Posts

Lebih, Lebih, Dan Lebih Lagi

Senin, 22 Juli 2013

Lebih, Lebih, Dan Lebih Lagi

Baca: Lukas 12:13-21

Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu. —Lukas 12:15

Sebagian orang senang berbelanja. Mereka punya hasrat yang tak henti-hentinya untuk membeli, membeli, dan membeli. Nafsu untuk mencari penawaran terbaru ini menjangkiti seluruh dunia. Pusat-pusat perbelanjaan raksasa tersebar di China, Arab Saudi, Kanada, Filipina, Amerika Serikat, dan tempat-tempat lain di seluruh dunia. Meningkatnya jumlah pembelian di toko-toko dan di dunia maya menunjukkan bahwa berbelanja telah menjadi fenomena global.

Berbelanja bisa jadi menyenangkan. Tentu saja, tak ada salahnya kita berupaya mencari penawaran yang murah dan menikmati hal-hal yang Allah berikan kepada kita. Namun ketika perhatian kita tersita hanya untuk mengejar harta benda, kita telah kehilangan fokus.

Yesus menantang para pendengar-Nya dengan berkata, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Luk. 12:15). Dia melanjutkan dengan menceritakan sebuah perumpamaan tentang seseorang yang “mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri,” tetapi yang tidak peduli pada hubungannya dengan Allah (ay.21).

Bagaimana kita bisa belajar mensyukuri semua yang kita miliki dan tidak terjerat pada keinginan untuk menimbun lebih banyak harta? Berikut ini caranya: Pandanglah harta benda sebagai pemberian Allah yang patut dipakai dengan bijak (Mat. 25:14-30). Bekerja keraslah untuk menghasilkan uang dan menabungnya (Ams. 6:6-11). Berikanlah sebagian harta untuk pekerjaan Tuhan dan membantu mereka yang membutuhkan (2Kor. 9:7; Ams. 19:17). Ingatlah selalu untuk bersyukur dan menikmati segalanya yang Allah berikan (1Tim. 6:17). —HDF

Tuhan, hati kami sering terpikat pada“harta benda”.
Ajar kami untuk tidak tergila-gila mengumpulkan harta
lebih dan lebih lagi. Kiranya kami justru belajar
tentang arti menjadi “kaya” di hadapan-Mu.

Menjadi kaya di dalam Allah jauh lebih baik daripada kaya dalam harta.

Burung-Burung Rakus

Jumat, 21 Juni 2013

Burung-Burung Rakus

Baca: 2 Korintus 9:6-15

Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu . . . berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. —2 Korintus 9:8

Setiap tahun saat saya memasang tempat makan bagi burung, burung-burung kolibri kecil langsung sibuk memperebutkan posisi mereka. Meski ada empat celah untuk mendapatkan makanan, setiap burung berebut untuk menempati celah yang digunakan oleh burung di sebelahnya. Sumber makanan mereka sama, yaitu kolam sirup di bagian dasar tempat makan itu. Karena saya tahu bahwa setiap celah itu mengeluarkan makanan yang sama, saya hanya bisa menggelengkan kepala melihat kerakusan mereka.

Namun kemudian saya bertanya-tanya, Mengapa jauh lebih mudah melihat kerakusan burung-burung itu daripada melihat kerakusan saya sendiri? Saat menerima berkat Allah, saya sering kali menginginkan apa yang diterima oleh orang lain, meskipun saya mengetahui bahwa semua hal yang baik datang dari sumber yang sama, yaitu Allah— dan bahwa persediaan-Nya tidak akan pernah habis. Karena Allah dapat menyediakan hidangan bagi kita bahkan di hadapan musuh-musuh kita (Mzm. 23:5), mengapa kita khawatir kalau-kalau orang lain mendapatkan apa yang kita inginkan dalam hidup ini?

Allah sanggup untuk membuat kita “berkecukupan di dalam segala sesuatu” sehingga kita akan “berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2Kor. 9:8). Saat kita menyadari pentingnya panggilan kita sebagai pengurus dari kasih karunia Allah (1Ptr. 4:10), kita akan berhenti memperebutkan kedudukan orang lain dan bersyukur untuk tempat yang telah diberikan Allah kepada kita untuk melayani sesama demi nama-Nya. —JAL

Terima kasih, Tuhan, untuk hak istimewa yang kami miliki
untuk melayani-Mu dengan jalan melayani orang lain.
Tolong kami untuk merasa puas di mana pun Engkau telah
menempatkan kami, sehingga Engkau bisa dimuliakan melalui kami.

Kebencian dialami dari memandang orang lain, kepuasan dialami dari memandang kepada Allah.

Mencukupkan Diri

Selasa, 2 Oktober 2012

Mencukupkan Diri

Baca: Filipi 4:10-20

Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. —Filipi 4:11b

Memang tidak mudah merasa cukup diri. Bahkan Rasul Paulus, seorang pahlawan iman, harus belajar mencukupkan diri (Flp. 4:11). Ini bukanlah sifat alami Paulus.

Sangatlah menakjubkan bagi Paulus untuk menuliskan bahwa ia telah mencukupkan diri dalam segala keadaan. Ketika menuliskannya, ia sedang dipenjara di Roma. Setelah didakwa dengan tuduhan menghasut, berkhianat, dan sejumlah kejahatan besar lainnya, ia mengajukan banding hingga ke pengadilan tertinggi, yakni sang Kaisar sendiri. Karena tidak dibantu oleh perangkat hukum dan pejabat lainnya, Paulus harus menunggu sampai kasusnya disidangkan. Bisa saja Paulus merasa berhak untuk bersikap tidak sabar dan tidak bahagia. Sebaliknya, ia justru menulis surat kepada jemaat di Filipi dan mengatakan bahwa ia telah belajar untuk mencukupkan diri.

Bagaimana Paulus mempelajarinya? Caranya: selangkah demi selangkah sampai ia dapat merasa cukup bahkan dalam keadaan yang tak nyaman sekalipun. Ia belajar menerima apa pun yang dialaminya (ay.12) dan menerima dengan ucapan syukur apa pun bentuk pertolongan yang dapat diberikan oleh saudara-saudara seimannya (ay.14-18). Dan yang terpenting, ia menyadari bahwa Allah akan menyediakan segala kebutuhannya (ay.19).

Mencukupkan diri bukanlah sifat alami bagi kita semua. Semangat bersaing yang ada dalam diri kita mendorong kita untuk membandingkan, mengeluhkan, dan menginginkan milik sesama. Memang tidak banyak dari kita yang mengalami apa yang Paulus alami, tetapi kita semua menghadapi kesulitan, dimana melalui kesulitan itu kita dapat belajar mempercayai Allah dan mencukupkan diri. —CPH

Ya Tuhan, beriku anugerah untuk dapat
mencukupkan diri dengan yang Engkau berikan.
Terlebih dari itu, kiranya aku bersukacita
atas apa yang Engkau beri, karena itu berasal dari-Mu! —NN.

Mencukupkan diri tidak berarti memiliki segala sesuatu, tetapi bersyukur untuk segala sesuatu yang Anda miliki.

Lagi, Lagi, Lagi

Rabu, 15 Februari 2012

Baca: Filipi 4:10-20

Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. —Filipi 4:11

Karena kini putri saya sedang belajar berbicara, ia telah mengadopsi satu kata favorit: lagi. Ia akan mengatakan “lagi” sambil menunjuk pada roti bakar yang diolesi selai. Ia mengulurkan telapak tangannya dan mengatakan, “Lagi!” ketika suami saya memberinya sejumlah uang logam untuk mengisi celengannya. Ia bahkan menjerit, “Ayah, lagi!” di suatu pagi setelah ayahnya berangkat kerja.

Seperti putri kecil saya, kebanyakan dari kita melihat ke sekitar kita dan meminta “lagi” dan “lagi.” Sayangnya, kita tidak pernah merasa cukup. Kita memerlukan kuasa Kristus untuk mematahkan siklus tersebut sehingga kita dapat berkata seperti Paulus, “Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan” (Flp. 4:11).

Frasa “aku telah belajar” menyatakan kepada saya bahwa Paulus tidaklah menghadapi setiap situasi yang ada dengan senyuman. Belajar mencukupkan diri itu membutuhkan latihan. Pengalaman Paulus terdiri dari pasang surut kehidupan, mulai dari digigit ular hingga menyelamatkan jiwa; dari ditimpa tuduhan palsu hingga membangun jemaat di berbagai kota. Meski demikian, ia menyatakan bahwa Yesus adalah jawaban yang membawa kepuasaan bagi jiwanya. Ia berkata, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (ay.13). Yesus telah memberinya ketangguhan rohani untuk bertahan di masa paceklik dan menghindari jerat dosa yang datang dari masa kelimpahan.

Jika Anda merasa bahwa Anda menginginkan “lagi, lagi, lagi,” ingatlah bahwa kepuasan sejati dialami ketika Anda menikmati Kristus “lagi dan lagi”. —JBS

Janganlah kecewa karena hal-hal duniawi;
Semua itu tak akan pernah memuaskan.
Rahasia kepuasan itu terletak pada
Mempercayai Tuhan akan menyediakan. —D. De Haan

Kepuasan yang sejati tak tergantung pada apa pun yang ada di dunia ini.