Belanda. Setelah tiga tahun bermain di Belanda ia melanjutkan karirnya bersama Tottenham Hotspurs di Liga Primer Inggris, Borussia Dortmund di Bundesliga Jerman dan Al-Hilal di Liga Profesional Arab Saudi.

Di penghujung karirnya, untuk dua tahun ia bermain bagi Vancouver Whitecaps dari Liga Sepakbola Utama Amerika (MLS). Meski ia dikabarkan menerima tawaran yang lebih tinggi di tempat lain, langkah ini dilakukannya karena ia berpikir bahwa Vancouver akan memberinya kesempatan yang lebih baik untuk belajar tentang sisi bisnis dari dunia sepakbola.

Yang paling membuat takjub Lee bukanlah karirnya yang luar biasa di atas lapangan hijau, melainkan keselamatan jiwa yang telah diterimanya. Dengan latar belakang keyakinan yang berbeda, ia kini telah mempercayakan imannya kepada Kristus setelah beberapa sahabatnya menyaksikan iman mereka dan menantangnya untuk membaca Alkitab.

“Ketika aku dengan tulus mencari kebenaran dengan membaca dan berbicara dengan sahabat-sahabat dekatku, aku sungguh terkagum,” kata Lee. “Allah menunjukkan padaku bahwa Dia memang ada, dan hidupku pun berubah selamanya.”

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Lee dengan tulus mencari kebenaran sebelum akhirnya memercayakan imannya kepada Kristus. Pernahkah kamu sungguh-sungguh mempertimbangkan semua pilihan yang ada selain Kristus? Apa yang membuatmu akhirnya memercayakan imanmu kepada Kristus?

2. Apa yang berubah dalam hidupmu sebelum dan sesudah kamu percaya kepada Kristus?

Dia Menopang Kehidupanku

Seri Kesaksian Atlet

Radamel Falcao

Radamel Falcão, salah seorang penyerang terbaik di dunia, direkrut oleh Monaco pada Mei 2013 dengan nilai transfer fantastis dari Atletico Madrid. Kemudian, hidup Falcão menjadi makin semarak. Tiga bulan setelah kontraknya, Falcão dan istrinya, penyanyi asal Argentina Lorelei Taron, mendapatkan buah hati mereka yang pertama, Dominique Garcia Taron.

Kontrak baru. Anak pertama. Sungguh tahun yang indah bagi Falcão, pemain berusia 28 tahun yang telah menjadi simbol bagi tim nasional Kolombia.

Namun demikian, pada 22 Januari 2014, saat bertanding bersama Monaco dalam pertandingan Piala Perancis, lutut kiri Falcão cedera setelah terkena jegalan yang keras. Akibatnya, ia harus menjalani operasi pada ligamen anterior tiga hari kemudian. Saat itu impiannya bermain bersama tim nasional runtuh seketika. Piala Dunia adalah kesempatan yang datang empat tahun sekali, dan cedera yang dideritanya seakan membawa petaka bagi tim nasional Kolombia.

Akan tetapi apa yang telah membuatnya teguh di masa-masa gemilang juga telah menguatkannya di tengah masa-masa yang sulit itu. Allah. Ya, Falcão selalu bergantung pada Allah. Dan ia tahu pasti bahwa Allah punya rencana yang lebih baik ketika mengizinkannya mengalami cedera.

Siapa sebenarnya pemain sepakbola yang tangguh ini? Falcão—yang dikenal “El Tigre” atau “Sang Harimau”—adalah seorang yang sangat mencintai keluarganya, seorang Kristen yang saleh, dan pemimpin dari suatu pelayanan olahraga. Para penggila sepakbola berdecak kagum menyaksikan keterampilan dan kemampuannya mencetak gol. Para pengagum dan pebisnis menyukai penampilannya yang unik—wajah yang ramah dengan rambut hitam yang panjang dan kentara. Tim-tim sepakbola menyanjung reputasinya yang tak bercela di luar lapangan.

Falcão pertama kali dikenal publik ketika ia berusia 13 tahun dan bermain untuk klub Lanceros Boyaca di Kolombia. Sejak saat itu ia terus membuat orang mengagumi permainannya di atas lapangan. Ketenarannya mulai memuncak ketika ia bermain bagi Atletico Madrid pada tahun 2011-2013, saat ia berhasil mencetak lebih dari 100 gol. Pada tahun 2012, harian The Guardian menempatkan Falcão pada posisi nomor 6 dalam peringkat 100 pesepakbola terbaik di dunia. Pelatih top Fábio Capello menganggap Falcão dapat disejajarkan dengan bintang-bintang internasional seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Namun prestasinya itu juga membawa tekanan dan godaan—tekanan untuk selalu tampil prima dan godaan untuk menerima sanjungan orang yang memuji penampilannya.

“Saya merasa diberkati dapat bermain sebagai penyerang dan mencetak gol,” ujar Falcão. “Itulah puncak sukacita yang bisa dirasakan dalam suatu pertandingan dan suatu momen spesial bagi para pemain dan penggemar. Namun dengan sanjungan dan tanggung jawab untuk mencetak gol, aku juga merasakan banyak tekanan. Aku bergantung pada Allah di dalam tekanan tersebut, karena aku sadar Dia selalu ada bersamaku untuk menolongku. Imanku di dalam Dia telah menolongku menguasai diri dan tetap teguh dalam keyakinanku di sepanjang karir—dan juga sepanjang hidupku.”

Itulah yang membuat Falcão begitu unik—cara pandangnya di tengah ketenaran dan kekayaan yang diterimanya, serta sikapnya yang selalu bergantung kepada Allah sekalipun nampaknya ia telah mendapatkan segala-galanya yang diingini di dunia.

“Ada yang berkata bahwa semua yang dapat memberikan kepuasan sejati adalah prestasi di lapangan, pengakuan dunia dan uang yang banyak,” komentar Falcão. “Tetapi banyak orang merasa hampa dan hatinya kosong meskipun mereka terkenal dan kaya-raya. Aku percaya hanya Allah yang dapat memuaskan dahaga jiwa kita. Yesus Kristus memberikan nyawa-Nya untuk memuaskan dahaga itu. Bersama Dia, kita dapat merasa yakin bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan kita. Aku meyakini betul hal ini karena aku telah sering mengalami bukti kesetiaan dan kasih-Nya dalam hidupku sendiri.”

Orang yang belum pernah menikmati kesenangan dunia ini mungkin pantas mengatakan bahwa dunia ini tidak berarti, tetapi alangkah luar biasanya apabila itu keluar dari seseorang yang telah mencapai puncak kesuksesan, seperti Falcão. Orang yang tidak mempunyai uang bisa saja berkata kalau kekayaan itu tak berarti; tetapi sungguh mengagumkan apabila pengejaran akan uang itu diabaikan oleh seseorang yang telah benar-benar merasakan nikmatnya kekayaan.

Kesaksian Falcão mengingatkan kita untuk melihat dunia sebagaimana adanya, tidak diperdaya oleh kemasannya yang menggiurkan. Seorang teolog bernama Henri Nouwen pernah menulis dalam bukunya Life of the Beloved, “Anda harus terus membongkar pandangan dunia tentang diri Anda apa adanya: pandangan yang penuh tipu daya, berhasrat menguasai, gila kuasa, dan pada akhirnya, membawa kehancuran.”

Teolog lain, Agustinus, pernah berkata, “Engkau telah mencipta kami bagi diri-Mu, ya Tuhan, dan hati kami takkan tenteram sebelum menemukan perteduhannya di dalam Engkau.” Ada yang menyebutnya kegelisahan itu sebagai “kehampaan seukuran Allah” di dalam hati kita yang akan menganga selamanya, tak peduli betapa hebatnya prestasi atau banyaknya uang yang ada di rekening kita.

Iman Falcão adalah hal yang terpenting baginya ketika ia bermain baik. Iman itu jugalah yang menjaganya untuk bergantung pada Allah di dalam kegagalannya. Iman Falcão menjadi penopang hidupnya di tengah berbagai keadaan yang tidak menentu.

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Hal apa yang menurutmu jika diraih akan memberikan kepuasan dalam hidup ini?

2. Bayangkanlah kamu meraih kesuksesan dalam banyak hal seperti Falcão. Lalu mendadak Allah mengizinkan impianmu runtuh dalam semalam. Bagaimana iman kepada Yesus Kristus dapat menopangmu dalam naik turunnya kehidupanmu?

Menang Bersama Allah Setiap Hari!

Seri Kesaksian Atlet

Jose_ Luis Vidigal

Sepanjang 18 tahun bermain sebagai pemain profesional, José Luis Vidigal menghabiskan sebagian besar karirnya di Italia dan Portugal. Di sepanjang masa itu ia mewakili negaranya dalam 28 pertandingan, termasuk 7 dalam tim U-21, 6 dalam Olimpiade dimana Portugal meraih posisi keempat, dan 15 dalam tim nasional.

Empat dari pertandingannya di tim nasional dijalani dalam kejuaraan Piala Eropa UEFA, termasuk kekalahan dari Perancis di semifinal. Namun yang paling memberi kenangan manis dan keseruan tersendiri adalah kemenangan 3-2 atas Inggris. Setelah ketinggalan 2-0, Portugal berhasil mencetak tiga gol berturut-turut, lalu menjuarai Grup mereka dengan rekor 3 kali kemenangan. Di babak-babak selanjutnya, Portugal memenangi pertandingan pertamanya, 2-0 melawan Turki, sebelum akhirnya tunduk pada Perancis di semifinal dengan skor 2-1.

“Aku takkan lupa pertandingan itu (melawan Inggris) karena kami berada dalam situasi yang kurang beruntung,” cerita Vidigal. “Namun aku ingat bagaimana Allah meyakinkanku bahwa kami akan menjalani kejuaraan itu dengan baik. Meski kami kalah 2-1 (dari Perancis di semifinal), aku masih percaya bahwa ada kebaikan yang muncul dari kekalahan itu. Aku yakin, Yesus Kristus-lah yang mengubah kekalahan di atas lapangan hijau menjadi hasil yang luar biasa—Yesus telah mengubah hidupku. Awalnya aku berpikir aku bisa melakukan semuanya seorang diri, dalam relasiku dengan keluargaku, dan dalam kehidupan profesional dan pergaulanku. Aku pernah percaya hanya pada kemampuanku sendiri, tetapi semua itu sia-sia.”

Sebagai anak kedua dari 12 bersaudara, termasuk empat saudara yang juga bermain sepakbola, Vidigal memahami apa artinya berjuang untuk mendapatkan perhatian. Betapa melegakan ketika ia menemukan bahwa Allah begitu mengasihinya, memperhatikannya, dan menerimanya, bukan karena kebaikannya, tetapi karena apa yang sudah dilakukan Kristus.

“Ketika aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku, semuanya menjadi lebih indah. Aku belajar untuk mengampuni dan menolong sesama. Hidupku berubah,” tutur Vidigal. Ia masih bermain dalam sembilan musim setelah Piala Eropa itu, tetapi sepakbola tidak lagi menjadi nomor satu dalam hidupnya.

“Aku percaya pada Yesus karena aku tahu bahwa hidupku tidak berakhir di dunia ini,” kata Vidigal. “Aku punya tempat yang khusus di sisi Yesus, dan Dia menerimaku. Aku ingin semakin banyak orang yang mempunyai iman dan menyadari bahwa mereka harus menerima Dia, karena jika tidak, mereka akan menghadapi masa-masa yang sulit ketika hidup mereka di dunia berakhir.”

“Motivasiku dalam segalanya datang dari Tuhan, karena aku hidup dan bekerja bagi Dia. Aku mau menjadi teladan dari Allah di atas bumi. Jika aku tidak melakukannya, dan jika aku tidak didorong oleh Allah, pasti sulit untuk memberitakan tentang Dia kepada orang lain.”

“Ayat Alkitab favoritku adalah: ‘Dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.’ (Roma 8:37) dan ‘Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal’ (Yohanes 3:16).”

“Ayat pertama itu berkaitan erat dengan profesiku. Aku percaya bahwa aku dapat menikmati kemenangan dalam hidupku sehari-hari. Maksudku bukanlah menang dalam sepakbola atau olahraga lainnya, tetapi di dalam hidup. Ayat Yohanes 3:16 adalah dasar bagi imanku.”

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Menurutmu mengapa orang harus percaya kepada Yesus?

2. Jika tidak selalu kita bisa menjadi nomor satu, menurutmu apa artinya menang bersama Allah di dalam hidup ini?

Masihkah Aku Membutuhkan Allah?

Seri Kesaksian Atlet

Lucio

Ketika mantan kapten Brasil Lucimar Ferreira da Silva, atau lebih dikenal di dunia sepakbola dengan nama Lúcio, sedang mengingat-ingat kejayaan Brasil di Piala Dunia 2002 di Jepang, pikirannya membayangkan perasaan yang dialaminya saat ia membawa bangsanya yang gila bola itu meraih gelar yang paling diidam-idamkan dalam dunia olahraga.

Hal itu membuatnya berpikir tentang apa yang terpenting dalam hidupnya.

“Di Brasil, semua orang memimpikan ini,” ujarnya tentang memenangi Piala Dunia. “Aku telah mengambil bagian dalam impian yang luar biasa itu. Kami adalah tim yang hebat dan itulah momen yang sangat penting dalam hidupku dan keluargaku. Sekali lagi, kami mendapat kesempatan untuk bersyukur kepada Allah di depan mata seluruh dunia. Tentu saja itu lebih penting daripada gelar juara yang kami raih.” Para pemain Brasil menunjukkan kecintaan mereka bagi Allah ke hadapan dunia dengan cara menanggalkan kostum mereka dan memperlihatkan tulisan-tulisan yang berbicara tentang Yesus dan kasih mereka kepada-Nya pada kaos dalam yang mereka kenakan.

Dalam suatu perbincangan singkat, bukan hal yang aneh mendengar Lúcio berulang kali menyatakan rasa syukurnya kepada Allah atas setiap aspek hidupnya—tentang penghidupannya sebagai pemain sepakbola, istri dan anak-anak yang dimilikinya, dan berbagai hal-hal sederhana dalam hidup.

Lúcio telah bermain dalam lebih dari 100 pertandingan internasional bagi tim nasional Brasil, termasuk sebuah pertandingan akbar pada Juni 2009 ketika ia mencetak gol pamungkas yang membawa Brasil berbalik unggul 3-2 melawan tim Amerika Serikat dalam kejuaraan Piala Konfederasi di Afrika Selatan.

“Aku pikir keyakinan diri yang kami punya sepanjang Piala Konfederasi itu sangat penting,” kata Lúcio. “Tapi di atas semuanya, kami menyadari kuasa Allah sedang bekerja dalam hidup kami.”

Fokusnya dari dulu hingga sekarang tetap pada Allah dan segala kebaikan-Nya. Ia menyadari kebutuhannya akan Tuhan meski di mata manusia ia sepertinya telah mencapai segalanya.

“Aku percaya ketika aku bermain untuk klub yang hebat, bermain di tim nasional, mempunyai seorang istri dan keluarga yang mendukungku, semua itu justru menunjukkan bahwa aku sangat membutuhkan Allah,” kata Lúcio.

“Dengan yakin hari ini aku dapat berkata bahwa Allah telah melakukan banyak hal dalam hidupku yang tidak pernah aku bayangkan. Allah juga yang memungkinkan aku memahami apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, mengalami kasih yang Dia nyatakan kepada kita setiap hari, dan belas kasihan-Nya atas kelemahan kita sebagai manusia berdosa. Aku percaya Allah mengasihi kita sekaligus memelihara kita, sekalipun kita sering gagal mengasihi-Nya. Aku percaya kesadaran-kesadaran seperti inilah yang membawa kita rindu makin dekat kepada-Nya tiap-tiap hari.”

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Hal apa saja dalam hidupmu yang menunjukkan bahwa kamu sangat membutuhkan Allah? Ketika segala sesuatu dalam hidupmu baik-baik saja, di mana peran Allah dalam hidupmu?

2. Bagaimana kamu menunjukkan kecintaanmu kepada Allah selama ini?

Ketika Aku Mempertanyakan Allah

Seri Kesaksian Atlet

Clint Dempsey

Clint Dempsey menyadari kecintaannya pada sepakbola sejak masa sekolah. Luapan kegembiraan setelah mencetak gol telah mendorong Dempsey makin mendalami kecintaannya pada olahraga yang telah membawanya hingga ke berbagai tempat di dunia dan bermain dalam level tertinggi di Eropa dan Amerika Serikat.

“Awalnya orangtuaku membawaku belajar sepakbola supaya aku mempelajari cara bergaul yang baik dengan orang lain,” kata Dempsey. “Aku tidak pernah tahu bahwa olahraga yang kusukai dan keterampilan yang kupelajari itu kemudian berperan besar dalam hubunganku dengan Allah.”

Dempsey masih berusia 21 tahun ketika ia menjadi pemain profesional, dan pada tahun itu juga ia berhasil masuk dalam tim nasional Amerika Serikat serta meraih gelar Pemain Baru Terbaik di Liga Utama Sepakbola AS (MLS). Setahun kemudian ia membawa klubnya New England Revolution memenangi trofi juara MLS yang diraih dua kali berturut-turut. Selanjutnya ia bermain di Inggris untuk Fulham dan Tottenham Hotspur, membantu tim nasional menjuarai Piala Emas CONCACAF, mewakili negaranya dalam kejuaraan Piala Dunia dan beberapa kali digelari Atlet Sepakbola Terbaik di AS.

Allah telah mulai membentuk hidup Dempsey jauh sebelum ia berkiprah dalam sepakbola. Dan uniknya, pembentukan itu justru dimulai melalui sebuah tragedi yang terjadi saat ia masih berusia 12 tahun.

“Aku bertumbuh di dalam keluarga yang taat beragama dan biasa pergi ke gereja bersama Nenek setiap Minggu. Melalui Nenek, aku menyadari arti penting dari iman,” cerita Dempsey. “Namun, saat aku berusia 12 tahun, hidupku berbalik 180 derajat. Jennifer, saudara perempuanku, meninggal dunia (karena aneurisma otak) dan aku banyak mempertanyakan mengapa semua itu terjadi dan bagaimana campur tangan Allah di dalam semua itu. Selama bertahun-tahun, aku bergumul dan menjauh dari hubungan dengan Allah. Namun Dia setia dan sabar, dengan perlahan-lahan memberikan pemulihan dan kekuatan yang baru.”

Ya, meskipun Dempsey telah mengenal Allah karena lahir dari sebuah keluarga Kristen, ia tidak sungguh-sungguh mencari Allah. Namun Allah terus mencarinya. Pada saat kuliah, ada satu kelompok PA di Universitas Furman di Greenville, South Carolina yang mendukungnya untuk mengenal Allah lebih jauh dan memahami arti dari iman yang aktif.

“Di universitas, aku bergabung dengan sebuah kelompok PA. Firman Tuhan memberiku damai sejahtera dan suatu kerinduan untuk berhubungan dengan Dia,” tutur Dempsey. “Aku mendapati bahwa mempertanyakan Dia dan mencari jawaban melalui Kitab Suci telah menolongku bertumbuh dan memberiku arah yang jelas. Kini imanku di dalam Kristus telah memberiku keyakinan akan masa depan. Aku tahu, di tengah pengalaman yang baik atau buruk, Dia tetap setia dan akan terus menjagaku.”

Tidak hanya melalui kelompok PA. Allah juga membentuk Dempsey melalui tragedi lainnya.

Suatu hari, dua rekan setimnya mengajaknya pergi ke suatu konser. Karena tidak punya banyak uang, Dempsey pun menolak ajakan itu. Tanpa diduga, dalam perjalanan ke konser, mobil yang ditumpangi kedua rekan Dempsey mengalami kecelakaan hingga jungkir balik. Sebuah truk 18 roda menghantam mobil itu dan menewaskan salah seorang dari mereka, sementara yang satu lagi mengalami luka-luka parah yang membuatnya tidak bisa lagi bermain sepakbola.

Allah memakai tragedi di masa lalu Dempsey untuk membentuk pandangannya terhadap kehidupan. Dempsey jadi menyadari bahwa ia tak dapat mengandalkan kehebatannya sendiri untuk membuat hidupnya berarti. Hidupnya dapat berakhir kapan saja. Sebab itu, kerinduannya untuk menyenangkan Allah pun makin besar. Ia ingin memakai waktunya yang singkat di dunia ini untuk memberi pengaruh yang baik dalam hidup sesama.

Kini fokus doa Dempsey bukanlah agar hidupnya aman, bebas dari bahaya. “Sekarang, aku berdoa untuk dikuatkan dalam menjalani hidup yang terbentang di depanku,” tutur Dempsey. Ia pun bertekad, “Aku bermain sebaik yang aku bisa dan bersyukur untuk banyaknya kesempatan dan keberhasilan yang telah diberikan-Nya kepadaku. Dalam semua itu, aku mau melakukan apa yang benar, tidak salah jalan, dan menjalani hidup yang menyenangkan Allah.”

Salah satu wujud nyata dari tekadnya itu adalah kedisiplinan Dempsey untuk membaca Alkitab. Firman Allah menolongnya untuk terus bertumbuh.

“Allah memberikan kekuatan, bahkan di tengah keadaan yang tampaknya mustahil,” kata Dempsey membagikan salah satu pelajaran yang didapatnya dari Alkitab. “Dari kitab Kejadian dalam Alkitab, Allah menjanjikan Abraham bahwa ia akan menjadi bapa dengan banyak keturunan, tetapi selama bertahun-tahun, Sara, istrinya, tidak dapat mempunyai anak. Bahkan ketika ia hampir berusia 100 tahun, Abraham ‘tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah’ (Roma 4:20). Iman Abraham pun berbuah manis ketika Allah menepati janji-Nya dan Sara pada usia 90 tahun melahirkan anak mereka, Ishak.”

Sumber: Sports Spectrum

 

🙂 Untuk direnungkan

1. Kapan pertama kalinya kamu menyadari bahwa kamu membutuhkan Allah? Peristiwa-peristiwa apa saja yang telah membawamu mengenal-Nya?

2. Ketika kamu memiliki pertanyaan-pertanyaan tentang Allah, seberapa besar hasratmu untuk mencari jawabannya melalui doa dan pembacaan Alkitab?