Posts

Penawaran Terbaik!

Jumat, 25 November 2016

Penawaran Terbaik!

Baca: Pengkhotbah 5:9-19

5:9 Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.

5:10 Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?

5:11 Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan sedikit maupun banyak; tetapi kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak membiarkan dia tidur.

5:12 Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri.

5:13 Dan kekayaan itu binasa oleh kemalangan, sehingga tak ada suatupun padanya untuk anaknya.

5:14 Sebagaimana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan pergi, telanjang seperti ketika ia datang, dan tak diperolehnya dari jerih payahnya suatupun yang dapat dibawa dalam tangannya.

5:15 Inipun kemalangan yang menyedihkan. Sebagaimana ia datang, demikianpun ia akan pergi. Dan apakah keuntungan orang tadi yang telah berlelah-lelah menjaring angin?

5:16 Malah sepanjang umurnya ia berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, penderitaan dan kekesalan.

5:17 Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan Allah kepadanya, sebab itulah bahagiannya.

5:18 Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya–juga itupun karunia Allah.

5:19 Tidak sering ia mengingat umurnya, karena Allah membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya.

Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya? —Pengkhotbah 5:10

Penawaran Terbaik!

Seberapakah yang dianggap cukup itu? Pertanyaan sederhana itu kita ajukan pada hari yang ditetapkan oleh banyak negara maju sebagai hari terbaik untuk berbelanja. Di Amerika Serikat, sehari setelah perayaan Thanksgiving (Pengucapan Syukur), hari itu dikenal sebagai Black Friday, hari di mana banyak toko buka lebih awal dan menawarkan diskon besar-besaran. Tradisi itu bermula di Amerika Serikat dan telah menyebar ke negara-negara lain. Memang ada pembeli yang memiliki dana terbatas dan mereka berusaha membeli barang-barang dengan harga yang terjangkau bagi mereka. Namun sayangnya, ada sebagian pembeli yang didorong oleh keserakahan, dan kekerasan kadang terjadi selagi mereka saling berebut.

Hikmat dari seorang penulis di Perjanjian Lama yang dikenal sebagai “Pengkhotbah” (Pkh. 1:1) memberikan sebuah penangkal untuk gejala konsumerisme yang mungkin kita temui di toko-toko—dan juga yang ada di dalam hati kita. Ia menunjukkan bahwa siapa pun yang mencintai uang tidak akan pernah merasa cukup dan akan dikendalikan oleh harta mereka. Lebih dari itu, mereka akan mati tanpa membawa apa-apa: “Sebagaimana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan pergi” (5:14). Rasul Paulus menggemakan ucapan Pengkhotbah ketika mengatakan bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang, dan kita harus berjuang untuk hidup saleh “disertai rasa cukup” (1Tim. 6:6-10).

Baik kita berkecukupan atau tidak, kita semua bisa menempuh cara-cara yang tidak sehat untuk mengisi kekosongan hati yang sebenarnya hanya bisa dipuaskan oleh Allah. Namun ketika kita memohon kepada Tuhan untuk memberi kita kedamaian dan kepuasan, Dia akan mengisi hati kita dengan kebaikan dan kasih-Nya. —Amy Boucher Pye

Engkau telah menjadikan kami untuk diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sampai menemukan kediamannya di dalam-Mu. —Agustinus, Pengakuan-Pengakuan

Kepuasan sejati tidak bergantung pada apa pun yang ada di dunia ini.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 24-26; 1 Petrus 2

Artikel Terkait:

Haruskah Kita Berhenti Menggunakan Media Sosial?

Berhenti menggunakan media sosial bisa jadi dapat menolong kita untuk tidak terobsesi dengan keinginan mendapatkan penghargaan orang lain. Namun, benarkah tindakan itu dapat menyelesaikan masalah? Mungkinkah keinginan kita untuk selalu diakui dan dihargai orang lain akan muncul lagi dalam bentuk lainnya, membuat diri kita kembali merasa kosong dan serba kurang?

Anugerah Ini

Selasa, 25 Oktober 2016

Anugerah Ini

Baca: 2 Korintus 12:6-10

12:6 Sebab sekiranya aku hendak bermegah juga, aku bukan orang bodoh lagi, karena aku mengatakan kebenaran. Tetapi aku menahan diriku, supaya jangan ada orang yang menghitungkan kepadaku lebih dari pada yang mereka lihat padaku atau yang mereka dengar dari padaku.

12:7 Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri.

12:8 Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku.

12:9 Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

12:10 Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. —2 Korintus 12:9

Anugerah Ini

Beberapa tahun lalu saya pernah menulis sebuah esai tentang koleksi tongkat pembantu jalan yang saya miliki. Saya bercanda bahwa suatu hari nanti saya akan membutuhkan alat bantu jalan yang lebih canggih. Hari itu telah tiba. Kombinasi masalah tulang belakang dan kerusakan saraf perifer telah memaksa saya untuk menggunakan alat bantu jalan beroda tiga. Saya tidak dapat lagi menjelajahi alam. Saya tidak dapat lagi memancing. Saya tidak dapat lagi melakukan banyak hal yang selama ini memberikan kesenangan bagi saya.

Namun demikian, saya mencoba untuk menerima keterbatasan saya, apa pun itu, sebagai anugerah dari Allah, dan dengan anugerah inilah saya harus melayani Dia. Anugerah ini dan bukan yang lain. Itu juga berlaku bagi kita semua, entah kita mengalami keterbatasan dari segi emosi, fisik, atau intelektual. Dengan blak-blakan, Paulus mengatakan bahwa ia bermegah atas kelemahannya, karena justru dalam kelemahan itulah kuasa Allah dinyatakan di dalam dirinya (2Kor. 12:9).

Bila kita memandang segala sesuatu yang kita anggap sebagai kendala dengan cara seperti itu, kita akan dimampukan untuk melakukan tanggung jawab kita dengan penuh keberanian dan keyakinan. Daripada mengeluh, mengasihani diri, atau mengasingkan diri, lebih baik kita memberi diri untuk dipakai Allah menggenapi tujuan-tujuan yang telah ditentukan-Nya.

Saya tidak tahu apa yang dikehendaki Allah bagi kamu dan saya, tetapi kita tidak perlu mengkhawatirkannya. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menerima saja segala sesuatu sebagaimana adanya dan merasa cukup, dengan menyadari bahwa di dalam kasih, hikmat, dan pemeliharaan Allah, keadaan inilah yang terbaik bagi kita. —David Roper

Ya Tuhan, aku tahu Engkau baik dan mengasihiku. Aku percaya Engkau akan memberikan segala sesuatu yang kuperlukan untuk hari ini.

Rasa cukup memampukan kita untuk bertumbuh di mana pun Allah menempatkanmu.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 6-8; 1 Timotius 5

Artikel Terkait:

Pekerjaan yang Paling Ideal: Ibu Rumah Tangga

Ketika pemimpin kelompok diskusi pemuda Christine memintanya menuliskan sebuah pekerjaan yang menurutnya ideal, dia menuliskan satu pekerjaan ini: “Ibu rumah tangga”. Kemudian, Tuhan membukakan kepada Christine mengenai sebuah kisah dari seorang ibu rumah tangga yang menginspirasinya.

Hati yang Mengabdi

Minggu, 26 Juli 2015

Hati yang Mengabdi

Baca: 2 Tawarikh 17:1-11

17:1 Maka Yosafat, anaknya, menjadi raja menggantikan dia. Sebagai pemimpin Israel ia memperkuat dirinya

17:2 dengan menempatkan tentara di semua kota yang berkubu di Yehuda dan pasukan-pasukan pendudukan di tanah Yehuda serta di kota-kota Efraim yang direbut oleh Asa, ayahnya.

17:3 Dan TUHAN menyertai Yosafat, karena ia hidup mengikuti jejak yang dahulu dari Daud, bapa leluhurnya, dan tidak mencari Baal-baal,

17:4 melainkan mencari Allah ayahnya. Ia hidup menurut perintah-perintah-Nya dan tidak berbuat seperti Israel.

17:5 Oleh sebab itu TUHAN mengokohkan kerajaan yang ada di bawah kekuasaannya. Seluruh Yehuda memberikan persembahan kepada Yosafat, sehingga ia menjadi kaya dan sangat terhormat.

17:6 Dengan tabah hati ia hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN. Pula ia menjauhkan dari Yehuda segala bukit pengorbanan dan tiang berhala.

17:7 Pada tahun ketiga pemerintahannya ia mengutus beberapa pembesarnya, yakni Benhail, Obaja, Zakharia, Netaneel dan Mikha untuk mengajar di kota-kota Yehuda.

17:8 Bersama-sama mereka turut juga beberapa orang Lewi, yakni Semaya, Netanya, Zebaja, Asael, Semiramot, Yonatan, Adonia, Tobia dan Tob-Adonia disertai imam-imam Elisama dan Yoram.

17:9 Mereka memberikan pelajaran di Yehuda dengan membawa kitab Taurat TUHAN. Mereka mengelilingi semua kota di Yehuda sambil mengajar rakyat.

17:10 Ketakutan yang dari TUHAN menimpa semua kerajaan di negeri-negeri sekeliling Yehuda, sehingga mereka tidak berani berperang melawan Yosafat.

17:11 Dari antara orang-orang Filistin ada yang membawa kepada Yosafat persembahan, dan perak sebagai upeti. Juga orang-orang Arab membawa kepadanya kambing domba, domba jantan tujuh ribu tujuh ratus ekor dan kambing jantan tujuh ribu tujuh ratus ekor.

Ia . . . melakukan apa yang benar di mata TUHAN. —2 Tawarikh 20:32

Hati yang Mengabdi

Seorang pebisnis Kristen yang sukses membagikan ceritanya kepada kami di gereja. Ia begitu jujur dan terbuka menyebutkan pergumulannya dalam iman dan kekayaannya yang melimpah. Ia menyatakan, “Kekayaan membuatku takut!” Ia mengutip perkataan Yesus, “Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Luk. 18:25).

Ia mengutip Lukas 16:19-31 tentang seorang kaya dan Lazarus, dan bagaimana dalam kisah itu, justru orang kaya yang masuk ke neraka. Perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Luk. 12:16-21) juga mengusik pikirannya.

“Akan tetapi,” pebisnis itu kemudian menyatakan, “aku telah belajar dari keputusan Salomo mengenai kekayaan yang berlimpah. Itu semua adalah ‘kesia-siaan’” (Pkh. 2:11). Ia bertekad untuk tidak membiarkan kekayaannya menghalangi pengabdiannya kepada Allah. Sebaliknya, ia ingin melayani Allah dengan harta miliknya dan menolong orang yang berkekurangan.

Selama berabad-abad, Allah telah memberkati sejumlah orang dengan harta benda. Kita membaca tentang Yosafat dalam 2 Tawarikh 17:5, “Oleh sebab itu, TUHAN mengokohkan kerajaan yang ada di bawah kekuasaannya . . . sehingga ia menjadi kaya dan sangat terhormat.” Yosafat tidak menjadi sombong atau menindas orang lain dengan kekayaannya. Sebaliknya, “dengan tabah hati ia hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN” (ay.6). Selain itu, “ia hidup mengikuti jejak Asa, ayahnya; ia tidak menyimpang dari padanya, dan melakukan apa yang benar di mata TUHAN” (20:32).

Tuhan tidak menentang kekayaan karena Dia memberkati sejumlah orang dengan harta, tetapi yang dikecam-Nya adalah usaha memperoleh kekayaan secara tidak etis dan penyalahgunaannya. Allah layak menerima pengabdian dari semua pengikut-Nya. —Lawrence Darmani

Bersyukur kepada Allah sering menolong kita untuk belajar merasa puas dengan apa yang kita miliki. Apa saja yang membuat kamu bersyukur?

Tuhan menyukai hati yang mengabdi, tanpa melihat ia kaya atau tidak.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 40–42; Kisah Para Rasul 27:1-26

Itu Bukan Urusanmu

Sabtu, 13 Juni 2015

Itu Bukan Urusanmu

Baca: Yohanes 21:15-22

21:15 Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

21:16 Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”* Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: /”Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

21:17 Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”* Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: /”Apakah engkau mengasihi Aku?”* Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: /”Gembalakanlah domba-domba-Ku.

21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.”

21:20 Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: “Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?”

21:21 Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?”

21:22 Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.”

Jawab Yesus: “Tetapi engkau: ikutlah Aku.” —Yohanes 21:22

Itu Bukan Urusanmu

Media sosial memang bermanfaat untuk banyak hal, tetapi tidak untuk mendapatkan kepuasan hati. Setidaknya bagi saya. Meskipun niat saya baik, saya bisa merasa putus asa karena terus-menerus diingatkan bahwa orang lain telah mencapai sesuatu mendahului saya atau melakukannya dengan lebih baik. Hati saya begitu mudah kecewa, jadi saya harus berulang kali mengingatkan diri bahwa Allah telah memberikan segala yang saya butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan-Nya kepada saya.

Itu berarti saya tidak butuh anggaran yang lebih besar atau jaminan keberhasilan. Saya tidak butuh lingkungan pekerjaan yang lebih baik atau pindah kerja. Saya tidak butuh persetujuan atau izin orang lain. Saya tidak perlu kesehatan yang baik atau lebih banyak waktu. Allah bisa saja memberikan hal-hal tersebut, tetapi saya sudah memiliki segala yang saya butuhkan, karena ketika Dia menugaskan saya, Dia juga menyediakan sumber dayanya. Saya hanya perlu menggunakan apa pun talenta saya dan seberapa pun waktu yang telah Dia berikan dengan sedemikian rupa untuk memberkati orang lain dan memuliakan Allah.

Yesus dan Petrus pernah bercakap-cakap mengenai hal itu. Setelah membuat sarapan di pantai Galilea, Yesus memberitahukan Petrus tentang apa yang akan terjadi di akhir hidupnya. Sambil menunjuk murid yang lain, Petrus bertanya, “Apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” Yesus menjawab, ”Itu bukan urusanmu” (Yoh. 21:21-22).

“Itu bukan urusanku.” Itulah yang perlu saya katakan kepada diri sendiri apabila saya mulai membandingkan diri dengan orang lain. Urusan saya adalah mengikut Yesus dengan setia. —Julie Ackerman Link

Dalam hal apa kamu perlu belajar untuk tidak membandingkan diri dengan sesama? Bagaimana Allah telah memberkatimu untuk menggenapi tujuan-Nya?

Membandingkan diri dengan orang lain menimbulkan kepahitan, tetapi memandang Allah memberikan kepuasan hati.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 6–8; Yohanes 21

Kehilangan Arah

Selasa, 2 Desember 2014

Kehilangan Arah

Baca: 1 Timotius 6:6-10

6:6 Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.

6:7 Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.

6:8 Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.

6:9 Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.

6:10 Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.

Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman. —1 Timotius 6:10

Kehilangan Arah

Suatu survei online yang diselenggarakan oleh sebuah firma hukum di New York mengungkapkan bahwa 52 persen dari para pedagang saham, pialang, bankir investasi, dan pelaku bisnis jasa keuangan lainnya di Wall Street pernah terlibat dalam kegiatan ilegal atau meyakini bahwa mereka mungkin perlu melakukan kegiatan ilegal itu untuk mencapai sukses. Survei tersebut menyimpulkan bahwa para pemimpin dalam bisnis keuangan itu “telah kehilangan kompas moral mereka” dan “menganggap perbuatan ilegal di dunia usaha sebagai kejahatan yang wajar dan perlu”.

Saat membimbing Timotius yang masih muda, Rasul Paulus memperingatkan bahwa sifat cinta uang dan hasrat untuk menjadi kaya telah menyebabkan sebagian orang tersesat dan kehilangan arah hidup. Mereka takluk kepada beragam godaan dan terjerat oleh “berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan” (1Tim. 6:9). Paulus melihat “cinta uang” (bukan uang itu sendiri) sebagai akar dari “segala kejahatan” (ay.10), terutama kejahatan berupa ketergantungan pada uang dan bukan ketergantungan pada Kristus.

Dengan terus belajar melihat Kristus sebagai sumber dari segala yang kita miliki, kita akan menemukan kepuasan di dalam Dia dan bukan dari harta benda. Ketika kita mengejar kesalehan daripada kekayaan, kita akan memperoleh sebuah kerinduan untuk selalu setia dengan segala sesuatu yang sudah kita terima.

Dengan penuh kesadaran, marilah kita mengembangkan sikap puas di dalam Allah, dan dengan setia berserah kepada-Nya, karena Allah yang Maha Pemelihara akan menjaga kita senantiasa. —MLW

Bapa, aku mudah melihat bahwa cinta uang itu masalah orang lain.
Namun, aku sadar aku juga bergumul demikian. Aku perlu
pertolongan-Mu untuk belajar bersyukur atas semua pemberian-Mu.
Tumbuhkan dalam diriku sikap puas di dalam Engkau.

Cinta uang berarti lupa pada Sang Sumber Kehidupan.

Rejeki Nomplok

Sabtu, 15 November 2014

Rejeki Nomplok

Baca: Amsal 30:1-9

30:1 Perkataan Agur bin Yake dari Masa. Tutur kata orang itu: Aku berlelah-lelah, ya Allah, aku berlelah-lelah, sampai habis tenagaku.

30:2 Sebab aku ini lebih bodoh dari pada orang lain, pengertian manusia tidak ada padaku.

30:3 Juga tidak kupelajari hikmat, sehingga tidak dapat kukenal Yang Mahakudus.

30:4 Siapakah yang naik ke sorga lalu turun? Siapakah yang telah mengumpulkan angin dalam genggamnya? Siapakah yang telah membungkus air dengan kain? Siapakah yang telah menetapkan segala ujung bumi? Siapa namanya dan siapa nama anaknya? Engkau tentu tahu!

30:5 Semua firman Allah adalah murni. Ia adalah perisai bagi orang-orang yang berlindung pada-Nya.

30:6 Jangan menambahi firman-Nya, supaya engkau tidak ditegur-Nya dan dianggap pendusta.

30:7 Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni:

30:8 Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku.

30:9 Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. —Matius 6:11

Rejeki Nomplok

Pada tahun 2002, setelah memenangi lotere sebesar 314 juta dolar, seorang pengusaha yang bergembira itu mengungkapkan keinginan hatinya yang mulia. Ia menyatakan niatnya untuk mendirikan sebuah yayasan amal, mempekerjakan orang-orang yang telah kehilangan pekerjaan, dan berbuat hal-hal yang indah bagi keluarganya. Karena memang sudah kaya-raya, ia mengatakan kepada wartawan bahwa kemenangan besar tersebut tidak akan mengubah dirinya.

Beberapa tahun kemudian, sebuah artikel yang mengikuti jejak si pengusaha menyingkapkan suatu perkembangan yang berbeda. Sejak memenangi lotere besar-besaran itu, ia justru terjerumus ke dalam masalah-masalah hukum, nama baiknya rusak, dan ia kehabisan seluruh uangnya karena perjudian.

Seorang lelaki dengan pengamatan tajam bernama Agur menuliskan kata-kata yang mengantisipasi kehancuran hati seperti yang dialami pria di atas. Setelah menyadari keadaan dirinya yang tidak berarti (Ams. 30:2-3), Agur melihat bahaya dari hidup yang memiliki harta terlalu banyak atau justru terlalu sedikit. Jadi, ia berdoa, “Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku” (ay.8-9).

Agur melihat tantangan yang didatangkan oleh kekayaan maupun kemiskinan, serta oleh kecenderungan hati kita. Setiap hal tersebut mendorong kita untuk berhati-hati. Seluruh tantangan itu menunjukkan kebutuhan kita akan Pribadi yang mengajar kita berdoa, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” —MRD II

Ya Tuhan, saat kami meminta kepada-Mu atas apa yang kami perlu,
tolong kami mengingat bahwa Engkau bijaksana dalam memberi
ataupun tidak memberi yang kami minta. Kami bersyukur Engkau
telah sering melepaskan kami dari niat kami yang berdosa.

Ketidakpuasan membuat orang kaya menjadi miskin, kepuasan membuat orang miskin menjadi kaya.

Merasa Terbelenggu?

Rabu, 16 Juli 2014

Merasa Terbelenggu?

Baca: Mazmur 16:1-11

16:1 Miktam. Dari Daud. Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung.

16:2 Aku berkata kepada TUHAN: "Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!"

16:3 Orang-orang kudus yang ada di tanah ini, merekalah orang mulia yang selalu menjadi kesukaanku.

16:4 Bertambah besar kesedihan orang-orang yang mengikuti allah lain; aku tidak akan ikut mempersembahkan korban curahan mereka yang dari darah, juga tidak akan menyebut-nyebut nama mereka di bibirku.

16:5 Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.

16:6 Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya, milik pusakaku menyenangkan hatiku.

16:7 Aku memuji TUHAN, yang telah memberi nasihat kepadaku, ya, pada waktu malam hati nuraniku mengajari aku.

16:8 Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.

16:9 Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram;

16:10 sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan.

16:11 Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.

Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. —Filipi 4:11

Merasa Terbelenggu?

Boethius hidup pada abad ke-6 di Italia dan bekerja di lingkungan istana sebagai seorang politikus yang sangat andal. Sayangnya, raja tidak menyukai Boethius. Boethius pun dituduh berkhianat dan dijebloskan ke dalam penjara. Sambil menunggu waktu hukumannya, Boethius meminta alat tulis supaya ia dapat mencatat perenungan yang dipikirkannya. Di kemudian hari, hasil perenungannya tersebut menjadi karya iman klasik tentang pelipur lara yang dikenang orang sepanjang masa.

Selama Boethius mendekam di penjara dan merenungkan masa depannya yang suram, imannya kepada Kristus begitu mewarnai sudut pandangnya: “Tiada hal yang menyedihkan kecuali kita menganggapnya demikian, dan sebaliknya, segala keadaan menjadi menyenangkan bila hati orang yang tengah mengalaminya merasa puas.” Ia mengerti bahwa cara pandang kita terhadap kepuasan dan keadaan yang berubah-ubah itu tergantung pada diri kita sendiri.

Ide bahwa cara kita memandang keadaan yang kita alami jauh lebih penting daripada keadaan itu sendiri ditegaskan pula oleh Rasul Paulus. Ketika Paulus juga mendekam di penjara, ia menulis: “Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan” (Flp. 4:11). Kedua tokoh itu dapat mengalami kecukupan karena kepuasan utama mereka berasal dari Allah yang tidak pernah berubah.

Apakah kamu merasa terbelenggu oleh situasi-situasi yang sulit? Allah sanggup memberikan kecukupan kepadamu. Kepuasan kekal hanya dapat ditemukan bersama Dia, karena di hadapan-Nya “ada sukacita berlimpah-limpah; di tangan kanan-[Nya] ada nikmat senantiasa” (Mzm. 16:11). —HDF

Tuhan, bimbing aku sesuai jalan terbaik yang Engkau kehendaki.
Pakailah karunia yang Engkau berikan kepadaku untuk menguatkan
orang lain dalam hidup mereka. Tolong aku untuk tidak membandingkan
diriku dengan orang lain tetapi merasa puas dan cukup.

Tatkala Allah menjadi satu-satunya yang kamu punya, Dia menjadi segalanya yang kamu perlukan.

Kepuasan Instan

Senin, 3 Maret 2014

Baca: Mazmur 27:4-14

27:4 Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.

27:5 Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu.

27:6 Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.

27:7 Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku!

27:8 Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.

27:9 Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku!

27:10 Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.

27:11 Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku.

27:12 Janganlah menyerahkan aku kepada nafsu lawanku, sebab telah bangkit menyerang aku saksi-saksi dusta, dan orang-orang yang bernafaskan kelaliman.

27:13 Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup!

27:14 Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!

Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! —Mazmur 27:14

Kepuasan Instan

Ketika kamera Polaroid SX-70 diperkenalkan pada tahun 1972, terjadilah revolusi dalam dunia fotografi. Sebuah artikel yang ditulis Owen Edward di majalah Smithsonian menggambarkan kamera tersebut sebagai “sebuah keajaiban dalam bidang fisika, optik, dan elektronik”. Ketika kamera itu dijepret, “selembar kertas kosong berukuran kotak persegi akan keluar dari bagian depan kamera dan gambarnya berangsur-angsur muncul di depan mata kita”. Orang-orang tertarik untuk membelinya karena hasil fotonya bisa dilihat langsung saat itu juga.

Oswald Chambers melihat adanya hubungan yang kuat antara keinginan kita akan sesuatu yang instan dengan nafsu dalam diri kita: “Sebenarnya nafsu itu berarti, ‘Aku harus memilikinya sekarang juga’; objeknya bisa berupa suatu kepuasan jasmani atau sesuatu yang rohani. . . . Artinya, aku tidak bisa menunggu waktunya Allah, Allah begitu tidak peduli; demikianlah nafsu bekerja dalam diri kita.”

Dalam Mazmur 27, Daud menulis tentang penantiannya akan Allah di tengah suatu masa yang sangat sulit dan seakan tidak ada jalan keluar. Daripada menyerah dan berputus asa, Daud tetap mempertahankan keyakinannya bahwa ia akan “melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup” (ay.13).

Kita hidup di tengah dunia yang mengejar hal-hal yang bersifat instan. Ketika rasanya keinginan hati kita yang terdalam tidak juga dipenuhi, pemazmur mendorong kita untuk tetap berharap kepada Allah yang kekal. “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (ay.14). —DCM

Tolonglah aku, ya Allah, untuk merasa cukup! Jagalah mulutku
dari menikmati hasrat yang sia-sia dan tak terkendali—sebaliknya,
biarlah Aku mengakui Engkau sebagai Tuhan dan Raja,
bersujud, berdoa, dan menanti sampai kulihat wajah-Mu! —Adams

Jawaban bagi hasrat kita akan hal yang instan adalah dengan memusatkan diri pada hal yang kekal.

Perbaiki Nafsu Anda

Kamis, 5 Desember 2013

Perbaiki Nafsu Anda

Baca: Filipi 4:4-13

Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. —Filipi 4:11

Semasa istri saya masih muda dan tinggal di Austin, Texas, keluarganya bertetangga dan bersahabat dengan Carlyle Marney, gembala dari gereja yang mereka hadiri. Salah satu ujaran Dr. Marney tentang kecukupan diri telah menjadi semacam semboyan bagi keluarga istri saya. Beliau berkata, “Kita hanya perlu memperbaiki nafsu kita.”

Alangkah mudahnya bagi kita untuk mengingini sesuatu lebih dari yang sebenarnya kita butuhkan dan lebih memusatkan perhatian kita untuk meraih sesuatu daripada memberi kepada sesama. Jika terus demikian, tidak heran apabila nafsu kitalah yang akhirnya menentukan keputusan-keputusan yang kita ambil.

Ketika Rasul Paulus menulis suratnya kepada para pengikut Yesus di kota Filipi, ia berkata, “Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan . . . baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam kelimpahan maupun dalam hal kekurangan” (Flp. 4:11-12). Dengan kata lain, Paulus hendak mengatakan, “Aku sudah memperbaiki nafsu saya.” Perhatikan bahwa rasa cukup itu tidak begitu saja hadir dalam diri Paulus. Ia “belajar mencukupkan diri” melalui berbagai kesulitan yang dialami dalam kehidupannya sehari-hari.

Dalam masa-masa menjelang Natal ini, ketika kegiatan berbelanja hadiah menjadi pusat perhatian banyak orang di mana-mana, mengapa tidak kita menetapkan hati untuk memusatkan perhatian kita pada belajar mencukupkan diri dalam keadaan yang kita alami sekarang? Kedengarannya mungkin sulit, tetapi ketika berbicara tentang belajar mencukupkan diri, Paulus berkata, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (ay.13). —DCM

Tolonglah kami, Tuhan, untuk belajar merasa cukup saat hidup terasa
sulit dijalani. Jagalah kami agar tak mempercayai dusta yang
mengatakan bahwa harta yang banyak akan membuat kami semakin
bahagia. Kiranya kami mencukupkan diri dengan pemberian-Mu.

Rasa cukup diawali dengan lebih sedikit mengingini.