Posts

Kerohanianmu Hanya Ilusi

Oleh: Natan Elia

foto oleh: Gavin Mills

Cerita ini tidak untuk menuding atau menghakimi.
Cerita ini nyata dan dapat terjadi di kehidupan siapapun.

Jangan pernah pikir kamu religius, tahu banyak tentang Alkitab, anak Tuhan yang baik. Manusia telah jatuh dalam dosa. Dosamu menghabiskan waktumu, merabunkan matamu terhadap kebenaran, membiaskan makna menjadi sekedar memori, bahkan angin lalu.

Status Kristenmu telah lebih dari 10 tahun. Selama itu pula hal-hal rohani kamu anggap pelajaran. Demikianlah konsep mata pelajaran agama dan sekolah minggu masa kini, bukan? Selama umurmu kamu rabun. Kamu sudah membaca Alkitab, berdoa, rajin ke gereja. Kamu bahkan sudah menceritakan Tuhan Yesus kepada temanmu. Kamu menyadari dirimu sebagai pribadi rohani yang cinta Tuhan. Padahal semuanya hanya ilusi.

Kamu menyebut Aku tak mengenalmu. Kamu bilang Aku mengatakan banyak hal yang telah kamu ketahui dari hasil membaca Alkitabmu selama lebih dari 10 tahun, membosankan! Kembali kamu menganggap dirimu sebagai pribadi rohani yang cinta Tuhan. Padahal semuanya hanya ilusi.

Kamu percaya Yesus Juruselamat. Kamu menuntut diri bertekun dalam pengajaran dan iman. Sebab kamu ingat Yesus menyuruhmu berjaga-jaga menantikan akhir zaman yang datangnya seperti pencuri. Kamu membaca Alkitab dan berdoa hampir setiap hari. Orang tuamu bangga, teman-temanmu bangga terhadap kamu. “Luar biasa!” kata mereka. Padahal sebagian besar hanya ilusi.

Saat ujian, tak lupa kamu berdoa dan berkata bahwa nilai yang kamu peroleh untuk kemuliaan nama Tuhan. Kamu mendapat nilai yang baik, lalu apa yang kamu lakukan? Kamu berdoa berterima kasih kepada Tuhan. Kamu mendapat nilai yang buruk, lalu apa yang kamu katakan? “Maafkan aku, Tuhan. Aku gagal memuliakan nama-Mu. Tidak sekedar next time, tetapi apa yang kulakukan kemudian harus memuliakan nama-Mu.” Apa maksudmu? Mengatakan itu untuk kemuliaan Tuhan dengan tujuan agar kamu mendapat nilai yang baik? Seolah-olah nilaimu itu adalah ukuran seberapa hebatnya Tuhan.

Status Kristenmu telah lebih dari 10 tahun. Alkitab belum habis kamu mengerti. Doamu tidak benar-benar tertuju kepada Tuhan. Kamu ke gereja karena kamu merasa butuh, merasa itu kebiasaan, atau merasa itu kewajiban, bahkan merasa itu cara tetap bertekun dalam pengajaran dan iman. Di gereja kamu mengantuk dan mengatakan pada dirimu sendiri bahwa kamu harus tetap terjaga. Kamu tidak benar-benar ada di sana. Sadarilah kamu melamun. Sadarilah kamu mendengar dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi hal yang kamu terima tak pernah tertancap, mengakar dan bertumbuh di hatimu.

Memang betul kamu rajin ke gereja. Good job buatmu, tetapi kamu tidak benar-benar menggerejakan gerejamu. Sudahkah kamu ada di gereja untuk saling menguatkan satu sama lain? Atau hanya mengomentari bahwa khotbahnya kurang bagus. Atau melihat permainan musik yang baik dan menoleh saat salah satu personil melakukan kesalahan atau melodi menarik. Atau bernyanyi agar hatimu tenang. Atau jauh dari masalah-masalahmu sesaat. Atau menggunakan gerejamu untuk mengekspresikan tingkat kerohanianmu kepada makhluk yang kamu anggap bisa melihatmu.

Doamu tidak membawamu hanyut dalam pembicaraan yang sangat dekat kepada Tuhan. Tidak pernah kamu sehanyut saat berbicara dengan sahabatmu. Sadarilah kamu hanya melapor kepada Tuhan tentang apa yang kamu alami hari ini. Sadarilah kamu hanya minta diberkati. Sadarilah 90% jiwamu tersangkut di kasur tempat kamu berdoa. Sadarilah kamu melamun sambil menutup mata saat doa dikatakan oleh pendetamu.

Pantaslah Tuhan berkata, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” Maksudnya ternyata adalah bahwa kita sangat-sangat sulit untuk berdoa, walau kita bisa melakukannya. Sangat sulit untuk baca Alkitab, walau kita bisa baca komik berjibun. Sangat sulit untuk ikut persekutuan doa, walau tinggal jalan kaki dekat kost. Sangat sulit untuk menikmati kebersamaan dengan Tuhan, walau kita beserta Tuhan. Rabunlah kita karena dosa. Tetapi kita belum pernah berusaha sekuat tenaga memegang erat tangan Tuhan melawan dosa-dosa tersebut, karena begitu kecil cinta kita kepada-Nya.

Apa perbedaanmu dibanding seorang ateis, hai anak Tuhan yang baik? Secara gamblang, kamu seorang ateis yang dilabeli tulisan “halal”. Kamu adalah gulanya es teh dosa, mudah larut. Kamu menganggap diri pintar dan berdiri tegak tanpa penopang. Kamu berbangga dengan hal-hal yang disebut rohani padahal semua kamu lakukan untuk dirimu sendiri. Pengenalanmu akan Sang Raja tergerus dalam gemerlap kehebatanmu di berbagai “pelayanan”. Kamu berteori tentang Tuhan, tapi pada praktiknya kamu hidup seolah-olah Tuhan tidak ada.

Maaf, kerohanianmu tidak nyata. Hanya ilusi.

Demikianlah gambaran kecil dari bobroknya kehidupan sang penulis yang tertegur bukan karena ditegur, tetapi disadarkan oleh Tuhan.

Bagaimana dengan hidupmu?