Posts

Sebuah Pengingat Mengapa Aku Diutus Pergi Jauh

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan

“Kamu yakin bakalan pergi? Gak usah muluk-muluk lah soal hidup. Bapak rasa kamu belum semandiri itu selama ini. Tapi, kalau kamu memang mau pergi sejauh itu, jangan sampai nanti kamu nyusahin orangtua atau diri sendiri.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan duniaku runtuh. Rasanya sakit sekali tidak didukung oleh orang tuaku, dan aku merasa mereka tidak mengenalku. Padahal aku sudah berusaha memperbaiki hidupku selama beberapa tahun terakhir sejak aku menerima Yesus.

Belum lagi perkataan dari teman-teman dan keluargaku lainnya yang turut menyakiti hatiku.

“Gue shock sih, dengar kabar kalau lo tiba-tiba mau pergi ke sana dengan alasan mau melayani. Soalnya lo aja masih sering banyak ngeluh. Yakin lo, San?” Dia adalah salah seorang teman yang sudah cukup lama kukenal.

“Eh! Kata Ibu, Santi mau ikut volunteer tenaga medis ke Pedalaman ya? Pelayanan sih pelayanan San. Tapi, kamu yakin? Bukan cuma mau eksplor tempat aja, nih? Katanya pulau itu cantik, sih. Jangan sampai setengah-setengah lho, takutnya nanti ngerepotin keluarga.” Demikian ucapan bibiku yang datang ke rumah untuk membicarakan hal itu, tanpa basa-basi.

Belum saja aku pergi, sudah banyak kata-kata yang bukan berupa dukungan, melainkan kata-kata yang membuatku harus menahan air mata di depan mereka.

Kupikir tidak ada yang akan mendukungku. Namun, ada satu sahabat yang mendukungku, yang percaya kalau aku tidak salah dengan apa yang sedang kurasakan—tentang bagaimana Tuhan memang memanggilku melayani sebagai volunteer di daerah itu. Dia adalah Konnang.

“Gapapa San. Wajar kok semua orang, bahkan orang tuamu tidak mendukungmu. Kan memang tidak banyak orang yang dipanggil atau dipilih Tuhan untuk pelayanan seperti ini. Restu orang tua memang penting, tapi kalau suara Tuhan untuk kamu pergi lebih kuat, percayalah Tuhan akan membuktikan kalau Dia sendiri yang akan turun tangan untukmu.”

Kata-kata itu membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah dengan keputusanku.

Itulah sekelumit pergumulan yang kuhadapi sebelum keberangkatanku mengikuti apa yang jadi panggilan hatiku. Namaku Santi. Aku seorang tenaga medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di kotaku. Tapi suatu hari, aku memutuskan berhenti untuk ikut sebuah pelayanan misi di sebuah pulau, tepatnya di suatu tempat terpencil di Indonesia. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.

Dulu, kehidupan sebagai orang Kristen memang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang jemaat yang rajin ke gereja dan jarang terlibat dalam kepengurusan pelayanan. Tapi, pertemuanku dengan Yesus beberapa tahun lalu adalah alasan yang membuatku mengambil keputusan ini. Sejak hari itu, ada dorongan di hati untuk lebih peduli dan lebih aktif di beberapa kegiatan rohani yang kuyakin pastilah itu buah dari mengenal-Nya.

“Tapi, pertemuan dengan Yesus sekalipun tidak membuat kita langsung berubah 100%. Begitu pun dengan pandangan orang lain soal hidup kita yang lama, San,” tambah Konnang.

Karena ucapan itu, aku sedikit lebih lega untuk menanggapi kalimat-kalimat yang belakangan ini aku dengar dari orang-orang yang sebenarnya kuharapkan untuk mendukungku. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar untuk langsung menghakimiku lebih dulu.

Akhirnya, dengan restu setengah hati dari orang tuaku, aku berangkat.

Aku pun sampai di sebuah pulau yang penduduknya sama sekali tidak terlalu mengenal kecanggihan teknologi dan modernisasi kota. Kutatap mereka semua yang menyambut kedatangan timku. Saat itu hatiku bergetar, seakan berkata “inilah jawaban mengapa aku pergi.”

Lusuh, kumuh, kurang gizi, dan tanpa alas kaki. Seperti kurang diurus. Namun, senyum mereka seakan menyampaikan harapan bahwa kedatangan kami membawa dampak yang berarti buat hidup mereka.

Hari-hari di sana tidak mudah untuk kulalui. Jatuh bangun kualami, namun aku tetap kuat bertahan menyelesaikan sebuah misi yang sudah Tuhan percayakan ini. Tempat untuk mengobrol selain Tuhan, tetaplah Konnang, sahabatku yang Tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan kisah ini. Dan Konnang tidak pernah melupakanku, sekalipun aku pergi ke tempat terpencil ini.

“Halo! Selamat Tahun baru, ya! Gak kerasa banget kita udah dua tahun gak ketemu, San. Apa ceritamu kali ini? “ tanya Konnang tanpa basa-basi mengawali pembicaraan kami.

“Selamat tahun baru, Konnang!” Aku menjawabnya dengan semangat. “Iya, ya. Gak kerasa aku udah dua tahun di sini, dan sisa waktuku sebagai volunteer tinggal enam bulan lagi. Tapi, tau gak sih, Nang, kadang aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di tahap ini. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, aku pasti udah pulang sejak lama. Tapi, pengharapan itu emang jadi alasan yang mengalahkan semua kekhawatiran dan ketakutanku, Nang. Dan buahnya, semakin hari aku merasa semakin kuat.”

Begitu jawabku. Aku pun menyadari, semakin banyak kata-kata bijak yang dapat kuucapkan, dan aku tahu kata-kata itu lahir dari semua pengalamanku ini.

“San, tau gak apa yang paling menarik dari kisahmu? Dulu, aku bilang ke kamu biar Tuhan yang membuktikan kalau Dia yang akan turun tangan dalam perjalananmu. Waktu itu aku hanya menyemangatimu untuk mengambil keputusan. Tapi, rasanya sekarang aku makin mempercayai hal itu buat hidupku, sekalipun pasti perjalanan ceritaku dan ceritamu berbeda.”

Ya, benar! Apa yang Konnang katakan sungguh benar.

Enam bulan kemudian, aku pulang ke kampung halamanku. Masa melayaniku di tempat terpencil itu sudah habis.

Dan ketika aku baru saja sampai di bandara kota tempat tinggalku, keluarga dan orang-orang yang kurindukan langsung memelukku dengan hangat. Air mata mereka pun turut membasahi baju putih yang kukenakan hari itu. Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Dan aku bersyukur, mereka juga bangga atas apa yang telah kulakukan.

Bertahan dan bermegah dalam kesengsaraan memang tidak mudah, tapi ketaatan dan ketekunan akan menjadikan kita berpengharapan. Dan pengharapan dalam Yesus tidak mengecewakan.

Terima Kasih Yesusku, karena Engkau menjadi pembelaku. Karena Engkau juga, aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

Malam itu, seperti biasanya aku menulis. Kututup buku journey-ku dengan kalimat itu sambil tersenyum bangga mengingat kasih setia-Nya yang tidak pernah ada habisnya.

Membuat Pilihan yang Berkenan pada Tuhan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Setiap hari dalam hidup kita diperhadapkan dengan berbagai pilihan. Dimulai saat bangun tidur, kita punya pilihan mau tetap di kasur atau lanjut beraktivitas. Dari pilihan yang sederhana sampai rumit, hidup selalu dipenuhi dengan pilihan.

Jika pilihannya tampak sederhana, kita mungkin menanggapinya dengan santai. Tapi, ketika pilihan yang diambil berhubungan dengan masa depan, kita pun gusar. Bingung menentukan mana yang paling tepat. Salah satu pilihan yang menurutku sulit diambil adalah ketika aku melewati masa-masa pasca kuliah. Di mana aku akan tinggal setelah lulus? Lanjut studi apa kerja? Apakah aku harus pindah ke kota yang sama dengan pacarku? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kita, yang berpengaruh cukup besar adalah aspek emosi. Kalau terasa benar, lakukan saja. Kalau rasanya tidak enak, pasti tidak benar. Pikiran kita menyederhanakan demikian. Tapi, kita lupa, bahwa terkadang emosi dan keinginan hati kita seringkali menipu kita sebagaimana Alkitab berkata dalam Yeremia 17:9, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Ketika emosi dan keinginan hati jadi faktor penggerak utama, bisa jadi keputusan yang kita ambil jauh dari apa yang Allah inginkan. Ada satu buku yang pernah kubaca, judulnya Gumulan Hidup Pascakuliah. Buku ini ditulis oleh Erica Young Reitz, pemimpin senior EXIT, sebuah program setahun yang bertujuan mempersiapkan alumni baru masuk ke fase hidup berikutnya. Dalam bukunya, sang penulis mengajak kita mengevaluasi bahwasanya ada pertimbangan dalam kita membuat keputusan.

Menyelaraskan diri dengan Allah

Keputusan yang bijak dan menghormati Allah hanya bisa diambil jika kita punya jalinan hubungan yang dekat dengan-Nya. Relasi yang dekat dengan-Nya akan menolong kita untuk mendengar dan melihat-Nya dalam keputusan yang akan kita ambil. Bagaimana caranya?

1. Carilah informasi yang detail

Sebelum membuat keputusan yang besar, penting bagi kita untuk memahami sebanyak mungkin hal yang ingin kita putuskan. Semisal, jika kita ingin mengambil pekerjaan di tempat yang baru atau di luar kampung halaman kita, maka kita bisa mencari informasi besarnya biaya hidup, pilihan transportasi dan pasar kerjanya. Allah mengaruniakan diri kita kemampuan otak yang dapat mengumpulkan informasi sehingga ketika kita diperhadapkan dengan dua pilihan yang tampaknya baik, pengumpulan informasi bisa menjadi langkah kunci dalam membantu kita memutuskan mana yang akan dipilih.

2. Carilah nasihat kepada orang yang kompeten

Amsal 15:22 berkata, “Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak” (Amsal 15:22).

Minggu lalu, aku bergumul mau membeli HP atau laptop. Sebenarnya aku ingin membeli HP saja karena HPku sudah jadul dan susah digunakan. Tapi, aku juga butuh laptop, apalagi sekarang pekerjaan harus dilakukan dari rumah, dan kalau ada laptop, aku bisa lebih mudah menulis. Dua benda ini terlihat sama-sama penting, tapi kalau harus beli keduanya, aku tidak punya cukup uang.

Aku bergumul. Aku bertanya pada Tuhan benda manakah yang paling tepat kubeli. Lalu aku berdiskusi dengan pacarku karena dia adalah salah satu orang terdekatku yang mampu mengatur keuangan pribadinya dengan baik. Dia pun mengerti kesulitanku, sehingga dia menyarankanku untuk membeli laptop saja. Mungkin bagi beberapa orang perkara seperti ini adalah hal biasa yang tak perlu ditanggapi serius, tapi bagiku menggumuli ini sangatlah penting. Uang yang Tuhan percayakan kepadaku harus kugunakan dengan penuh tanggung jawab.

Dalam mengambil keputusan, kita perlu nasihat atau masukan dari orang lain yang kita anggap kompeten, yang punya pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk menolong kita. Orang itu bisa berupa orang tua, kakak rohani, senior kita, atau pun teman kita. Namun perlu kita perhatikan: meminta nasihat bukan berarti menjadikan merekalah yang mengambil keputusan bagi kita. Bayangkan jika kita meminta nasihat dari dua atau tiga orang yang masing-masing punya nasihat berbeda. Jika harus menjadikan nasihat mereka mentah-mentah sebagai keputusan kita, pastinya kita akan bingung. Olahlah segala masukan yang telah kita terima, doakanlah, hingga akhirnya kita mengambil keputusan.

Setelah keputusan diambil, serahkanlah kembali keputusan itu kepada Allah. Kalaupun keputusan yang kita ambil tak berjalan seperti yang kita rencanakan, ingatlah bahwa segala sesuatu terjadi dalam kendali Tuhan.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Kegagalan mendengar suara-Nya saat kita menginginkannya adalah karena kita sebenarnya tidak ingin mendengarkan Dia. Kita menginginkannya hanya bila kita berpikir kita membutuhkannya – Dallas Willard, Hearing God.

Baca Juga:

Perjumpaan dengan-Nya, Mengubah Segalanya

Perjumpaan dengan Kristus sungguh-sungguh dapat mengubahkan siapa saja. Aku tidak berkata, setelah aku mengenalnya, aku lalu menjadi sempurna. Sama sekali tidak. Rasul Paulus pun tidak sempurna, apalagi aku. Aku berulang kali jatuh dan gagal. Tetapi, aku bisa bangkit.