Posts

3 Teladan Produktivitas dari Tokoh Alkitab

Oleh Philip Roa
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Productivity Tips From 3 Bible Characters

Dunia digital membuat pekerjaan kita seolah tiada habisnya. Artikel dari American Psychological Association tahun 2022 mencatat statistik yang menyoroti tingkat kelelahan dan stres yang tinggi di semua industri.

Dari 1.500 orang yang disurvey, hasilnya:

  • Sekitar 19% mencatat kurangnya usaha dalam pekerjaan mereka.
  • Sekitar 26% merasa kurang berenergi.
  • Hampir 40% merasa kelelahan kognitif (lelah berpikir).
  • Lebih dari 30% berjuang dalam kelelahan emosional.
  • 44% merasa lelah secara fisik–meningkat hampir 40% dibandingkan tahun 2019.

Produktivitas, kelelahan, dan kejenuhan menjadi kata-kata yang tak asing dalam perbendaharaan bahasa di otak kita. Aku pun berpikir, inilah saatnya untuk menilai cara dan prinsip kerja kita berdasarkan kebenaran Alkitab. Kutemukan tiga tokoh yang menyelesaikan tugasnya sembari tetap mengupayakan kewarasan di dalam proses kerja yang berat.

1. Musa: Belajar untuk mendelegasikan tugas/meminta pertolongan

Kalau kamu merasa habis tenaga setelah ikut Zoom berjam-jam (meskipun pesertanya kurang dari 10 orang), coba bayangkan bagaimana Musa setiap hari berbicara kepada ribuan orang. Konteksnya, saat itu populasi bangsa Israel diperkirakan mencapai 2 juta jiwa, dan Musa menangani semua persilisihan mereka sendirian.

Mertua Musa, Yitro, melihat bahwa Musa pasti akan kewalahan (ayat 17-18), maka dia mengusulkan agar Musa memilih para pemimpin yang kepada mereka Musa dapat mendelegasikan tugas-tugasnya. Tujuan utamanya agar Musa dapat fokus pada perannya sebagai nabi dan pemimpin Israel.

Aku mengelola kelompok PA kecil yang terdiri dari delapan orang dan menurutku nasihat Yitro amat menolong. Dulu aku selalu memimpin setiap sesi dan mengoordinasikan segalanya sendirian, tapi aku telah belajar untuk membagi tugasku kepada mereka yang kulatih untuk menjadi pemimpin selanjutnya. Ketika aku memiliki orang lain yang mendukungku, itu tak hanya mengurangi stres, tapi juga melengkapi timku untuk bertumbuh. Sekarang aku punya dua murid yang juga memimpin kelompok komsel mereka sendiri, dan dua lainnya sedang belajar untuk mulai merintis.

Nasihat Yitro tidak cuma berlaku bagi para manajer atau kelompok komsel, tapi kepada setiap kita! Kalau kamu merasa kewalahan, bolehkah aku menyarankan beberapa tips di bawah ini?

  •  Jika kamu sudah bekerja, bicarakan pada atasanmu tentang beban kerjamu. Kamu bisa berikan usulan pribadimu tentang bagaimana kamu dapat bekerja lebih baik, atau mengatur ulang prioritas kerjamu. Cara ini lebih baik daripada kamu bersungut-sungut setiap hari tanpa mengomunikasikan permasalahan utamanya pada atasanmu.
  • Kalau kamu dapat kesempatan atau tanggung jawab baru, pertimbangkan juga untuk bertanya pada atasan/pemimpinmu apakah mungkin untuk berbagi tugas dengan anggota tim yang lain.
  • Kalau kamu merasa terjebak/stagnan dalam pekerjaanmu, mintalah nasihat dari anggotamu tentang bagaimana mengerjakan suatu tanggung jawab… terkhusus dari mereka yang sudah pernah menyelesaikannya.

Ingatlah, meminta tolong bukanlah tanda kelemahan (Pengkhotbah 4:9-10).

2. Paulus: Mengatasi kecemasan dengan menyerahkannya pada Yesus

Kamu butuh pola pikir yang benar untuk mengalahkan kebiasaan buruk yang mengarahkanmu pada bekerja berlebihan… atau sebaliknya: kurang berusaha! Riset-riset menunjukkan bahwa kecemasan bisa menurunkan performa kerja, tapi bisa juga mendorong seseorang untuk bekerja secara over. Kamu mungkin bekerja mati-matian, tapi tetap saja tidak maksimal kalau kamu mengerjakannya dengan cemas.

Kecemasan bicara tentang ketidaktahuan akan masa depan—di mana kita akan kerja dan apakah penghasilannya cukup, dan sebagainya. Alkitab mendorong kita untuk tidak khawatir akan apa pun juga, tetapi menyerahkannya dalam doa dan permohonan pada Allah (Filipi 4:6-7).

Selama beberapa waktu aku mendoakan Tuhan mencukupi kebutuhan finansialku agar aku dan pacarku bisa menikah. Kami tidak ingin meminta bantuan uang dari keluarga. Di masa ketika inflasi dan biaya hidup meningkat, aku butuh Tuhan untuk mengatasi kekhawatiranku akan tak punya cukup uang untuk biaya menikah nanti (juga untuk kehidupan berkeluarga kelak).

Syukurlah, doaku dijawab Tuhan. Aku naik jabatan setelah disahkan menjadi karyawan tetap. Ini meneguhkanku bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita ketika kita sungguh menyerahkan beban dan kekhawatiran kita pada-Nya.

Mudah bagi kita untuk menganggap klise apa yang tertulis di Filipi 4:6-7, tetapi coba membacanya dengan seksama dan perlahan. Ayat itu bicara tentang damai sejahtera Allah memelihara “hati dan pikiran” (ayat 7).

Damai-Nya melindungi kita dari pikiran-pikiran yang penuh kekhawatiran. Ketika kita tahu kita memiliki Bapa yang mengasihi, yang peduli dan mengasihi, kekhawatiran kita akan berkurang. Kita pun akan terbebas dari kecenderungan untuk bekerja terlalu keras dalam upaya untuk menjaga diri kita sendiri.

3. Yesus: Ketahui kapan harus beristirahat atau berhenti

Tahukah kamu bahwa Tuhan Yesus sendiri mempraktikkan kebiasaan kerja yang sehat dengan menolak orang di akhir hari kerja-Nya yang panjang? (Matius 14:22-23). Yesus memberi waktu agar diri-Nya dan murid-Nya beristirahat. Dalam keilahian-Nya, Yesus juga manusia seratus persen sehingga tubuh-Nya masih merasakan lelah, lapar, dan haus seperti kita.

Tanpa beristirahat, kita takkan bisa sungguh produktif. Artinya, istirahat berupa mengesampingkan sejenak tugas dan tanggung jawab untuk kegiatan yang sehat seperti tidur, rekreasi, dan waktu bersama Tuhan adalah bagian dari produktivitas juga.

Kita perlu mengatur batasan waktu kerja, terlebih bagi kita yang bekerja secara remote. Sudahi pekerjaanmu setelah jam kerja berakhir. Bagi mereka yang ada di posisi pimpinan juga dapat menginisiasi budaya kerja yang sehat dengan meneladankan jam masuk dan pulang yang tepat, agar tim kita pun mengikutinya. Bahkan untuk kelompok komsel, kita juga bisa menerapkannya.

Hal lain yang kupelajari ialah, jika sesuatu tidak sangat-sangat mendesak, aku bisa mengerjakannya di besok paginya. Selama bertahun-tahun aku kerja, aku juga belajar untuk mengatur waktu-waktuku dengan bijak, tidak mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam.

Saat kita bekerja untuk Tuhan, kita harus produktif dalam cara yang menunjukkan kesetiaan pada apa yang kita punya seperti talenta dan waktu. Tunjukkan juga bahwa dalam upaya kita, kita tidak melupakan istirahat dan menikmati buah dari usaha tersebut. Pengkotbah 3:13 berkata, adalah baik untuk makan, minum, dan menemukan kepuasan dalam pekerjaan kita—tak sekadar menghabiskan seluruh waktu kita buat kerja. Kepuasan adalah karunia Tuhan, dan marilah kita dengan senang hati menerimanya supaya hadir sukacita yang mendorong kita hidup lebih produktif.

Berhenti Mencari Tahu Apa yang Jadi “Panggilan” Hidupmu dan Mulailah Menghidupi Hidup itu Sendiri

Artikel ini ditulis oleh YMI

Momen ketika kamu berhasil menemukan panggilan hidupmu sering digambarkan sebagai momentum besar yang akan mengubah hidupmu selamanya. Jadi, kita pun terus mencarinya, menanti, dan berharap momen itu datang. Kita membayangkan kelak kita melakukan pekerjaan yang mengubah hidup–menulis cerita-cerita tentang kaum marjinal, membuka rumah singgah atau yayasan buat anak-anak yang rentan, atau pergi melakukan perjalanan misi.

Pengejaran kita yang tanpa henti untuk menemukan panggilan hidup sedikit banyak dipengaruhi juga oleh media yang kita konsumsi, yang bilang mimpi harus dikejar, dan suara hati yang berbisik harus didengar supaya kita tahu tujuan hidup kita yang lebih besar.

Lantas kita meminta kelompok komsel untuk mendoakan kita, membaca apa pun yang membuat kita tahu mana yang kehendak Tuhan supaya kita menemui panggilan-Nya… atau bisa juga ikut kuis-kuis tentang kepribadian supaya tahu apa sih yang sebenarnya jadi ‘panggilan’ kita.

Tapi…hari-hari berlalu… ‘panggilan’ itu masih entah di mana. Bos kita di tempat kerja masih saja toxic, teman kita sudah dipromosikan jabatannya… dan kita sendiri dengan tak sabar menanti kapan weekend karena sudah capek kerja.

Setiap hari kita terus memberi tahu diri kita kalau hidup akan berubah—perjalanan kita akan lebih mulus, minim masalah, pokoknya yang baik-baik—itulah yang kita deskripsikan sebagai menemukan ‘panggilan’.

Tapi… gimana kalau panggilan itu sebenarnya sudah ada di depan kita? Gimana kalau Tuhan sudah menunjukkanya dengan jelas? Gimana kalau kita coba menikmati hidup di tempat di mana Tuhan sudah letakkan kita, dengan rendah hati melayani orang-orang di sekitar kita, serta melakukan segala sesuatunya tanpa mengharap balasan?

Maukah kamu menghidupi panggilan semacam itu?

1. “Panggilan” kita adalah tentang melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipun itu tidak menyenangkan

Kita bermimpi pekerjaan kita membuat suatu proyek yang mengubah dunia, tapi kenyataannya kita berdiri dua jam di depan mesin fotokopi, mencetak ratusan lembar laporan untuk rapat besok. “Hadeh, gak seharusnya aku kerja gini…” kita menggerutu sembari menendang mesin printer yang macet.

Dalam Alkitab, Yusuf dipanggil untuk menjadi pemimpin di Mesir, tetapi ada momen ketika dia harus melewatkan hari-harinya di penjara—yang ditafsirkan oleh para ahli sejarah selama 12 tahun!—atas tindakan yang tidak dia lakukan. Namun, Yusuf setia pada tempat di mana Tuhan menempatkan dia (Kej 39,40), dan pada waktu-Nya, dia menjadi orang kedua di Mesir setelah Firaun (Kej 41:37-43). Pada akhirnya, Yusuf bisa membawa keluarganya ke Mesir dan menyelamatkan mereka dari kelaparan (Kej 46).

Seperti Yusuf, apa yang kita lakukan sekarang mungkin terasa kurang berkesan dan seolah tidak mengubah dunia, tapi Tuhan telah menempatkan kita pada suatu peran untuk sebuah tujuan. Bisa jadi yang kita lakukan sekarang adalah batu loncatan untuk rencana-Nya kelak, dan masa-masa sekarang adalah momen terbaik untuk melatih diri kita.

Setialah pada tempat di mana kamu berada dan lakukan yang terbaik—meskipun tugasmu cuma sekadar memfotokopi ratusan lembar dokumen laporan untuk suatu rapat yang membosankan—dan izinkan Tuhan memimpinmu pada tahap selanjutnya sesuai waktu-Nya.

2. Panggilan kita adalah untuk menaati apa yang Tuhan telah perintahkan untuk kita lakukan

Rasanya keren membayangkan kelak ada begitu banyak orang yang terinspirasi oleh kita saat kita menghidupi ‘panggilan’ kita. “Bukan, itu bukan aku, itu Tuhan”, kata kita di depan ribuan orang yang mendengarkan cerita kesaksian kita.

Namun, dalam pencarian akbar kita akan panggilan, apakah kita telah melewatkan satu panggilan terbesar? Bagaimana jika pada akhirnya “panggilan” kita adalah untuk hidup menjadi serupa dengan Kristus dan menghidupi hidup yang membawa orang lain kepada-Nya.

Efesus 5:1 berkata kita adalah ‘penurut Allah’, dan kita dipanggil untuk hidup sebagai umat Allah yang kudus (Ef 5:3). Ssemua itu dimulai dengan melakukan apa yang Dia telah perintahkan kita untuk lakukan—saling mengasihi (1 Yoh 4:7), mengampuni yang telah menyakiti (Ef 4:32), peduli pada yang lemah dan terpinggirkan (Yak 1:27)—semua inilah panggilan-Nya bagi kita.

Jadi, bagaimana kita mau mengasihi teman kerja yang menyebalkan? Apakah kita menjauhinya, menyumpahi supaya semua yang menyakiti kita kena sial? Atau, apakah kita dengan murah hati memberi pada orang yang butuh?

Orang-orang di sekitar kita mengamati apa yang kita bicarakan, lakukan, cara kita menghadapi cobaan, stres, juga kepahitan hidup. Hal-hal yang kita lakukan (atau tidak) menunjukkan pada orang-orang siapa Tuhan yang kita sembah dan layani.

Kita mungkin gak akan pernah mendapat standing ovation dari melakukan semua hal di atas, tapi dalam banyak cara, mungkin apa yang kita perbuat menjadi cara-Nya untuk mengubah hidup seseorang. Kelak saat kita tiba di surga, kita mendengar Tuhan berbicara, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat 25:23).

3. “Panggilan” kita adalah menggunakan setiap kesempatan yang ada sebaik mungkin

Kita pernah mendengar kesaksian tentang orang-orang yang merasa mendapat ‘beban yang luar biasa’ yang Tuhan tanamkan di hati untuk melakukan ini dan itu. Dari situlah mereka tahu kalau itu panggilan mereka. Jadi, kita pun menanti ‘panggilan’ itu datang dengan cara yang sama.

Tapi di saat yang sama, kita menolak ikut serta jadi relawan. Kita bilang “aku doain dulu ya” pada orang yang telah mengajak.

Seiring Tuhan mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9), kita akan menjumpai sesuatu yang menggugah hati ketika kita memberi diri untuk mengamil kesempatan yang ada. Contohnya, peduli pada hewan-hewan yang ditelantarkan bisa mendorong kita untuk kelak jadi aktivis yang menyuarakan tanggung jawab pada setiap orang yang berkeputusan memelihara hewan. Peduli yuang dimaksud itu tak cuma banyak cerita di medsos, tapi misalnya kamu ikut aktif merawat seekor anjing berkutu yang terlantar lama.

Panggilan kita mungkin tidak muncul dengan segera, tiba-tiba nongol setelah kita berdoa, atau setelah kita ikut tes kepribadian yang ke-100 kali… bisa jadi panggilan itu tersembunyi di pojokan jika kita memutuskan untuk menjelajahi setiap kesempatan yang datang pada kita.

Arti dari semua ini bukannya kita harus menyerah atas impian dan hasrat yang kita ingin raih (Tuhan menempatkan dua hal itu tentu dengan alasan), tapi kita bisa berhenti mencarinya dengan cara yang serampangan. Kita bisa menemukan panggilan dengan mulai hidup di sini, di saat ini dan melakukan apa yang Tuhan telah berikan pada kita. Saat kita sungguh merenungkan apa yang Tuhan mau kita lakukan, inilah sebenarnya panggilan-Nya juga.

Cintaku yang “Profesional”

Oleh Edwin Petrus, Medan

Aku teringat dengan wejangan-wejangan yang pernah kuterima beberapa tahun yang lalu ketika aku memulai karier pertamaku. Dosen-dosenku, teman-teman kuliahku, bahkan sampai atasan di tempat kerjaku pernah menyuarakan tentang pentingnya profesionalitas di dalam pekerjaan. Nasihat-nasihat dari para senior ini tentunya menjadi masukan yang berarti.

Tanggal 18 Desember 2011, aku pun memulai hari pertamaku sebagai seorang karyawan orientasi di sebuah resort tepi pantai di pulau Bintan, Kepulauan Riau. Aku bersyukur bisa langsung diterima bekerja di tempat ini pasca menyelesaikan penulisan skripsi. Dengan berpakaian atasan putih dan bawahan hitam, aku diajak oleh bagian personalia untuk berkeliling dari satu departemen ke departemen lainnya di resort berbintang empat tersebut.

Dalam waktu lebih kurang satu jam, aku melihat profesionalitas dari rekan-rekan kerjaku di dalam melayani para tamu yang sedang berlibur di situ. Usai perkenalan singkat tentang kondisi lingkungan kerja, aku pun dititipkan di departemen pelayanan tamu untuk memulai masa orientasi. Dari sinilah perjalananku sebagai seorang pekerja hotel yang profesional berawal.

Aku mempelajari banyak kiat untuk meningkatkan kompetensi di dalam melayani para wisatawan, mulai dari penampilan hingga tutur kata. Aku juga berguru kepada rekan-rekanku tentang trik-trik di dalam menghadapi sejumlah karakteristik tamu. Demi meningkatkan kapabilitas di dalam memberikan pelayanan yang terbaik, aku belajar dengan sekuat tenaga. Aku pun tidak keberatan untuk menambah jam kerjaku ketika okupansi hotel cukup tinggi, sehingga aku bisa memiliki lebih banyak pengalaman berinteraksi dengan para tamu hotel. Aku bersyukur kerja kerasku tidak sia-sia. Profesionalitasku teruji ketika aku dua secara kali berturut-turut terpilih sebagai karyawan terbaik.

Senyuman yang merekah dari wajah para wisatawan saat aku melambaikan salam perpisahan adalah momen yang paling aku nantikan. Apalagi, jika mereka memberikan ucapan terima kasih yang tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga berupa tip. Sayangnya, aku salah memaknai bentuk apresiasi itu. Tambahan pemasukan yang menggemukkan pundi-pundiku ini mulai memutar otakku.

Cinta yang terdistorsi

Aku menyenangi dunia perhotelan sejak kecil. Aku selalu kagum melihat profesionalisme dari para karyawan hotel. Berkarier di bidang perhotelan memang adalah salah satu cita-citaku di masa kanak-kanak. Namun, cintaku terhadap pekerjaan sebagai karyawan hotel terdistorsi oleh uang. Aku memanipulasi cinta itu dengan berpura-pura menjadi seorang karyawan hotel yang profesional hanya demi memperoleh masa depan yang cerah secara finansial.

Aku menghabiskan hari-hariku di tempat kerja bukan lagi karena ingin melayani para wisatawan, tetapi bagaimana bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Jam kerjaku yang tinggi bukan lagi karena wujud loyalitasku, tetapi aku dimotivasi oleh hasrat untuk memperoleh sejumlah privilese yang diberikan kepada karyawan yang lembur. Selain itu, aku berpikir kalau si bos menatapku yang sering bekerja ekstra, aku berharap akan mendapatkan bonus tahunan yang lebih besar dan termasuk juga peluang untuk naik jabatan. Jam-jam kerjaku dilewati hanya dengan fokus untuk menambah jumlah nol di rekeningku.

Sejak aku meniti karierku sebagai pekerja hotel, aku hidup jauh dari persekutuan orang percaya. Aku tidak bisa beribadah ke gereja pada hari Minggu karena aku memang harus masuk kerja pada akhir pekan. Namun, aku bersyukur kalau Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anak yang dikasihi-Nya. Suatu hari, ketika aku merasa mumet dengan sejumlah hal yang harus diselesaikan dengan segera, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke tepi pantai sebentar sambil mencari inspirasi.

Di depan mataku, terpampang laut yang sedikit bergelombang dengan langit biru dan sejumlah gumpalan awan putih. “Pemandangan yang sempurna!,” sahutku dalam hati. Aku mengambil ponselku dan ingin mengabadikan momen ini. Ketika aku sedang mencari sudut yang pas, hatiku tergerak untuk memuji Tuhan, Sang Pencipta dari indahnya alam yang terbentang di hadapanku. Aku teringat dengan pemazmur yang menyanyikan bahwa “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” (Mzm. 19:2).

Momen ini sungguh menggelisahkan hatiku dan aku mulai berefleksi daripadanya. Aku mempertanyakan makna dari pekerjaanku. Kemudian, aku menemukan bahwa ternyata selama ini aku telah salah menaruh orientasi di dalam berkarier. Aku hanya bekerja untuk memperkaya diriku. Perjuanganku untuk menjadi pelayan hotel yang profesional dikarenakan aku mencintai uang. Aku menilai profesionalisme itu hanya secara finansial. Padahal, uang bukan merupakan alat ukur utama di dalam menentukan profesionalitas kerja seseorang.

Setiap karier memang menuntut pekerjanya untuk dapat berkarya secara profesional. Konsep ini bukan hanya sekadar pandangan dunia sekuler, melainkan juga adalah kehendak Allah. Allah mendesain manusia sebagai pribadi-pribadi yang akan bekerja bersama-Nya untuk mengembangkan dunia ciptaan-Nya. Ketika Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, Allah berfirman: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:28).

Manusia pertama, yang menerima mandat ini secara langsung dari Allah, menjalankan pekerjaannya secara profesional. Salah satunya, Adam memberi nama kepada binatang-binatang (Kejadian 1:20). Namun, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengubah perspektif manusia di dalam bekerja. Profesionalitas manusia berdosa telah dicemarkan oleh kejahatan yang terus membawanya untuk hanya fokus pada mengejar kepentingan pribadi, tanpa lagi mempedulikan nasib rekan kerja, perusahaan, alam sekitar, apalagi mengurusi rancangan Allah.

Inilah fakta yang diungkapkan oleh Timothy Keller, dalam bukunya Apakah Pekerjaan Anda Bagian dari Pekerjaan Allah? Ia memperlihatkan bahwa banyak orang yang menganggap bahwa profesionalitas lahir dari perjuangan keras yang telah diupayakan oleh seorang pekerja, tanpa pernah memikirkan bahwa status profesional juga adalah sebuah anugerah Allah. Padahal, untuk dapat menjadi seorang yang bekerja secara profesional, setiap orang membutuhkan talenta-talenta yang dianugerahkan oleh Allah.

Oleh karena itu, Yesus Kristus datang ke dunia ini untuk mempresentasikan bentuk cinta-Nya yang murni bagi menyelamatkan manusia berdosa. Di atas kayu salib, Ia menebus dan memperbarui manusia dari kuasa dosa. Relasi manusia dan Allah yang telah terputus akibat kejatuhan ke dalam dosa, kembali tersambung. Di dalam Kristus, setiap orang percaya memperoleh kuasa Injil yang memampukannya untuk menerima undangan Allah bagi manusia untuk menjadi rekan sekerja-Nya.

Dengan menempatkan Kristus sebagai yang terutama di dalam hidup, kita pun akan mendapatkan sudut pandang yang baru tentang menjadi seorang pekerja yang profesional. Aku bersyukur untuk pengalaman iman ini sebelum aku mengakhiri karier sebagai seorang karyawan hotel. Tidak ada yang berubah dari rutinitas pekerjaanku, malahan aku dibebankan lagi dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Namun, motivasiku untuk bekerja secara profesional bukan lagi karena ingin dibayar dengan upah yang lebih besar. Cinta yang dianugerahkan Kristus bagiku menjadi pendorong yang menyemangatiku untuk bisa melayani Tuhan melalui vokasiku, di mana aku bisa mengajak para wisatawan untuk mengagumi alam ciptaan Tuhan. Aku bersukacita karena lewat pekerjaanku, aku bisa memperkenalkan kasih Kristus kepada mereka yang belum percaya.

Kisah baru dari orang-orang Kristen di dalam berkarier adalah menyelaraskan Injil dengan profesionalitas. Dengan demikian, kita tidak lagi memisahkan Kristus hanya pada hari Minggu dan beban pekerjaan pada hari kerja. Dengan membawa Kristus serta di dalam karier, apa pun bidang yang sedang kita tekuni, kita dapat mencintainya dan mengerjakannya secara profesional karena ketika kita sedang bekerja sama dengan Allah.

Jadi, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

Gimana Kalau Kamu Gak Pernah Menemukan Passionmu?

Oleh Jiaming Zeng
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What If I Can’t Find My Passion?

“Gimana cara menemukan passion?”

Pertanyaan itu kuketik di Google, di tahun pertama kuliah pasca-sarjana. Kutanya dosenku, teman sebayaku. Kata mereka, passion itu sesuatu yang membuat kita antusias di pagi hari; sesuatu yang saat kita mau tidur pun, masih terbayang di pikiran; atau, sesuatu yang ingin sekali kamu lakukan sepanjang hidupmu. Itu semua kata mereka, bukan kataku.

Ada satu hal yang selalu kupikirkan tentang passion. Inilah yang dulu kuceritakan ke orang tuaku ketika aku masih kecil. Ini jugalah yang kucari tahu di Google, saat aku berdebat tentang keputusan-keputusan hidupku di tahun pertama kuliah doktoral. Aku selalu ingin jadi penulis. Aku membayangkan diriku menulis novel fiksi seperti J.K Rowling atau Jane Austen.

Namun, bagi orang tua Asia, menulis bukanlah pilihan karier yang gemilang. Lagipula, aku suka matematika, memecahkan masalah, dan mengerjakan proyek-proyek riset. Tapi, aku tidak memikirkan angka-angka sebelum tidur. Pun rumus-rumus matematika tidak muncul di pagi hari saat aku bangun. Faktanya, aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku jika bekerja di bidang matematika sepanjang usiaku.

Dilema ini menyiksaku selama setahun pertama. Apakah artinya hidup jika aku tidak mengerjakan apa yang kusuka? Apa jadinya jika aku dapat gelar Ph.D tapi di bidang yang bukan minatku?

Kebenarannya: tak peduli seberapa besar passion menggerakkan kita, seberapa cinta kita pada pekerjaan… kita selalu bertanya pada diri kita sendiri seperti yang dikatakan Pengkhotbah: untuk apakah kita berjerih lelah? Apakah artinya? (Pengkotbah 2:20-23). Bahkan Raja Salomo, dengan kesuksesan dan kebijaksanaannya, tak mampu menemukan makna dari perbuatan tangannya.

Pekerjaan—atau status, relasi, hobi—bukanlah tempat di mana kita harus menemukan makna. Makna datang dari relasi kita dengan Allah. Pengejaran kita akan passion, atau hal lain takkan pernah sungguh-sungguh memuaskan kita. Namun, kita bisa menemukan sukacita dan kepuasan dalam pekerjaan, seperti yang Salomo amati: “setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagianya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya–juga itupun karunia Allah” (Pengkhotbah 5:19).

Menemukan sukacita dalam berjerih lelah

Bagiku, krisis menemukan passion tidak hilang dalam semalam. Aku tetap melanjutkan studi doktoral. Aku mengambil kelas-kelas wajib, menyelesaikan tiap tugas, dan berusaha mencari topik untuk disertasi. Aku bisa bertahan di sana karena itu adalah pekerjaanku.

Seiring dengan fokusku yang bergeser dari ambisi pribadi, sikapku terhadap penelitianku juga mulai berubah. Aku mulai melihat langkah potensial dan aplikatif dari model matematikaku. Alih-alih mengembangkan algoritma, aku lebih tertarik untuk mencari penerapan praktis agar bisa diterapkan di dunia nyata.

Area penelitian yang kupilih adalah pelayanan kesehatan. Usul ini diberikan dari pembimbingku, tapi awalnya aku menolak. Memikirkan pertumbuhan sel kanker atau menganalisa efek dari kemoterapi pada kematian pasien terasa mengerikan buatku. Namun, seiring aku bekerja dan belajar, aku sadar kalau hari-hariku yang membosankan di depan komputer bisa menjadi penjelajahan menantang, yang memberikan dampak pada hidup para pasien.

Pekerjaanku bukanlah tentangku atau tentang pengejaranku akan passion. Hasil dari kerjaku bisa menolong orang-orang dalam mengambil keputusan tentang kesehatan mereka. Dan, di sinilah aku menemukan sukacitanya. Tuhan selalu menempatkanku di tempat yang tepat. Tapi sebelumnya, aku tidak bisa melihatnya. Barulah saat aku mengalihkan fokusku dari diriku sendiri kepada Tuhan, aku sadar bahwa Dia memberiku sesuatu yang tidak hanya kunikmati sendiri, tapi juga bisa menolong orang lain.

Tujuan utama dalam bekerja bukanlah untuk memuaskan kita, tapi untuk kita menjadi penatalayan dari apa yang Tuhan telah berikan pada kita di dunia ini. Dalam pengejaran kita mencari passion, kita seringkali menjadi buta dari apa yang Tuhan telah siapkan buat kita. C.S Lewis berkata:

“Give up yourself, and you’ll find your real self. Lose your life and you will save it. […] Nothing that you have not given awal will ever be really yours.”

Lepaskan dirimu, maka akan kau temukan dirimu yang sesungguhnya. Lepaskan hidupmu, maka kau akan mendapatkannya. Sesungguhnya tidak ada yang tidak kau lepaskan yang pernah benar-benar menjadi milikmu.

Untuk menemukan passion, kita harus melepaskan ambisi kita, dan bukalah diri untuk menerima apa yang Tuhan telah tetapkan buat kita.

Membarui konsep kita tentang passion

Sikap melepaskan mengubah hati dan pikiran kita. Kita akhirnya dapat melihat lebih banyak daripada sebelumnya. Seiring aku belajar melepas berhala dalam diriku, Tuhan menunjukkanku bahwa ada lebih banyak kebebasan ketika aku berfokus pada-Nya. Caraku dulu untuk menemukan passion adalah salah dan terlalu menyederhanakan. Hidup dan impian jauh lebih rumit dan dipenuhi banyak kemungkinan lebih dari yang bisa kubayangkan. Dan…ketika Tuhan adalah penulis hidupku, Dia memberiku kebebasan untuk percaya dan taat pada suara-Nya lebih dari pada suara hatiku sendiri.

Ketika aku belajar percaya dan taat bimbingan-Nya, aku melihat Tuhan pun sebenarnya peduli akan mimpi-mimpiku di masa kecil. Ketika aku siap, Dia akan menuntunku kembali pada impian itu pada cara yang tak terduga. Contohnya, Tuhan memberiku kesempatan untuk menulis bagi-Nya lewat majalan kampus. Memang bukan novel fiksi yang kubayangkan, tapi tulisan tentang kasih dan penyertaan-Nya. Dan… di sinilah aku sekarang, menulis buatmu. Hidupku saat ini memang tidak seperti impianku dulu, tetapi aku yakin apa yang Tuhan berikan selalu lebih masuk akal daripada pikiranku.

Di tahun pertamaku aku tak pernah menemukan apa yang jadi passion-ku, tapi aku belajar bahwa ada cerita yang lebih besar. Melalui prosesnya, aku menemukan kebebasan, penghiburan, dan sukacita dari pekerjaanku. Tak ada yang tahu bagaimana kelak aku akan menulis atau tetap bekerja di riset. Yang kutahu adalah perjalanan ini masih berlangsung. Aku percaya Tuhan selalu ada untuk membimbing dan menunjukkanku jalan. Lagipula, Tuhanlah yang menenun hal-hal kecil yang kita lakukan menjadi sebuah kisah yang jauh lebih besar dan hebat dari apa pun yang kita bayangkan.

Kulukai Orang Lain dengan Keegoisanku

Oleh Sari, Jakarta

Setiap tanggal 10 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Media sosial dipenuhi dengan twibbon untuk memperingati hari itu. Masa-masa sekarang yang dirasa sulit, ditambah dengan hadirnya pandemi, turut memberikan pengaruh besar pada kesehatan mental orang-orang di seluruh dunia.

Aku pribadi pun merasakan dampaknya. Makin hari, aku semakin menyadari bahwa bukan hanya kesehatan fisik dan rohani saja yang penting, melainkan kesehatan mental yang sering kuabaikan juga penting. Aku melihat orang-orang di sekitarku pun mulai aware. Mereka mulai melakukan konseling kepada konselor-konselor professional. Ketika aku dan kamu gagal menyadari pentingnya merawat kesehatan mental, maka saat kendala datang, bisa saja kita melakukan pengobatan atau pencegahan dengan cara yang tidak tepat. 

Saat kondisiku tidak stabil 

Pada suatu momen, aku menyadari bahwa kondisi mentalku sangat tidak stabil. Aku bekerja dengan gelisah, aku takut salah… dan ketika atasanku mendapati aku melakukan kesalahan, aku langsung panik. Tidak jarang aku menyalahkan orang lain. Aku tidak lagi menikmati apa yang aku kerjakan, fokusku saat itu adalah bagaimana pekerjaanku bisa cepat selesai, tidak ada yang salah dan berharap berakhir dengan pujian yang diberikan baik oleh rekan kerja dan atasanku. Tapi melakukan itu semua rasanya sangat melelahkan, hingga di kondisi yang ekstrem aku tidak menyukai ketika orang lain mengerjakan pekerjaan dengan baik dan dipuji oleh atasanku. Aku ingin berada di posisi yang paling baik dari semuanya, aku ingin hanya aku yang bisa diandalkan. Aku menjadi orang yang lebih suka dihargai dan dipandang lebih dari orang lain. Bukan dalam pekerjaan saja, ketika berinteraksi dengan teman sepermainan dan keluarga pun aku merasakan hal yang sama.

Di tengah kondisi itu, aku pun tidak lagi menikmati relasiku bersama Tuhan. Aku tetap bersaat teduh, namun seadanya. Aku tetap berdoa, namun tidak menikmati doa-doaku. Fokusku adalah hanya bagaimana aku bisa mendapatkan promosi di pekerjaanku. Tetapi, syukur kepada Allah yang mengaruniakan Roh Kudus yang pelan-pelan menggelisahkanku dan menolongku untuk melihat apa yang salah dengan diriku di tengah-tengah perjuangan menikmati doa, baca Alkitab dan ibadah yang kulakukan. 

Di ibadah Minggu yang aku ikuti secara daring, tema khotbah yang diangkat membahas bagaimana ambisi terhadap kedudukan merupakan musuh dan hal yang paling tidak disukai oleh Allah. 

Di awal khotbahnya, sang pendeta memulai dengan kalimat, “dosa pertama berhubungan dengan kuasa.” Allah membuang malaikat Lucifer dari kerajaan sorga karena kesombongannya (Yehezkiel 28:17-18). Kejatuhan manusia dalam dosa pun dimulai ketika Iblis menggoda Hawa, yang menyingkapkan sisi kesombongan manusia yang ingin menjadi seperti Allah dengan memakan buah pengetahuan baik dan buruk (Kejadian 3). 

Banyak orang melakukan berbagai cara agar mendapati posisi atau kedudukan yang diinginkannya, salah satunya aku. Aku melakukan banyak cara agar aku bisa dipromosi secepatnya sampai tidak menyadari bahwa aku sedang melukai diriku, sesama bahkan terlebih Tuhan. Hidupku dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan, takut kalau posisi itu akhirnya diberikan kepada orang lain. 

Aku lantas teringat kepada sebuah kisah di Alkitab, yaitu kisah Saul dan Daud. Ketika Saul menjadi raja dan Daud yang baru saja mengalahkan Goliat. Orang-orang Israel merayakan kemenangan Daud mengalahkan Goliat dan ketika itu perempuan-perempuan yang hadir menari dan menyanyi, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa (1 Samuel 18:7).” Seketika itu juga, Saul menjadi marah dan benci kepada Daud hingga berencana untuk membunuhnya. Padahal kalau dipikir-pikir, Saul saat itu adalah raja Israel yang sah, dia telah dipilih dan diurapi, tetapi dia ketakutan bilamana suatu hari Daud merebut kedudukannya sebagai raja di Israel. Kisah ini menjadi salah satu bukti bahwa lagi-lagi manusia sangat ambisius terhadap kedudukan dan manusia berani melakukan banyak cara untuk mendapatkan serta mempertahankannya.

Di tengah dunia yang mendorong kita untuk memamerkan apa yang kita lakukan dan apa yang kita miliki, menjadi hal yang tak mudah untuk bijak memandang pencapaian dan kedudukan kita. Kita tergoda meletakkan identitas kita pada posisi, kekayaan, dan status. Ketika tidak mendapatkan apa yang orang lain punya kita menjadi minder bahkan dalam kondisi yang ekstrem menjadi depresi hingga mau mengakhiri hidup. Dalam kondisiku saat itu, satu hal yang aku sadari adalah semakin aku mengejar, semakin aku merasakan kekosongan. Dan lagi-lagi, aku diingatkan bahwa jiwa kita hanya dapat dipuaskan oleh Allah. Jika kita mengejar apa yang ada di tengah dunia ini akan tidak ada habis-habisnya dan itu sangat melelahkan.

Dan di ibadah Minggu yang kuikuti itu, aku juga diingatkan bahwa Allah selalu punya rencana buat anak-anak-Nya, bagian yang sudah ditentukan Allah untuk menjadi bagian kita akan tetap menjadi bagian kita sesusah dan semustahil apapun itu. Tetapi, kalau memang ketika kita sudah berjuang untuk mendapatkannya dan memang Allah tidak merencanakannya buat kita selelah apapun kita mengejarnya maka itu tidak akan menjadi bagian kita. Salah satu hamba Tuhan pernah mengatakan demikian, “teruslah berdoa sampai Tuhan menjawab. Asal doa itu sesuai kehendakNya, mustahil tidak dijawab.”

Teman-teman, kondisi ini bukanlah kondisi yang mudah untuk diatasi. Aku pun masih sangat bergumul hingga saat ini. Tetapi, aku jadi diingatkan kembali bahwa aku tetap berharga di mata-Nya sekalipun aku tidak memiliki apa yang sedang diperjuangkan oleh dunia. Aku merasakan lelahnya mengejar apa yang dikejar oleh dunia ini, dan aku merasakan jadi orang yang paling jahat ketika mulai melukai orang lain dengan keegoisanku. 

Kondisi apa yang sedang teman-teman alami yang membuat teman-teman merasa tidak berharga, tidak dihargai bahkan tidak dianggap oleh orang lain hingga berniat sampai mengakhiri hidup? Berdoa dan minta ampunlah kepada Tuhan, Dia tetap mengasihi kita. Kita berharga di mata-Nya dan Dia selalu mengerjakan bagian-Nya dengan sempurna dalam hidup kita.

Kala kucari damai
Hanya kudapat dalam Yesus
Kala kucari ketenangan
Hanya kutemui didalam Yesus

Tak satupun dapat menghiburku
Tak seorangpun dapat menolongku
Hanya Yesus jawaban hidupku

Bersama Dia hatiku damai
Walau dalam lembah kekelaman
Bersama Dia hatiku tenang
Walau hidup penuh tantangan

Cerpen: Bekerja Sama dalam Perbedaan

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Di hari-hari pengujung semester ini, aku sedikit lebih sibuk dari biasanya. Pembelajaran dan ujian sudah selesai, aku tinggal menyelesaikan penilaian dan hal-hal yang perlu untuk pembagian rapor peserta didik di minggu mendatang.

Tahun ini aku dipercaya menjadi wali kelas. Ada tiga puluhan rapor yang perlu kutuntaskan, tapi belum semua terisi karena beberapa guru pelajaran belum menyerahkan penilaian akhir mereka.

Pagi itu sekolah masih sepi meski arloji di tanganku sudah menunjukkan angka sembilan. Sejak pandemi, pembelajaran dilakukan dari rumah, namun kami guru diharuskan hadir di sekolah. Hal itu karena tidak seratus persen murid kami memiliki fasilitas untuk belajar daring. Biasanya dua sampai lima murid datang menemuiku untuk belajar tatap muka atau sekadar mengumpulkan tugas. Selain itu, kebijakan ini juga kurasa baik. Bertemu langsung dengan rekan guru membuatku lebih leluasa bertukar pikiran dengan mereka.

Kuteguk secangkir kopi di mejaku. Rekan guru yang kutunggu belum juga tiba. Aku memperhatikan kolom kosong di lembar penilaian kelasku yang artinya guru yang bersangkutan belum menyerahkan nilainya. Seminggu sudah berlalu dari tanggal pengumpulan yang sudah ditentukan. Aku sulit mentolerir hal-hal seperti ini. Aku lalu mengirim pesan pada mereka.

“Halo Bapak/Ibu. Saya Anggi, Wali Kelas 9-A. Mohon kerjasamanya untuk segera mengirimkan nilai dari pelajaran yang diampu ya. Saya membutuhkannya untuk pengisian rapor. Terima kasih.”

Sembari menunggu balasan, aku berjalan keluar menghirup udara sejuk. Kulayangkan pandang pada alam dari sekeliling sekolahku yang tidak berpagar. Hamparan rumput, sawah, pegunungan serta gembala yang menuntun kawanan kerbaunya terlihat jelas. Dari jauh tampak juga kepulan asap dari pondok petani yang mungkin sedang merebus air atau sekedar membakar ubi. Aku meyakini hal itu setelah beberapa kali menyaksikan tradisi “marsiadapari” yang masih lazim bagi petani di desa ini. Bentuk gotong-royong saat musim panen yang dilakukan secara bergantian dari sawah yang satu ke yang lain. Biasanya sekitar pukul 10 pemilik sawah akan menyajikan kopi atau ubi sebagai camilan yang disantap sembari istirahat sejenak. Pemandangan estetik yang jarang ditemui di tempat pengabdianku sebelumnya. Namun jika mengingat kendala yang kualami dalam pekerjaanku seperti hari ini, tidak jarang aku ingin kembali ke kota.

“Aku tidak suka memindahkan nilai-nilai itu mendekati deadline,” aku menghempaskan nafas, melangkah kembali ke ruangan.

Menjadi wali kelas sebenarnya bukan pengalaman pertama untukku. Sebelum menjadi guru Aparatur Sipil Negara di sekolah ini, aku sudah mengajar di sekolah dan beberapa kali menerima tanggung jawab yang sama. Di sekolah sebelumnya, setiap bulan para guru menginput nilai di lembaran excel pada laman penilaian yang disediakan sekolah. Dengan begitu, urusan penilaian tidak menumpuk di akhir semester, kami hanya perlu menambahkan nilai terakhir. Data-data itu juga bisa diakses kapanpun dengan mudah. Di sana, kami tidak hanya memiliki fasilitas yang memadai, namun ada rekan guru yang mumpuni sebagai pendidik dan mau beradaptasi dengan perubahan untuk perbaikan yang diperlukan.

Walau masih bekerja di bidang yang sama, namun aku menemukan banyak perbedaan di sekolahku sekarang. Tidak hanya dari fasilitas yang masih minim, aku juga kesulitan menyesuaikan diri dengan kemampuan, pola pikir dan ritme kerja rekan di sini. Aku pernah kesal dengan seorang rekan guru. Saat itu kami harus mengirimkan materi les sore tambahan. Sebelumnya pengumpulan dan proses evaluasi dilakukan secara manual. Aku melihat beberapa kendala dengan cara seperti itu, aku lantas mengusulkan penggunaan fitur kolaborasi yang disediakan Google. Dengan begitu, setiap guru tinggal mengunggah file yang dimaksud dan pengevaluasian juga bisa dilakukan di sana. Usulku sempat diterima, namun pelaksanaanya tidak lancar. Meski sudah diberitahu cara pengerjaanya, masih ada guru yang kesulitan hingga merepotkan operator sekolah kami untuk melakukannya. Menganggap pengerjaannya lebih rumit, akhirnya pengumpulan materi kembali dilakukan secara manual. Aku juga mendengar ada label “carmuk” yang disematkan padaku terkait dengan ide itu. Alih-alih mendapat respons yang baik, aku disebut sedang cari perhatian ingin dipuji. Aku kesal dan menaruh penggolongan tertentu tentang mereka dalam pikiranku.

Di waktu yang berbeda, aku pernah mengajukan kepada kepala sekolah agar diadakan pelatihan penggunaan laptop yang berkelanjutan bagi guru-guru. Selama bekerja di sekolah ini, aku melihat beberapa teman guru masih terkendala khususnya dalam menggunakan fitur aplikasi yang sering diperlukan. Sebut saja ketika harus menghitung nilai menggunakan rumus otomatis atau ketika harus melakukan pengaturan ukuran dokumen. Terkesan sepele, tapi aku sendiri menyaksikan bagaimana hal itu mempengaruhi kinerja kami. Aku yakin jika pelatihan diberikan secara rutin, guru-guru akan terbiasa juga semakin paham.

“Sebelumnya sudah pernah ada pelatihan seperti itu dari Dinas Pendidikan,” respon pak kepala sekolah saat itu.

“Pelatihan tentu tidak cukup sekali atau dua kali Pak. Kita bisa karena terbiasa,” ujarku meyakinkan. “Kita bisa memberdayakan guru-guru yang lebih paham untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan Pak” lanjutku sembari menyebutkan nama beberapa guru yang menurutku bisa dilibatkan.

“Ide dari Pak Anggi akan saya pertimbangkan, nanti saya kabari lagi.”

Hari-hari terus berlalu, tapi hingga kini aku belum juga menerima kelanjutan jawaban itu. Terakhir, aku membenarkan anggapanku. Mayoritas rekan kerja di sekolah ini anti perubahan, termasuk bapak kepala sekolah. Mereka enggan mengubah kebiasaan dengan dalih tidak tahu atau rumit. Belajar hal-hal baru tentu bukan perkara gampang bagi siapapun, tapi bukankah seyogyanya belajar merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat?

“Pagi Anggi, ngapain kamu?” Sabeth tetiba datang. Kehadirannya membuyarkan lamunanku.

“Eh Kakak. Tumben lama?”

“Iya, tadi ke rumah siswa dulu diskusi sama orang tuanya.”

Kak Sabeth mengajar IPS. Aku bersyukur memiliki dia menjadi salah satu rekan kerja di tempat ini. Usia kami hanya terpaut 2 tahun, tapi aku banyak belajar darinya. Kak Sabeth sering mengingatkanku untuk memandang persoalan dari sudut berbeda. Ia juga yang mengajakku mengumpulkan buku-buku bekas dari teman-teman di kota untuk menambah koleksi di kontrakannya yang diubah mirip perpustakaan terbuka bagi anak-anak desa.

Desa tempat sekolahku sekarang berada di ujung Kabupaten Tapanuli bagian Tengah. Dengan kondisi jalan bebatuan belum beraspal, truk bak terbuka adalah satu-satunya angkutan keluar masuk desa, maka tidak heran akses yang sulit ini juga mempengaruhi tersedianya variasi koleksi bacaan yang ada. Perpustakaan hanya tersedia di sekolah dan itu pun masih terbatas.

“Aku lagi mengisi rapor kak tapi belum semua guru menyerahkan nilainya,” keluhku menunjukkan daftar nilai yang kosong.

“Sudah hubungi guru-gurunya?”

“Tidak ada respon kak.”

“Belum merespon mungkin. Coba tunggu, sebentar lagi mereka juga datang.”

“Iya datang tapi entah jam berapa. Kira-kira mereka sadar nggak ya kak sudah mengganggu pekerjaan rekannya?” Aku membela diri. “Seandainya setiap bulan nilai itu langsung dikumpulkan dalam satu sistem pasti hal-hal seperti ini tidak terjadi. Malas berubah ya begini. Diingatkan nggak mau terima,” aku mengoceh kesal

Kak Sabeth tidak menanggapiku. Aku kembali bekerja dengan laptop sembari berharap agar nilai yang kuperlukan segera diserahkan.

“Siang Pak Anggi, Bu Sabeth,” sapa Ibu Dina berjalan menuju meja kerjaku.

“Pak Anggi. Ini nilai yang diminta, maaf melewati waktu pengumpulannya. Rumus di lembar kerja excel-nya error entah apa sebabnya. Jadi saya hitung manual pakai kalkulator.” Terangnya menyerahkan dokumen yang membuatku kesal sedari pagi.

“Bah, kok bisa begitu bu?” tanya kak Sabeth mengambil jeda dari kegiatannya.

“Semua nilai Ibu kalkulasi manual?” Aku mengernyitkan kening membayangkan waktu yang dihabiskan untuk menghitungnya.

“Iya Pak. Saya kurang mengerti masalahnya. Selesai memasukkan semua nilai, saya coba gunakan rumusnya tapi tidak berhasil, daripada bengong ya saya hitung pakai kalkulator saja.”

Kami bertiga memeriksa permasalahannya. Ternyata Bu Dina menginput beberapa tanda baca yang tidak diperlukan jadi rumus yang dimaksud tidak bekerja semestinya.

“Wah, hanya perlu diganti yang itu ya,” Bu Dina mengangguk, menyadari kesalahannya ternyata sangat sepele.

Darahku berdesir cepat mengingat isi pikiranku sebelumnya. Beberapa kali aku kesal dengan teman-teman guru yang kurang mahir menggunakan laptop. Tidak jarang aku menganggap mereka enggan atau malas mempelajarinya. Pikiranku yang lebih sering terfokus pada kekurangan mereka, membuatku lupa kalau aku punya kesempatan untuk membantu mereka secara langsung. Meski beberapa usulku ditolak, aku merasa justru dengan begini, aku lebih leluasa membagikan hal-hal yang belum mereka ketahui.

“Ah, andai aku menyadari lebih awal,” gumamku.

Aku tersenyum menyadari kekeliruanku. Situasi dan rekan kerja yang kumiliki sekarang memang berbeda. Tapi tidak seharusnya hal itu menjadi pembenaran untuk bertindak laksana hakim dengan pikiran-pikiranku yang jahat (Yakobus 2:4). Mereka mungkin tidak mahir menggunakan beberapa fitur di laptop, namun membuat penggolongan tertentu dalam pikiranku bukanlah hal yang benar. Sama seperti mereka, aku juga pasti memiliki keterbatasan dalam bidang lain. Aku hanya perlu menyampingkan ego agar perbedaan yang ada tidak berujung konflik. Menggunakan sudut pandang yang benar memberi kita kesempatan untuk menjadi rekan kerja yang mau menolong kesukaran mereka (Amsal 17:17). Kita mungkin berbeda dalam banyak hal, tapi bekerja sama tidak selalu harus sama. Meski masih harus terus belajar, biarlah kiranya ini menjadi komitmen untuk kita. Terkhusus sebagai pendidik, hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral untuk menjadi teladan, mengikut Bapa yang mengasihi semua orang—tanpa pilih kasih ( Yakobus 2:1-10, 14-17).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Duta Pengampunan di Tengah Budaya Pengenyahan

Belakangan ini kita tidak asing dengan fenomena para pelanggar yang viral, lalu diangkat menjadi duta. Ada hal menarik yang bisa kita jelajahi dari fenomena ini.

Berhadapan dengan Rekan Kerja yang Menyebalkan

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dalam kehidupan pekerjaan profesional, tantangan tentu menjadi hal yang tidak mungkin kita hindari. Pergumulan terkait kecukupan gaji, nyaman-tidaknya lingkungan bekerja, tinggi-rendahnya tingkat stres dari pekerjaan yang kita lakukan, hingga apakah pekerjaan tersebut membawa pertumbuhan dan perkembangan pada diri kita tentu selalu ada. Dari beberapa tempat kerja yang memberiku banyak sekali pengalaman dan pelajaran, ada satu hal lainnya juga yang pasti akan kita temui ketika bekerja di manapun: berhadapan dengan karakter orang lain.

Ketika bekerja, kita pasti akan berurusan dengan orang lain. Entah banyak, atau sedikit. Entah dengan usia yang lebih tua, atau lebih muda. Entah dengan perempuan, atau laki-laki. Senyaman apapun lingkungan kerja kita, sebesar apapun nominal gaji kita, semudah apapun jobdesc kita, kita tidak bisa menghindar dari urusan relasi ini.

Seperti relasi antar manusia pada umumnya (dengan keluarga, teman dekat, dan lain-lain), relasi dengan rekan kerja pun tentu akan mengalami dinamika. Ada masa di mana kita kompak dengan mereka ketika mengerjakan suatu pekerjaan, namun ada juga masa di mana kita harus berhadapan dengan karakter atau tingkah mereka yang menyebalkan dan tidak kita sukai. Meskipun indikator ‘menyebalkan’ dan ‘tidak suka’ antara satu orang dengan yang lain akan berbeda, namun fase ini tentu tidak terhindarkan. Ini hal yang wajar, karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia unik dan berbeda satu sama lain (Efesus 4:7). Juga tidak boleh dilupakan bahwa kita semua telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).

Lalu apa yang harus kita lakukan jika tengah berhadapan dengan rekan kerja yang menyebalkan, atau bahkan sampai muncul konflik yang tak terhindarkan?

1. Akui emosi hatimu pertama-tama pada Tuhan

Aku pernah memiliki rekan kerja yang tidak mau berbicara padaku gara-gara kami berdebat soal konten media sosial apa yang harus diprioritaskan untuk publikasi hari itu. Aku sedih karena dia mendiamkanku selama beberapa hari dan itu sangat mengganggu jalannya kinerja harian kami (kebetulan pekerjaan harianku selalu berkorelasi dengannya). Mudah bagiku untuk terus larut dalam emosi, berpikiran negatif, hingga berpengaruh pada pekerjaan. Namun, masih ada pilihan untuk berdoa dan mengakui apa yang kurasakan pada Tuhan. Awalnya aku gengsi, ingin berada di posisi yang paling benar, tapi lama-lama Tuhan tolong aku untuk melihat situasi dengan hati dan pikiran yang lebih jernih. Dengan keberanian yang Tuhan anugerahkan, aku akhirnya meminta maaf duluan padanya meskipun dia tetap tidak membalas pesanku. Sedih dan sedikit kecewa, tapi setidaknya itu hal terbaik yang bisa kulakukan.

Mengakui keadaan hati kita pada Tuhan mungkin tidak menolong konflik mereda seketika, tetapi itu akan memberikan damai sejahtera pada hati kita. Ketika hati kita lebih damai, kita lebih mampu untuk melihat lebih jelas dan luas konflik yang sedang kita alami.

2. Bicarakan pada pimpinan atau atasan jika sudah mengganggu profesionalitas kerja

Masih lanjutan dari cerita di atas, karena dia masih mendiamkanku, sedangkan urusan publikasi masih harus terus berlangsung setiap harinya, akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengan atasan kami. Menjadi suatu berkat yang harus disyukuri ketika memiliki pimpinan yang mau peduli dengan masalah yang dialami anak buahnya. Singkat cerita, ia mengajak ngobrol rekan yang mendiamkanku itu, lalu tak berapa lama kemudian ia akhirnya membuka komunikasi denganku dan relasi kami kembali baik seperti semula.

Namun bagaimana jika atasan kita malah tidak mau ikut campur dengan konflik antar rekan kerja yang sedang terjadi?

Tetap tenangkan diri dan pikiran, lalu coba sampaikan pada atasan bahwa kita butuh pertolongan atau masukan atas pekerjaan yang terhambat akibat konflik tersebut. Usahakan kita tidak perlu fokus pada perilaku rekan kerja yang membuat kita marah, kesal hingga berkonflik, namun fokus pada mencari solusi dari masalah pekerjaan yang sedang dilakukan.

3. Belajar rendah hati untuk terus perbaiki diri

Meski rasanya kesal dan seringkali tidak mau berada di posisi salah, namun kita juga tetap rendah hati untuk terus belajar dalam memperbaiki diri sendiri. Seperti yang ditulis oleh Suzanne Stabile dalam bukunya yang berjudul The Path Between Us: “Sangatlah bagus jika Anda menghabiskan energi untuk mengobservasi dan memperbaiki diri sendiri ketimbang mengobservasi serta memperbaiki orang lain.”

Kesal dengan tingkah laku si rekan kerja tentu bukan berarti kita menjadi pihak yang paling berdosa. Bukan juga artinya dia yang paling berdosa. Namun, Firman dalam Efesus 4:2 mengatakan perintah yang jelas: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” Sulit? Tentu. Keberdosaan kita membuat kita ingin menjadi pihak yang selalu benar dan tidak ingin salah. Pada akhirnya, meminta tolong kerendahan hati untuk mau belajar pada Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.

4. Komunikasikan dengan baik ketidaksukaan kita dengan cara yang tidak menghakimi

Ada kalanya kita kesal dengan rekan kerja kita hanya karena tingkahnya yang memang tidak kita sukai, misalkan: si dia terlalu banyak bicara, si dia sok tahu, si dia memiliki kebiasaan menghentak-hentakkan kaki sehingga ruangan kantor jadi berisik, si dia tidak sabaran, si dia pemalas, si dia suka datang terlambat, dan lain-lain. Jika hal itu tidak mengganggu pekerjaan kita, tentu harusnya tidak ada masalah. Namun, jika sudah mengganggu, membuka komunikasi secara baik-baik menjadi cara yang layak dicoba.

Sewaktu bekerja di perusahaan media, salah satu rekanku sering sekali berbicara dengan nada menuntut dan cukup tinggi kepadaku. Konteksnya seperti ini: alur kerja kami memang dimulai dari aku dulu yang membuat konsep, kemudian dia yang membuatkan desain. Aku selalu berupaya untuk memberikan konsep tepat waktu, namun dalam beberapa kesempatan ia tetap marah-marah padaku. Emosinya membuatku merasa di posisi serba salah. Aku jadi kesal. Hingga pada suatu hari aku mencoba iseng mengungkapkan rasa kesal itu. Dimulai dengan berdoa singkat dalam hati meminta ketenangan, aku bertanya, “Woy, kamu kenapa sih? Lagi dikejar kereta api? Ngomong sama aku kok ngegas mulu gitu lho.” Lalu dia menjawab, “Hah? Aduh aku emang ngegas ya? Maaf, maaf.” Responnya dia ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Dia bahkan meminta maaf dan setelah itu menceritakan bahwa ada masalah yang tengah mengganggunya sehingga di saat itu ia sebenarnya tidak sedang berkonsentrasi bekerja.

Singkat cerita, hubungan kami malah jadi semakin dekat, dan ketika dia mulai berbicara dengan nada yang sama, aku tidak masukkan ke dalam perasaan lagi, selama memang pekerjaan kami sudah pada alur dan waktu yang tepat.

Jadi, belum tentu tingkah menyebalkan seseorang selalu tanpa alasan. Kadang mungkin saja ada permasalahan atau beban berat yang sedang mereka pikul namun enggan membicarakannya pada siapapun, sehingga membuat tingkahnya jadi menyebalkan untuk orang sekitar. Di sini, kita bisa meminta hikmat pada Tuhan untuk menjadi pendengar yang baik, atau bahkan kita bisa membantu dan menolongnya sesuai kapasitas yang Tuhan anugerahkan untuk kita.

5. Hindari membicarakan kelemahan atau keburukannya kepada orang lain

Aku menuliskan ini bukan berarti aku berhasil menghindarinya. Tidak. Membicarakan keanehan atau kelemahan orang lain yang tidak kita senangi rasanya menjadi makanan sehari-hari dan kita sadar-tidak sadar senang melakukannya. Aku pribadi mengakui bahwa masih sangat sulit untuk mengekang lidah dan sulit untuk menjaga hati agar tidak bergunjing, apalagi jika itu menyangkut orang yang menyebalkan bagiku.

Sayangnya, Tuhan tidak menghendaki demikian. Yakobus 1:26 secara jelas menyampaikan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Ketika ‘terjebak’ pada situasi bergosip yang sungguh menggoda, kita bisa minta tolong pada Allah dalam doa untuk menahan motivasi hati kita yang ingin ikut-ikutan membicarakannya. Aku sendiri beberapa kali lebih memilih diam atau bermain ponsel ketika topik tentang si orang-yang-menyebalkan mulai muncul dalam percakapanku bersama rekan-rekan kerjaku yang lain. Ada kalanya aku juga jatuh dan ikut tergoda membicarakannya. Minta tolong pada Allah menjadi cara terbaik yang bisa kita lakukan.

* * *

Beberapa pengalaman bekerja di ranah profesional sebelumnya mengajariku bahwa meskipun kita bisa memilih perusahaan, ladang, gaji, hingga jenis pekerjaan dan jabatan yang kita mau, kita tidak bisa memilih pemimpin, tim, serta rekan kerja yang akan bekerja bersama kita. Aku belajar bahwa jika pun aku memperoleh semua yang aku mau dalam pekerjaan tersebut, aku tidak bisa mengelak dari dinamika relasi yang terjadi antara aku dan rekan sekerjaku. Talenta yang kumiliki untuk berkontribusi dalam pekerjaan tersebut ternyata satu paket dengan bayar harga dan penderitaan di dalamnya, termasuk juga ketika menghadapi konflik dan masalah dengan sesama.

Pertanyaannya: apakah kita mau untuk selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dalam pekerjaan hari ke hari, atau lebih memilih untuk mengandalkan kekuatan sendiri?

Baca Juga:

7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Berteman lama dan sangat dekat tidak jadi jaminan kalau pertemanan itu akan bebas dari konflik. Lalu, bagaimana caranya kita berekonsiliasi kala konflik terjadi dengan kawan dekat?

Menikmati Allah di Segala Musim

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Aku sempat merasakan kekosongan di masa-masa menjelang Natal beberapa tahun terakhir ini. Aku terlibat di berbagai acara gereja, tetapi yang kurasa bukan sukacita. Aku bosan menjadi panitia, pemusik, mengiringi paduan suara dan segudang aktivitas lainnya. Momen Natal yang seharusnya menjadi saat-saat reflektif malah jadi terasa hambar.

Pada Natal tahun 2020 kemarin, ada hal lain yang juga menyita kesibukanku, yaitu pekerjaan. Saat ini aku bekerja di perusahaan start-up yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Menapaki pekerjaan di bidang start-up tentu banyak tantangannya: belum ada sistem yang terbentuk, struktur sumber daya manusia (SDM) pun belum kokoh, dan kami yang bekerja di dalamnya masih seperti berjalan di hutan rimba; menerka-nerka apa yang baik untuk keberlangsungan bisnis ini juga untuk setiap pegawai yang bekerja di dalamnya. Bahkan masing-masing kami masih harus melakoni dua hingga tiga jabatan sekaligus untuk beberapa proyek pekerjaan.

Di Desember kemarin aku dan rekan-rekan kerjaku memiliki beberapa proyek pekerjaan besar, mulai dari pembukaan outlet kafe baru, hingga mengirim parsel Natal ke berbagai pihak yang mendukung keberlangsungan perusahaan ini. Di suatu pagi ketika aku sedang menempuh perjalanan ke kantor, aku mengeluh di dalam doaku pada Tuhan.

“Tuhan, aku capek banget! Masa Desember gini kerjanya abis-abisan sih? Aku ingin menikmati momen Natal tanpa diganggu pekerjaan-pekerjaan yang super banyak ini! Aku ingin liburan.”

Aku mengeluh. Di samping memang tubuh dan pikiranku sedang letih, aku merasa seperti menolak kondisi dan tidak menikmati pekerjaan yang tengah kujalani di kantor. Namun ketika aku mendoakan keluhan itu, aku teringat akan doaku di tahun 2019 yang lalu: bahwa aku ingin menikmati Natal dengan cara tidak sekadar ritual dan pelayanan. Aku lantas merenung: pekerjaan yang kulakukan sekarang sesungguhnya adalah pemberian dari Tuhan. Aku pernah menuliskan proses perjalanan berkarierku dan menemukan bahwa ini adalah tempat terbaik untukku bekerja, setidaknya hingga saat ini. Mengingat proses bagaimana Tuhan tempatkan aku di perusahaan start-up, aku pun kembali mengingat-ingat ternyata banyak sekali hal baik yang Tuhan lakukan buatku, tapi aku sering tidak menyadarinya. Dan parahnya, aku masih saja sering mengeluh, mengasihani diri, dan kurang bersyukur.

Menyadari keberdosaanku, aku meminta ampun pada Tuhan karena tidak sadar akan hadirnya Pribadi yang selalu memimpin langkahku—si manusia yang sesat seperti domba dan mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6). Dalam anugerah Tuhan, aku akhirnya menyadari dan menemukan sebuah jawaban dari rasa bosanku mengerjakan kegiatan atau aktivitas Natal selama bertahun-tahun: aku fokus pada aktivitas dan kegiatannya, bukan pada Kristusnya. Aku fokus pada berbagai macam pelayanan, kegiatan, perayaan, ritual, tradisi, tapi lupa pada Satu Pribadi yang merupakan fokus utama dari keberadaan Natal sesungguhnya. Aku tidak menikmati berbagai kegiatan yang berlangsung di penghujung tahun karena aku sulit menyadari kehadiran Kristus yang senantiasa memimpin hari-hariku.

Menikmati Allah Ketika Sibuk dan Tidak Sibuk

Lalu apakah salah jika dalam momen Natal kemarin yang seharusnya dilalui dengan refleksi aku malah sibuk bekerja di kantor? Pertanyaan refleksi ini aku tanyakan pada diri sendiri, dan mungkin bisa berlaku juga untuk kita semua. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Judah Smith dalam bukunya yang berjudul “How’s Your Soul? – Why Everything That Matters Starts with The Inside You” menuliskan ada empat lingkungan kondusif yang Tuhan sediakan bagi kesehatan jiwa kita, salah satunya adalah Responsibility atau tanggung jawab. Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja bukan sebagai bentuk hukuman. Konsep bekerja bahkan sudah ada sejak zaman Adam di taman Eden (Kejadian 2:15). “God created humans to bear responsibility. (Tuhan menciptakan manusia untuk memikul tanggung jawab.)”—dan ini adalah kondisi yang sehat yang Tuhan ciptakan untuk kita.

Bagian dari buku yang tengah kubaca tersebut mengingatkanku kembali bahwa pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita juga merupakan pelayanan bagi Tuhan, meskipun kelihatannya sulit meluangkan waktu untuk melakukan refleksi Natal secara pribadi. Apalagi jika kembali mengingat bagaimana cara Tuhan menempatkanku di kantor ini, aku kembali mengingatkan diri sendiri untuk mengurangi keluhan yang menghambat ucapan syukur. Sambil terus belajar bahwa segala sesuatu yang dikerjakan harusnya kulakukan dengan sekuat tenaga dan dengan segenap hatiku seperti untuk Tuhan (Pengkhotbah 9:10; Kolose 3:23).

Sibuk bekerja dengan penuh tanggung jawab tentu bukan berarti tidak ada istirahat. Masih berasal dari buku yang sama, elemen berikutnya yang menyehatkan jiwa kita adalah Rest atau beristirahat. Terus menjaga dan menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan merupakan bentuk istirahat jiwa kita. Menikmati langit biru sambil diterpa angin sepoi-sepoi merupakan bentuk istirahat jiwa kita. Menikmati makanan, waktu bersama teman dan orang tersayang, dan hal-hal yang disediakan Tuhan untuk kita merupakan bentuk istirahat bagi jiwa kita. Fokus pada kesibukan seringkali malah membuat kita lelah luar dalam; lelah bagi tubuh, lelah bagi jiwa. Akhirnya, momen yang kupilih menjadi waktu terbaik untuk merefleksikan makna Natal secara pribadi adalah ketika aku tengah menempuh perjalanan pergi dan pulang kantor menggunakan ojek daring, sambil mendengarkan lagu-lagu Natal dan diterpa angin sepoi-sepoi yang menyegarkan.

“A restless soul is a soul that thinks it is in control and needs to take care of everything. If we do not rest, we are trying to be our own God. (Jiwa yang gelisah adalah jiwa yang berpikir bahwa dirinyalah yang mengatur dan perlu mengendalikan segalanya. Jika kita tidak beristirahat, kita sedang mencoba menjadi tuhan atas diri kita sendiri)”.–Judah Smith dalam buku “How’s Your Soul?”

Imanuel: Natal yang Sesungguhnya Setiap Hari

Dari perenungan pribadiku, aku belajar bahwa menikmati hadirat dan pimpinan Tuhan dalam segala aktivitas, kegiatan, dan kesibukan merupakan hal terbaik yang bisa kunikmati. Sebuah sukacita bagi jiwa ketika bisa menikmati dan merasakan pimpinan Tuhan baik ketika sedang bekerja, maupun ketika sedang beristirahat sambil menghirup wanginya air hujan yang jatuh ke tanah.

Natal tahun 2020 telah berlalu dan kini aku belajar bahwa makna Natal yang sesungguhnya tidak berfokus pada jenis kegiatan atau aktivitas yang kita lakukan pada bulan Desember, melainkan pada: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yesaya 9:5). Dan Anak yang telah lahir itu ada bersama-sama dengan kita setiap hari, terlepas dari sibuk atau tidaknya kita. Mengapa? Karena Ia adalah Imanuel: Allah menyertai kita (Matius 1:23). Kelahiran-Nya ke dunia membawa kabar sukacita terbaik yang pernah ada, yaitu menyelamatkan umat manusia dari belenggu hukuman dosa dan memberikan kehidupan sejati karena kasih Allah yang begitu besar buat teman-teman dan juga aku; supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Natal selalu berbicara tentang tentang Tuhan Yesus Kristus yang lahir dan berkenan untuk dikenal (Yesaya 55:6). Dia menyertai kita di sepanjang tahun 2021 ini, dan kita bisa minta tolong pada-Nya supaya bisa menikmati Dia setiap hari, dalam setiap kegiatan apapun yang kita kerjakan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Pahamilah Arti Kasih yang Sejati

Sedikit tindakan kasih yang kita lakukan tentulah tidak sebanding dengan apa yang Allah telah berikan pada kita, tetapi tindakan kasih itulah yang menunjukkan pada dunia bahwa kita telah dikasihi lebih dulu oleh Allah.

Ketika Pekerjaan Tak Hanya Sebatas Cari Uang dan Kerja Kantoran

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Bagiku sukacita adalah ketika aku mendapatkan apa yang aku inginkan; semua keinginanku terpenuhi, semua ekspektasiku terjadi. Aku pikir, sukacita itu hanya identik dengan perasaan senang saja. Nyata, tidak selalu demikian. Termasuk dalam hal pekerjaan.

Aku memulai karierku sebagai marketing di sebuah bisnis restoran. Restoran tersebut merupakan tempat favoritku untuk nongkrong bersama teman-teman semasa kuliah. Ketika mengetahui bahwa aku diterima bekerja di sana, rasanya senang dan sangat bersyukur. Selain karena tempat itu adalah restoran favoritku, aku juga senang karena bisa merasakan bagaimana sensasi menjadi seorang pekerja setelah lulus dari universitas.

Awalnya semua terlihat menyenangkan. Aku juga berpikir bahwa aku akan bertahan sangat lama bekerja di bisnis restoran favoritku. Nyatanya, setelah melewati banyak pembelajaran, baik tentang tanggung jawab pekerjaanku, maupun tentang bagaimana menjalin kerjasama tim yang baik dengan orang-orang di sana, aku mengakhiri petualanganku dalam jangka waktu 2,5 tahun. Aku memutuskan resign karena aku takut terlalu nyaman. Aku takut kemampuanku tidak berkembang lebih banyak kalau terlalu lama bekerja di tempat itu. Ditambah lagi, sebagai lulusan dari ranah Ilmu Komunikasi, rasanya ada yang kurang jika aku tidak mencoba terjun ke dunia media. Akhirnya aku melamar ke salah satu perusahaan media besar di Indonesia, dan Tuhan menjawab doaku.

Lagi-lagi merasa sangat senang, bahagia, dan bersyukur bisa diterima di perusahaan media yang aku incar tersebut. Bahkan aku sempat merasa pekerjaan itu adalah panggilan hidupku di dunia berkarir. Di masa-masa awal bekerja, aku berekspektasi bahwa karierku akan sangat bagus di tempat ini. Dengan gaji yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari, nama baik perusahaan yang berpotensi meningkatkan harga diriku di mata orang lain, memiliki teman-teman yang seru, dan beberapa faktor menyenangkan lainnya membuatku sempat merasa bahwa ini adalah pekerjaan terbaikku. Aku yakin bisa bertahan lama di sini.

Namun, 7 bulan bekerja adalah realita yang terjadi. Aku kembali memutuskan untuk resign karena aku tidak suka dengan konten media yang harus aku produksi setiap harinya. Ada idealisme di dalam diriku yang memberontak ketika aku mengerjakan bagianku. Aku bertanya-tanya: apakah ini salahku? Atau salah tempat kerjaku? Ekspektasiku hancur. Aku kecewa. Waktu itu aku sangat bingung karena kekecewaan yang kualami campur aduk; antara aku kecewa dengan tempat kerja yang tidak memenuhi ekspektasi, atau aku kecewa dengan diriku sendiri karena memiliki ekspektasi yang berlebihan. Aku sedih sekali harus berpisah dengan teman-teman yang seru dan tidak bisa bertahan lama bekerja di sana. Aku merasa tidak berguna dan gagal. Dengan kondisi ekspektasi yang hancur ini, aku memutuskan tidak melamar pekerjaan dulu selama 3 bulan.

Setelah 3 bulan, aku kembali membuka hati dan diriku untuk melamar bekerja. Kali ini, pilihanku kembali ke bisnis restoran karena aku merasa sepertinya aku memiliki minat di industri tersebut. Singkat cerita, aku kembali diterima di sebuah bisnis restoran sebagai Staf Media Sosial (Social Media Officer). Lagi-lagi merasa senang, bahagia, dan bersyukur, TAPI kali ini aku tidak merancang ekspektasi apapun. Aku belajar untuk menyerahkan karirku ke dalam tangan Tuhan dan belajar menikmati segala proses di pekerjaanku. Bisnis restoran kali ini cukup asing, karena aku belum mengetahui apa-apa tentang merek restoran ini sebelumnya. Sempat ada rasa takut gagal lagi, takut kecewa lagi, tapi aku mau belajar untuk selalu percaya bahwa Tuhan menyertai hari-hariku bekerja di sana.

Ketidaknyamanan mulai terasa kembali ketika aku mengenal karakter dari bosku yang, dalam pandanganku, memiliki karakter yang kurang baik dan kurang menjadi teladan, khususnya dalam hal bertutur kata. Ketakutanku saat itu adalah aku bisa terpengaruh, meskipun sebenarnya beliau memperlakukanku dengan baik dan profesional. Beliau juga mendukungku ketika aku bertanya-tanya soal job description yang menjadi tanggung jawabku. Hanya terkait tutur katanya saja yang membuatku tidak nyaman.

Sempat terpikir kembali untuk resign namun aku sudah terlalu lelah untuk menyerah. Akhirnya aku mencoba untuk menuangkan unek-unekku dengan cara bertemu salah satu abang seniorku yang adalah hamba Tuhan, Bang Alex Nanlohy. Meski sempat ragu, karena aku paham beliau pasti sibuk sekali, aku beranikan diri saja untuk mengontak dan puji Tuhan beliau mau menyempatkan waktu bertemu denganku sehabis membawakan khotbah di sebuah ibadah persekutuan mahasiswa.

Dari percakapan kami, aku belajar bahwa kita tidak akan pernah menemukan tempat kerja se-sempurna yang kita inginkan. Bahkan seorang petani pun harus turun menjejakkan kakinya di lumpur agar bisa bertani. Yang harus diperhatikan dalam aspek pekerjaan kita seharusnya adalah: Allah dimuliakan, pekerjaan tersebut tidak mengikat kita dalam dosa, orang lain terberkati, kebutuhan diri sendiri terpenuhi. Seusai pertemuan tersebut, aku merenungkan nasihat beliau, dan singkat cerita aku mengambil komitmen untuk bertahan sampai Tuhan sendiri yang benar-benar memberi sinyal bahwa aku harus berhenti bekerja di sana.

Dua minggu setelah pertemuanku dengan Bang Alex, bisnis restoran tempatku bekerja bangkrut. Restoran pun tutup, dan di situ aku sangat sedih. Sedih karena aku mulai menikmati apa yang kukerjakan, mulai belajar menerima karakter bosku yang sempat tidak membuatku nyaman, kembali berpisah dengan teman-teman baru, dan sedih karena aku hanya bertahan lebih singkat yaitu 6 bulan. Aku bertanya-tanya: Tuhan, Meista harus melamar ke mana lagi? Dengan kondisiku yang masih sedih, aku berniat melamar pekerjaan kembali di awal tahun 2020 (peristiwa tempat kerjaku bangkrut terjadi di awal Desember 2019).

Pertengahan Desember, mantan senior di tempat kerja lama menghubungiku. Beliau bertanya apakah aku memiliki teman yang bisa membantu timnya di bagian marketing dan media sosial untuk bantu promosikan sebuah perusahaan minuman teh. Berhubung aku sedang tidak bekerja, jadilah aku yang menawarkan diri untuk mengisi posisi tersebut. Singkat cerita, beberapa hari setelahnya aku diwawancara dan langsung diminta bekerja per 6 Januari 2020. Hingga tulisan ini dipublikasikan, aku masih bertahan bekerja di sana.

Jujur, akhirnya aku menemukan apa yang menjadi sukacitaku dalam bekerja: aku senang menolong orang lain. Aku tidak hanya senang dengan jenis perusahaan yang lagi-lagi di bidang kuliner, tidak hanya senang dengan jenis pekerjaanku yang kembali menekuni bidang pemasaran dan komunikasi, tapi aku juga senang membantu bosku memajukan produktivitas bisnisnya yang terbilang masih ada di tahap awal (startup). Tantangan, resiko, konflik antar pribadi tentu menjadi hal yang tak terhindarkan, karena aku bekerja di dalam sebuah tim, bukan seorang diri. Aku belajar bahwa berkarir tidak hanya tentang: uang, pengalaman, kebanggaan diri, atau status tidak menganggur, melainkan juga tentang kerjasama tim dan bagaimana berhadapan dengan karakter orang lain.

Aku juga belajar bahwa ternyata sukacita identik dengan rasa syukur. Rasa cukup. Aku tidak perlu lagi berekspektasi ini dan itu secara berlebihan karena aku yakin Tuhan menyediakan dan berikan yang terbaik buatku. Ini bukan berarti aku bisa bermalas-malasan dan tidak bijak dalam menggunakan waktu yang ada. Aku justru belajar bahwa melakukan bagianku dalam pekerjaan adalah hal terbaik yang bisa kulakukan. Membuat perencanaan dan memasang target itu sangat diperlukan, tapi melibatkan Tuhan di dalamnya itu jauh lebih penting. Ketika menyadari bahwa Tuhan terlibat dan Tuhan menyediakan, sukacita itu pun juga tersedia meskipun yang terjadi tidak selalu sama dengan yang kita harapkan atau inginkan.

Maukah kita selalu percaya pada-Nya? Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Kala Instagram Merenggut Sukacitaku

Gara-gara asyik main Instagram, aku jadi minder. Aku meletakkan kebahagiaanku pada apa yang tak kupunya.